Happy Reading
***** Semua mata kini tertuju pada si gadis berjilbab. Wajah Kiran memucat seperti kekurangan darah. Dia tidak bisa lagi mengelak. Melihat sang sahabat dengan keadaan menyedihkan seperti itu, Fitriya bangkit dari tempat duduk, mendekati sahabatnya. "Ran, kenapa kamu melakukan kesalahan ini?" bisik Fitriya ketika berhasil memeluk sang sahabat. Kiran berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Tatapannya kini mengarah pada si bos. Sekuat tenaga, Kiran bersikap kuat dan tidak takut. "Saya cuma mau ke toilet. Apa pantas Bapak bertanya sekeras tadi?" Kiran langsung membuka pintu ruang meeting tanpa mendengar jawaban dari Amir. Amir menatap kepergian Kiran dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Mencoba menetralkan suasana dengan melanjutkan pembahasan sebelumnya. Suasana ruangan tersebut kembali tegang. Si bos bersikukuh untuk melanjutkan peraturan baru yang sudah dia utarakan sebelumnya. Walau banyak yang keberatan, nyatanya hal tersebut tidak membuat Amir mengubah keputusannya. Semua dilakukan untuk mendisiplinkan kinerja karyawan. Namun, sebagian besar bawahannya berpikir lain. Sampai meeting ditutup, Kiran tidak pernah kembali ke ruangan tersebut hingga menimbulkan kecurigaan yang makin besar pada pikiran Syaif. "Mir, apa perkataanmu tadi terlalu keras pada Kiran? Kenapa sampai meeting selesai dia belum terlihat batang hidungnya." Amir menoleh pada lawan bicaranya sambil membereskan beberapa kertas di depannya. "Menurutmu? Apa aku harus bersikap lunak pada karyawan yang jelas-jelas tidak mengindahkan perkataanku tadi? Memberikan senyum di saat dia pergi meninggalkan ruangan tanpa pamit. Begitu? Atau aku harus memberikannya penghargaan supaya dia lebih menghormatiku sebagai atasan? " "Ya nggak gitu juga." Syaif mulai menyadari jika dia sudah mengatakan hal yang memancing emosi si bos. "Aku cuma berpikir jika perkataanmu tadi mungkin sudah menyakiti hatinya. Jadi, dia memilih nggak kembali." "Sudahlah. Nggak perlu memikirkan hal-hal yang nggak penting. Biarkan saja dia berbuat begitu." Amir berdiri meninggalkan sahabatnya yang membuka mulut lebar-lebar karena perkataannya yang terlalu santai. "Mir, tunggu," ucap Syaif mencegah langkah sahabatnya. "Apalagi?" "Sudah sarapan belum? Mama bawain aku bekal dua kotak. Katanya yang satu suruh ngasih kamu." "Antar ke ruanganku, kita sarapan bareng. Sudah lama nggak makan masakannya mamamu." Amir melanjutkan langkahnya meninggalkan Syaif. "Dih. Dasar si bos. Maunya semua diurus bawahan sampai perihal sarapan saja, aku harus mengantarkannya," gerutu sang manajer HRD. Walau mengeluh, nyatanya lelaki itu tetap melaksanakan apa yang dikatakan Amir tadi. ***** Fitriya membuka pintu ruangannya, melihat Kiran sudah di depan komputer dengan map biru tebal. Tidak ada rasa penyesalan atau kesedihan serta ketakutan yang tampak di wajah seperti ketika dia berada di ruang meeting tadi. Fitriya menyipitkan mata. "Apa benar dia memiliki hubungan dengan Pak Amir dan menyembunyikannya dariku?" gumamnya dalam hati. "Eh, Fit. Sudah selesai meeting-nya?" tanya Kiran, "harusnya kalau mau masuk ke mana pun itu, ucapkan salam. Kalau enggak gitu, aku enggak tahu kamu sudah di ruangan ini lagi." "Iya ... iya. Aku salah." Fitriya kemudian mengucapkan salam sesuai permintaan sahabatnya. Dua gadis itu mulai larut dalam pekerjaan masing-masing hingga Kiran merasa haus. Dia memutuskan mengambil minuman di pantry umum perusahan. "Mau nitip enggak? Aku mau ambil air sekalian mau buat teh di pantry." "Nggak, deh," jawab Fitri sambil melirik arlojinya. "Bentar lagi sudah jam makan siang. Aku pengen minum es jeruk di kafe sebelah." "Hmm. Masih aja suka minuman dingin dan manis," sindir Kiran, "aku keluar dulu kalau gitu." Kiran berjalan menuju pantry, tetapi lagi-lagi perempuan itu bertemu dengan si bos yang sedang mengeluarkan perkataan dengan suara keras. Kiran langsung lari sampai tak sadar sudah menjatuhkan botol minumannya. "Dia kenapa?" tanya Amir pada seroang lelaki paruh baya yang membawa nampan dan mangkok. "Enggak tahu, Pak. Saya permisi jika enggak ada yang disampakan lagi." "Silakan. Mohon diingat apa yang saya sampaikan tadi. Jangan sampai terulang dan membuat tamu saya kecewa." Lelaki paruh baya itu mengangguk. Dia sadar sudah melakukan kesalahan fatal karena menumpahkan kuah soto panas pada tamu yang ada di ruangan Amir. Si bos melenggang pergi, tetapi pikirannya berputar-putar. Sosok Kiran jelas-jelas memenuhi ruang pikirnya. "Dasar gadis aneh. Nggak ada apa-apa lari kayak gitu. Memangnya aku hantu?" gumamnya sendirian. Kejadian tersebut berulang beberapa kali. Setiap Amir bertemu atau berpapasan dengan karyawan teladan pilihan Wijananto. Maka, gadis berjilbab itu dengan cepat akan menghindar. Terkadang sampai lari terbirit-birit. ***** Terhitung satu Minggu sudah, Kiran bekerja di kantor cabang di bawah kepemimpinan Amir. Selama itu pula, perempuan itu selalu mencoba menghindari bertatap muka secara langsung dengan si bos. Tak jarang, dia absen mengikuti briefing dari sang atasan. Saat ini, Kiran tengah mengecek sejauh mana produksi yang sudah dikerjakan untuk orderan tamu yang akan diekspor. Satu per satu, Kiran mendatangi penjahit serta bagian produksi lainnya yang berkaitan dengan kualitas produk. Terakhir, dia mengecek bagian pengemasan untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam produksi mereka. Kiran begitu asyik memberikan pengarahan dan sedikit nasihat pada para pekerja pengemasan hingga sebuah suara terdengar. "Selamat pagi, semua," ucap seorang lelaki yang sangat dikenal oleh Kiran karena suaranya yang menakutkan. Gadis itu menoleh pada sumber suara bertepatan dengan tatapan mata si bos yang mengarah padanya. Kiran grogi, bergerak cepat untuk meninggalkan ruangan tersebut. Namun, karena langkahnya begitu cepat, si gadis melewati jalur kabel aliran listrik yang digunakan untuk menyetrika. "Mbak Kiran, awas," peringat seseorang, tetapi perkataannya sia-sia. Kiran tersandung dan mengakibatkan dia jatuh tersungkur. "Awas," teriak Amir diikuti langkah kaki mendekati si gadis. Semua orang menjadi panik melihat gadis tersebut.Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa keras
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam