"Lima permintaan, gimana?"
Chika terdiam seraya memandang salah satu tangan Dirga yang terulur. Lantas pandangannya terangkat, menatap tepat ke arah obsidian Dirga dengan tatapan menyalang."Lo cuma mau manfaatin gue. Cuma karena gue mau lo tutup mulut, lo ngelunjak!!" balas Chika dengan kekesalannya.Dirga mengerjapkan maniknya lantaran terkejut dengan ucapan Chika yang terdengar serius. Dia sempat tak mampu berbicara, kehabisan seluruh kalimatnya. Mencoba untuk berpikir ulang, laki-laki itu akhirnya merubah permintaannya itu."Kalau gitu tiga permintaan," jedanya, dia mengambil satu langkah mendekat sebelum kembali bersuara. "Tiga itu udah sedikit banget, apalagi buat rahasia besar lo," kata Dirga dengan suara yang lirih.Mendengar perubahan itu kembali membuat Chika terdiam sembari berpikir. Dengan tatapan tajamnya yang tak terputus dari Dirga, akhirnya menyetujui permintaan itu. Dia juga akui, jika memang rahasianya itu sangatlah besar, dan memang saat ini ketenangannya telah terusik lantaran adanya seseorang yang mengetahui rahasia itu.Tanpa mengucapkan sepatah kata, Chika langsung membawa dirinya masuk ke dalam rumahnya. Dia membanting diri di atas sofa dengan wajah kusut. Helaan nafasnya terbuang begitu saja, begitu sulit meluapkan kemarahannya. Bahkan, pikirannya terasa sulit bekerja untuk menyingkirkan tetangganya sendiri.Dari sebelah kiri, Chika melihat sang ibu yang keluar dengan membawa beberapa kantong plastik. Wanita itu menghampiri Chika yang masih ada di ruang tamu. Lantas menyerahkan satu kantong tersebut ke arah putrinya."Kasih ke ibunya Dirga," kata sang ibu.Pupilnya melebar lantaran terkejut dengan perintah ibunya barusan. Sang ibu menyuruhnya untuk memberikan bingkisan pada tetangga barunya itu, yang mana baru beberapa menit lalu Chika berhadapan dengan Dirga, dan dibuat kesal oleh laki-laki itu."Kenapa aku? Mama kan bisa ke sana sebentar," kata Chika yang mencoba untuk mengindar."Mama juga mau ngasih bingkisan ke tetangga lainnya," balas ibunya seraya menunjukkan kantong lainnya. "Cuma sebentar, nggak nyampe lima menit juga selesai," imbuh sang ibu.Pun dengan desahan berat, Chika menerima dengan terpaksa perintah ibunya itu. Dia kembali melangkah keluar guna mengantarkan bingkisan yang berasal dari ibunya ini. Namun, langkahnya berhenti di teras rumah, pandangannya terarah pada rumah tetangganya itu. Dengan wajah tertekuk, Chika kembali melangkah."Baik banget, sih, nyokap gue! Segala ngasih bingkisan ke tetangga!" racaunya.Sampai akhirnya Chika berdiri tepat di depan rumah Dirga, gadis itu segera mengetuk pintu rumah, menunggu hingga pemiliknya keluar. Hanya saja, Chika membuang muka dengan manik yang merotasi jengah."Apa ini? Sogokan?"Dirga menerima bingkisan yang diberikan Chika. Senyumannya tak luntur dengan mudah kala melihat gadis di depannya itu terlihat kesal. Ya, Dirga tahu apa penyebabnya. Namun, Chika langsung pergi begitu saja, membuat Dirga merasa jika hal ini semakin lucu.Hal ini tidak berlangsung sebentar, bahkan sampai hari berganti Dirga selalu memasang raut wajah yang sama tiap kali bertemu dengan Chika. Dan Chika juga selalu memasang air muka yang sama. Begitu menyenangkan jika ia rasakan.Seperti saat ini, ketika Dirga tengah mencuci motornya, tetangganya itu keluar dengan membawa ember berisi cucian yang akan dijemur. Keduanya sempat bertukar pandang, sampai membuat Chika hampir membatalkan niatannya untuk menjemur pakaian."Kalau lo pasang muka begitu, ngebuat gue semakin inget kejadian kemarin," kata Dirga yang sengaja menggoda Chika, dengan sedikit tawa.Dan Chika berusaha untuk mengabaikannya, ia tak ingin sesuatu yang lebih buruk malah terjadi. Biarlah Chika akan menahannya sementara waktu, semuanya akan berlalu. Dirga juga pasti akan bosan melakukannya. Akan tetapi.."CHIKA..!!"Gadis itu terkejut saat sang ibu memanggilnya dengan nada tinggi. Dia segera masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai. Namun, sampai di ruang tamu Chika mematung ketika melihat ibunya memegang surat dari sang ayah."Kenapa ada surat ini?! Siapa yang ngirim?!"Chika tak menjawab, dia menurunkan pandangannya lantaran sulit untuk memberikan jawaban pada sang ibu."Atau kamu yang datang ke sana?!" ibunya berdecak kesal dengan surat yang semakin lecek di tangannya. "Berani banget kamu datang ke orang itu. Apa yang bisa diharapin? Dia jahat sama kita, tapi kamu malah nyimpen surat dari dia!""Isinya buat aku, kok. Bukan buat Mama," balas Chika.Terdengar suara sang ibu mendengus kasar. Seakan apa yang dikatakan putrinya itu hanya omong kosong. Bukan. Ibunya merasa jika isi dari surat itu hanya bualan untuk menarik simpati Chika."Itu cara dia, supaya kamu percaya apa yang dia omongin. Dia cuma mau kita peduli. Nyatanya, nggak ada keluarga besarnya dia yang dateng jenguk dia," tutur sang ibu dengan nada yang terdengar penuh kebencian.Tak bisa menahan lagi, Chika membalas tatapan sang ibu dengan mata yang terasa panas. "Yang benci Papa itu Mama, bukan aku!" katanya penuh penegasan sebelum melangkah keluar rumah.Sedangkan di luar rumah, Dirga tak berani menggerakkan kepalanya ketika ekor matanya melihat Chika pergi. Laki-laki itu tak akan berbohong jika mendengar suara kegaduhan antara ibu dan anak tersebut. Bahkan, Dirga sampai tak bisa melanjutkan kegiatannya.Tak lama setelah Chika pergi, ibu dari gadis itu juga pergi meninggalkan rumahnya. Pandangan Dirga teralihkan pada pelataran rumah Chika. Dia terdiam sejenak, merasa menyesal karena sempat menggoda Chika sejak kemarin.Pun beberapa menit merenung kesalahannya, Dirga berdecak kecil seraya keluar mencari Chika. Dirinya menyingkirkan ember cucian Chika sebelum meninggalkan rumah. Dengan keadaan langit yang mendung, Dirga berkeliling sendirian mencari keberadaan gadis itu.Entah harus belok ke mana, Dirga juga tidak tahu. Pasalnya, dia ini baru seminggu berada di daerah ini. Dan ia harus mencari Chika di lokasi yang sama sekali belum ia kenali."Kemana perginya?" tanyanya sendiri.Dia menggaruk kepala bagian belakang, dengan wajah yang penuh kebingungan, jelas mengatakan dia masih belum menemukan Chika. Namun, Dirga tetap memilih untuk mencari, bahkan sampai hujan mulai turun sekalipun. Kedua tungkainya terus memperjauh jaraknya dari rumah. Ia menggunakan kedua maniknya untuk memindai seluruh tempat yang dilewati.Belasan menit dan seluruh tempat telah berlalu, Dirga mulai kelelahan berjalan jauh dan tak mendapati gadis itu. Akhirnya dia menghentikan langkahnya, membuang nafas panjang ketika melihat presensi seorang gadis yang duduk sendirian di lapangan basket.Kedua tungkainya dia arahkan ke tempat itu, mendekati Chika sampai akhirnya berdiri tepat di belakang punggungnya. Segera Dirga mengulurkan tangannya yang membawa payung pada Chika.Chika yang menyadari sesuatu langsung menaikkan pandangannya, menjumpai payung berwarna hitam. Gadis itu menoleh ke belakangnya, melihat Dirga yang sudah setengah basah akibat mengarahkan payung untuknya. Keduanya saling menatap, tak ada yang memulai obrolan sama sekali."Ayo pulang. Tangan gue pegel," kata Dirga.Chika masih diam di tempatnya, merasakan sedikitnya buliran air yang mengenai mata. Maniknya bergerak pada tangan Dirga lainnya yang terulur untuknya. Lantas salah satu tangan gadis itu bergerak menerima uluran tangan Dirga. Namun, saat dia telah merasakan kekuatan laki-laki itu, Chika justru menariknya. Bukan hanya payung, tetapi Dirga juga jatuh tepat di sebelah gadis itu."Akh!" rintih Dirga.Sikunya adalah yang pertama mengenai tanah, pun payung tersebut juga jatuh dalam keadaan terbalik. Dan secara tiba-tiba, Chika memukul salah satu lengan Dirga."Ngapain ke sini? Mau ngeledek gue?!" tanya Chika dengan nada suara kesalnya."Ck," Dirga berdecak ringan, seolah tak setuju dengan perkataan tersebut. "Seburuk itu pikiran lo," dia menjeda kalimatnya, mengusap wajahnya yang penuh dengan air. "Gue ke sini mau nolongin lo," pungkasnya.Hanya hening yang ada diantara keduanya, hanya suara derasnya hujan yang merangsak indera pendengarannya. Chika menarik nafasnya panjang saat terlarut sua
Seorang wanita baru saja keluar dari mobilnya, memberikan kunci mobil pada petugas valet sebelum memasuki pintu utama hotel. Kedua tungkai bersepatu tinggi berwarna merah marun itu melangkah pada sebuah private room yang menjadi tempat untuknya bertemu dengan seseorang."Selamat malam,"Guna menyambut kedatangan tamunya, seorang wanita muda yang menyamar menjadi pemilik barang antik itu berdiri memberikan sapaan lebih dulu sebelum memulai obrolan mereka. Sedikit berbasa-basi memang diperlukan untuk saat ini, menghilangkan sedikit rasa canggung yang barangkali hadir."Bagaimana kalau kita langsung ke intinya saja?" tanya wanita yang akan menjadi pembeli itu.Sebuah kardus berbentuk balok itu dia angkat dari bawah meja, menunjukkan secara langsung barang yang menjadi inti dari pertemuan ini. Dengan pelan sebuah guci berwarna putih keluar dari kardus tersebut, tak lupa masing-masing tangan dari pemilik dan pembeli itu mengenakan sarung tangan, menghindari sidik jari yang akan menempel.T
Terdengar suara ujung pena yang bergesekan dengan permukaan kertas, membuat goresan tak beraturan. Semua itu karena seorang gadis yang tak mampu meletakkan fokusnya saat ini. Pandangannya kabur dan pikirannya berada di tempat lain. Helaan nafasnya terbuang cukup panjang, dia kembali menegakkan tubuh setelahnya."Ya ampun! Ngapain sih, gue?!" kejutnya saat melihat buku catatannya yang dia coret-coret.Dia hanya menatap meja belajarnya beberapa detik sebelum sebuah ide melintas di kepalanya. Dengan segera gadis itu mengganti pakaiannya dan pergi membawa tas selempangnya. "Ma, keluar dulu. Mau beli perlengkapan sekolah," ucapnya tanpa menemui ibunya.Menggunakan transportasi umum, gadis itu menutup kedua telinganya dengan musik sebagai hiburannya selama dalam perjalanan. Melihat keluar jendela, membuat Chika merasa sedikit tenang. Pasalnya, ini pertama kalinya dia lakukan sendirian saat akan pergi menjenguk ayahnya. Iya, dia akan datang ke lapas.Memang sengaja menggunakan alasan lain, l
Pagi yang cerah menjadi awal dari pagi seluruh siswa dan siswi yang akan memulai hari mereka di sekolah. Namun, tak seberapa penting cerahnya hari ini, Dirga keluar dari rumahnya dengan tatapan agak sayu saat melihat Chika yang telah pergi meninggalkan rumah."Lagi," ucap Dirga.Tak lama, laki-laki itu juga keluar dari rumahnya. Entah kenapa, setelah hari itu Chika selalu menjauh darinya. Bahkan, saat pergi tadi, gadis itu tak melihat ke arahnya sedikitpun.Dua puluh menit berlalu, Dirga telah tiba di sekolahnya. Dia berjalan usai memarkirkan motor, dengan melihat tiap papan kelas, laki-laki itu mencari kelasnya. Hanya saja, kedua tungkainya terhenti saat dia bertemu dengan Chika di depan kelas. Dan tetap, Chika memalingkan wajahnya dengan melangkah masuk.Bukan hanya Dirga, tetapi Chika juga terkejut dengan keberadaan Dirga di sekolahnya. "Kok dia di sini?" tanyanya dalam hati.Dia bahkan tak berani menatap keluar kelas, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya dia berbicara dengan t
Dengan langkah yang begitu tegas, Dimas berjalan menghampiri seseorang di seberang jalan. Tanpa ragu dia melayangkan sebuah pukulan pada presensi tersebut. Dia juga menarik kuat kerah pakaiannya, serta dengan tatapan yang menyalang."Apa lagi mau lo!? Belom cukup manfaatin Chika?!"Dirga yang tengah berada di depan minimarket itu cukup terkejut dengan pukulan yang ia dapatkan barusan. Laki-laki itu sama sekali tak bereaksi saat melihat siapa yang memukulnya. Iya, tentu saja Dirga mengenalnya. Bahkan, dirinya masih membiarkan Dimas menarik kerah bajunya."Perasaan suka gue, bukan gue yang minta. Itu dateng dengan sendirinya," jawab Dirga.Cengkeraman kerahnya semakin kuat, menandakan emosi Dimas yang semakin meluap. Keduanya juga saking melempar tatapan tajam, terlihat seperti akan memangsa satu sama lain. Hingga akhirnya Dimas melepas cengkeraman tangannya, menghempaskan tubuh Dirga."Apa yang gua lakuin ke dia, tujuan gue cuma bantu dia," Dirga menjeda kalimatnya, rahangnya menegas s
Chika mengerjap beberapa kali selepas mendengar pertanyaan itu. Guratan tipis di wajah Dimas seakan menjelaskan keseriusannya."Jelas gue mikirin perasaan lo. Gue juga yakin, kalau lo bisa ngehindar dari hukuman," kata gadis itu.Beberapa detik tak ada jawaban, Dimas menganggukkan kepalanya. "Iya, gue emang bisa menghindar," jawab Dimas sekenanya.Bisa dikatakan, jawaban Dimas barusan adalah jawaban sebagai pihak yang mengalah. Enggan untuk memulai perdebatan yang terasa sia-sia—untuk saat ini. Pun dengan senyuman singkatnya, Dimas menerima situasi yang dia dapatkan.* * *Kehidupan Chika saat ini terasa jauh lebih baik. Pasalnya, usai dia mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya, gadis itu kembali bersikap seperti sebelumnya. Bahkan, sekalipun berada di rumah, Chika tetaplah gadis yang ceria. Apalagi saat berada di sekolah, bertemu dengan Dirga bukanlah masalah lagi."Hai,"Itu adalah sapaannya pada kakak kelas sekaligus tetangganya untuk pertama kalinya disertai salah satu telapa
Sebuah buku catatan yang tertumpuk banyaknya buku pelajaran baru saja ditarik Chika. Peletakkannya di sana memang dia sengaja untuk menghindari sang ibu menyentuhnya. Kini ia berjalan ke meja belajarnya, membuka buku tersebut pada halaman yang telah dia beri batas. Nafasnya terbuang cukup panjang melihat profil seseorang."Kurang ajar apa nggak, ya? Dia yang paling tua," bimbangnya.Chika menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan tatapan ragu. Dia banyak mendesis ketika berusaha menggunakan otaknya. Pun dengan decakan kecil, Chika mengambil selembar kertas kosong untuk membuat skema awal.Tak peduli jika dia telah masuk tahun pelajaran, prioritas Chika terhadap balas dendamnya ini tetap berjalan. Lagipula, siapa yang bisa melihat orang tua yang tidak bersalah tapi dijebak dan dijerumuskan ke dalam penjara? Jika memang hukum lemah terhadap orang-orang kuat, maka Chika sendiri yang akan membuat orang-orang tersebut lemah.Keningnya mulai basah, lantaran dia menumpahkan seluruh fokusnya
Tunggu! Bagaimana Chika harus menafsirkan situasi saat ini? Atau mungkin indera pendengarannya terganggu?"Kencan?"Dirga menganggukkan kepalanya sebelum kembali bertanya. "Mau, nggak?"Sempat terbata, Chika justru mendorong tubuh Dirga. Dia juga tertawa canggung, seakan perkataan Dirga adalah lelucon belaka."Lo sendiri juga bilang tadi, seharusnya gue ngajak lo kalau mau dateng ke sini. Dan lo udah di sini," tutur Dirga."I-itu.."Chika sungguh gugup dan gagap saat ingin memberikan pembelaan. Bahkan, bisa dikatakan jika Chika tak bisa membela dirinya sendiri, lantaran dia mengakui apa yang dikatakan Dirga. Dia hanya bisa mengerjapkan maniknya, sesekali melirik ke arah Dirga yang masih menunggu jawabannya.Isi kepala gadis itu hanya ada dua jawaban yang harus dia pilih salah satunya. Namun, di sanalah letak masalahnya, Chika tak tahu harus memilih satu diantara keduanya."Itu berarti lo mau," kata Dirga yang langsung menarik pergelangan tangan Chika.Tanpa perlawanan, Chika juga hany