LOGIN“Steven?!” Aku sedikit membelalak. “Apa yang kau lakukan di sini?”“Menjemputmu,” jawabnya enteng. Dia menunjuk Jane dengan dagunya, lantas melanjutkan, “Jane bilang, ada ibu hamil yang membutuhkanku.”Aku tercengang.Segera kualihkan tatapanku ke arah Jane. “Kau memberitahunya?! Tanpa sepengetahuanku?!”Dia tidak menjawab, malah langsung memaksaku untuk masuk ke mobil.“Masuk dulu saja! Kita bicara di jalan,” katanya.Jane membuatku duduk di kursi depan, persis di samping Steven yang menyetir mobil. Sedangkan dia duduk di kursi belakang.Aku tak berhenti protes pada mereka berdua, terutama kepada Jane yang mendatangkan Steven tanpa mengatakan apa-apa dulu padaku.Saat aku baru selesai periksa kandungan pula.Itu memberi keterangan jelas bahwa Steven... sudah tahu aku hamil.“Ini demi kebaikanmu, Anna. Kau harus mulai membahas dengan Steven tentang kondisimu, bahwa kau mungkin ‘akan’ membutuhkan bantuannya jika situasi memburuk. Aku khawatir pada keselamatanmu dan bayimu,” tutur Jane.
Membawa amplop cokelat yang kuambil dari lemari, aku bergegas keluar dari kamar utama, dan menutup pintunya rapat-rapat seperti tak tersentuh.Cemas bukan main dengan nasib hasil USG pertamaku, aku masih gemetar ketika pergi ke kamarku di lantai bawah, lalu menyimpan amplop itu baik-baik di dalam tasku.Ini benar-benar gawat!Kenapa hasil USG itu tidak ada?!Mengingat benda itu ada di dalam kamar utama, maka jelas yang bisa menyentuhnya hanya Mark, Paula, dan mungkin pelayan yang bertugas membersihkan kamar.Tapi mana mungkin pelayan berani menyentuh barang yang kelihatan penting di dalam lemari?“Kemarilah, Anna! Minum teh bersama kami,” panggil Morgan Lawrence ketika aku baru menutup pintu kamar tamu yang kutempati.“I-iya, Tuan!” jawabku spontan.Setelah menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskannya perlahan—berusaha menenangkan diri—aku segera pergi ke ruang keluarga Lily bersama kakek dan neneknya mereka berada.Mereka sedang bersantai menikmati teh, sedangkan Lily menikmati
“Anna, aku mencin—”Ucapan Mark yang tertahan dan tak diselesaikan itu, membuatku kepikiran sampai keesokan harinya.Kemarin, Mark pasti ingin bilang ‘Aku mencintaimu’, ‘kan?Atau aku yang terlalu percaya diri?Bahkan ketika berkegiatan bersama Lily dan orang tua Mark di penthouse, aku kerap melamun karena memikirkannya.Seperti Minggu pagi hari ini. Lily merengek meminta bermain sepatu roda di taman. Dan ketika aku menemani gadis kecil itu, aku sempat melamun menatap danau di kejauhan dari arena bermain sepatu roda anak-anak, lagi-lagi memikirkan perkataan Mark kemarin.“Ibu!”Aku segera tersadar dari lamunanku dan melempar pandangan ke sekeliling, mencari titik Lily menjerit memanggilku.Kudapati gadis pirang itu meluncur dengan sepatu roda pink-nya ke arahku, terburu-buru, hingga keseimbangannya hampir hilang.Beruntung, aku masih sempat bergerak cepat untuk bangkit dari duduk, lantas menangkap tubuh Lily yang sudah dekat denganku, sebelum dia terjerembab jatuh.“Pelan-pelan saja,
Ketika Paula melihatku berbicara dengan Inez dari depan pintu kamar Lily, aku tahu, kebenciannya padaku semakin besar.Tak mungkin dia baik-baik saja setelah mendengar ibu mertuanya sendiri merendahkannya.“Nenek?” panggil Lily, melangkah menghampiri tempatku dan Inez berada.Gadis kecil itu meraih telapak tangan neneknya untuk digandeng, lalu dengan semringah dia menunjukku dan berkata, “Cepat minta izin pada ibu, Nenek! Aku ingin makan es krim.”Senyum Inez kembali terukir.Wanita berusia lima puluhan yang kulitnya sekencang sutra dalam tarikan rapi itu memandangiku, lantas bertanya, “Sepertinya Lily lebih akrab denganmu daripada ibunya sendiri, ya?”Aku tersenyum canggung.“Astaga... seandainya wanita seperti dirimu benar-benar menjadi menantuku.”Kugigit kuat bagian dalam bibir bawahku sendiri, lalu melirik ngeri ke arah pintu, khawatir jika Paula mendengar apa yang baru saja dikatakan Inez.Ternyata, Paula sudah tidak ada di sana. Untung saja!“Apakah Lily boleh makan es krim mal
“Orang tua teman-teman Lily mengira kau menikah lagi dan punya istri baru!!”Mark menoleh ke arahku, seakan meminta penjelasan.Tapi aku tidak bisa menjelaskan apa-apa saat ini. Lidahku terlalu kelu.Bahkan untuk bernapas pun aku sungkan.Belum selesai keributan yang terjadi di ruang tamu, tiba-tiba pintu masuk penthouse terbuka.Di sela suara tangisan Lily yang masih sesenggukan di pelukanku, kami mendengar David menyapa orang yang baru datang dengan nada sedikit terkejut.Dan ternyata, yang datang adalah Inez dan Morgan Lawrence!Awalnya mereka cemas karena mendengar tangisan cucu kesayangan mereka. Tapi begitu memasuki penthouse lebih dalam, lalu melihat aku dan Paula, mereka langsung terkejut.Terutama Inez.“Ya Tuhan...,” gumam Inez sambil menutup mulut dengan ujung telapak tangan kanannya, menatapku dan Paula secara bergantian, penuh rasa tak percaya.Mark tampaknya semakin lelah. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya sejenak, sebelum mengembuskan napas panjang
“Sepertinya ada yang sedang kau sembunyikan dariku. Terkait pembicaraanmu dengan sahabatmu tempo hari. Mengenai hamil.”Aku tertegun. Kuletakkan sendok dan garpuku ke atas piring, lantas mengerjapkan mata beberapa kali dan memasang ekspresi polos.“M-maksudmu? Aku... tidak menyembunyikan apa-apa,” responsku.Alis Mark sedikit terangkat. Setelah mengamatiku dalam-dalam, seakan mencari celah kebohongan, dia berkata, “Kau tampak panik saat sahabatmu bicara padaku kemarin. Agak berlebihan untuk sekadar membahas kehamilannya.”Napasku makin tercekat.“Jika itu benar-benar tentang kehamilan sahabatmu, kenapa kau yang terlihat paling terganggu dan seperti... panik?”Aku berdeham singkat untuk memastikan tidak akan terbata-bata, lalu berusaha tenang ketika menjawab, “Terganggu bagaimana maksudmu? Aku biasa saja. Kemarin... ehm, aku memang sudah berjanji pada Jane akan membantunya selama dia h-hamil. Makanya aku tidak enak hati padanya, lalu berujung berdebat ketika kukatakan akan kembali ting







