Share

Bab 7. Memilih Pergi

Edgar baru saja pergi ke kamar mandi untuk memuaskan dirinya sendiri. Melihat payudara Lolita yang berukuran besar dan begitu menggoda tadi, membuat celananya sesak. Ini sungguh menyiksanya jika ditahan lebih lama lagi, sehingga dia harus melampiaskan gairah birahinya yang terlanjur terangsang. 

Kini Edgar kembali kepada Lolita, memasuki ruang utama gedung megah yang dipadati para alumni dan wali mereka. Dia berjalan menghampiri Lolita yang terlihat sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin mereka sedang mengobati rindu. Batin Edgar terus melangkah mendekat.

Namun, kedua alis gelap Edgar menyatu ketika mendapati suasana di sekitarnya begitu tegang, dan dia mendengar jika salah satu teman Lolita mengatakan jika Lolita pergi dengan sugar daddynya. Dan sugar daddy yang gadis itu maksud adalah Edgar.

Edgar maju selangkah demi selangkah dengan mengulas senyumnya. Dasar remaja zaman sekarang, gurauannya sungguh di luar akal. Bagaimana mungkin pria setampan dirinya jadi sugar daddy gadis berisik dan pembuat ulah seperti Lolita. Tapi, demi mencairkan suasana yang terlanjur tegang, maka dia berucap santai, "Ya, aku memang sugar daddynya. Kenapa? Ada yang salah?"

Lolita seketika menoleh ke arah Edgar. Matanya membulat dan terlihat terkejut. Dia buru-buru mengoreksi ucapan Edgar. "Bukan. Om Edgar bukan sugar daddyku!" bantahnya dengan suara lantang dan penuh penekanan.

Edgar mengedikkan bahunya ringan, tak ingin peduli bantahan Lolita. Dia beralih menatap satu per satu teman Lolita dengan alis terangkat sebelah. "Lolita, kenapa kau tidak mengenalkanku pada teman-temanmu ini?"

Lolita mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menguatkan diri. Edgar muncul di waktu yang sangat tidak tepat, dan apa yang baru saja pria itu katakan memperburuk situasi yang Lolita hadapi. Kini teman-temannya menatap Lolita jijik seakan Lolita adalah kotoran. 

"Tidak perlu, Om," jawab Lolita singkat sambil menyembunyikan luka melepuh di lengannya dari pandangan Edgar. Dia tidak mau Edgar mengetahuinya dan memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Itu hanya akan membuat ayahnya khawatir. Dia tidak ingin hal itu terjadi.

Mata Lolita berkaca-kaca. Semua pandangan merendahkan terpusat padanya, dan itu membuatnya sesak. Kenangan pahit dua tahun yang lalu, di mana Lolita dibully dengan parah pun kembali terbayang. Lolita tidak kuat lagi menghadapi semua ini, dan dia memilih berlari pergi ke luar gedung.

Lolita menghentikan gerakan kakinya ketika sebuah tarikan di lengannya yang tak terluka begitu kuat, bahkan dia sampai nyaris tersungkur jika Edgar tidak segera menangkapnya.

"Ada apa denganmu, huh?!"

Lolita bergeleng dan menegakkan tubuhnya. Dia membuang wajahnya ke arah lain, menghindari kejaran mata Edgar yang menuntut sebuah jawaban.

"Bukannya tadi hanya bercanda. Kau marah hanya karena itu?" Edgar melepaskan lengan Lolita dan bergeleng gusar. "Kau sungguh tidak bisa diajak bercanda ya."

Emosi Lolita seketika tersulut mendengar Edgar. Dia membalas tatapan Edgar dengan kecewa dan marah. "Hanya bercanda? Bagi Om itu hanya sebuah candaan?" tanyanya dengan suara bergetar. "Ini sangat tidak lucu, Om."

Air mata Lolita menetes, mengalir di pipinya yang putih pucat. Dia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. "Om tidak pernah memikirkan perasaanku. Tidak pernah peduli kalau ucapan Om bisa membuatku terluka."

Edgar merasa dirinya dan Lolita sekarang tengah menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di luar gedung. Bisik-bisik mereka terdengar samar. Edgar segera menarik pergelangan tangan Lolita, mengajaknya ke mobil. "Kita bicarakan lagi saat sudah ada di dalam mobil, Lolita."

Lolita menghempaskan cekalan Edgar di tangannya. "Jangan menyentuhku, Om! Aku bisa pergi sendiri!"

Lolita berjalan mendahului Edgar menuju mobil pria itu yang terparkir di depan gedung. Dia enggan berucap, meski dia sekarang sudah berada di dalam mobil bersama Edgar.

Lolita menatap lurus ke depan, mulutnya masih terbungkam. Entah kenapa dia menjadi kecewa dan sangat marah karena Edgar yang tak peduli padanya. Memangnya, Lolita bisa berharap apa pada pria berhati batu itu? Tanpa sadar sebuah senyum getir terulas di bibirnya samar. 

"Aku mau pulang, Om. Antarkan aku pulang ke rumah," tukas Lolita tiba-tiba, mengejutkan Edgar sampai pria itu memutar tubuhnya menghadap Lolita tidak percaya.

Edgar tak kunjung menyalakan mobilnya, dia menatap Lolita dengan kening yang berkerut. "Aku tidak bisa mengantarkanmu sekarang ke rumahmu. Kau harus meminta persetujuan dari Roy dulu," balasnya setengah gusar.

Lolita membuang napasnya dengan berat. Sebuah ide gila muncul di kepalanya. Mungkin, dia akan menyesali perbuatannya setelah ini. Mungkin juga tidak.

"Apa karena Om khawatir padaku?"

"Khawatir? Iya, tentu. Kau kan anak sahabatku," jawab Edgar enteng.

Edgar kemudian tercekat saat Lolita mendekatkan wajahnya padanya. Jaraknya sangat dekat, sampai dia bisa mencium aroma manis yang menguar dari gadis itu.

"Tapi, sayangnya aku tidak ingin hanya dianggap sebagai anak sahabatmu, Om." Lolita menempelkan bibirnya pada bibir Edgar.

Edgar menikmati bibir Lolita yang tebal dan penuh. Rasanya manis saat dia mengecapnya. Kedua tangan Edgar tak berhenti di tempatnya, dan mulai mencari payudara Lolita yang membuatnya terus kepikiran. Namun, detik berikutnya Edgar mendorong tubuh Lolita menjauh. Edgar mendapatkan kembali kewarasannya.

"Kau anak sahabatku. Tidak seharusnya ini terjadi. Jangan memancingku, Lolita!"

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status