TT membuka kaca helm full face-nya, turun dari motor sambil membawa sebuah helm lain lalu memberikannya begitu saja pada Alanis.
“Nih. Yukk jalan?” ajak TT dengan menjaga mode jaimnya agar terlihat tetap berwibawa di depan Alanis.
Alanis malah bengong. Kok ini orang bisa ada disini pikirnya.
TT bisa menebak jalan pikiran Alanis. Dia sudah mempersiapkan skenario yang matang sebelumnya agar Alanis tidak curiga.
“Saya ada meeting di dekat sini dan kebetulan lihat kamu,” lanjut TT dengan cara bicara yang sangat formal tanpa menunggu Alanis bersuara terlebih dulu.
Alanis bisa percaya apa yang dikatakan oleh TT. Namun ada satu hal yang mungkin saja membuat dia akan menolak ajakan TT.
Motor dan berkendara di jalan Raya!
Efek trauma Alanis bisa saja membuat dia terlihat memalukan di depan TT. Akan banyak pertanyaan nanti dari TT. Itulah yang paling dicemaskan olehnya.
“Mau nggak? Saya sekalian mau tanya kenapa kamu tidak jadi bekerja di toko saya,” sambung TT.
Alanis makin bertambah pusing. Alasan apa yang harus dia katakan, Alanis belum mempersiapkannya.
“Kenapa harus sekarang sih ketemunya?” keluh Alanis dalam hatinya.
Namun tiba-tiba TT melakukan hal yang tak terduga. Dia inisiatif memasangkan helm di kepala Alanis tanpa diminta. Cara dan sentuhan TT sangat lembut hingga membuat hati Alanis berdebar-debar saat TT melakukannya.
“Oh my God. Elo ngapain sih pak TT!” batin Alanis menjerit.
Empat tahun di penjara membuat Alanis sejak saat itu tak pernah lagi mendapat perlakuan manis dari seorang pria. Dan sekarang yang melakukannya adalah seorang lelaki yang memang sering traveling ke dalam pikirannya sejak pertemuan pertama.
“Maaf pak!”
Tiba-tiba Alanis mencegah dan membuat TT menghentikan gerakannya saat helm baru terpasang ke setengah kepala Alanis.
“Kenapa? Kamu nggak mau?” tanya TT.
“Saya mau naik kereta aja pak,” tolak halus Alanis.
TT menarik nafas dalam, kesal dengan penolakan Alanis.
“Berani-beraninya elo nolak gue lagi!” sungut TT dalam hatinya.
Jiwa gengsi bergemuruh dalam pikiran TT, mempengaruhi organ-organ lain di seluruh tubuhnya untuk memenangkan peperangan, jangan mau ditolak untuk kedua kali oleh Alanis.
Tanpa persetujuan Alanis, TT meneruskan memasang helm lalu memegang tangan Alanis untuk memaksa naik motor bersama. Alanis sempat mencoba menolak tapi TT tak menggubrisnya. Alanis makin tegang, dia tak mungkin bisa naik motor bersama TT.
“Gue takut Pak. Bukan nggak mau,” batin Alanis sungguh sangat ketakutan.
Sampai di depan motor Alanis hanya diam mematung. Ingin sekali lagi menolak tapi tak berani bicara.
“Apa perlu gue angkat elo ke motor?” tegas TT yang spontan merubah cara bicaranya pakai gue elo.
Alanis tak tahu harus bagaimana lagi. Namun muncul sedikit keberanian saat TT mengulurkan tangannya untuk membantu Alanis naik ke motor.
“Cowok ini ... Baik banget sama gue!”
Suara hati Alanis yang kini terus menguatkan diri agar dia bisa mengalahkan traumanya demi seseorang lelaki baik penuh perhatian yang kini tengah menunjukkan lagi betapa tulusnya dia kepada Alanis.
Alanis akhirnya memberanikan diri menerima uluran tangan TT dan naik ke motor. Di atas motor Alanis tegang, tubuhnya gemetaran.
TT yang sudah menunggangi motor bisa merasakan ketegangan dari tubuh Alanis yang gemetar. TT tak tahu kenapa Alanis seperti ini
Dan TT sekali lagi menunjukkan magic-nya kepada Alanis.
TT dengan lembut menarik tangan Alanis untuk berpegangan ke tubuhnya. Nafas Alanis sejenak berhenti saat bersentuhan tubuh dengan TT.
“Biar elo nyaman!” ucap TT dengan nada yang lebih manis.
JLEB! Alanis tertembak tepat di hatinya. Ini bukan sekedar rasa kagum karena perhatian TT. Mungkin sudah lebih dari itu.
“Gue memang ngerasa nyaman banget sama elo!” Alanis menjawab perkataan TT dalam hatinya.
Suasana malam di jalanan kota Jakarta. Cukup padat, para pencari rupiah di ibu kota telah menyelesaikan tugasnya hari ini dan saling adu cepat memacu kendaraannya untuk segera sampai di tempat peristirahatannya masing-masing
Motor TT menjadi salah satu peserta yang terjebak dalam ramainya arus lalu lintas.
TT melajukan motornya dengan kecepatan santai seolah ingin memperlambat waktu untuk sampai di tujuan karena dia sedang membonceng gadis cantik yang kini lebih erat memeluk tubuhnya.
“Badan gue emang bikin cewek nyaman sih buat meluk,” ucap pede TT dalam hatinya sambil sesekali melirik ke tangan Alanis untuk memastikan jemari Alanis tidak berpindah dari posisi saat ini.
Sebenarnya TT salah kaprah. Alanis memeluk erat TT karena dia masih sangat ketakutan untuk berkendara di jalan raya apalagi dalam keadaan yang ramai seperti sekarang.
Alanis masih trauma. Dia bahkan tak berani melihat ke jalan. Pandangannya selalu berlindung di balik punggung TT.
Tubuh Alanis yang sesekali gemetar, TT lagi-lagi salah arti. Dia menganggap Alanis kedinginan. TT menepikan motornya ke jalan lalu lalu melakukan sebuah adegan yang sweet ala-ala drama korea, memberikan jaket miliknya agar Alanis memakainya.
“Biar nggak dingin,” ucap TT dengan mode khasnya, jaim.
Bukannya tidak menghargai adegan sweet TT, Alanis sebenarnya justru sedang kegerahan. Dia sudah memakai jaket, kalau ditambah lagi jaket TT bisa mandi keringat.
“Maaf Mas eh Pak TT, nggak usah. Bapak aja yang pake,” tolak Alanis secara halus.
“Nggak apa-apa kok. Badan saya tebel, angin mikir-mikir kalau mau masuk,” jawab pede TT sambil membusungkan dadanya.
Alanis merasa tidak enak untuk menolak, tapi dia juga akan tersiksa jika menerima. DILEMA!
Dan TT sekali lagi menunjukkan aksinya, lanjutan dari adegan sweet yang pertama. Kini dia memakaikan langsung jaket ke tubuh Alanis tanpa menunggu persetujuan gadis itu.
Bukannya Alanis tak mau terpesona dengan perhatian lembut dari aksi TT, dia benar-benar kepanasan. Namun agar TT tidak merasa kecewa Alanis bertahan sebentar dan ketika mereka sudah melanjutkan perjalanan diam-diam Alanis membuka jaket milik TT dan menaruh dipangkuannya. Alanis merasa lega. SEGAR!
TT mampir di sebuah rumah makan lesehan, mengajak Alanis makan. Kebetulan Alanis memang sudah merasa lapar, dari siang dia tidak bisa makan dengan tenang. Alanis menerimanya meski dengan cara seperti biasa yang ditunjukkan pada TT, malu-malu tapi mau.
Baru masuk masuk TT baru sadar Alanis sudah tidak memakai jaket yang dia kasih sejak turun dari motor.
“Nggak dipake jaketnya?” sindir TT mode sebal.
“Di-di- tadi dilepas pas dijalan, pak. Pas mau sampe sini,” kelit Alanis bohong tipis.
TT percaya walaupun masih pasang wajah bete.
Saat makan, percakapan diantara mereka masih tetap membosankan. Bahasa formal yang mereka pakai untuk menyampaikan kata-kata menjadikan suasana canggung semakin tak terbendung.
“Ditambah nasinya,” kata TT.
“Baik pak,” jawab Alanis.
“Diminum airnya,” kata TT.
“Terima kasih pak,” jawab Alanis.
“Mau tambah sotonya?” tanya TT.
“Terserah bapak,” jawab Alanis.
Dan seterusnya selalu begitu isi pembicaraan mereka. Boring, garing seperti kecimpring! TT dan Alanis bukannya tidak sadar kalau suasana diantara mereka sangat membosankan. Namun apa daya keduanya masih saling menutup diri untuk berbicara lebih lepas, bukan tanpa alasan. Mereka sama-sama punya rahasia yang tidak ingin diketahui oleh satu sama lain.
Situasi agak tertolong saat ada pengamen datang dan bernyanyi sebuah lagu cinta di depan mereka. Alanis yang hafal lagunya ikut bersenandung meski dengan suara yang pelan. TT kagum mendengar suara Alanis, meski pelan dia bisa merasakan bahwa Alanis memiliki suara yang enak didengar.
Sebuah ide yang dianggap brilian oleh TT muncul di otaknya. TT merasa inilah saatnya menunjukkan kehebatan pada Alanis.
“Mas, pinjem gitarnya. Nanti saya bayar lebih,” ujar TT kepada si pengamen.
Pengamen senang dan langsung memberikan gitar pada TT.
“Pak TT bisa main gitar?” tanya ragu Alanis.
“Liat aja sendiri!” jawab TT mode angkuh.
TT pegang gitar, pamer skill melodi dulu sok-sok bergaya layaknya seorang dewa gitar.
Lalu TT akan memulai memainkan sebuah lagu. Genjrengan pertama, LANCAR. Genjrengan kedua, MANTAP. Dan saat masuk genjrengan ketiga, TUK! CEPRET!
Senar gitar putus dan menyambar wajah TT.
“Aww!”
TT meringis perih. Tapi bukan perihnya yang jadi persoalan. TT malu banget. Aksi memukau yang dia rencanakan berujung nestapa.
Melihat TT kesakitan, tangan Alanis reflek menyentuh wajah TT untuk memeriksa.
DUG DUG! Hati TT berdebar disentuh Alanis. Wajah dan tubuhnya mode freeze dengan tatapan yang tertuju kepada Alanis. TT seperti terbang ke langit. NAMUN...
“Maaf mas, senar yang putus bisa diganti? Saya nggak bisa kerja nanti soalnya,” sela si pengamen.
BRUGHH! TT jatuh dari langit! Bersamaan dengan itu Alanis menarik tangannya dari wajah TT. Moment romantis rusak begitu saja.
“Rese banget nih pengamen!” reaksi otak TT mengumpat si pengamen dalam pikirannya.
Setelah nego keras yang panjang, TT akhirnya menyetujui permintaan harga senar yang disebutkan oleh si pengamen. SERATUS RIBU!
“Ngerampok itu namanya!” umpat TT setelah si pengamen pergi.
“Iya pak! Harga senar gitar perasaan nggak sampai segitu,” kata Alanis.
TT seketika melirik ke Alanis. Hati TT berbunga-bunga mendengar Alanis membela dirinya.
Setelah insiden dengan pengamen di rumah makan, interaksi antara Alanis dan TT lebih cair. Percakapan mereka tidak lagi kaku dan canggung seperti sebelumnya.
Perjalanan pulang saat di atas motor pun terasa lebih menyenangkan untuk mereka berdua.
TT dan Alanis pun sampai di tempat tujuan. Alanis meminta maaf sama TT kalau tidak bisa mengajak TT mampir dulu. Alanis berbohong dengan alasan sudah malam dan tidak enak sama Ibunya.
Padahal sebenarnya Alanis malu untuk terlalu membuka diri pada TT, karena jika dia terlalu open bisa-bisa semakin cepat TT tahu kalau Alanis adalah mantan Narapidana.
Alanis belum siap, karena dia sekarang sangat merasa nyaman bersama dengan TT. Saat Alanis akan masuk ke dalam rumah, TT menahannya. Lelaki itu nampak sangat serius.
“Saya pengen tahu alasan yang sebenarnya! Kenapa kamu tidak datang untuk bekerja di toko saya? Apa kamu sudah mendapat pekerjaan lain?” tanya TT.
TT berpura-pura, menyembunyikan kebenaran bahwa dia sebenarnya Alanis sudah bekerja di rumah orang tuanya.
Alanis terdiam. Dia masih belum tahu harus memberikan jawaban apa. Tidak mungkin dia bilang kalau sekarang dia pekerja sebagai pelayan di sebuah rumah. Alanis berpikir TT akan mentertawakannya.
“Daripada pelayan mendingan karyawan tokolah!”
Itulah yang kini Alanis bayangkan tentang jawaban TT nantinya.
“Maaf, pak. Boleh saya jawab nanti?” kata Alanis.
TT mencoba mengerti dan tak memaksa Alanis. Dan saat Alanis mau masuk lagi, dia kembali menahannya untuk kedua kali.
“Mulai sekarang nggak usah panggil Pak. Mas aja. Atau kak juga boleh. Kamu bukan karyawan saya juga kan?”
JLEB! Alanis berpikir dalam. Sebuah kalimat dari TT yang mengandung misteri untuknya. Apakah ini tandanya TT sedang mencoba lebih dekat dengannya?
*****
To be continue >>> 006
Hari berganti esok. Kini TT sedang merapihkan kamarnya. Dia memutuskan untuk pindah lagi ke rumah orang tuanya. Alasannya? Sudah jelas karena Alanis.Tapi dasar si manusia jaim, TT tetap saja menyangkalnya, meski pada dirinya sendiri. TT menyampaikan pesan ke seluruh organ tubuhnya alasan dia pindah karena untuk menghemat biaya sewa apartemen dan biaya makan sehari-hari. TITIK!Sang Ibu, Verawati, sangat senang anaknya kembali ke rumah. Ia bantu-bantu TT untuk menata ulang kamar. Bahkan Verawati sampai mau panggil agent dekorasi khusus untuk mendesain ulang kamar TT demi menyambut kepulangan si anak bungsu kesayangan.“Nggak usahlah mami! Masih bagus ini juga,” tolak TTVerawati cemberut manja. Bersamaan dengan itu suara tegas dan menggelegar memotong suasana akrab antara sang Ibu dan anaknya.“Memang lebih baik tidak usah!” suara Tresno tiba-tiba terdengar di dalam kamar.Suasana hangat antara verawati dan TT kini berubah menjadi tegang.“Bagus! Siapa yang suruh kamu kembali ke rumah
Verawati akan menjawab pertanyaan TT tentang kenapa Alanis diperlakukan kejam oleh Tresno.“Alanis, itu, pelayan baru itu....”Perkataan Verawati terhenti saat seorang pelayan masuk dan mengabarkan Alanis terjatuh saat disuruh membersihkan toren penampungan air.TT langsung cemas. Saat Verawati menanyakan kondisi Alanis, sebelum pelayan menjawab TT terlebih dahulu secepat kilat keluar dari kamarnya.Verawati agak aneh melihat reaksi anaknya, tapi tidak memusingkannya saat ini. Ia fokus dulu ke kondisi Alanis. Pelayan bilang kakinya terkilir saja. Tujuan pelayan datang ingin bertanya apakah perlu dibawa ke rumah sakit atau tidak.Sedang terjadi perdebatan hebat di pos security antara Imas si kepala pelayan dan pak Tatang si security kepercayaan TT tentang kondisi Alanis yang saat ini ada di depan mereka.Gadis malang itu merintih kesakitan memegangi kakinya. Para pekerja yang jabatannya di bawah Imas dan Pak tatang hanya bisa menyaksikan tanpa mampu melerai.“Nggak perlu ke rumah saki
BUGHHH! PRAANG!TT memukul cermin di kamarnya hingga pecah, kepalan tangannya berdarah-darah. Kemarahan, kegelisahan, kegalauan melanda pikirannya saat ini.Dia terus teringat apa yang baru saja tadi dia dengar dari ayahnya tentang siapa sebenarnya sosok Alanis di mata keluarganya, terutama bagi sang ayah.FLASHBACKTresno bangkit dari duduknya mendekat ke TT, dia menatap tajam ke TT. Tresno mendorong telunjuknya ke jantung TT.“Gadis sialan itu yang menabrak Adam! DIA ADALAH PEMBUNUH KAKAKMU!” ucap Tresno dengan berteriak di kalimat keduanya.END FLASHBACKKenapa harus Alanis? Itu pikiran TT saat ini.“Arggh SIALLLL!” teriak TT melampiaskan emosinya.Memang dia sudah memaafkan siapa pun penabrak kakaknya yang sedari dulu sampai detik ini tidak pernah dia ketahui.Namun siapa pun itu, sumpah serapah di dalam diri TT mengeluh, harusnya jangan Alanis, gadis yang kini sedang menerobos masuk mengisi hatinya.“Harusnya gue nggak usah tahu, gue nggak usah nanya sama papi soal ini!” sesal TT
Brankar melaju dengan sangat cepat membawa Amartha yang dalam kondisi tak sadarkan diri ke ruang ICU.Alanis menunggu cemas bagaimana hasil pemeriksaan dokter tentang kondisi ibunya. Seorang petugas rumah sakit lalu menyampaikan pesan agar Alanis segera mengurus administrasi dan pembayaran.Gadis malang itu jadi bingung sendiri, dia belum gajian. Uang simpanan pun tak ada. Mau minta tolong sama siapa? Alanis berpikir keras dan ada satu nama yang terlintas dalam pikirannya.“Mau nggak ya kira-kira dia nolongin gue lagi?” gumam ragu Alanis.Sementara itu di tempat lain, di waktu yang bersamaan,TT baru akan keluar toko bersama dengan Jenny. TT diajak oleh mantan calon iparnya itu pulang bersama pakai mobilnya.Jenny ingin pergi bersama TT, tapi enggan memakai motor.“Kalo mau bareng aku, ya pake motor!” tegas TT.Jenny cemberut. Namun daripada bikin TT marah dia akhirnya menyetujui tawaran TT.“Iya deh. Tapi jangan ngebut-ngebut! Aku takut,” pinta Jenny, MANJA.TT hanya mengangguk. Baru
Alanis memperkenalkan Yanto kepada TT.Alanis juga menjelaskan kalau Yanto adalah teman kuliahnya dulu yang sekarang jadi dokter di rumah sakit ini dan juga tadi telah membantu Alanis soal adminitrasi perawatan ibunya di rumah sakit.“Ohh, sudah dapat pahlawan baru ya sekarang?” sindir ketus TT.Alanis jadi merasa tidak enak dan menarik tangan TT untuk mengajaknya menjauh agar bisa ngobrol berdua tanpa ada Yanto.“Mas, kok gitu sih ngomongnya?” kata Alanis coba beri pengertian pada TT.“Emang begitukan kenyataannya?” balas TT nambah ketus.“Ya tapikan aku nggak enak sama Yanto, mas.”“Yanto? Harusnya kamu lebih nggak enak sama aku daripada sama dia!” sindir TT dengan lebih meninggikan suaranya.Alanis mendelik, bertanya-tanya kenapa TT jadi berubah seperti ini. Ada apa?Alanis yang tadinya bersikap sopan menjadi terpancing emosi. Tanpa kontrol dia mengatakan kecurigaannya pada lelaki yang kini ada di hadapannnya.“Apa karena Mas TT sering nolongin aku, sekarang mas bisa bersikap seena
Alanis menangis di depan pusara Ibunya. Satu-satunya keluarga Alanis yang tersisa kini telah tiada. Penyesalannya, kenapa hanya sedikit waktu yang dia rasakan bersama mama tercintanya setelah dia bebas dari penjara.Alanis merasa hanya kemalangan yang dia berikan kepada Ibunya, bukan kebahagiaan yang seharusnya diberikan seorang anak kepada orangtuanya.Sakit yang diderita Amartha, Alanis menyalahkan dirinya penyebab semua itu. Tragedi kecelakaan empat tahun lalu benar-benar telah menghancurkan keluarga bahagia milik Alanis, karena kesalahan Alanis.“Maafin Alanis, ma. Maaf. Mama pergi gara-gara Alanis.”Hanya kata maaf yang bisa terucap. Air mata yang mengalir nyaris tak terhenti. Tangisan sendu Alanis mewarnai suasana pemakaman yang tampak sepi. Tak banyak orang yang hadir disana.Di samping Alanis yang selalu mencoba menenangkan Alanis adalah seorang lelaki, tapi bukan TT. Yanto yang ada disana.“Elo yang kuat ya, Nis. Gue ada di sini sama elo,” ucap Yanto pada Alanis.Dan TT hanya
Sambil memeluk foto Ibunya, Alanis termenung memikirkan nasibnya saat ini. Dia dipaksa pindah dari rumah kontrakannya, belum lagi besok dia sudah harus kembali bekerja di rumah Tresno, sesuatu yang paling tak ingin dia kerjakan untuk saat ini.Alanis jadi teringat perkataan Tresno saat pertama kali dipaksa bekerja disana, pilih menderita bekerja di rumah Tresno atau pilih menderita di luar sana agar Ibunya Alanis yang sakit-sakitan menyaksikan secara langsung balas dendam yang dilakukan Tresno untuk menyakiti Alanis.“Sekarang mama udah nggak ada, harusnya gue nggak perlu takut lagi sama ancaman itu!” batin Alanis berbisik.Tapi masalahnya sekarang adalah...“Gue butuh banget uang! Gue harus kuat sampai gajian nanti, baru gue pergi darisana!” Dan akhirnya Alanis meyakinkan diri untuk memilih keputusan yang sangat dia benci.Faktor ekonomi memang jadi masalah besar buatnya sekarang. Belum lagi dia harus cari rumah kontrakan baru, pasti butuh uang cepat.“Kemana gue harus cari uang ya
Jelang tidurnya, TT melamun sambil menatap langit-langit kamarnya. Sangat dalam, kayaknya lebih dalam dari dasar samudera hindia.“Alanis...”Nama itu yang selalu tersebut dan dibayangkan dalam otak hatinya. Ada raut penyesalan, banyak dan terlalu banyak.“Kenapa sih harus dia?”Suara pikiran yang pertama jelas tentang kenapa harus Alanis yang jadi penyebab kematian kakaknya. TT sudah terlanjur suka, bahkan kekhawatirannya yang selalu saja muncul melihat kesulitan yang menimpa Alanis.Bisa disebut itu sebagai rasa sayang untuk Alanis yang sudah tumbuh dalam diri TT. Lama-lama juga kalau dia lebih sering bersama Alanis, cinta itu akan tertanam di jantung hati TT.Tapi yang TT paling takutkan jika dia memaksakan diri untuk mengejar Alanis, penghalang terbesarnya bukanlah Alanis melainkan...“Mami pasti bisa ngerti. Tapi papi? Nggak mungkin! Dia sangat benci sama Alanis!” TT memang belum sepenuhnya memutuskan menyerah pada Alanis, tapi dia juga tak berani untuk melangkah maju untuk memp