LOGINZiana berbalik, dia menghadap Arhan dan menyembunyikan bagian belakang tubuhnya, dengan canggung.
"Ti--tidak, aku tidak terluka, Pak Arhan! Darah ini... mm, aku sedang datang bulan--" jawabnya setengah menggumam dan menunduk dalam. Arhan tidak bereaksi, dia kembali memasang wajah tak acuh kemudian melangkah ke arah pintu. "Kalau begitu cepat bersihkan dirimu." Ziana mengangguk, masih berdiri di tempat sampai lelaki itu benar-benar pergi dan tidak lagi terlihat. "Hah, memalukan!" rutuk Ziana sembari berjalan ke kamar mandi. Dia sangat malu, dia pikir Arhan pasti merasa jijik. *** Sejak tadi, Sandra terus mencari-cari sosok Ziana. Dia sangat menantikan kedatangan sahabatnya itu. Ziana berjanji akan datang, namun hingga acara hampir selesai, batang hidungnya tidak kunjung terlihat. Selepas lulus sekolah enam bulan lalu, mereka belum pernah bertemu lagi karena kesibukan masing-masing. Sandra dengan segala aktivitasnya menjadi mahasiswi baru, sedang Ziana pontang-panting di dunia kerja yang jarang mengambil libur. Ziana hanya gadis sebatang kara. Selepas dewasa, dia tidak lagi tinggal di panti asuhan, melainkan menyewa kamar kos yang tarifnya murah, demi menghemat pengeluaran. Bukan apa-apa, dia bekerja keras. Selain untuk menghidupi dirinya, sebagian uangnya selalu dia sumbangkan untuk adik-adik pantinya. Dia selalu menganggap makhluk-makhluk kecil di tempat itu adalah keluarganya. "Cari siapa?" tanya seorang pemuda yang sejak tadi mengikuti langkah Sandra. "Ziana. Dia bilang akan datang. Tapi aku tidak melihatnya sejak tadi--" Mata Sandra terus menelisik, mencari-cari namun tak kunjung dia temui. Hingga seorang pelayan mendekat, lalu bilang pada Sandra jika Ziana ada di kamar tamu. "Baiklah, aku akan ke sana!" Sandra berbinar, raut wajah yang semula tidak bergairah kini berubah ceria. Endra yang yang melihatnya pun ikut senang. Sandra meraih lengan lelaki itu kemudian berkata, "Aku akan menemui Ziana, mau ikut?" "Dia sudah datang?" Endra tampak tidak keberatan. Lelaki itu juga penasaran dengan sahabat yang sering kali Sandra ceritakan padanya. Sandra dan Endra belum resmi berpacaran. Namun semenjak mereka bertemu di kampus, Sandra sudah naksir lebih dulu. Dan belakangan ini, hubungan keduanya makin dekat. *** Ziana merapikan lagi penampilannya. Dia memakai baju yang tadi dibawakan oleh pembantu, lengkap dengan pembalut dan juga obat nyeri haid.Sekali lagi, Ziana dibuat tidak menyangka dengan sikap Arhan--dingin tapi diam-diam peduli. Ziana tahu, Arhan ayah dari seorang putri, wajar saja jika dia tahu banyak kebutuhan wanita.
"Zi--" Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Ziana, buru-buru gadis itu membukanya. Dari suaranya, Ziana tahu jelas itu Sandra. "Selamat ulang tahun, Sandra!" seru Ziana riang begitu pintu terbuka dan terlihat Sandra berdiri dengan senyum merekah. Ziana langsung memeluk sahabatnya, erat, untuk mengobati rasa rindu mereka. Dulu ketika sekolah, hampir setiap waktu mereka bersama. "Zi, kenalkan ini Endra--" ucap Sandra menyadarkan Ziana. Sejak tadi ada pemuda yang membuntuti Sandra, namun gadis itu tidak memerhatikan. Berbeda dengan Endra yang diam dan tatapannya terus terpaku begitu sosok Ziana terlihat. Endra tidak bisa menarik tatapannya dengan mudah. Matanya terus memerhatikan gadis berambut panjang lurus yang terikat dengan rapi, wajahnya oval dan imut, bulu matanya panjang juga lentik, hidungnya mungil, dan bibirnya yang berwarna merah muda alami. Ziana terlihat semakin manis saat tersenyum, ditambah dengan lesung pipi kecil di dekat ujung bibir. Ziana punya kecantikan yang berbeda meski tanpa riasan sekali pun. "Hai, aku Ziana--" ucap Ziana saat Endra mengulurkan tangan dan tersenyum dengan ramah. "Dia gebetanku--" bisik Sandra yang sontak membuat Ziana terkekeh. "Oh ... jadi ini?" Ziana mengerling. Dia ingat jika Sandra pernah menceritakan sekilas tentang Endra saat mereka bertukar kabar lewat telepon. Dengan malu-malu dan pipi yang merona, Sandra mengangguk. Ziana paham dengan ekspresi itu, sahabatnya sedang kasmaran! Di mata Ziana, lelaki di depannya itu memang cukup tampan dan gayanya kekinian, namun bukan tipe Ziana, karena dia lebih suka lelaki yang dewasa. Setelah berbincang sesaat, Ziana mengambil hadiah yang sudah dia persiapkan untuk Sandra. Untung hadiah itu tidak ikut tercebur dan basah, karena saat Ziana mengalami hal apes, hadiah untuk Sandra dia letakan di meja dekat taman. "Kamu merajutnya sendiri? Ini cantik dan rapi sekali!" puji Sandra antusias saat melihat cardigan berwarna pink nude yang Ziana berikan. "Khusus buat kamu--" Ziana senang, Sandra sangat menghargai pemberiannya yang sederhana. Untuk membuat satu cardigan itu, Ziana butuh waktu cukup lama karena harus mencuri-curi waktu di sela istirahat kerja atau di malam sebelum ketiduran. Setelah bertemu dan ngobrol sebentar termasuk tentang insiden tercebur di kolam tadi, Sandra pamit. Dia ingin kembali ke aula pesta yang belum selesai. Masih ada tamu yang sedang asyik begadang di sana. "Pokoknya nginep, besok aku bakal bangunin kamu buat sarapan bareng!" pesan Sandra sebelum meninggalkan Ziana dan mengajak Endra kembali ke tempat acara. Ziana mengangguk, dia yang lelah memilih untuk tetap di kamar. Sandra juga tidak mengizinkan dia pergi karena tahu Ziana baru saja tenggelam dan badannya masih terlihat pucat. *** "Ayah, aku berangkat!" seru Sandra yang sudah bersiap setelah tadi sarapan dengan Ziana. Keduanya berdiri di ruang tengah. "Kalian pergi bersama?" Arhan baru saja keluar dari kamarnya, dia berjalan menuruni tangga. Lelaki itu sudah rapi dengan stelan jas yang tampak mahal dan membuat tubuh bidangnya semakin gagah. Ziana diam-diam memerhatikan, tanpa sadar senyumnya terulas. Seperti remaja yang sedang merasakan cinta monyet saja, hanya dengan melihat Arhan sudah bikin pagi Ziana makin cerah. "Heh, bengong!" tegur Sandra, menyikut lengan Ziana yang sejak tadi bengong. Sandra tidak tahu apa yang sahabatnya itu pikirkan, namun tatapan dan senyumnya membuat Sandra ikut senang. Dalam pikiran Sandra, Ziana sedang membayang andai dia juga punya seorang ayah. Baiklah, dengan senang hati Sandra akan berbagi ayah. Ziana menggelengkan kepalanya, kembali meraih kesadaran yang sesaat sempat buyar. "Kamu mau ke kampus?" tanya Arhan pada putrinya. Dia hanya menoleh singkat pada Ziana dan memerhatikan sekilas gadis yang tampak sudah membaik ketimbang semalam. "Iya, Yah, anter Zi dulu. Oiya, hari ini Tante Ofi pulang dari Singapore kan? Ayah jemput?" Terlihat sekali jika Sandra bertanya dengan penuh harap. Ziana tidak tahu siapa Ofi, tapi melihat binar di mata Sandra, sepertinya wanita itu berperan penting di keluarga ini. "Ya--" jawab Arhan, perhatiannya fokus pada layar ponsel kemudian menunjukkan sesuatu pada Sandra, "Ayah transfer uang jajan, kamu boleh pakai buat traktir temen kamu--" Sandra bersorak, seperti biasa di depan ayahnya dia akan menjelma seperti anak kecil. Sandra menghambur memeluk Arhan, memberikan kecupan di pipi tanpa malu. Dia sangat aktif, berbeda dengan sang Ayah yang hanya merangkul pinggangya dan menahan Sandra agar tidak jatuh. "Makasih, Ayah! Bye--" pamit Sandra, bergegas menarik tangan Ziana dengan semangat keluar dari rumah itu. Arhan memang sangat dermawan. Ziana tahu uang jajan yang Arhan beri untuk putrinya itu mungkin setara gaji Ziana satu bulan. Memikirkannya membuat Ziana miris. Ternyata begini yang namanya kesenjangan ekonomi! *** "Kamu kerja di resto ini?" Sandra menghentikan mobilnya tepat di depan jalan sebuah restoran. "Ya, aku shift pagi hari ini, maaf ya enggak bisa nemenin kamu--" "Enggak masalah, aku bisa mentraktirmu dan mengajak jalan-jalan lain kali. Hari ini jadwalku juga lumayan padat, setelah dari kampus aku berniat ingin ke rumah Nenek untuk menagih kado--"Sandra meringis, dia masih bertahan di dalam mobil. Sedangkan Ziana bicara lewat jendela dan berdiri di luar.
"Aku juga ingin memastikan Kutukupret yang membuatmu tenggelam semalam akan mendapat hukuman!" Ziana terkekeh, dia lihat ekspresi Sandra yang menggelikan hanya untuk membelanya dari sang sepupu. "Lalu setelah itu aku akan menginap di rumah Tante Ofi--" Sandra biasa bicara blak-blakan di depan Ziana, dia tidak sungkan sedikit pun. "Tante Ofi? Dia siapa? Kamu belum pernah menceritakan tentangnya, apa dia saudara ayahmu?" Pertanyaan Ziana dijawab langsung oleh Sandra yang tersenyum sumringah. "Bukan... dia calon Ibuku! Ah ... aku baru ingat belum sempat menceritakannya padamu, lain kali jika ada waktu aku akan mengenalkan Tante Ofi padamu--" "Calon Ibumu? Maksudnya dia dan ayahmu--" "Ya, mereka pacaran! Ah, sebenarnya aku belum yakin hubungan mereka sudah sejauh mana, tapi beberapa bulan ini mereka dekat!" Ziana menelan ludah, dia tidak tahu harus merespon apa. Namun untuk pertama kalinya, dia melihat Sandra begitu antusias pada seorang wanita untuk dijadikan ibu. Pastilah mereka sudah sangat dekat karena Sandra tanpa segan ingin menginap.Memikirkan ini membuat Ziana sedikit kecewa. Pak Arhan yang sudah menduda lama mungkinkah akan menikah lagi?
"Ibu, dengar? Kakak sungguh tidak masuk akal kan?" Arhan yang tadi duduk bersandar kini menegapkan tubuhnya, tersenyum miring lalu menghela napas lelah. Wina hanya melirik Raya, dia setuju dengan Arhan. Jika Raya bilang ini tentang perebutan kekuasaan maka ucapan Raya sangat tidak masuk akal. Sebagai ibu, Wina tahu betul bagaimana sifat Arhan. Putranya itu bukan seseorang yang tamak. Arhan menganggap anak kakaknya sama saja seperti bagian dirinya. Hanya saja, Arhan punya batasan dan punya cara bagaimana memperlakukan keponakannya. "Selama ini Yudis menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga ayahnya. Dia tidak dididik dengan baik hingga tumbuh menjadi pemuda yang tidak jujur. Ketimbang terus membelanya, kenapa Kakak tidak coba untuk merenung?"Raya terdiam, namun tatapannya masih tajam pada Arhan. "Sifat Yudis sudah terlanjur buruk. Kalau dia tidak diberi pelajaran sampai kapok, maka tidak akan mau berubah--""Tapi setidaknya bisa beri dia hukuman lain. Di penjara bukan sesua
Ziana seolah ditarik untuk harus lebih sadar diri setiap kali terbangun dari khayalannya dan melihat dunia nyata yang sedikit perih, jauh dari angannya."Ada apa?" Dika mendekat, dia melihat ekspresi Ziana yang tidak tampak baik saat melihat ponsel. Dia kira Ziana mendapat kabar buruk. Ziana menggeleng. "Tidak ada apa-apa, hanya masalah kecil.""Ayo berkeliling panti, " ajak Ziana kemudian. "Bangunan ini baru selesai, aku juga belum sempat melihat seluruh ruangan yang sudah selesai dibangun."Dika mengangguk. Keduanya berjalan bersama mengelilingi panti. Ada juga beberapa anak yang mengikuti dengan langkah riang. ***Arhan menghela napas, begitu juga dengan Evan yang tampaknya kesal dan jengkel dengan ibunya. Saat mereka harus mengikuti lomba orang tua dan anak yang mengharuskan kerjasama tim, performa Ofi sangat buruk. Berkali-kali dia yang membuat tim mereka kalah dan tidak kompak. "Maaf, Sayang. Kalo kegiatan panas-panasan gini Ibu susah fokus. Kepala Ibu rasanya pening dan pan
"Baiklah, aku akan pergi bersama supir." Arhan mengangguk lagi. Dia langsung mentransfer uang, jumlahnya lumayan diluar perkiraan Ziana. "Pak Arhan, ini terlalu banyak--" Ziana melebarkan matanya saat menatap layar ponsel melihat uang sepuluh juta masuk ke rekeningnya. "Lebihnya bisa kamu tabung. Anggap saja bonus karena kamu sangat penurut," kata Arhan yang sudah selesai makan. Dia berdiri tanpa bicara apa pun lagi. Bergegas pergi ke kantor. Ziana mengiring dari belakang dengan senyum senang. "Pak Arhan, hati-hati!" ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil Arhan yang mulai melaju. Dia berdiri di teras, tatapannya terus mengikuti sampai mobil itu benar-benar tidak lagi terlihat. ***"Om Arhaaan!" Evan menyambut kedatangan Arhan dengan senyum ceria. Dia sudah berada di sekolah ketika Arhan datang menyusul. Arhan mendekat, melihat sekitar yang sudah ramai dengan kedatangan wali murid lainnya. Arhan baru tahu kenapa Evan memintanya datang ke sekolah ketika sampai. Ternya
Ziana memeluk dengan erat, kepalanya menyender di dada Arhan. Dia sempat kesal karena Arhan memarahinya, namun sekarang rasa takut membuatnya sadar dalam situasi seperti itu tetap hanya Arhan yang dia harapkan sebagai penolong. "Kamu takut? Tidak ada yang perlu ditakutkan. Vila ini aman--" Arhan coba menenangkan. Bagaimana pun dia tidak bisa membiarkan Ziana cemas dan merasa stres karena trauma kemarin. "Tidurlah lagi, saya akan di sini--" "Terus nanti pindah?" Pertanyaan polos itu membuat Arhan tersenyum miring, lalu mengacak rambut Ziana dengan gemas. "Anak kucing saja berani tidur sendirian. Kamu penakut sekali--"Ziana cemberut, dia menunduk dengan enggan disuruh tidur. "Tenanglah, setelah kamu tidur saya akan pindah ke sofa." Arhan menunjuk sofa kecil di pojok ruangan. "Tidak, itu tidak bisa digunakan untuk tidur--" Ziana menggeleng cepat. Tidak seperti kamar yang Arhan tempati ada sofa panjang yang nyaman untuk Ziana gunakan tidur. Di sini hanya ada sofa kecil, jika pun
Ziana melihat punggung Arhan yang semakin menjauh dengan rasa kecewanya. Dia bukan tidak sadar, kalau dirinya sekarang mungkin merasakan patah hati atau hanya tahap kecewa saja?Yang jelas, ada rasa tidak rela dan tidak terima melihat Arhan bertelepon dengan wanitanya. Membayangkan sapaan mesra itu membuat Ziana kembali tertampar. Harapannya sangat konyol. "Kamu sudah tahu sejak awal, Pak Arhan punya tunangan--" Ziana bergumam. Dia meyakinkan diri lagi, jika perasannya sebenarnya tidak perlu dibalas. Dia yang mulai menyukai, jadi Arhan memang tidak punya kewajiban untuk membalas perasaannya. * "Ada apa?" Suara Arhan terdengar dingin, namun Ofi tetap tersenyum saat mendengarnya. "Bagaimana keadaanmu? Kudengar kamu terluka?""Bukan masalah besar. Hanya tersayat, tidak perlu khawatir," jalas Arhan. Tanpa perlu bertanya, dia yakin putrinya sudah bercerita panjang lebar tentangnya pada Ofi. "Syukurlah. Aku sangat cemas saat mendengar kabar itu. Andai bisa, sekarang aku pasti sudah m
Sandra yang selalu ceria, suaranya terdengar sangat riang. "Boleh--" Beberapa saat mereka bertelepon, Ofi pamit setelah mendapat cukup banyak informasi. "Dah, Ibuku!" ucap Sandra sebagai kalimat penutup sebelum sambungan terputus. Gadis itu sangat senang, bayangan beberapa bulan lagi akan resmi mempunyai seorang ibu membuatnya sangat antusias. ***Ziana mengoles ikan bakar dengan margarin, dia begitu telaten membolak-balikan ikan panggangnya untuk makan malam kali ini. Itu ikan segar yang didapatkan langsung saat siang tadi memancing di danau. Sementara Arhan sedang bertelepon. Sesekali Ziana memerhatikan dari jauh. Tampaknya Arhan sangat serius. Aroma ikan bakar mulai tercium, sangat menggoda. Ziana pintar mengolahnya. Dia juga meracik bumbu sambal yang cocok untuk dimakan bersama ikan bakar. Tepat ketika masakannya matang, Arhan berjalan ke ruang makan. Dia duduk di posisinya, berhadapan dengan Ziana. Sebelum memulai, Arhan lebih dulu bicara. "Ke depannya kamu harus lebih h







