***
Sandra melihat mobil ayahnya yang terparkir di rumah sang nenek. Dia yang baru saja sampai setelah dari kampus, berjalan ke pintu utama. Tepat sekali di teras dia berpapasan dengan Aziel yang wajahnya ditekuk-tekuk. "Eh, Kak Aziel... mau ke mana? Aku baru sampe loh, ngobrol dulu, yuk?" Sandra sengaja menegurnya dengan senyum manis yang dibuat-buat. "Enggak usah--" sahut pemuda itu dengan ketus, dia kembali melangkah tanpa menghiraukan sepupunya yang tertawa mencibir. Sandra pasti tahu jika Aziel baru saja kena omel Paman dan juga Neneknya. "Nenek!" seru Sandra begitu masuk dan melihat Wina duduk bersama Arhan. Dia langsung memeluk wanita sepuh itu dan mencium pipi kanan-kiri. Dia sangat manja. "Mana nih hadiah ulang tahun buat cucu kesayangan?" Sandra menagih hadiah dari Wina, kemarin pernah menjanjikan cucunya itu sebuah kalung berlian. Wina terkekeh, "kamu ini... soal hadiah selalu saja cepet!" Dia pun bangkit, hendak ke kamarnya. "Tunggu di sini, Nenek ambil kan!" "Oke!" balas Sandra mengacungkan jempolnya, lalu menoleh ke arah sang ayah yang menggeleng geli. "Ayah masih di sini?" Arhan mengangguk, dia menyereput teh yang tinggal separuh. "Pesawat delay, Ofi mungkin akan sampai sore nanti." Sebelum Sandra tanya, Arhan lebih dulu menjawab sesuatu yang pasti ada dalam benak putrinya itu. Sandra meringis, kemudian berkata 'oh'. Rumah yang Wina tempati selalu terasa tenang dan sepi, nenek itu hanya tinggal bersama beberapa pembantu. Pernah diminta untuk ikut tinggal dengan anaknya, namun Wina menolak karena menurutnya rumah tua itu menyimpan banyak kenangan yang membuatnya selalu ingat dengan mendiang suami juga masa kecil anak-anak. "Ayah, restoran yang ada di jalan X, masih punya keluarga kita atau udah diakuisisi?" Sandra mengalihkan topik, restoran yang dimaksud tempat kerja Ziana. Seingat Sandra, dulu masih menjadi salah satu usaha milik keluarganya dan dikelola oleh Ayah Aziel, tapi selepas ayah Aziel meninggal Sandra tidak tahu lagi. Sekarang baru berminat tanya karena menyangkut soal sahabatnya. Arhan mengernyitkan keningnya, tumben sekali Sandra bertanya tentang aset keluarga. "Masih. Yudis yang handle, kenapa?" "Kak Yudis?" Mendengar namanya bibir Sandra langsung mencebik. Yudis itu kakaknya Aziel, tapi beda ayah. Anak hasil pernikahan kakak perempuan Arhan dengan lelaki keturunan Tionghoa, namun bercerai. Wina memiliki dua orang anak dan tiga cucu. Kedua anaknya--Raya dan Arhan sekarang berstatus single parents. Di keluarga, Arhan adalah pemegang kekuasaan tertinggi, usaha milik keluarga berada di bawah naungannya sebagai anak lelaki satu-satunya Wina. Selain itu, Arhan punya tanggung jawab untuk kedua keponakannya, jadi wajar jika dia menjadi sosok yang disegani baik oleh Aziel atau pun Yudis. "Manusia sok ganteng dan play boy itu?" Sandra bergumam, dia tidak menyangka saja manusia yang selama ini tidak terlihat begitu tertarik dengan bisnis tiba-tiba sudah nyemplung. "Pantas saja, rame lagi! Kulihat memang jauh lebih bagus dari sebelumnya, Kak Yudis punya selera yang bagus soal konsep restoran kekinian. Lain kali aku akan mampir--" Arhan memerhatikan Sandra yang terus berceloteh, seolah hal itu menjadi pembahasan yang sangat menarik. "Tumben, kenapa tiba-tiba tanya soal restoran itu?" ulang Arhan, pertanyaannya belum dijawab tadi. Sandra meringis, "enggak, Yah, kebetulan Zia kerja di situ." "Memang tidak kuliah?" Arhan mengangkat sebelah alisnya, dia merespon obrolan namun tidak menunjukkan ekspresi yang berlebih. Sandra menggeleng, "Ayah tahu kan? Zia berasal dari panti, dia bilang tidak sanggup mencari biaya kuliah. Dia cuma mau kerja, kalau pun dapat uang selalu dia gunakan untuk kebutuhan anak-anak panti." Suasana hening, Arhan tidak menyahut lagi. Melihat ayahnya yang diam, Sandra tidak berpikir jika Arhan tertarik membahas soal Ziana. Sandra mengalihkan perhatiannya. "Ayah, boleh aku ikut menjemput Tante Ofi?" Sandra merubah posisi duduknya, gadis itu tidak segan untuk mendekati Arhan dan melendot. "Aku tidak ada kegiatan apa pun setelah ini--" "Kamu ingin ikut Ayah ke bandara? Kalau kamu ikut banyak pekerjaan Ayah yang akan tertunda--" Arhan bicara dengan begitu tenang, namun Sandra mengerti apa yang ayahnya pikirkan, pasti Arhan ragu karena tahu jika Sandra ikut akan mengulur banyak waktu. Dua wanita berbeda usia itu tidak cukup hanya bertemu tapi juga akan mengobrol panjang lebar lalu Sandra akan merengek mampir jalan-jalan sebelum pulang. "Ayolah, Ayah! Aku dan Tante Ofi hampir setengah tahun ini tidak bertemu, apa salahnya mengajakku?" Sandra mengedip-ngedipkan matanya seperti anak kecil yang penuh harap, kalau sudah begini mana bisa Arhan menolak. *** Ziana terbilang masih baru bekerja di restoran itu dibanding yang lain, namun keberadaannya cukup menarik perhatian. Saat melayani tamu, Ziana sopan dan ramah, selain itu wajah cantiknya mudah diingat. Diam-diam lelaki yang menjabat sebagai manajer di sana juga sering memerhatikannya. Namun ia belum pernah menyapa Ziana secara langsung. Gadis itu berjalan meninggalkan restoran setelah jam kerjanya selesai. Dan Yudis masih memandangnya dari kejauhan. "Namanya Ziana, kalo Pak Yudis kepo--" ledek salah satu barista yang baru saja membuat kopi spesial untuk Yudis, keduanya berteman akrab di luar tempat kerja. "Dih, tahu aja--" Yudis terkekeh, gayanya yang santai dan kadang selengean membuatnya mudah akrab. "Hm, bahkan dari biji matamu yang hampir keluar bisa membuatku paham!" sahut Ghani tanpa sungkan, dia bicara pada Yudis seperti teman nongkrong, kebetulan suasana sedang sepi. Kedua lelaki seumuran itu tertawa lalu melanjutkan kesibukannya masing-masing. *** Hari mulai petang saat Sandra dan Arhan menjemput Ofi di bandara. Sekarang ketiganya berada di mobil Arhan. Lelaki itu fokus menyetir sedangkan Ofi berada di sebelahnya dan Sandra duduk sendiri belakang. Sesekali Ofi menoleh, hanya untuk memerhatikan wajah tampan yang terlihat begitu serius padahal jalanan lengang. Suasana jadi sangat canggung dan kaku, untungnya ada Sandra yang mengajak Ofi mengobrol. "Tante, laper enggak?" tanya Sandra sambil melihat keluar. "Mmm, lumayan. Mau mampir makan?" Pertanyaan putrinya pada Ofi terdengar seperti rambu-rambu untuk Arhan, kebetulan sekali jalan yang mereka lewati dekat dengan restoran yang dibicarakan Sandra siang tadi. Arhan melambatkan laju saat dia melihat sosok gadis yang familiar, dari postur tubuh dan cara jalannya saja bisa diketahui meski dilihat dari arah belakang. "Loh, itu Zia!" Tunjuk Sandra membuka kaca mobil dan melongokkan kepalanya, tanpa ragu dia langsung memanggil Ziana yang jalan di trotoar. "Zi!" Tepat sekali, Sandra memanggil Ziana dan Arhan menghentikan mobil. Lelaki dewasa itu tidak berkata apa pun pada Sandra, dia melihat ke arah jam tangannya lalu menoleh sekilas pada Ofi. "Kebetulan ada resto, mau makan dulu?" Senyum Ofi mengembang, jelas saja dia senang dengan Arhan yang begitu inisiatif. Sebelumnya Ofi hanya berniat mengajak Sandra makan berdua karena tahu Arhan pasti akan menolak dengan dalih ada kesibukan lain, tidak disangka Arhan sedikit berbeda kali ini. "Ayah serius? Mau mampir di resto?" Arhan mengangguk, dia melepas sabuk pengaman. Sandra juga sama tidak menyangka jika ayahnya mau berhenti tanpa harus dirayu lebih dulu, pasti karena ayahnya begitu berbaik hati pada Tante Ofi! "Boleh aku ajak Zia?" tanya Sandra lagi, dengan menatap ayahnya. Dia ragu jika Arhan tidak akan mengizinkan. "Mmm, Ayah bisa makan bareng Tante Ofi di privat room, aku nunggu di bawah sama Zia enggak papa--" "Ajak saja, kita bisa makan bersama." Arhan terlihat begitu tenang, berbeda dengan Ofi yang melirik ke arah Ziana yang masih berdiri canggung. Jelas saja Ofi membatin bagaimana bisa Sandra berteman dengan gadis miskin seperti itu? "Makasih, Ayah," Sandra berbinar senang, dia pun menghampiri Ziana dengan antusias. Arhan berjalan di depan, Ofi mengikutinya lalu tanpa ragu meraih lengan Arhan dan berpegangan. "Aku memakai high heels, kakiku agak kurang nyaman untuk berjalan--" ujarnya dengan raut memelas. Arhan mengerti, dia tidak mempermasalahkan Ofi yang secara tidak langsung meminta bantuannya sebagai tempat bersandar. "Hey, ayo!" Sandra membuyarkan lamunan Ziana yang sejak tadi bengong, perhatiannya tertuju pada wanita cantik yang sekarang berjalan dengan begitu sweet bersama Arhan, mereka tampak serasi. Akhirnya Ziana bisa melihat seperti apa wanita yang sejak pagi membuatnya penasaran. Wajar jika Sandra sangat menyukai dan mendukung wanita itu jadi ibu sambungnya, memang pantas untuk bersanding dengan lelaki tampan dan mapan seperti Arhan. Hm, Ziana tidak bisa berkomentar apa pun selain senyuman yang sedikit memudar karena dia sadar perbedaan wanita yang Arhan suka sangat jauh darinya. "Mmm, apa aku tidak menganggu? Kurasa--" "Ish, apanya yang menganggu! Aku yang memintamu, dan Ayah juga tidak keberatan. Jarang loh, Ayahku berbaik hati seperti ini. Pasti karena Tante Ofi, Ayah bahkan mengizinkanku dan kamu ikut makan malam bersama! Kita tidak boleh menyiakannya." Sandra menarik tangan Ziana dan menggandengnya masuk ke tempat kerja gadis itu. Ziana tidak bisa lagi menolak, meski berat dia terpaksa menuruti keinginan sahabatnya yang terus memeganginya dan tidak membiarkan dia pergi. "Jam kerjamu sudah selesai! Kamu datang sebagai tamu di sini, jadi enggak perlu minder." Sandra yang melihat jelas ketidaknyamanan Ziana ketika berjalan masuk ke resto dan melewati beberapa teman yang bekerja di sana, bertindak sebagai sahabat yang baik dan selalu berada di sisinya. "San, kita ikut masuk?" Ziana menghentikan langkahnya tepat di depan pintu privat room, dia ragu karena tahu makan di situ pasti akan membuatnya sangat canggung. "Kamu bersamaku, memang siapa yang mau jadi obat nyamuk sendirian? Kamu harus bantu aku agar Ayah dan Tante Ofi bisa makin dekat!" bisik Sandra dengan kerlingan penuh arti. Namun Ziana justru merespon dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. ** Ziana terduduk kaku saat melihat meja makan sudah penuh dengan hidangan istimewa, yang pasti harganya mahal. Meski bekerja di sini, Ziana bahkan belum pernah mencicipi semua menu yang sekarang berada di hadapannya. Alih-alih dia antusias, Ziana justru merasa tidak nyaman yang membuat perutnya mulas. "Maaf, saya permisi ke toilet," pamit Ziana saat gugup dan panik sering kali Ziana merasa perutnya tidak nyaman. "Perlu kutemani?" "Enggak perlu, aku sendiri saja," ujar Ziana tidak ingin merepotkan Sandra. Gadis itu pergi sendiri, dia sudah bekerja beberapa bulan di tempat ini namun jarang sekali melayani tamu di lantai dua dan tiga. Dia lebih sering berada di ruang umum di lantai dasar. Setelah dari toilet sekalian mencuci muka, Ziana kembali menuju ke ruangan sebelumnya, sengaja berjalan lambat sembari menenangkan diri. "Ziana--" Suara seorang wanita yang berjalan berpapasan menyapanya. Dia mendekati Ziana dengan senyum semringah. "Kak Rey?" Ziana tersenyum, dia pun membalas dengan ramah saat wanita berpenampilan seksi dan mahal itu berdiri tepat di depannya. "Shift malam?" Reyna bertanya basa-basi, dia lihat Ziana yang memakai baju bebas, harusnya sudah pulang kerja kalau masuk pagi. "Enggak sih, kebetulan lagi ada acara makan bareng temen. Oiya, Kak Rey... apa ada kerjaan seperti kemarin?" tanya Ziana penuh harap. Ziana mengenal Reyna sebagai salah satu donatur di panti asuhan, tidak tahu pekerjaan Reyna apa saja, yang jelas wanita itu kaya dan punya banyak uang. Kemarin Ziana pernah dijadikan model dadakan oleh Reyna. Tidak terlalu sulit karena Ziana hanya disuruh memakai baju seragam remaja kekinian lalu di foto dengan beberapa pose. Reyna mendekat lalu berbisik, "kamu mau membantuku lagi? Ada sih, tapi yang ini agak vulgar, foto untuk mempromosikan salah satu brand pakaian dalam remaja. Mau?" Kedua tangan Reyna memegang langan Ziana dan mengusapnya lembut, "tubuhmu ramping dan bagus, tenang saja... kali ini hanya bagian pundak ke bawah, wajahmu nanti di-cut!" Tubuh Ziana yang tinggi namun kurus masih cocok sebagai model remaja, gampang diedit di beberapa bagian agar tidak tampak dewasa. Ziana tampak berpikir, meski dia butuh uang tapi gadis lugu sepertinya tidak ingin mengambil resiko. "Mmm--" "Bayarannya tiga kali lipat dari yang kemarin--" Reyna bicara sembari mengeluarkan tiga lembar uang merah lalu dengan gerakan cepat dia menyelipkan uang itu ke pakaian Ziana yang cutting dadanya berbentuk V. Uang itu bukan bayaran, hanya uang jajan cuma-cuma yang sering kali Reyna berikan pada siapa saja, Ziana sudah paham itu. "Kalau mau nanti hubungi aku, ini salah satu contohnya--" Sebelum beranjak, Reyna yang kebetulan membawa paper bag berisi pakaian yang dimaksud, memberikannya pada Ziana. Arhan keluar dari privat room sejak tadi, dia juga berniat ke toilet saat tak sengaja celananya terkena tumpahan minuman namun tidak menyangka dia melihat Ziana bersama seorang wanita berada tak jauh darinya. Arhan tidak tahu apa yang mereka bicarakan, namun Arhan tahu jelas jika gadis yang memakai dress merah dengan riasan tebal itu anak salah satu pemilik club malam, gadis dengan pergaulan bebas yang akrab dengan dunia malam. Bahkan adegan Reyna menyelipkan uang ke dada Ziana pun terekam jelas oleh mata tajam Arhan, dia menduga Ziana mungkin ditawari sesuatu oleh Reyna, apa mungkin diminta tidur dengan lelaki hidung belang? Sampai diberi pakaian dalam begitu? Arhan tahu karena di paper bag ada gambarnya dan logo brand pakaian dalam yang cukup terkenal. Saat Ziana selesai bicara dan Reyna kembali melangkah, Ziana mengangkat wajahnya, dia baru sadar jika ada Arhan di depannya sekarang. "P--Pak Arhan--" Tatapan Arhan mengarah pada tangan Ziana yang mencangking sesuatu, merasa diperhatikan Ziana langsung menyembunyikan paper bag bergambar kacamata(BH) dan segitiga wanita itu ke belakang punggungnya."Oh, benarkah?" Arhan menunjukan sikap tenang, "saya tidak sengaja mendengar dari beberapa pelayan lain--"Ziana terkekeh mendengarnya, dia pikir Arhan sungguhan tahu karena punya koneksi orang dalam di restoran itu, rupanya hanya hasil dari menguping!"Aku berharap itu benar, tapi belum ada kepastian," sahut Ziana polos, dia sama sekali tidak berpikir jika Arhan seseorang yang memiliki kuasa di restoran tempatnya bekerja. "Oiya, Pak Arhan habis makan? Sendirian?" Ziana memindai sekeliling, tidak ada orang lain yang terlihat sedang menunggu Arhan. "Ya, tadi ada rapat di sini. Sudah selesai--" Ziana manggut-manggut, dia paham mungkin Arhan baru saja mengadakan rapat bersama orang penting. Restoran ini memang salah satu tempat favorit para pebisnis melakukan reservasi tempat untuk mengadakan rapat, biasanya ada di privat room di lantai tiga. "Zi, ayo!" Suara Reyna mengalihkan perhatian keduanya, mereka menoleh bersamaan ke arah Reyna. "Pak Arhan, sepertinya aku harus pergi." Ziana
"Ah? Maksudnya ini--" Ziana meremas amplop yang tadi Adam beri sembari terkekeh malu, dia pikir mungkinkah Arhan penasaran dengan bayaran jasa kebersihan yang dia lakukan? Arhan mengemudi dengan pelan karena terlalu penasaran dan ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Ziana. "Tidak banyak, Pak Arhan." Kalau Arhan tahu, ia pasti akan merasa geli, uang di dalam amplop mungkin hanya sebanding harga satu kain lap di rumahnya. "Apalagi aku hanya melakukannya sebentar untuk tiga kamar. "Kening Arhan mengernyit, dia lihat Ziana yang masih terlihat santai menjawab seakan sudah biasa melakukannya. "Tiga kamar? Maksudnya juga ada tiga pria berbeda?"Hah? Ziana menatap Arhan lebih fokus, sebenarnya ekspresinya tidak jauh berbeda dengan Arhan. Keduanya saling tatap dengan pemikiran masing-masing, obrolan yang mereka ucapkan terdengar nyambung tidak nyambung, namun yang jelas apa yang Arhan maksud dengan pemahaman Ziana jelas berbeda. Ziana berpikir keras, raut wajahnya berubah bingung. Na
Ziana memaksakan senyumnya karena Arhan tidak merespon, lelaki itu hanya menatap Ziana dengan tatapan yang rumit. "Kamu mengenalnya?" Jelas yang Arhan maksud adalah gadis tadi. "Mmm, dia temanku--" jawab Ziana cepat, dia pikir dengan mengakui Reyna sebagai teman agar Arhan tidak banyak tanya lagi. Sayangnya yang dipikirkan lelaki itu justru lain, Arhan punya pandangan liar soal Ziana yang lugu, tapi dibalik itu mungkin dia gadis yang cukup 'berani'. "Kamu punya banyak teman? Akan lebih baik kamu mengenal baik teman-temanmu, termasuk latar belakangnya," kata Arhan sebelum melangkah dan kembali melanjutkan niatnya ke toilet tanpa menunggu respon Ziana. Ziana tidak tahu maksud Arhan dengan jelas, namun dari sikap lelaki itu yang terasa dingin membuat Ziana tidak enak hati. ***Saat makan malam berlanjut, Arhan dengan gerakan yang tertata meraih piring Ofi lalu membantu wanita itu memotong steak menjadi lebih kecil dan mudah dimakan. Sontak saja tindakannya membuat Sandra dan Ofi te
***Sandra melihat mobil ayahnya yang terparkir di rumah sang nenek. Dia yang baru saja sampai setelah dari kampus, berjalan ke pintu utama. Tepat sekali di teras dia berpapasan dengan Aziel yang wajahnya ditekuk-tekuk. "Eh, Kak Aziel... mau ke mana? Aku baru sampe loh, ngobrol dulu, yuk?" Sandra sengaja menegurnya dengan senyum manis yang dibuat-buat. "Enggak usah--" sahut pemuda itu dengan ketus, dia kembali melangkah tanpa menghiraukan sepupunya yang tertawa mencibir. Sandra pasti tahu jika Aziel baru saja kena omel Paman dan juga Neneknya. "Nenek!" seru Sandra begitu masuk dan melihat Wina duduk bersama Arhan. Dia langsung memeluk wanita sepuh itu dan mencium pipi kanan-kiri. Dia sangat manja. "Mana nih hadiah ulang tahun buat cucu kesayangan?" Sandra menagih hadiah dari Wina, kemarin pernah menjanjikan cucunya itu sebuah kalung berlian. Wina terkekeh, "kamu ini... soal hadiah selalu saja cepet!" Dia pun bangkit, hendak ke kamarnya. "Tunggu di sini, Nenek ambil kan!""Oke!"
Ziana berbalik, dia menghadap Arhan dan menyembunyikan bagian belakang tubuhnya lalu dengan canggung mengakui. "Ti--tidak, aku tidak terluka, Pak Arhan! Darah ini.... mm, aku sedang datang bulan--" jawabnya setengah menggumam dan menunduk dalam. Arhan tidak bereaksi, dia kembali memasang wajah tak acuh kemudian melangkah ke arah pintu, "kalau begitu cepat bersihkan dirimu." Ziana mengangguk, masih berdiri di tempat sampai lelaki itu benar-benar pergi dan tidak lagi terlihat. "Hah, memalukan!" rutuk Ziana sembari berjalan ke kamar mandi. Dia sangat malu, dia pikir Arhan pasti merasa jijik. ***Sejak tadi Sandra terus mencari-cari sosok Ziana, dia sangat menantikan kedatangan sahabatnya itu. Ziana berjanji akan datang, namun hingga acara hampir selesai batang hidungnya tidak kunjung terlihat. Selepas lulus sekolah enam bulan lalu, mereka belum pernah bertemu lagi karena kesibukan masing-masing, Sandra dengan segala aktivitasnya menjadi mahasiswi baru, sedang Ziana pontang-panting
"Lap, sepatuku!" titah seorang pemuda yang baru saja keluar dari aula pesta dan dia menghampiri seorang gadis yang tadi berjalan di pinggiran kolam bernama Ziana. Ziana tertegun, dia diam sesaat dan menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang selain dia yang berdiri di sana. Tempat itu sepi, berbeda dengan aula pesta ulang tahun yang berada di rumah besar itu. Ziana menyingkir dari keramaian karena sadar pesta ulang tahun sahabatnya sangat mewah, dihadiri oleh banyak muda-mudi dengan pakaian yang mahal, berbanding terbalik dengan penampilan Ziana yang hanya memakai gaun sederhana, itu pun dia dapat dari meminjam teman.Ziana tidak mau membuat sahabatnya--Sandra--merasa malu. Dia berniat ingin menemui dan memberikan Sandra hadiah saat acaranya nanti selesai. Jadi Ziana menunggu di samping rumah, di mana ada sebuah kolam dan taman di sana. "Tuli? Cepat lakukan!" Aziel kembali memerintah, kali ini dengan menunjuk sepatunya dan memajukan kaki kanan di hadapan Ziana. Raut