"Kau hidup seperti iblis, Glen. Ikutlah denganku, hentikan perusahaan bodohmu itu. Apa kau sadar bahwa perusahaanmu itu mendukung tindakan kriminal?" cibir Marlin, berdiri melipat kedua tangan di dada saat bicara dengan Glen. "Aku tau, tapi aku suka. Aku sudah hidup dalam kegelapan sejak dulu, aku tidak ingin membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jadi, kau tidak perlu tiba-tiba sok peduli padaku. Sejak dulu kau hanya ingin menjadi yang terbaik tanpa peduli pada aku," sahut Glen, menyalakan rokok dan menghisapnya santai. "Apa kau tidak punya sisi kemanusiaan sedikit pun, Glen?" tanya Marlen, berusaha membujuk adiknya itu. Tapi, kepercayaan Glen pada Marlen sudah hancur karena masa lalu. Andai saja Marlen membela Daddy–nya, pasti Glen masih menyayangi Marlen. Sayangnya, dia justru membela sang Mommy yang jelas-jelas salah karena berselingkuh pada saat itu. "Aku tau, banyak yang mati karena karya hebatku, 'kan? aku selalu menciptakan model pistol baru yang sangat cocok untuk
"Pagi," sapa Glen yang baru saja selesai mandi. Pria itu tampak lebih tampan, dengan rambutnya yang belum sepenuhnya kering. Dengan wangi maskulin, aroma Glen mulai mendekati Akiko yang sedang menyiapkan sarapan. Kecupan pagi seperti biasa mendarat di bibirnya. Akiko bahkan sampai heran kenapa Glen bisa menciumnya semudah itu. Padahal, Glen termasuk orang yang memiliki gengsi tinggi. Dia tidak akan mungkin mau mencium gadis yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. "Kenapa kau bangun sangat pagi? aku jadi tidak bisa melihat wajahmu saat bangun," tanya Glen, mengambil segelas kopi yang baru selesai Akiko buat. "Aku selalu bangun di jam yang sama," jawab Akiko. Dia sudah menyetel alarm, tentu saja selalu bangun tepat waktu. Dia tidak mau Glen marah hanya karena dia telat menyiapkan sarapan. "Hari ini akan ada tamu penting di kantor, pakailah dress yang bagus," ujar Glen. "Mereka tidak akan mengamati aku," sahut Akiko. Bingung saja kenapa Glen selalu menyuruhnya memakai dress ba
Sudah dua minggu sejak Akiko pergi dari apartemen Glen, kini dia tinggal di sebuah kontrakan kecil. Untung saja kartu miliknya tidak dibekukan oleh Mr. Eloise. Jadi, dia bisa bertahan hidup untuk sementara waktu dengan sisa uang yang ada. Beruntung tidak beruntung, Akiko tidak pernah berselera makan sehingga engeluaran jadi lebih sedikit karena dia hanya kembali makanan Kouma yang paling penting. Akiko menatap anjingnya lama, dia bingung bagaimana nasib Kouma jika suatu hari dia tidak ada. Karena tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan lagi, Akiko memutuskan untuk segera bersiap. Kontrakan ini hanya berisi ruang tidur, dapur yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar mandi dan juga ruang tamu. Benar-benar pas untuk Akiko yang tinggal sendirian. "Akiko!" teriak seorang pria, sambil melambaikan tangan semangat."Kak Vian," sapa Akiko balik, mendekati pria yang sudah duduk di bangku taman. Semenjak berpisah dengan Glen, Akiko jadi lebih bebas pergi kemanapun. Bahkan, Vian juga sering
Malam ini Akiko kembali bertemu dengan Vian. Sejak malam berpapasan dengan Glen, Akiko jadi mengurung diri karena takut. Siapa tau, dia bertemu dengan Glen lagi di taman itu. Tapi, karena tidak mau membuat Vian khawatir akhirnya dia menyetujui untuk datang ke taman lagi malam ini. Mereka makan ice cream bersama lalu membicarakan soal kesehatan Akiko. "Kira-kira, berapa lama lagi obatmu bertahan? aku bingung, kenapa kau tidak meminta obat lagi akhir-akhir ini? apa kau minum dengan rutin?" tanya Vian berturut-turut. Dia khawatir saja, karena obat yang sudah berjalan selama satu bulan itu tidak juga habis. Padahal, biasa untuk kapasitas satu minggu saja. "Aku minum waktu rasa sakitku terasa luar biasa, jika tidak begitu terasa maka tidak aku minum," jelas Akiko seadanya. "Minum saja secara rutin seperti yang aku tuliskan di resep. Sudah berkali-kali aku katakan, jangan khawatir soal biaya apapun, Akiko. Aku bisa membantumu berobat, jadi jangan takut kehabisan obat," ujar Vian. "Terima
Udara dingin yang menusuk, membuat seorang gadis terbatuk beberapa kali sambil memakai jaketnya. Dengan sisa tenaga, dia mencoba bangkit dari sofa dan berjalan keluar rumah. Akiko kini sedang menatap kosong ke langit. Sudah beberapa hari ini dia mengurung diri di kamar, hanya bertahan dengan air putih dan roti saja. Bahkan, Vian yang datang pun tidak dibukakan pintu. Jadi, pria itu pikir Akiko sudah pindah. Jika tau kalau ujungnya akan asing seperti ini, dia tidak akan mengungkapkan perasaan pada Akiko. Biar saja perasaannya terkubur asal mereka masih punya hubungan baik. "Dingin," gumamnya. Dengan kondisi yang memburuk, Akiko justru tidak pernah minum obat atau pergi ke dokter. Dia hanya berbaring sepanjang waktu, berharap kematian cepat menjemputnya. Namun, hari ini Akiko berniat pergi ke panti asuhan tempat Ethan tinggal. Anak laki-laki yang pernah Akiko rawat itu pasti sudah menunggunya, entah bagaimana kabarnya sekarang. Yang pasti, Akiko akan datang sambil mengucapkan selamat
"Tuan, saya rasa mobil tidak akan masuk ke dalam sana," ucap Hans melihat Akiko yang turun dari mobil, berjalan masuk menuju area hutan. "Aneh sekali, untuk apa dia datang ke tempat seperti ini?" bingung Glen sambil turun dari mobil. Di udara dingin begini, dia merasa aneh pada tujuan Akiko. Gadis itu masih belum sadar, bahwa ada yang mengikutinya sejak tadi. Sedangkan Akiko menatap salju yang perlahan turun, tangannya terulur menyambut butiran salju di awal bulan ini."Aku tidak akan bisa melihat salju lagi setelah ini," gumamnya. Glen menatap dari posisinya, saat ini cahaya bulan membuat Akiko bertambah cantik dengan kulit seputih saljunya. Tanpa sadar, senyuman tercipta di wajah tampan itu. "Suka salju?" tanya Glen tiba-tiba, membuat gadis di hadapannya sontak kaget sambil memundurkan diri."Glen…," lirihnya, tidak menyangka bertemu lagi dengan Glen. Sebenarnya, tujuan Akiko datang ke hutan ini adalah untuk mengakhiri hidup. Dia tidak ingin berhubungan dengan siapapun, bahkan saat
Suara berisik dari dapur, membuat Akiko membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Glen menumpuk banyak sekali selimut agar tubuhnya tetap hangat selama tidur. Gadis itu juga baru sadar kalau dia tidur di kasur, artinya Glen memindahnya semalam. Akhirnya, Akiko memutuskan untuk bangkit dari ranjang. Penasaran, ke mana Glen pergi pagi-pagi buta seperti ini. Dia pikir, pria itu sudah pulang. Ternyata, dia sedang menyiapkan makanan di dapur setelah memesannya secara online. "Bangun juga kau akhirnya," gumam Glen, melihat Akiko yang berdiri bersandar pada tembok untuk menopang tubuh lemahnya. "Kau tidak tidur?" tanya Akiko, melihat wajah lelah Glen."Aku tidak suka tempat ini," jawaban itu membuatnya langsung paham. Pria kaya seperti Glen tidak akan betah tinggal di tempat sederhana ini. Pasti, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. "Ayo, sarapan. Kita akan segera pergi dari sini, aku sudah tidak tahan," ujar Glen meletakkan bubur hangat di meja. Akiko ter
Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya mereka sampai di apartemen Glen. Ini masih pukul 7 pagi, jadi udara dingin masih sangat menusuk. Bahkan, banyak orang yang enggan keluar dari tempat tidur mereka. "Tuan, ada kiriman dari Nyonya Harley," Hans memberikan bingkisan pada Tuannya. Mendengar nama Harley, perhatian Akiko jadi teralihkan. "Mommy-nya Glen?" bingungnya dalam hati. "Buang saja, aku tidak menginginkannya," tegas Glen. "Tapi, pesan ini terlihat sangat penting," bujuk Hans lagi. "Berikan pada Aiko, aku tidak ingin menyentuh barang apapun dari wanita itu," titah Glen, sehingga Hans memberikan bingkisan itu pada Akiko. Kemudian, keduanya masuk ke dalam apartemen. "Apa boleh aku buka?" tanya Akiko. Disambut dengan anggukan setuju dari Glen yang sedang melepaskan jaket tebalnya karena berniat ingin mandi sebelum berangkat kerja. "Hadiah ulang tahun? kau ulang tahun hari ini?" tanya Akiko lagi. "Iya, mungkin," sahut Glen ragu, karena pria itu juga tidak peduli soal ha