Sakit hati Camilla tak sampai di situ. Semenjak Max mengetahui jenis kelamin anak mereka, sikap Max pun berubah menjadi dingin dan berbicara kepada Camilla seperlunya saja.
Hal itu tentu saja tak lepas dari kehadiran Allora Twig."Hai, Allora. Apa kamu ada waktu menemaniku sore ini?" tanya Camilla suatu sore.Allora tertegun sesaat, lalu kemudian dia kembali menguasai dirinya sendiri. "Dengan senang hati,"Tak lama, meja makan kecil berbentuk lingkaran itu sudah dipenuhi dengan sepoci teh dan dua cangkir kecil, serta berbagai macam kudapan manis."Silakan," kata Camilla mempersilakan Allora untuk mengambil secangkir teh.Gadis yang tengah hamil muda itu mengangguk kecil. Dia mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan. "Terima kasih. Bagaimana kabarmu, Nyonya? Kita belum pernah berbicara berdua seperti ini sebelumnya,""Milla. Panggil saja Milla," jawab Camilla sambil tersenyum manis. "Maka dari itu, kita harus sering-sering mengangkrabkan diri seperti ini. Ya, kan?"Senyum terukir di wajah Allora. "Kalau begitu, kamu bisa memanggilku Allora, tanpa memakai nyonya. Hehehe,""Hahaha, baiklah. Senang berkenalan denganmu, Allora," kata Camilla. Senyum tulusnya masih mengembang di wajah cantiknya. "Bolehkah aku bertanya tentang kehamilanmu? Sudah berapa bulan usia kandunganmu itu?"Camilla tak dapat menahan diri saat melihat bentuk perut Allora yang berbeda dengannya. "Apa kamu sudah mengetahui apa jenis kelamin anakmu?"Helaan napas lemah keluar dari bibir mungil Allora. Calon ibu muda itu mengalihkan pandangannya ke depan. Tatapannya tiba-tiba kosong, lalu, dia mengembuskan napas panjang kembali. "Aku baru mengetahui kalau aku sedang mengandung dari Max,"Allora pun memulai ceritanya dengan suara getir karena menahan sakit.Beberapa malam sebelumnya,seorang pria tampan tampak asik berjalan dengan mulutnya yang sibuk menyenandungkan sebuah irama lagu. Senyum sesekali terlihat jelas di wajah pria itu. Seolah melupakan sesuatu, tiba-tiba saja langkahnya terhenti dan dia mengeluarkan sebuah ponsel model lama dari saku celana jinsnya. Dengan cepat, jari-jarinya menekan tombol yang tertera di ponselnya."Hai, Sayang, apa aku membangunkanmu?" tanya pria itu tak lama kemudian. Wajah tampannya bersinar bahagia di dalam kegelapan malam hari itu.Terdengar suara seorang wanita dari seberang. ("Hai, Sayang. Tidak, aku belum tidur. Kamu di mana? Tumben sekali jam segini belum pulang? Apa bosmu memperkerjakanmu terlalu berat?")Lagi-lagi pria itu mengukir senyum manisnya. "Tenang saja, Sayang. Aku tidak akan mati karena bekerja. Anyway, aku punya kejutan untukmu. Ingatkah kamu saat kita ke rumah sakit karena kamu terus mengeluh mual dan tidak enak untuk makan?""Tentu saja itu ada penyebabnya. Ah, aku tidak sabar untuk menemuimu. Tunggulah aku, Sayang, sebentar lagi aku sampai di rumah, hehehe." Pria itu mengeluarkan sebuah map bening dari tasnya dan tersenyum saat dia membaca tulisan yang tertera di lembar hasil pemeriksaan itu.Ucapan dari pria tersebut membuat si wanita penasaran. Dia mencebik dan sedikit melambakan suaranya. ("Ayolah, Miller Sayang, beritahu aku sekarang! Kenapa kamu membuatku penasaran? Bisakah kamu memberitahuku sekarang juga bagaimana hasilnya? Apakah aku baik-baik saja ataukah aku sakit parah dan akan meninggalkanmu lebih dulu?")Suara tawa bariton terdengar di ponsel wanita itu. Mau tidak mau, si wanita tersenyum membayangkan wajah pria yang dicintainya itu mengembang bahagia."Hahaha! Allora ... Allora. Tidak akan ada yang mati, Sayang. Malam ini, aku sangat bersyukur karena kamu melengkapi hidupku dan mengubah hidupku menjadi lebih baik. Aku pasti akan pulang, tunggulah aku dan bersabarlah sedikit lagi," kata pria itu lagi.Namun, belum saja dia mengakhiri percakapan mesranya dengan Allora, tiba-tiba saja sesuatu yang sangat keras dan menyakitkan diarahkan ke tengkuk lehernya. Satu pukulan itu membuatnya jatuh tersungkur tanpa suara, ponselnya ikut terpelanting cukup jauh ke depannya.Allora yang mendengar sesuatu yang buruk menimpa Miller pun, berteriak histeris. ("Hallo! Miller! Kamu baik-baik saja? Apa kamu terjatuh? Hallo, Sayang, jawab aku! Kumohon!")Keheningan menggelayuti ruangan kecil nan manis itu. Camilla pun menahan napasnya sesaat. Getir sekali nasib Allora, begitu yang ada di pikirannya."Setelah itu, dia menghilang," kata Allora mengakhiri cerita.Camilla menelan saliva kasar, perlahan berusaha mengumpat kembali oksigen yang sempat terhenti selama sepersekian detik. Wanita itu membayangkan andaikan dirinya berada di posisi Allora malam itu. Tanpa dia sadari, tangannya terulur dan menggenggam tangan adik iparnya tersebut. "Kamu kuat sekali, Allora,""Harus, kan? Saat aku pertama kali datang ke rumah ini dan bertemu denganmu, aku iri sekali kepadamu. Sesaat aku menginginkan hidupmu di hidupku," kata Allora, dengan lembut dia menyingkirkan tangan Camilla dari tangannya.Camilla pun tersentak, tetapi cepat-cepat dia menguasai diri. "Maafkan aku. Aku hanya berusaha untuk menjadi kakak bagimu atau paling tidak menjadi temanmu,""Huh! Apa kamu bisa? Jujur saja, setiap kali aku melihat wajah suamimu, aku melihat suamiku juga di wajah itu, dan rasa rinduku terobati. Apa kamu masih mau mengganggapku teman?" tanya Allora sambil menyembunyikan tawa keringnya dalam dengusan.Camilla tertegun. Jantungnya berdetak dan bertalu-talu dengan cepat. "K-, kenapa seperti itu?"Senyum tanpa arti mengukir wajah Allora. Gadis muda itu menundukkan kepalanya sambil lagi-lagi mendengus. "Huh! Mereka kembar, kan? Apalagi Max sudah bersumpah untuk menjadi penanggung jawabku sampai Miller ditemukan,""Aku dapat merasakan kalau suamimu lebih memperhatikan aku dibandingkan kamu. Dia bercerita kepadaku kalau dia kecewa karena kamu akan melahirkan seorang anak perempuan dan kau katakan saja kepadamu di sini kalau dia mengharapkan anak laki-laki dariku," kata Allora lagi.Camilla sungguh tidak dapat mengartikan senyum dan tatapan mata yang terpancar dari wajah Allora. Dia berpikir bahwa adik iparnya itu adalah seorang wanita yang polos dan lugu, tetapi ternyata, dia salah menilai Allora."Bagaimana bisa dia mengharapkan seorang anak laki-laki darimu? Sedangkan anak yang kamu kandung itu adalah anakmu dengan suamimu, kan?" tanya Camilla tanpa bisa menahan kesal."Aku tidak mengatakan kalau aku menyukai suamimu. Aku hanya mengatakan aku melihat Suamiku di wajah suamimu dan itu membuat rasa rinduku terobati. Bukan berarti aku mencintainya, Camilla." Tatapan mata Allora saat mengatakan itu cukup tegas dan berhasil meyakinkan Camilla saat itu.Paling tidak, wanita bermarga Shawn itu dapat mengembuskan napas lega. Dia pun tertawa, "Oh, aku pikir ... Maaf, aku takut kamu akan menga-, ... Maksudku, aku cemburu,""Aku bisa merasakan kalau Max kecewa karena kami akan memiliki anak perempuan. Aku juga tidak dapat menyembunyikan rasa keingintahuanku tentang jenis kelamin anak yang kamu kandung. Mengingat suamiku bertanggung jawab juga atasmu jadi pasti sedikit banyak dia akan sangat bangga dan senang kalau anakmu itu laki-laki," kata Camilla berterus terang.Wanita itu kembali mengusap perutnya lalu kemudian dia kembali berbicara dengan lirih, "Max memintaku untuk menggugurkan kandunganku, tapi aku memilih untuk mempertahankannya,"Ada sebersit rasa kasihan dalam tatapan Allora kepada Camilla. Allora perlahan menyentuh perutnya dan mengusapnya perlahan. "Aku rasa anakku ini seorang anak laki-laki,"Kata-kata Allora membuat Camilla sedikit terperanjat. "Apa kamu sudah tau?"Belum sempat Allora menjawab, ponselnya berdering. Dia memamerkan nama yang tertera di layar ponselnya kepada Camilla. "Halo, Max,"Camilla tercekat. Wanita itu berusaha mendengarkan percakapan antara suaminya dengan adik iparnya. Namun sayang, Allora berdiri sedikit menjauh darinya."Max mengajakku bertemu di rumah sakit hari ini. Mungkin untuk memastikan berapa usia kandunganku dan apa jenis kelaminnya," kata Allora mendekat setelah selesai bercakap-cakap dengan suami kakak iparnya tadi. "Aku pergi dulu, Milla. Senang mengenalmu,"Sesaat Camilla hanya bisa memandangi punggung Allora menjauh. Pikirannya berkecamuk dan hatinya seakan teriris sebilah belati. Sakit, itu yang dia rasakan.***Tak pernah ada yang tahu apa isi hati seseorang. Begitu pula dengan Camilla, wanita itu sama sekali tidak bisa mengetahui ataupun menebak apa isi hati suaminya. Bagi Camilla, Max adalah pusat kehidupannya. "D-, Darling, ... A-, maksudku, ... Hmmm ...,""Apa yang ingin kamu coba katakan, Milla?" tanya Max tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah dokumen yang tengah asyik dia baca. Dengan langkah ragu, Camilla mendekati suaminya dan memijat pundak lebar Max. "Hmmm, Darling, kemarin kenapa kamu tidak meneleponku dulu?"Max mengembuskan napas panjang lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa berlengan itu. "Oh, Allora? Aku hanya ingin memastikan kalau dia dan bayi yang dikandungnya sehat,""Lalu?" Camilla memberanikan diri untuk bertanya kembali. "Tidak ada lalu, Milla Sayang," jawab Max. Tak lama, dia tersenyum, wajahnya tampannya tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan. "Anak yang dikandung Allora anak laki-laki. Fiuuh, hebat sekali, bukan?"Deg!Jantung Camilla seakan berhenti,
"Tuan Shawn, maafkan kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi pada akhirnya, tetap Sang Penciptalah yang berkehendak," kata seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasi. Seorang pria dengan rambut yang hampir sepenuhnya memutih segera berdiri berhadapan dengan dokter tersebut. "Bagaimana dengan putri dan cucu saya?""Putri Anda selamat, tapi tidak dengan cucu Anda. Kami kehilangan bayi kecil itu," jawab sang dokter menundukkan kepalanya. Pria yang disapa Tuan Shawn itu, mengembuskan napas dan memijat pelipisnya perlahan. Tampak sekali kesedihan mendalam di wajahnya. "Boleh saya bertemu dengan putri saya, Dokter?" tanya Tuan Shawn cepat. Dokter itu mengangguk dan mempersilakan Tuan Shawn bertemu dengan putri kesayangannya. "Mari saya antar,"Di dalam ruangan operasi itu, tampaklah seorang wanita cantik dengan wajah pucat pasi. Wanita itu tersenyum saat melihat Tuan Shawn masuk ke dalam. "Ayah. Aku tidak tahu kalau Ayah akan datang," kata wanita itu sambil ber
"Apa! Kamu gila, Max! Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena keguguran dan di mana kamu? Bersenang-senang dengan gadis itu! Gila!" Amarah Camilla sudah tidak dapat dibendung lagi. Semua rasa kecewa, kesal, dan marah yang sudah dia pendam selama hampir satu minggu ini dia luapkan. "Aku sudah tidak tahu bagaimana menghadapimu, Max,"Suara wanita itu kini bergetar. Air matanya sudah tak dapat dia tahan lagi. "Kupikir kamu menyendiri dan berkabung. Tapi nyatanya, kamu malah ... Entahlah, Max,"Hening. Ruangan besar yang didominasi dengan warna putih itu hanya dipenuhi suara sesenggukan Camilla dan tarikan napas Max. Tak ada keinginan Max untuk menghampiri istrinya tersebut atau bahkan mendekapnya sama seperti dia mendekap erat Allora tadi. "Kamu mau tahu apa yang kurasakan saat ini, Milla?" tanya Max. Pria itu akhirnya menghampiri Camilla dan menatap kedua manik istrinya dengan dingin. Camilla memberanikan diri membalas tatapan mata itu dan seketika itu juga dia tahu, tidak ada l
Sementara itu, di kediaman Max Sillas. Allora baru saja terbangun dari tidurnya. Dia menatap Max yang tertidur pulas di sampingnya. "Sku tidak bermaksud untuk memperkeruh hubunganmu dengan, Camilla, Max. Sungguh, aku merasa bersalah,"Gumaman Allora itu ternyata membangunkan Max dari tidurnya. Pria itu tersenyum dan mengecup kening Allora dengan sayang. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Sayang?""Kita sedang menjalani cinta yang salah, Max. Terus terang saja, aku merasa bersalah pada istrimu," kata Allora dengan wajah tertunduk. Max menyandarkan kepala adik iparnya itu di pundaknya. "Tidak ada yang perlu disesali. Itu sudah keputusan Camilla sendiri. Aku pun kesal padanya! Lagi pula saat ini, aku sudah memilihmu. Jadi, lupakanlah dia!""Jadi?" tanya Allora untuk meyakinkan Max. Gadis yang usia kandungannya hampir memasuki usia tujuh bulan itu memang berharap suatu hari nanti, dia akan bisa hidup mewah tanpa kekurangan suatu apa pun seperti sekarang. Namun, dia ingin memastikan apakah
Di lain tempat, seorang wanita dengan rambut berekor kuda, serta kacamata bertengger di hidungnya nampak tenggelam di depan layar laptopnya. Wanita itu ditemani oleh seorang pria berbadan tegap dan duduk di sampingnya dengan wajah kaku. "Nyonya, apa tidak berbahaya duduk di depan cafe seperti ini?"Wanita itu tersenyum. "Mana mungkin bahaya. Ini kota kecil, Jack. Justru aku ingin menarik perhatian sehingga orang mendatangiku dan aku bisa mendapatkan informasi tentang Miller Sillas ataupun Dominic Cortez,""Jika Nyonya meminta bantuan saya, saya bersumpah akan menemukan kedua orang itu dan membawa mereka kepada Nyonya! Tapi, kenapa Nyonya ingin mencarinya sendiri?" tanya pria berbadan tegap dan besar itu. Lagi-lagi wanita itu hanya mengulas senyum. "Untuk apa? Ini masalahku bukan masalahmu atau masalah ayahku dan mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus menyelesaikan masalahku sendiri,""Menurut tuan Shawan, tugas ini berbahaya, Nyonya. Maka dari itu, saya diminta untuk mengawal ke
"T-tenang dulu, Tuan Sillas! Aku Camilla Shawn, istri saudara kembarmu, Max Sillas," kata Camilla dengan takut-takut. Bagaimana tidak takut kalau seorang pria nyaris saja mendaratkan tinjunya di wajahmu? Itulah yang dialami Camilla tadi. Kening Miller berkerut-kerut. "Max? Kamu istri Max? Lalu, di mana istriku?"Perlahan-lahan, Camilla mendekati Miller lagi. Wajah bingung Miller mengingatkan wanita itu pada suaminya. Ya, mereka serupa saat kebingungan. "Istrimu aman di rumah kami, Tuan Sillas," jawab Camills. Sepertinya Miller semakin bingung. "Kenapa istriku bisa ada di rumahmu dan kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"Camilla menyangsikan kalau Miller dapat mencerna segala sesuatu yang akan dia ceritakan dengan kondisinya yang masih seperti ini. "Kamu harus pulih dulu, Tuan Sillas. Setelah itu, akan kuceritakan segalanya," ucap Camilla dengan sabar. Miller tampak tak puas. Dia memberengut kesal dan alis matanya masih berkerut-kerut. Tak lama, dokter pun datang. "Tida
Tak dapat dielakkan lagi, Miller sangat bingung sekaligus marah mendengar kabar itu. "Babymoon! Astaga! Aku suaminya!"Segala sumpah serapah, caci maki, dan harapan yang terlewatkan keluar dari mulut pria tampan itu. "Brengsek, Max itu! Allora ... Kata-kata apa yang pantas kuucapkan padanya! Dia ibu dari anakku tapi mengapa bisa setega itu kepadaku?"Camilla dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Miller. Ya, mereka kini berada di perahu yang sama yang sedang terombang-ambing entah ke mana. "Miller, maafkan suamiku. Aku tidak tau bagaimana harus menghiburmu. Sekali lagi, aku minta maaf," ucap Camilla lirih. Miller memandang wanita itu dan seakan paham apa yang dirasakan oleh Camilla, dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus minta maaf kepadaku? Tunggu! Inikah sesuatu yang ingin kamu ceritakan padaku, Milla?"Camilla mengangguk lemah. "Ya,""Wow! Selama aku tidak ada, banyak sekali yang terjadi, ya. Padahal aku tidak sedang pergi berlibur! Kalau tau keadaannya seperti ini, leb
"Aaarrgghh! Apa yang sesungguhnya terjadi! Kenapa semua jadi seperti ini, Milla!" Miller mengacak-acak rambut belakangnya dan bertanya dengan nada tinggi. Tak sampai satu menit, energinya tiba-tiba menguap, dan dia terhenyak di kursi. Kedua tangan pria itu dia pakai untuk menutupi wajahnya. "Maaf, Milla. Aku tak bermaksud marah padamu. Aku hanya, ... Entahlah,"Camilla tersenyum. Dia paham apa yang dirasakan oleh Miller saat ini karena dia sudah lebih dulu merasakannya. "Tidak masalah. Aku tau rasa itu,""Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanya Miller. Wajahnya terlihat putus asa, lebih putus asa dari sewaktu dia diculik oleh Dominic Cortez. "Bicara. Saat ini, hanya itu yang bisa kita lakukan, walaupun kemungkinannya kecil, tapi, paling tidak, kita sudah berusaha," jawab Camilla. Kedua orang itu saling berpandangan dalam diam. Masing-masing memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Namun, hati dan otak mereka justru lebih berisik