Share

Bab 2. Kisah Allora

Sakit hati Camilla tak sampai di situ. Semenjak Max mengetahui jenis kelamin anak mereka, sikap Max pun berubah menjadi dingin dan berbicara kepada Camilla seperlunya saja.

Hal itu tentu saja tak lepas dari kehadiran Allora Twig.

"Hai, Allora. Apa kamu ada waktu menemaniku sore ini?" tanya Camilla suatu sore.

Allora tertegun sesaat, lalu kemudian dia kembali menguasai dirinya sendiri. "Dengan senang hati,"

Tak lama, meja makan kecil berbentuk lingkaran itu sudah dipenuhi dengan sepoci teh dan dua cangkir kecil, serta berbagai macam kudapan manis.

"Silakan," kata Camilla mempersilakan Allora untuk mengambil secangkir teh.

Gadis yang tengah hamil muda itu mengangguk kecil. Dia mengambil cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan. "Terima kasih. Bagaimana kabarmu, Nyonya? Kita belum pernah berbicara berdua seperti ini sebelumnya,"

"Milla. Panggil saja Milla," jawab Camilla sambil tersenyum manis. "Maka dari itu, kita harus sering-sering mengangkrabkan diri seperti ini. Ya, kan?"

Senyum terukir di wajah Allora. "Kalau begitu, kamu bisa memanggilku Allora, tanpa memakai nyonya. Hehehe,"

"Hahaha, baiklah. Senang berkenalan denganmu, Allora," kata Camilla. Senyum tulusnya masih mengembang di wajah cantiknya. "Bolehkah aku bertanya tentang kehamilanmu? Sudah berapa bulan usia kandunganmu itu?"

Camilla tak dapat menahan diri saat melihat bentuk perut Allora yang berbeda dengannya. "Apa kamu sudah mengetahui apa jenis kelamin anakmu?"

Helaan napas lemah keluar dari bibir mungil Allora. Calon ibu muda itu mengalihkan pandangannya ke depan. Tatapannya tiba-tiba kosong, lalu, dia mengembuskan napas panjang kembali. "Aku baru mengetahui kalau aku sedang mengandung dari Max,"

Allora pun memulai ceritanya dengan suara getir karena menahan sakit.

Beberapa malam sebelumnya,seorang pria tampan tampak asik berjalan dengan mulutnya yang sibuk menyenandungkan sebuah irama lagu. Senyum sesekali terlihat jelas di wajah pria itu. Seolah melupakan sesuatu, tiba-tiba saja langkahnya terhenti dan dia mengeluarkan sebuah ponsel model lama dari saku celana jinsnya. Dengan cepat, jari-jarinya menekan tombol yang tertera di ponselnya.

"Hai, Sayang, apa aku membangunkanmu?" tanya pria itu tak lama kemudian. Wajah tampannya bersinar bahagia di dalam kegelapan malam hari itu.

Terdengar suara seorang wanita dari seberang. ("Hai, Sayang. Tidak, aku belum tidur. Kamu di mana? Tumben sekali jam segini belum pulang? Apa bosmu memperkerjakanmu terlalu berat?")

Lagi-lagi pria itu mengukir senyum manisnya. "Tenang saja, Sayang. Aku tidak akan mati karena bekerja. Anyway, aku punya kejutan untukmu. Ingatkah kamu saat kita ke rumah sakit karena kamu terus mengeluh mual dan tidak enak untuk makan?"

"Tentu saja itu ada penyebabnya. Ah, aku tidak sabar untuk menemuimu. Tunggulah aku, Sayang, sebentar lagi aku sampai di rumah, hehehe." Pria itu mengeluarkan sebuah map bening dari tasnya dan tersenyum saat dia membaca tulisan yang tertera di lembar hasil pemeriksaan itu.

Ucapan dari pria tersebut membuat si wanita penasaran. Dia mencebik dan sedikit melambakan suaranya. ("Ayolah, Miller Sayang, beritahu aku sekarang! Kenapa kamu membuatku penasaran? Bisakah kamu memberitahuku sekarang juga bagaimana hasilnya? Apakah aku baik-baik saja ataukah aku sakit parah dan akan meninggalkanmu lebih dulu?")

Suara tawa bariton terdengar di ponsel wanita itu. Mau tidak mau, si wanita tersenyum membayangkan wajah pria yang dicintainya itu mengembang bahagia.

"Hahaha! Allora ... Allora. Tidak akan ada yang mati, Sayang. Malam ini, aku sangat bersyukur karena kamu melengkapi hidupku dan mengubah hidupku menjadi lebih baik. Aku pasti akan pulang, tunggulah aku dan bersabarlah sedikit lagi," kata pria itu lagi.

Namun, belum saja dia mengakhiri percakapan mesranya dengan Allora, tiba-tiba saja sesuatu yang sangat keras dan menyakitkan diarahkan ke tengkuk lehernya. Satu pukulan itu membuatnya jatuh tersungkur tanpa suara, ponselnya ikut terpelanting cukup jauh ke depannya.

Allora yang mendengar sesuatu yang buruk menimpa Miller pun, berteriak histeris. ("Hallo! Miller! Kamu baik-baik saja? Apa kamu terjatuh? Hallo, Sayang, jawab aku! Kumohon!")

Keheningan menggelayuti ruangan kecil nan manis itu. Camilla pun menahan napasnya sesaat. Getir sekali nasib Allora, begitu yang ada di pikirannya.

"Setelah itu, dia menghilang," kata Allora mengakhiri cerita.

Camilla menelan saliva kasar, perlahan berusaha mengumpat kembali oksigen yang sempat terhenti selama sepersekian detik. Wanita itu membayangkan andaikan dirinya berada di posisi Allora malam itu. Tanpa dia sadari, tangannya terulur dan menggenggam tangan adik iparnya tersebut. "Kamu kuat sekali, Allora,"

"Harus, kan? Saat aku pertama kali datang ke rumah ini dan bertemu denganmu, aku iri sekali kepadamu. Sesaat aku menginginkan hidupmu di hidupku," kata Allora, dengan lembut dia menyingkirkan tangan Camilla dari tangannya.

Camilla pun tersentak, tetapi cepat-cepat dia menguasai diri. "Maafkan aku. Aku hanya berusaha untuk menjadi kakak bagimu atau paling tidak menjadi temanmu,"

"Huh! Apa kamu bisa? Jujur saja, setiap kali aku melihat wajah suamimu, aku melihat suamiku juga di wajah itu, dan rasa rinduku terobati. Apa kamu masih mau mengganggapku teman?" tanya Allora sambil menyembunyikan tawa keringnya dalam dengusan.

Camilla tertegun. Jantungnya berdetak dan bertalu-talu dengan cepat. "K-, kenapa seperti itu?"

Senyum tanpa arti mengukir wajah Allora. Gadis muda itu menundukkan kepalanya sambil lagi-lagi mendengus. "Huh! Mereka kembar, kan? Apalagi Max sudah bersumpah untuk menjadi penanggung jawabku sampai Miller ditemukan,"

"Aku dapat merasakan kalau suamimu lebih memperhatikan aku dibandingkan kamu. Dia bercerita kepadaku kalau dia kecewa karena kamu akan melahirkan seorang anak perempuan dan kau katakan saja kepadamu di sini kalau dia mengharapkan anak laki-laki dariku," kata Allora lagi.

Camilla sungguh tidak dapat mengartikan senyum dan tatapan mata yang terpancar dari wajah Allora. Dia berpikir bahwa adik iparnya itu adalah seorang wanita yang polos dan lugu, tetapi ternyata, dia salah menilai Allora.

"Bagaimana bisa dia mengharapkan seorang anak laki-laki darimu? Sedangkan anak yang kamu kandung itu adalah anakmu dengan suamimu, kan?" tanya Camilla tanpa bisa menahan kesal.

"Aku tidak mengatakan kalau aku menyukai suamimu. Aku hanya mengatakan aku melihat Suamiku di wajah suamimu dan itu membuat rasa rinduku terobati. Bukan berarti aku mencintainya, Camilla." Tatapan mata Allora saat mengatakan itu cukup tegas dan berhasil meyakinkan Camilla saat itu.

Paling tidak, wanita bermarga Shawn itu dapat mengembuskan napas lega. Dia pun tertawa, "Oh, aku pikir ... Maaf, aku takut kamu akan menga-, ... Maksudku, aku cemburu,"

"Aku bisa merasakan kalau Max kecewa karena kami akan memiliki anak perempuan. Aku juga tidak dapat menyembunyikan rasa keingintahuanku tentang jenis kelamin anak yang kamu kandung. Mengingat suamiku bertanggung jawab juga atasmu jadi pasti sedikit banyak dia akan sangat bangga dan senang kalau anakmu itu laki-laki," kata Camilla berterus terang.

Wanita itu kembali mengusap perutnya lalu kemudian dia kembali berbicara dengan lirih, "Max memintaku untuk menggugurkan kandunganku, tapi aku memilih untuk mempertahankannya,"

Ada sebersit rasa kasihan dalam tatapan Allora kepada Camilla. Allora perlahan menyentuh perutnya dan mengusapnya perlahan. "Aku rasa anakku ini seorang anak laki-laki,"

Kata-kata Allora membuat Camilla sedikit terperanjat. "Apa kamu sudah tau?"

Belum sempat Allora menjawab, ponselnya berdering. Dia memamerkan nama yang tertera di layar ponselnya kepada Camilla. "Halo, Max,"

Camilla tercekat. Wanita itu berusaha mendengarkan percakapan antara suaminya dengan adik iparnya. Namun sayang, Allora berdiri sedikit menjauh darinya.

"Max mengajakku bertemu di rumah sakit hari ini. Mungkin untuk memastikan berapa usia kandunganku dan apa jenis kelaminnya," kata Allora mendekat setelah selesai bercakap-cakap dengan suami kakak iparnya tadi. "Aku pergi dulu, Milla. Senang mengenalmu,"

Sesaat Camilla hanya bisa memandangi punggung Allora menjauh. Pikirannya berkecamuk dan hatinya seakan teriris sebilah belati. Sakit, itu yang dia rasakan.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status