Udara dingin yang menusuk, membuat seorang gadis terbatuk beberapa kali sambil memakai jaketnya. Dengan sisa tenaga, dia mencoba bangkit dari sofa dan berjalan keluar rumah. Akiko kini sedang menatap kosong ke langit. Sudah beberapa hari ini dia mengurung diri di kamar, hanya bertahan dengan air putih dan roti saja. Bahkan, Vian yang datang pun tidak dibukakan pintu. Jadi, pria itu pikir Akiko sudah pindah. Jika tau kalau ujungnya akan asing seperti ini, dia tidak akan mengungkapkan perasaan pada Akiko. Biar saja perasaannya terkubur asal mereka masih punya hubungan baik. "Dingin," gumamnya. Dengan kondisi yang memburuk, Akiko justru tidak pernah minum obat atau pergi ke dokter. Dia hanya berbaring sepanjang waktu, berharap kematian cepat menjemputnya. Namun, hari ini Akiko berniat pergi ke panti asuhan tempat Ethan tinggal. Anak laki-laki yang pernah Akiko rawat itu pasti sudah menunggunya, entah bagaimana kabarnya sekarang. Yang pasti, Akiko akan datang sambil mengucapkan selamat
"Tuan, saya rasa mobil tidak akan masuk ke dalam sana," ucap Hans melihat Akiko yang turun dari mobil, berjalan masuk menuju area hutan. "Aneh sekali, untuk apa dia datang ke tempat seperti ini?" bingung Glen sambil turun dari mobil. Di udara dingin begini, dia merasa aneh pada tujuan Akiko. Gadis itu masih belum sadar, bahwa ada yang mengikutinya sejak tadi. Sedangkan Akiko menatap salju yang perlahan turun, tangannya terulur menyambut butiran salju di awal bulan ini."Aku tidak akan bisa melihat salju lagi setelah ini," gumamnya. Glen menatap dari posisinya, saat ini cahaya bulan membuat Akiko bertambah cantik dengan kulit seputih saljunya. Tanpa sadar, senyuman tercipta di wajah tampan itu. "Suka salju?" tanya Glen tiba-tiba, membuat gadis di hadapannya sontak kaget sambil memundurkan diri."Glen…," lirihnya, tidak menyangka bertemu lagi dengan Glen. Sebenarnya, tujuan Akiko datang ke hutan ini adalah untuk mengakhiri hidup. Dia tidak ingin berhubungan dengan siapapun, bahkan saat
Suara berisik dari dapur, membuat Akiko membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa sangat berat, ternyata Glen menumpuk banyak sekali selimut agar tubuhnya tetap hangat selama tidur. Gadis itu juga baru sadar kalau dia tidur di kasur, artinya Glen memindahnya semalam. Akhirnya, Akiko memutuskan untuk bangkit dari ranjang. Penasaran, ke mana Glen pergi pagi-pagi buta seperti ini. Dia pikir, pria itu sudah pulang. Ternyata, dia sedang menyiapkan makanan di dapur setelah memesannya secara online. "Bangun juga kau akhirnya," gumam Glen, melihat Akiko yang berdiri bersandar pada tembok untuk menopang tubuh lemahnya. "Kau tidak tidur?" tanya Akiko, melihat wajah lelah Glen."Aku tidak suka tempat ini," jawaban itu membuatnya langsung paham. Pria kaya seperti Glen tidak akan betah tinggal di tempat sederhana ini. Pasti, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. "Ayo, sarapan. Kita akan segera pergi dari sini, aku sudah tidak tahan," ujar Glen meletakkan bubur hangat di meja. Akiko ter
Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya mereka sampai di apartemen Glen. Ini masih pukul 7 pagi, jadi udara dingin masih sangat menusuk. Bahkan, banyak orang yang enggan keluar dari tempat tidur mereka. "Tuan, ada kiriman dari Nyonya Harley," Hans memberikan bingkisan pada Tuannya. Mendengar nama Harley, perhatian Akiko jadi teralihkan. "Mommy-nya Glen?" bingungnya dalam hati. "Buang saja, aku tidak menginginkannya," tegas Glen. "Tapi, pesan ini terlihat sangat penting," bujuk Hans lagi. "Berikan pada Aiko, aku tidak ingin menyentuh barang apapun dari wanita itu," titah Glen, sehingga Hans memberikan bingkisan itu pada Akiko. Kemudian, keduanya masuk ke dalam apartemen. "Apa boleh aku buka?" tanya Akiko. Disambut dengan anggukan setuju dari Glen yang sedang melepaskan jaket tebalnya karena berniat ingin mandi sebelum berangkat kerja. "Hadiah ulang tahun? kau ulang tahun hari ini?" tanya Akiko lagi. "Iya, mungkin," sahut Glen ragu, karena pria itu juga tidak peduli soal ha
Seharian Glen bekerja di kantor dengan pikiran gusar, rasanya masih tidak nyaman karena meninggalkan Akiko di gudang gelap itu sendirian tanpa makan atau minum. Tapi, sifat egoisnya membuat rasa kasihan jadi terhalang tembok tinggi. "Tuan Glen, apakah nona Akiko belum datang juga sampai hari ini?" tanya seorang karyawan yang sedang menyerahkan tugas pada Glen. Dia merasa bingung karena sudah satu bulan lebih Akiko tidak datang ke kantor, padahal dia pikir Akiko punya hubungan spesial dengan Glen. Pria itu menatap tajam, sehingga lawan bicaranya langsung menunduk takut. "Untuk apa kau membicarakan Aiko?" tanya Glen balik. "Ti—tidak, Tuan. Saya hanya rindu saja, nona Akiko sangat baik dan manis. Dia suka sekali memberikan makan siangnya pada kami," jelasnya. Membuat Glen menatap bingung, sambil berdiri dari duduknya. "Jadi, menurutmu Aiko punya sifat manis seperti itu?" hardik Glen."Iya, dia suka melihat orang yang makan dengan lahap. Jadi dia sering memberikan makanannya," jelas ka
"Aiko, apa kau benci keluargamu?" pertanyaan tiba-tiba dari Glen membuat gadis itu terdiam ketika sedang menyelesaikan masakan. Dia mengambil masakan yang baru matang, kemudian meletakkannya di meja. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" bingung Akiko. "Ketika kau dijemput oleh kakakmu, kau justru tidak mau pergi bersamanya dan mengatakan hal-hal kejam. Padahal, kau bisa lepas dariku jika memanfaatkan kesempatan," hardik Glen sambil terus menatap gadisnya itu. "Kalau aku pergi, aku yakin kau tidak akan membiarkan keluargaku hidup tenang. Lagi pula, tidak semua keluarga bisa jadi tempat ternyaman. Aku lebih memilih berhadapan langsung denganmu, daripada menerima luka dari keluargaku sendiri," papar Akiko sembari mengambil makanan untuk Glen. "Kau lebih memilih disiksa olehku, dari pada keluargamu?" ulang Glen memastikan. "Rasanya jauh lebih sakit jika disiksa oleh keluargaku sendiri. Sedangkan bersama denganmu, aku sudah menyiapkan diri kapanpun kau marah atau ingin membunuhku," penje
Di area parkir apartemen, kini Glen sedang menunggu Akiko dan Hans untuk berangkat ke kantor. Berhubung mobil miliknya keluaran terbaru, jadi dia lebih leluasa melakukan apa pun di mobil tanpa harus diperhatikan oleh Hans yang menyetir sebab ada partisi, alias sekat bagian mobil. Apalagi, pria itu suka sekali menggoda Akiko atau menciumnya sembarang. Sehingga Akiko sering merasa canggung karena ada Hans, walau pria itu tidak pernah protes dan menjalankan tugas dengan baik. "Aku ingin ikut!" suara Daisy mengalihkan perhatian Akiko yang baru saja ingin masuk ke mobil. "Kenapa kalian meninggalkan aku, sih!" protes gadis itu, sembari menata tas dan juga rambutnya agar terlihat lebih rapi. "Aku sudah mengizinkanmu tinggal di apartemenku, jadi jangan mengganggu waktuku saat bekerja," geram Glen. "Aku tau, Kak. Tapi rasanya pasti bosan jika ada di apartemen sendirian, apalagi ruanganku belum terisi. Bukankah lebih baik aku ikut dan mengamati kantormu? siapa tau … aku bisa jadi pebisnis h
"Makan siang sudah siap, mau aku ambilkan?" tawar Akiko saat jam makan siang berbunyi. Biasanya, Akiko akan mengambilkan makanan dari kantin kantor untuk Glen makan di ruang pribadinya. Kalau pria itu jakut makan di kantin, pasti para karyawan akan sungkan dan memilih tidak makan karena merasa tidak nyaman. "Asal kau makan, aku juga akan makan," jawaban Glen membuat Akiko terdiam. "Glen…," tegur Akiko. Dia tidak ingin makan, apalagi menu hari ini tidak begitu cocok dengannya. Sejak sakit, Akiko lebih suka makan sesuatu yang lembut dan manis. "Kau bisa tidak makan seharian, jadi ku juga bisa melakukannya," hardik Glen. "Kita berbeda, kau bisa sakit nanti," bujuk Akiko. Saat ini dia merasa pria itu bersikap seperti anak kecil, bahkan lebih keras kepala. "Sekali tidak, tetap tidak," tegas Glen, sehingga Akiko menghela nafas pasrah sambil berjalan keluar ruangan. "Baiklah, aku akan makan," kata Akiko. Lalu, dia tidak sengaja berpapasan dengan Hans, pria itu baru saja datang untu