LOGIN"Benarkah?"
Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa lebih mudah mendengar apa yang akan Reyna katakan. "Tentu saja, aku pikir kamu akan cocok dengan ini, apalagi kamu punya fisik yang mendukung. Pasti akan ada banyak pelanggan berdatangan," lanjut Reyna yang kini diiringi dengan kerlingan pada Ziana. "Tunggu--" Gadis itu menelan ludah, cukup curiga dengan pekerjaan yang Reyna maksud. "Memang pekerjaan seperti apa?" Tepat saat itu mobil berhenti di depan sebuah hotel yang Ziana tahu terkenal dengan club malamnya. "Kamu bisa pilih, mau jadi LC (lady companion) atau kupu-kupu malam yang bayarannya jauh lebih besar?" Ziana menggeleng cepat. "Tidak. Jika pekerjaan seperti itu yang Kak Rey maksud, aku tidak mau!" tegas Ziana. Gadis itu memang miskin, namun jika harus menjual diri, jelas saja dia tidak mau.Ziana bangun lebih awal. Dia yang memasak pagi ini, spesial untuk Sandra yang hendak berangkat ke kampus. "Loh, Zi, kamu masih sakit? Kenapa dibawa jalan?" Sandra sudah rapi, dia menghampiri Ziana di dapur. "Kakiku sudah membaik. Cuma sakit kalo dibawa jalan lama, kalo sebentar gini enggak kerasa, kok. Aku bikinin bekel buat kamu." Ziana menyiapkan menu untuk sarapan juga bekal untuk Sandra bawa ke kampus. "Ya ampun, kamu effort banget bikin ini?" Sandra tersenyum dengan mata berbinar-binar mengintip isi kotak bekal berwarna pink. Meski sederhana, namun Sandra sangat terharu dan menghargainya. Soal rasa, Sandra yakin pasti enak. Dia tahu Ziana cukup pintar memasak. Saat di panti dulu, dia juga sering memasak untuk adik-adik panti. "Itu--" Sandra menunjuk kotak bekal lain berwarna abu-abu. "Apa untuk Ayah?"Ziana tersenyum tipis, lalu berbisik. "Apa kira-kira Pak Arhan mau membawanya?" Tepat sekali Arhan keluar dari kamarnya dan hendak berangkat. "San, Ayah berangkat dulu ya--
Dia sudah tahu kalau Arhan dan Ofi bertunangan. Pada akhirnya pastilah mereka akan menikah. "Ya, Nenek yang bilang." Sepertinya semua memang sudah ditetapkan. Kalau Wina yang bilang, itu berarti memang benar. Selain Sandra, Wina adalah orang yang paling Arhan jaga. "Udah yuk, kita jalan! Mumpung aku libur. Aku mau ke bisokop!" ajak Sandra heboh. Dia tidak ingin menyiakan malamnya untuk bersenang-senang. Besok hari libur, jadi Sandra bisa tidur sepuasnya. ***Selama Ziana mau tetap tinggal di rumah Sandra, setiap akhir pekan dia berjanji akan pulang untuk mengajak Ziana jalan-jalan. Jadi, mereka punya momen seminggu sekali untuk bertemu dan menghabiskan waktu seperti biasanya. Mereka hanya jalan berdua, Sandra mendorong kursi roda Ziana memasuki area mall. Keduanya punya selera nonton yang tidak jauh beda, film romance yang sedikit dibumbui dengan komedi. Kabar di internet tentang Ziana perlahan sudah mulai mereda. Tidak ada lagi yang membuatkan berita baru tentangnya, tapi ka
"Maaf--" Arhan langsung membalik badannya ketika tersadar tanpa sengaja melihat Ziana sebagai sosok seorang gadis. Gadis cantik yang tubuhnya begitu ramping dengan kulit mulus. Ziana menyilangkan tangan, menutupi dada tanpa bisa menyingkir. Dia menggigit bibirnya, merasakan dingin juga kakinya yang nyeri. Tangan Arhan meraih handuk dan menjatuhkannya tepat di atas Ziana. Membuatnya tertutup seperti anak kucing. "Pakai itu dulu," titah Arhan masih membelakangi Ziana. Ziana membenarkan handuk dengan melilitkannya ke dada. Setelahnya, baru Arhan mendekat dan membantunya. "Kenapa sampai jatuh?" Arhan berjongkok. "Terpeleset--" jawab Ziana memegang pergelangan kakinya. Arhan menyentuhnya sebentar, lalu mengambil shower dan memilih membersihkan tubuh Ziana yang masih berbusa, rambutnya juga belum selesai berkeramas. "Bersihkan dulu. Nanti kita obati di luar. " Ziana menurut, menahan rasa sakitnya. Dia menggosok rambut dan tubuhnya saat air mengucur ke arahnya. "Pak Arhan
Ziana menanggapi Sandra dengan begitu serius. "Tentu saja jalan-jalan dan shopping!" jawab Sandra antusias dengan kekehan geli. Sontak saja dia mendapat cubitan lagi. ***Kondisi Vela saat ini memperihatinkan. Dia dipulangkan ke pihak keluarganya, namun meski tahu putrinya mendapat penganiayaan dari sang suami, orang tua Vela tidak bisa bertindak. Ibu Vela hanya bisa duduk menahan tangis, melihat Vela terbaring tak sadarkan diri dengan luka-luka yang belum sepenuhnya pulih. "Aku tidak bisa melakukan apa pun. Ayah Vela terikat kerja sama bisnis dengan Bram. Jika kita melaporkan dia ke polisi, bisnis keluarga bisa runtuh dan terancam bangkrut." Ibu Vela meratap, dia bicara dengan wajah sendu tak berdaya. "Semua ini gara-gara gadis itu. Aku yakin sebenarnya memang ada perselingkuhan. Tapi Bram sengaja membuat berita palsu untuk menyudutkan Vela dan membuat namanya bersih." "Herman, apa kamu tahu siapa gadis yang sebelumnya ada di berita itu?" Ibu Vela bertanya pada adiknya yang se
Sebelum bicara, Darma bersikap begitu manis dengan mengambilkan potongan daging dan menaruhnya di piring Ofi. "Santai saja. Kita bicara sambil makan--" "Tapi aku tidak punya banyak waktu," sahut Ofi dengan angkuh. "Lebih baik Ayah tidak perlu basa-basi."Darma tersenyum kecut, menahan gereget pada putri kandungnya yang sekarang sok berkuasa. "Begini, sekarang kamu kan sudah bertunangan dengan Arhan. Bagaimana kalau kamu bantu Ayah bujuk dia agar mau bekerja sama untuk proyek--"Ofi berdeham keras memotong ucapan Darma. Lalu mengambil tisu dan mengelap bibirnya dengan anggun. Sudah Ofi duga, orang tuanya pasti memiliki tujuan. Ingin mengambil keuntungan dengan memanfaatkan hubungan Ofi dan Arhan. "Maaf, Ayah, sekali pun aku dan Pak Arhan bertunangan, tapi masalah bisnis Ayah sama sekali enggak ada hubungannya denganku--" Jawaban Ofi seketika membuat wajah Darma memerah. "Lagi pun kami baru bertunangan, belum resmi menikah. Jadi bagaimana bisa aku memintanya, kecuali--" Ofi bica
Yudis datang ke rumah sakit, mendapati tidak ada yang menjaga Ziana di ruang rawatnya. Dia memindai sekitar yang sepi. Tidak ada tanda-tanda akan ada orang yang datang. Lelaki itu pun menerobos masuk dan membangunkan Ziana. Siang itu, Ziana sedang tertidur sendirian. Sandra keluar untuk membeli makanan. Tanpa basa-basi, Yudis langsung mencengkeram rahang Ziana. Jelas saja Ziana yang tadi dalam kondisi tidak sadar, terbangun kaget. "Rupanya kau masih hidup--" Dia menyeringai, mengintimidasi. "Harusnya kamu mati saja, toh nyawa orang sepertimu sebenarnya sangat tidak berharga." Ziana tidak bisa bicara karena pipi yang ditekan sampai membuat rahangnya serasa akan remuk. "Tapi baiklah, karena rencana kemarin gagal. Aku akan melanjutkannya sekarang." Tangan Yudis beralih menyusuri leher Ziana lalu mencekiknya. "Le--pas!" Ziana berontak dengan menarik tangan Yudis, namun tenaganya kalah jauh. Sampai akhirnya Sandra datang. "Kak Yudis, apa yang sedang kamu lakukan!" sentaknya mengage







