“Tidak mungkin!!” tolak Anne mentah-mentah. Menggelengkan kepala dengan keras dan menegakkan punggung. Bagaimana mungkin, satu-satunya cara yang tersisa yang ia gunakan untuk membalas dominasi Luciano di hidupnya pun direnggut dengan cara licik seperti ini.
Luciano benar-benar tak memberinya udara untuk bernapas. Semua kekuasaan pria itu merenggut segala hal yang dimilikinya. Kepercayaan kedua orang tuanya, tubuhnya, dan seluruh hidupnya sudah berada di tangan Luciano.“Aku tak sudi mengandung anakmu, Luciano.”“Kau sudah.” Luciano mengedikkan bahunya dengan penuh ketenangan yang sangat terkendali. Seringainya menikmati setiap kepucatan yang menggaris di wajah Anne dengan penuh kepuasan. “Sebaiknya kau mulai mengerti bahwa hidupmu, saat ini hanyalah milikku, Anne sayang.”“Tidak. Aku tak ingin mengerti dan aku tak akan mengerti. Aku sungguh membencimu, Luciano. Kau hanyalah pria gila yang terobsesi pada wanita tak berdaya sepertiku. Menggunakan kekuasaanmu untuk menginjak-injak wanita lemah sepertikut. Kau benar-benar pengecut.”Ekspresi di wajah Luciano seketika membeku, bibirnya menipis tajam dan rahangnya mengeras. “Apa kau bilang?” desisnya tajam.“Kau tak lebih dari pria berengsek yang pengecut. Hanya mampu menggunakan kekuasaanmu sebagai seorang pria. Tidak, seorang pria tidak akan melakukan hal semenjijikkan ini pada wanita. Seorang pria tidak akan memperlakukan wanita seperti ini. Kau bukan seorang pria, Luciano.”Wajah Luciano merah padam, belum pernah ada seorang pun yang cukup bodoh menantangnya seperti ini. Apalagi mencoba menginjak-injak harga dirinya. “Tutup mulutmu, Anne,” geram Luciano.“Tidak. Aku tidak akan tutup mulut.” Anne semakin menjadi. Amarahnya pun tak kalah meluapnya dibandingkan Luciano. Dan ia tak peduli. Segala cara akan ia lakukan demi membuat Luciano menyesal telah menjebak dirinya sebagai seorang istri. Ia akan memberikan sakit kepala yang sangat untuk pria itu. Dan yang pasti ia akan membuat Luciano muak pada dirinya sehingga pria itu tak memiliki pilihan selain membuangnya. “Kau bukan seorang pria, kau tak lebih dari berengsek yang …”Anne berhenti menyelesaikan kalimatnya. Tangan Luciano melayang dan menjambak rambutnya ke belakang. Membuat wajahnya terdongak dan wajah pria itu yang dipenuhi kemurkaan membayang di atasnya. Bahkan dengan posisi seperti itu, Anne masih sempat melanjutkan kalimatnya. “…pengecut. Itulah dirimu.”Luciano menggeram, kedua matanya memerah saking bergeloranya kemarahan yang menyelimuti tatapan tajam pria itu. Menusuk tepat di kedua mata Anne. Tubuh Anne merinding oleh rasa takut, seluruh tulang di tubuhnya serasa meleleh sakit tajam dan mengerikannya tatapan pria itu. Akan tetapi ia tak peduli. Ia sudah kehilangan kewarasannya.Dan Luciano pun sudah kehilangan kewarasannya untuk menghadapi penghinaan yang dilontarkan Anne. Wanita ini bukan hanya sengaja mengusik harga dirinya, tetapi sengaja memancing sisi gelapnya. Cengkeramannya menguat dan bahkan wanita itu tidak mengaduh meski Luciano tahu Anne kesakitan. Wanita itu sengaja ingin keduanya hancur. Dan Luciano tak akan memberikannya. “Karena itu anakku, maka kau ingin menggugurkannya, bukan?”Dada Anne sudah dipenuhi kebencian dan amarah yang menutupi segela nalurinya.“Baiklah jika itu yang kau inginkan, Anne. Aku akan memberikannya.” Luciano menyentakkan jambakkannya, membuat tubuh Anne terbanting di punggung sofa. Selanjutnya, satu-satunya suara yang terdengar menyelimuti mobil hanyalah isak tangis Anne.Anne benar-benar nyaris gila mempertimbangkan antara kebencian dan nalurinya sebagai seorang ibu. Dan hingga mobil berhenti di halaman rumah sakit, Anne belum bisa memutuskannya. Lengan Anne setengah di seret oleh Luciano. Keduanya langsung masuk ke dalam lift khusus setelah salah satu anak buah Luciano mengatakan dokter sudah menunggu di lantai 8. Dan semakin dekat ke lantai yang mereka tuju, kaki Anne semakin bergetar hebat. Hingga ia tak peduli lagi jika Luciano berdecak mencemooh ketakutannya tersebut.Sungguh, ia menbenci Luciano dengan darah yang mengaliri darahnya. Kebencian itu meresap hingga ke tulang sumsumnya. Dan ia tak sudi mengandung anak pria itu. Tetapi ketika Luciano mengabulkan kebenciannya tersebut, keterkejutan yang besar seketika meremas dadanya. Dan saat ia membayangkan hal tersebut, jantungnya benar-benar serasa dibetot. Seluruh tubuhnya serasa melayang, seolah setengah jiwanya direnggut.Lift berdenting, tubuh Anne hanya membeku ketika Luciano sudah berjalan keluar. “Cepat, Anne.”Anne mengerjap, menatap wajah keras Luciano dengan air mata yang menggenangi kedua matanya. Bahkan dengan pandangannya yang terhalang air mata, ia bisa merasakan keseriusan Luciano yang ingin melenyapkan anak dalam kandungannya. Melenyapkan darah daging pria itu dengan tanpa hati.Luciano mundur satu langkah dan menyambar tangan Anne, menyeret wanita itu keluar dari dalam lift hanya dalam satu gerakan yang ringan.“Lepaskan, Luciano,” jerit Anne meronta. Mencoba mempertahankan kakinya tetap di tempat dengan sia-sia. Kekuatan Luciano jelas lebih besar dari tubuhnya yang lemah. Ia sudah terlalu banyak menangis, meratapi nasibnya yang memilukan dan ketidak berdayaannya benar-benar melumpuhkan seluruh tubuhnya. Semua itu berjumbal jadi satu memenuhi dada dan kepalanya.Anne tak bisa menahan semua perasaan itu lebih lama lagi. Hingga kesadaran benar-benar direnggut paksa darinya. Tubuh Anne jatuh lunglai dan Luciano menangkapnya. Jantung Luciano benar-benar nyaris melompat saking kagetnya, dan jika ia terlambat setengah detik saja menangkap tubuh Anne, ia yakin kepala Anne akan jatuh membentur lantai.“Anne?” Luciano menggoyangkan tubuh Anne dan tangannya menepuk-nepuk lembut pipi Anne yang matanya terpejam dan bibirnya memucat.***Rasa pusing yang teramat sangat menusuk kepala Anne ketika kesadaran perlahan kembali membangukannya. Kelopak matanya bergerak dengan perlahan sebelum kemudian pandangan perlahan menjadi jelas dan semakin jernih.Anne menyadari ia terbangun dan berbaring di ruangan yang serba putih. Dengan bau antiseptic yang begitu pekat. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, hanya ada kesunyian. Benaknya mengingat apa yang membuatnya berbaring di tempat ini. Pertengkarannya dengan Luciano dan tujuan mereka datang ke rumah sakit untuk …Tangan Anne bergerak ke perut, apakah Luciano sudah melenyapkan anaknya?Pintu bergerak terbuka dan Luciano melangkah masuk. Pandangan pria itu langsung menangkap Anne yang menoleh ke arahnya. “Kau sudah bangun?”Wajah terluka Anne seketika berubah dingin. Tangan wanita itu bergerak turun dari perut dan membuang wajahnya. Kebencian kembali menyeruak memenuhi dadanya.Luciano berdiri di samping ranjang, senyum tipis tersemat di antara bibirnya. Tangannya terulur, ujung jemarinya menyentuh pundak Anne. Kemudian bergerak menurun dengan elusan yang lembut dengan punggung jemari tersebut.Anne menyentakkan tangannya dan berbaring miring, memunggungi Luciano. Ia siap bertengkar kembali, tetapi kepalanya masih pusing dan tubuhnya masih lemah. Rasanya ingin menangis, tetapi tangisannya pun tak bisa memberinya kepuasan. Anne hanya memilih menahan kebencian dan kemarahannya terpendam dalam-dalam. Satu-satunya hal yang tersisa hanyalah bersabar, pun dengan kesabarannya yang tak pernah tersisa setiap berhadapan dengan Luciano.“Karena keadaanmu cukup lemah dan belum bisa melakukan perjalanan jauh, jadi kau akan mulai tinggal di rumahku setelah pulang dari rumah sakit.”Anne tetap bergeming, merasakan Luciano yang duduk di belakang punggungnya dan ia tak bisa menghindari sentuhan pria itu yang menyingkirkan helaian rambut dari sisi wajahnya dan menyelipkan ke belakang telinga. Kemudian mengelus rambutnya yang terurai, memain-mainkannya dengan gerakan yang lembut. Seolah sikap lembut tersebut sebagai bentuk rayuan ataupun permintaan maaf atas sikap kasar yang dilakukan pria itu di dalam mobil.Ya, Luciano memang bisa memperlakukannya sangat lembut dan di saat berikutnya mampu berbuat keji dalam sekejap mata.“Aku memiliki pekerjaan yang tak bisa kutinggalkan di Italia.”Kali ini kening Anne bereaksi. Menghubungkan kedua kbar tersebut dan mulai berpikir dengan seksama. Ia tidak bisa melakukan perjalanan jauh dan Luciano memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Jadi …Luciano yang menyadari reaksi Anne pun mendengus tipis. “Kuharap kau tidak merindukanku, Anne sayang.”Untuk pertama kalinya, Anne patuh dengan sukarelan dan dengan hati yang sepenuhnya ikhlas.Luciano membungkuk dan mendaratkan kecupan di pelipis Anne. Anne tak menolak, karena terlalu gembira akan perpisahan tersebut.Setelah Anne merasa badannya kembali bersemangat dalam setengah jam, dokter datang dan memeriksa keadaan Anne meski wanita itu menolak pemeriksaan selanjutnya. Tidak, ia belum siap dengan kehamilan ini setelah mengetahui anak dalam kandungannya adalah milik Luciano dan pria itu mengalah.Luciano sering datang ke rumahnya, menjemput dan mengantarnya ke pesta dan menggandengnya ke tempat umum di mana pun pria itu inginkan. Akan tetapi, tidak sekali pun Anne tahu dan ingin tahu di mana rumah Luciano.Rumah Luciano berada di kawasan elit pusat kota, dengan gerbang tinggi berwarna hitam. Rumah bertingkat empat, dengan pilar di sisi kanan dan kiri. Menoleh ke kanan halaman rumah, Anne langsung menemukan jajaran mobil mewah koleksi Luciano yang sebagian kecil pernah Anne liat. Selebihnya Anne tak bisa melihat lebih karena halaman depan pria itu terlalu luas. Dengan penjagaan ketat dan di mana-mana Anne bisa melihat pria bertubuh besar yang brseragam serba hitam. Berdiri dengan sikap siaga. Anne belum pernah melihah penjaga sebanyak ini di rumah mana pun.Saat mobil berhenti di depan teras, pintu langsung dibukakan oleh pelayan dan Luciano turun lebih dulu kemudian mengulurkan tangan pada Anne. Anne jelas menolak dan turun dengan kedua tangan dan kedua kakinya sendiri.“Selamat datang Tuan dan Nyonya Enzio,” sapa salah satu pelayan yang paling tua, diikuti pelayan yang lain membungkuk dan memberi hormat pada keduanya. “Semua barang Nyonya sudah kami letakkan di kamar Anda, Tuan,” lapor salah satu pelayan.Luciano mengangguk singkat. “Mulai hari ini kau akan tinggal di rumah ini. Kuharap kau merasa nyaman.”“Di mana pun pasti lebih baik daripada di sini,” sinis Anne dalam gumaman yang lirih tanpa menoleh ke arah Luciano.“Ya, maka pilihan yang kumiliki hanya membuat semua tempat yang kau inginkan lebih buruk daripada di sini.”Anne tak sungguh-sungguh memahami kalimat Luciano. Yang ia tahu itu hanyalah sebuah ancaman bahwa Luciano akan menghancurkan apa pun yang diinginkan.Luciano melangkah sambil menangkap pinggang Anne dengan cekalan yang kuat, membawa wanita itu masuk ke dalam. “Hanya rumah ini satu-satunya pilihanmu. Maka buat dirimu nyaman dengan caramu sendiri,” bisiknya di telinga Anne.Tentu saja Anne akan melakukan hal itu, batinnya. Pandangannya langsung menemukan ruang tamu yang luas dengan tiga set sofa kulit. Di tengah ruangan, ia langsung di hadapkan pada tangga spiral di sisi kanan dan kiri, lengkap dengan pasangan penjaga di masing-masing kaki tangga dan di tengah-tengah tangga terdapat lampu hias yang besar. Semua tentang Luciano hanyalah tentang kemewahan. Bahkan dirinya yang terbiasa hidup berkecukupan dan bergaul dengan lingkungan kelas atas pun masih tak munafik untuk mengakui segala kemewahan yang dibangun dalam rumah ini.“Kau bisa menggunakan lift atau tangga. Kamar kita ada di lantai dua. Satu-satunya area pribadi yang tidak ada penjaganya. Nanti akan ada orang yang membantumu menggunakan lift karena hanya bisa diakses menggunakan sidik jari. Yang hanya dimiliki olehku dan ketua pengawalku.”Anne mendengarkan lebih banyak ketika Luciano menjelaskan banyak haltentang letak kolam renang, taman, halaman belakang, ruang olahraga atau apa pun. Satu-satunya hal yang ia rasakan hanyalah keengganan. Mereka sampai di lantai dua dan ia tahu kenapa lantai dua menjadi area pribadi. Lantai dua adalah satu ruangan yang luas. Seluruhnya menjadi area ruang tidur yang disekat hanya dengan kaca atau lemari hias. Tempat tidur berada di samping kiri mereka dengan pintu kaca yang langsung mengarah ke kolam renang panjang dan beratap langit. Kamar mandi di sisi lain, ruang ganti yang duakali leih luas dari luas kamarnya sendiri bedada di samping kanannya, dan deretan kopernya sudah berjajar di tengah-tengah ruangan. Yang semakin meyakinkan dirinya bahwa sekarang ia adalah seorang Nyonya Enzio.“Istirahatlah, aku harus ke ruanganku sebentar untuk mengecek sesuatu.” Luciano memutar tubuh Anne menghadapnya. Merangkum wajah wanita itu dan mendaratkan kecupan di bibir Anne. Sebelum kemudian berjalan ke arah pintu lift yang ada di sebelah kiri dari tempat mereka berdiri.Anne bergegas mengusap bibirnya begitu pintu lift tertutup dan melenyapkan sosok Luciano dari pandangannya. Setelah merasa cukup menghapus jejak bibir Luciano di bibirnya, Anne berjalan ke area kamar mandi. Satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah membersihkan diri.Dan baru saja Anne menanggalkan pakaiannya, ketika ia mendengar suara tembakan dari arah luar. Anne terlonjak pelan. Menajamkan telinganya dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah suara tembakan. Lalu dugaannya semakin teryakinkan dengan suara tembakan yang menyusul tak lama kemudian.Doorrrr …Wajah Anne memucat. Menatap ke arah luar."Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu