Anne berharap make up tipis yang ia poleskan di wajahnya mampu menyamarkan jejak air mata yang membekas di sekeliling matanya. Meski kedua matanya tampak pilu dan genangan mulai membentuk di kedua kelopak matanya. Anne kembali mengerjap, mengurai kaca bening tersebut agar tidak sampai jatuh meleleh ke pipinya.
Sudah cukup tangisan dan jerit tangis ketidak berdayaannya terhadap nasibnya yang berada dalam genggaman Luciano. Satu-satunya cara yang tersisa hanyalah terlihat tampil sebaik mungkin di hadapan kedua orang tuanya. Agar mereka tidak khawatir, meski kekecewaan papanya sulit untuk Anne terima.Sekali lagi Anne mematut pantulan wajahnya. Di antara semua sikap kasar Luciano padanya, tak satu pun dari jejak kekasaran tersebut membekas di kulit tubuhnya. Selain kissmark yang nyaris memenuhi leher dan dadanya. Sekali lagi Anne memeriksa kedua pergelangan tangannya, mencari bekas merah karena pria itu yang mencengkeram tangannya terlalu kuat. Yang mungkin bisa ia tunjukkan pada papa dan mamanya sebagai bukti bahwa Luciano tidak sebaik yang mereka lihat. Semua keluasan dan kelapangan hati Luciano menerima dirinya hanyalah sandiwara licik pria itu.Putus asa, Anne pun menyerah. Menunjukkan kissmark di tubuhnya hanya akan membuktikan pada mereka betapa Luciano menerima dirinya -apa pun keadaannya- dengan hati yang lapang.Dan Luciano benar-benar menghancurkannya dari dalam. Tak menyisakan apa pun. Sekaligus tanpa menimbulkan jejak apa pun dari luarnya."Berapa lama lagi aku harus menunggu, huh?" Suara Luciano menyela di antara lamunan Anne yang berdiri di depan cermin wastafel. Pria itu berdiri bersandar pada pinggiran pintu, dengan kedua tangan bersilang dada dan kedua mata mengamati penampilan Anne dari atas ke bawah dengan saksama. Sengaja membuat Anne merasa tak nyaman diamati seintens itu.Anne menurunkan pergelangan tangannya dan memberanikan diri menatap wajah Luciano. "Aku ingin mempertahankan bayi ini," ucapnya kemudian. Kali ini dengan nada yang tegas sekaligus lebih melunak. Sadar bahwa penentangannya tak akan memberikan apa pun selain harga diri Luciano yang terusik. Dan ia tak bisa menjamin niat sesungguhnya pria itu terhadap bayi ini.Seringai membentuk di ujung bibir Luciano. Menangkap penyerahan diri Anne yang datang padanya secepat ini. Kepatuhan wanita itu memberinya kepuasan yang sempurna setelah kepuasan yang baru saja ia dapatkan dari tubuh Anne. "Gaunmu terlihat sangat pas."Anne tahu itu hanyalah kata-kata pujian yang dibuat-buat meski memang dress ini terasa pas di tubuhnya. Luciano mengalihkan pembicaraan."Apakah pakaian dalamnya juga pas?"Wajah Anne merah padam, membuang wajahnya ke samping. Yang membuat Luciano terkekeh. Tetapi kemudian ponsel Anne berdering, dan wanita itu bersyukur kedua orang tuanya mengatakan sudah menunggu di restoran hotel. Yang membuat keduanya harus bergegas turun. Meskipun Luciano masih sempat-sempatnya mencuri ciuman yang cukup panas di kamar mandi dan saat di lift.Denting lift yang menandakan mereka telah sampai di lantai yang mereka tuju membuat Anne mendorong dada Luciano sekuatnya. Mengusap bibir yang rasanya sangat bengkak dengan punggung tangannya.Luciano pun menangkap pinggang Anne dan keduanya melangkah keluar dari dalam lift. Pria itu tertunduk dan berbisik dengan suara yang panas. "Sebentar lagi kita tidak akan mendapatkan gangguan semacam ini lagi."Dan wajah Anne tak bisa lebih merah padam lagi.Keduanya langsung menemukan Johnny dan Julia di meja yang berada di sudut ruangan. Jauh dari beberapa tamu yang memang seolah diatur oleh Luciano. Ya, Anne sangat yakin gedung perhotelan ini memang milik Luciano. Pria itu memang terkenal dengan bujangan paling diincar karena memiliki nyaris seluruh kota ini."Tuan Enzio," sapa Johnny yang segera ditegur oleh Luciano."Luciano saja, Papa."Johnny mengangguk, memperbaiki panggilannya. "Rasanya saya tidak pantas memanggil nama Anda setelah semua kebaikan yang Anda berikan pada keluarga kami, Tuan Enzio," sesal Johnny.Dan Anne benar-benar dibuat muak dengan senyum ramah dan sopan santun yang diberikan Luciano pada kedua orang tuanya."Sekarang kita telah menjadi keluarga, Papa.""Terima kasih, Tu… maksud saya Luciano." Johnny benar-benar berterima kasih dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan."Terima kasih, Luciano," tambah Julia. Yang tak mampu menahan isak keharuannya."Sayalah yang harus berterima kasih, Ma. Mama memberikan saya keluarga." Luciano mengambil tangan Julia dan menggenggamnya dengan lembut. Kedua matanya tersenyum, penuh keharuan yang dibuat-buat tentu saja."Mari kita duduk." Johnny mempersilahkan. Bahkan Luciano menarikkan kursi untuk Anne, membuat kesan bahwa pria itu memperlakukan Anne dengan sangat baik.Pelayan datang dan Luciano tentu saja memberikan makanan terbaik dari restoran untuk kelurga Anne. Makan siang pun berlangsung dengan penuh ketenangan. Luciano dan Johnny lebih banyak berbincang tentang rencana bisnis, sesekali Julia menyahuti akan pencapaian terbaru Luciano dan Anne tentu satu-satunya yang tak bersuara. Pembicaraan menjadi lebih akrab dengan panggilan baru Luciano sebagai anak menantu Johnny dan Julia, yang benar-benar membuat Anne nyaris muntah saking muaknya.Setelah makan siang berakhir, suasana mendadak menjadi begitu menegangkan dengan pengangkatan topik terberat mereka dimulai oleh Johnny."Apa keputusanmu untuk Anne, Luciano?"Seluruh tubuh Anne menegang, Luciano menatapnya dan Anne jelas bisa menangkap kelicikan di mata pria itu. Wajahnya memucat pasi, dan sungguh jika Luciano berpikir ingin melenyapkan anak ini. Ia akan…"Kami berencana ke rumah sakit hari ini. Untuk memeriksakan kandungan Anne," ucap Anne dengan senyum ramahnya pada kedua orang tua Anne. "Kami butuh mengetahui perkembangannya menggunakan alat yang lebih baik. Bukankah kemarin kita mengetahuinya hanya dari alat tes sederhana saja?"Bibir Anne membeku, untuk sejenak. Meski kecurigaan masih melekat di dadanya. Ia tak yakin apakah Luciano membawanya ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya? Atau malah sebaliknya.Dan wajah Anne benar-benar tak bisa dibuat lebih pucat lagi ketika johnny menambahkan."Mengenai ayah dari anak dalam kandungan Anne, kau bisa mencari tahunya sendiri dan terserah apa yang ingin kau lakukan pada pria itu."***"Aku tidak ingin ke rumah sakit, terutama denganmu," tolak Anne begitu kedua orang tuanya naik ke dalam mobil dan keduanya menunggu di teras hotel sampai mobil tersebut menghilang dari pandangan.Luciano memutar tubuhnya menghadap Anne, dengan salah satu alis yang terangkat."Apa sebenarnya tujuanmu, Luciano? Kau pikir aku akan tertipu oleh wajah yang kau tunjukkan pada mama dan papaku?"Luciano tak mengatakan apa pun. Pria itu malah sibuk mengamati amarah yang melapisi wajah Anne dengan senyum yang semakin melebar."Jika kau mencoba membahayakan anak dalam kandunganku, maka aku akan memberimu sakit kepala yang sangat, Luciano. Dan jika kau berniat membunuh anak ini, kau akan melangkahi mayatku terlebih dulu."Luciano mendengus penuh cemooh akan ancaman yang diucapkan oleh Anne dengan terlalu sungguh-sungguh tersebut. "Bukankah kau menggunakan anak itu untuk menggagalkan pernikahan kita?"Raut wajah Anne membeku, tak berdalih dan menyangkal tuduhan tersebut."Rencanamu gagal total, jadi kau tak membutuhkan anak itu lagi, kan?"Anne mengerjap, tekejut dengan kata-kata Luciano. Kemudian menggeleng dengan keras. "Tidak. Aku ingin mempertahankan anak ini.""Well, keputusan ada di tanganku." Seringai gelap Luciano membuat Anne segera dicengkeram oleh rasa takut yang teramat. Tubuh Anne melangkah mundur, lalu berbalik dan menuruni teras hotel. Rencana pelariannya yang mendadak muncul, seketika digagalkan oleh pengawal Luciano yang entah datangnya dari mana. Menangkap kedua tangan Anne."Lepaskan aku! Beraninya kau menyentuhku!" jerit Anne sekuatnya. Meronta dan menendang-nendangkan kaki ke segala arah. Tetapi semua itu hanya memberinya kesia-siaan. Luciano menangkap rahangnya, menghentikan rontaannya. "Apa yang membuatmu berpikir akan bisa kabur dari cengkeramanku, Anne sayang?" bisik Luciano tepat di depan wajah Anne. Menahan seluruh wajah wanita itu tetap terarah kepadanya. Pria itu terkekeh, "Wajahmu yang ketakutan benar-benar terlihat menggemaskan. Bersikap baiklah, mungkin aku akan berubah pikiran dalam perjalanan."Air mata Anne jatuh meleleh, tubuhnya didorong ke belakang dan mendarat di jok mobil yang pintunya sudah dibuka. Lalu digeser ke sisi lain saat Luciano memanjat naik ke dalam mobil."Ke rumah sakit," perintah Luciano.Anne terisak, tubuhnya beringsut menjauh. Berusaha membentangkan jarak sejauh mungkin dari tempat Luciano.Ya, kehamilan ini memang ia gunakan untuk menggagalkan rencana pernikahannya dengan Luciano. Akan tetapi, membayangkan jika Luciano melenyapkan anak ini dengan tanpa hati. Rasanya jantung Anne dibetot dari dalam dadanya. Ia tak sanggup memikirkan hal kejam semacam itu."Kau jelas tak pintar bersikap baik kepadaku, ya?" decak Luciano menatap Anne yang masih menatapnya dengan penuh kebencian di antara air mata yang menggenang di kedua mata wanita itu. "Baiklah. Aku aka menawarkan kesepakatan yang lebih baik."Anne menatap lurus kedua kata Luciano. Ada kesungguhan dalam tawaran Luciano. Tetapi tentu saja ia tak mengharapkan lebih."Siapa pria itu? Mungkin aku akan menukar nyawanya dengan nyawa anakmu?"Seumur hidup, Anne tak akan membuka mulutnya untuk pertanyaan yang satu ini. "Kau bisa mencari tahunya. Dan kupastikan kau tak akan mendapatkannya. Kau akan merasa gila dengan rasa penasaranmu. Kau akan mati dengan keinginan tahuanmu itu. Aku pastikan itu," jawaban Anne diselimuti kebencian yang teramat dalam.Seringai Luciano tersungging tinggi, kemudian pria itu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.Anne benar-benar berpikir Luciano sudah gila. Pria itu terpingkal hingga lengan memegang perut. Entah kata-katanya yang mana yang terdengar lucu di telinga pria itu.Akhirnya tawa Luciano terhenti dan wajah pria itu berubah serius dalam hitungan detik. "Jadi kau memutuskan menyelamatkan nyawa anakmu. Baiklah, aku senang."Anne semakin dibuat melongo. Tak mengerti dengan perubahan sikap Luciano."Atau… memang tak pernah ada pilihan lain bagimu?" Salah satu alis Luciano terangkat. Kedua matanya menatap lurus tatapan Anne dan menguncinya. Melucuti wanita itu tanpa sempat Anne menelaah semuanya.Keterkejutan yang teramat besar tercipta di wajah Anne. Digantikan kepucatan yang lain. Sekaligus membuatnya tercekat di saat yang bersamaan."Kau pikir aku tak tahu kalau kau menjalani inseminasi buatan?".Dan seolah belum cukup semua kejutan tersebut, Luciano kini melemparkan pukulan telaknya."Dan kau begitu tololnya ketika menolak informasi tentang pendonor spermanya," kekeh Luciano.Napas Anne benar-benar tercekat dengan keras. Tak hanya mengetahui tentang inseminasi buatannya, bahkan Luciano mengetahui tentang perbincangannya dengan dokter yang menanganinya. Jangan bilang kalau pendonor sperma tersebut adalah…"Ya. Akulah orangnya, istriku. Ayah dari anak dalam kandunganmu."Wajah Anne sepenuhnya memucat. Kepalanya menggeleng tak percaya. Menolak kalimat itu.mentah-mentah."Anak dalam kandunganmu adalah darah dagingku.""Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu