Share

Gadis Kesayangan Suamiku
Gadis Kesayangan Suamiku
Author: Mrs. Cinnamon

Bab 1. Kabar Buruk

"Apa katamu, Darling? Adikmu hilang? Maksudmu kembaranmu itu?" tanya seorang wanita cantik yang sedang menyesap susu hangatnya dengan jari Kelin sedikit terangkat anggun.

Pria yang baru saja meletakan gawainya mengangguk. "Ya, sepertinya rival kita salah sasaran. Huh! Bodoh sekali!"

Kerutan di wajah sang wanita terukir dengan jelas. Tampak terlihat dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh suaminya. "Rival? Cortez maksudmu?"

Tak sampai satu menit, wanita itu bersedekap dan menutup mulut sambil menggelengkan kepalanya. "No way! Jangan katakan ... Tidak mungkin! Bukankah saudaramu berada jauh dari kota?"

"Huh! Orang bodoh akan selamanya bodoh! Lagi pula kudengar, ada kasak-kusuk yang mengatakan aku bersembunyi di desa sejak peristiwa itu dan celah itu dipakai oleh Cortez untuk memata-matai saudaraku. Bodoh sekali, sudah jelas kami berbeda!" tukas suami dari wanita itu.

Wajahnya tampak mengeras sekaligus khawatir. Sudah lama juga dia tidak mendengar kabar tentang saudara kembarnya itu. "Sepertinya aku harus ke desa itu pagi ini,"

"Untuk apa?" tanya wanita itu lagi dengan singkat. Kerutan di wajahnya belum menghilang. Matanya tak lepas dari suaminya.

"Dia sudah menikah setahun yang lalu dan istrinya terancam bahaya jika masih berada di sana," jawab sang suami.

Si wanita yang tampak sedang mengandung itu mengernyitkan keningnya. "Menikah? Tapi, dia tidak pernah memberitahukanmu ataupun mengundang kita ke pesta pernikahannya,"

Seringai kesal sekaligus tak suka tersirat jelas di wajah si suami. "Huh! Dia berbeda denganku. Banyak yang berkata seperti itu dan aku benci jika sudah dibandingkan dengannya. Kita lihat saja seperti apa istrinya? Kurasa, dia hanya menikah dengan seorang gadis desa kampungan yang tidak menarik,"

"Tenang saja, aku akan meminta dia bekerja di sini. Pendidikannya pun aku pikir tidak tinggi," sambung pria itu lagi dengan senyum picik.

Setelah menghabiskan kopi pahitnya, laki-laki tampan itu menyambar kunci mobil, dan segera bergegas keluar dari ruang makan. "Baiklah, aku pergi sekarang supaya tidak membuang waktu! Camilla, kunci pintu, tutup semua jendela, dan jangan angkat telepon dari nomor yang tak dikenal! Aku akan kerahkan semua pengawal untuk menjagamu selama aku pergi."

Wanita bernama Camilla itu mengangguk. "Ta-, tapi, bagaimana dengan janji kita untuk bertemu dokter kandungan besok?"

"Aku akan meminta doktermu datang ke sini, tentu saja setelah melalui pemeriksaan status aman dari penjagaku." Pria itu kemudian masuk ke dalam mobil dan mengecup bibir istrinya singkat. "Aku pergi, kabari aku tentang apa pun yang menurutmu tidak biasa. Oke!"

Camilla mengangguk. "B-, baiklah. Kamu juga hati-hati, Max,"

"Pasti!" jawab Max dengan cepat.

Tak lama, kendaraan besi beroda empat itu pun meluncur menembus ramainya jalanan di pagi hari menuju suatu tempat yang cukup jauh dari kota.

Sementara itu, Camilla Shawn istri dari Max Sillas menunggu di rumah dengan cemas. Dia tak tahu apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi nanti. "Ah, kepalaku benar-benar terasa mau pecah,"

Malam itu, Max menelepon dan menghubungi Camilla hanya untuk mengatakan kalau dia tidak dapat pulang malam itu. Hati Camilla pun tak menentu, tetapi di lain sisi dia menghela napas lega.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Camilla sudah bangun dan bersiap menunggu Max datang. Dia meminta pelayan untuk menyiapkan semua makanan yang disukai oleh suaminya.

"Baik, Nyonya," kata pelayan tersebut setelah menerima perintah dari tuannya.

Sembari menunggu, Camilla sudah mempersiapkan diri dengan memakai gaun berwarna merah muda serta hiasan kepala berwarna senada. Berkali-kali dia merapikan gaunnya dan mengembuskan napas panjang.

Tak lama, suara seorang pria yang sudah lama dinanti-nantikannya pun terdengar. "Milla, aku pulang,"

"Itu Max!" ucap Camilla setengah berlari.

Wajah Camilla sudah hampir serupa dengan gaun yang dipakainya karena terlalu bersemangat menyambut sang suami tercinta. Dipeluknya tubuh Max. "Selamat datang,"

Walaupun keningnya berkerut-kerut, Max tetap membalas pelukan Camilla. Sesaat setelah itu, dia mendorongnya perlahan. "Milla, perkenalkan, ini Allora Twig,"

Seorang gadis mungil nan cantik seolah muncul tiba-tiba dari belakang Max. Wajah gadis itu bersemu kemerahan dan terlihat malu-malu. "I-, ini istrimu?"

"Ya, apa aku belum bercerita kepadamu kalau aku sudah menikah?" tanya Max sambil menyeringai lebar dan memperlihatkan jari manis kanannya. "Ini istriku, Allora,"

Camilla mengerjapkan-ngerjapkan mata dan mengulurkan tangannya kepada gadis itu. "Hai, Nyonya Sillas, aku Camilla Shawn,"

"Twig. Panggil aku dengan Allora Twig," kata gadis itu dengan wajah mengeras.

"Baiklah, Nyonya Twig," balas Camilla mengalah. Dia memperhatikan gadis itu. Ada yang berbeda dengan tubuh gadis yang tampaknya berumur kisaran 20-an tahun itu. "Apa kamu sedang mengandung?"

Alih-alih Allora, Max menjawabnya untuk Camilla. "Ya, dia sedang mengandung juga. Maka dari itu, sejak kemarin, dia menjadi tanggung jawabku juga,"

"Masuklah, Allora! Anggap saja ini rumahmu sendiri dan buatlah dirimu senyaman mungkin," kata Max lagi sambil merangkul bahu Allora.

Melihat pemandangan serta respon dari Max yang terlihat begitu senang dengan kehadiran Allora, Camilla hanya menatap suami serta adik iparnya dengan heran. Firasat buruk pun segera menyeruak masuk ke dalam hatinya. "Max!"

Camilla mengejar suaminya masuk ke dalam. Bukan tanpa alasan wanita itu merasa dikucilkan, karena sejak Allora menginjakan kakinya di rumah mereka, perhatian Max dengan cepat teralihkan.

"Max, kemarin kamu mengatakan kalau istri adikmu itu, ...?" tanya Camilla sore itu sambil tetap berharap sang suami akan menyadari warna pakaian serta dandanannya.

Max menatap wajah istrinya dengan malas. "Kemarin ya kemarin, hari ini, ya, hari ini, Milla. Mana aku tau kalau dia sedang mengandung. Apa aku tega mempekerjakan dia di sini? Tidak, kan?"

Camilla masih tidak puas dengan jawaban dari suaminya. Bukan tanpa sebab Camilla bersikap seperti itu. Pasalnya, sikap Max kemarin dan hari ini sangat berbeda. "Ta-, tapi, ...,"

"Tidak ada tapi-tapi, Milla! Berbuat baiklah padanya, itu yang bisa kamu lakukan untukku!" tukas Max dan tiba-tiba saja matanya menangkap pemandangan yang tak biasa dari istrinya tersebut. "Merah muda? Ada apa gerangan?"

Wanita yang sedang mengandung itu duduk di hadapan suaminya dan menggenggam kedua tangan Max. Dengan takut-takut , Camilla menjawab, "Ini tentang anak kita,"

Seakan membaca pikiran sang istri, Max menggelengkan kepalanya perlahan sambil menyunggingkan senyumnya. "No! Jangan katakan kalau anak kita-,"

"Ya, perempuan," lirih Camilla.

Napas wanita itu seakan tercekat menunggu respon suaminya setelah sang suami mengetahui jenis kelamin dari anak yang sedang berada di dalam kandungannya itu. "D-, Darling ... Max? Kita akan menerima dia, kan? Kita akan membesarkan di-,"

"Gugurkan! Aku tidak mau anak perempuan! Bisa apa dia nanti! Gugurkan!" titah Max sambil menyentak tangan Camilla.

Sedetik kemudian, tubuh Camilla bergetar. "M-, Max ... Kumohon, jangan mengatakan hal yang keji seperti itu. Ini anak kita, Max,"

"Aku tidak peduli! Akan kuakui anak kita kalau anak itu laki-laki! Gugurkan, Milla!" tukas Max dengan nada lebih tinggi.

Setelah berbicara seperti itu, Max keluar kamar dengan membanting pintu dengan cukup kencang. Bahu Camilla bergetar, begitu pula dengan tubuhnya. Bulir-bulir bening dengan cepat berjatuhan dari sudut matanya.

Perlahan, wanita itu mengusap perutnya, menahan pedih. "Mama akan tetap mempertahankanmu, Nak. Jangan takut!"

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status