LOGINLima tahun telah berlalu sejak kepergian Clara dan suaminya. Waktu seakan berlari, dan kini Aurel telah tumbuh menjadi seorang gadis berusia dua puluh tahun. Gadis itu bukan lagi anak belia yang rapuh dan penuh tangis, ia menjelma menjadi seorang wanita muda yang cantik, cerdas, dan penuh percaya diri. Di kampusnya, ia dikenal sebagai mahasiswi berbakat dalam jurusan desain busana.
Namun, bagi Leo, Aurel tetaplah gadis kecil yang dulu dititipkan kakaknya di ranjang rumah sakit. Ia masih melihat sosok anak yang perlu dijaga, meski gadis itu kini sudah dewasa dan mulai menjalani dunianya sendiri. Sore itu, di ruang keluarga, Aurel mendekat dengan wajah manja. Ia duduk di samping pamannya, meraih lengan Leo sambil bersandar manja. “Paman, aku minta uang,” katanya dengan suara manis, matanya berkilat penuh kelicikan kecil yang hanya dimiliki seorang gadis muda. Leo menoleh, sedikit mengerutkan dahi. “Untuk apa lagi uang itu? Bukannya baru kemarin aku memberimu uang lebih?” Aurel manyun, memainkan ujung rambutnya. “Yang kemarin sudah habis. Aku ada acara dengan teman-temanku di luar. Aku tidak enak kalau tidak ikut, nanti aku dibilang kuper.” Leo menghela napas, lalu membuka dompet kulitnya yang tebal. Dari dalam, ia menarik beberapa lembar uang. “Jangan boros, Aurel. Kamu harus belajar mengatur keuanganmu sendiri. Ingat, mencari uang tidaklah mudah." Namun, tanpa banyak kata lagi, ia menyerahkan dua juta rupiah pada gadis itu. Aurel langsung tersenyum lebar. “Terimakasih, Paman!” Ia mengecup pipi Leo sekilas lalu berlari ke kamar untuk bersiap-siap. Tak lama kemudian, dengan gaun sederhana namun elegan, Aurel pamit keluar bersama teman-temannya. “Jangan pulang terlalu larut!” seru Leo sebelum pintu tertutup. Aurel hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Jam dinding berdetak lambat. Leo duduk di ruang tamu, membaca koran, sesekali menatap jam. Pukul sembilan, Aurel belum pulang. Pukul sepuluh lewat, tetap tidak ada tanda-tanda. Hatinya mulai gelisah. Ia mencoba menelepon, tapi ponsel Aurel tidak diangkat. Pesan singkat pun tak dibalas. Hingga akhirnya, pukul sebelas malam, Leo memutuskan melacak lokasi ponsel Aurel melalui aplikasi yang diam-diam ia pasang untuk keamanan. Lokasi itu menunjuk ke sebuah klub malam di pusat kota. Leo mendengus marah. “Anak itu…” gumamnya, lalu segera mengambil kunci mobil dan melesat ke sana. Lampu neon warna-warni menyambutnya di depan gedung klub. Musik keras berdentum dari dalam, bercampur suara tawa dan obrolan ramai. Leo masuk, menyingkirkan kerumunan anak muda yang sedang bersenang-senang. Pandangannya berputar, mencari sosok yang dicarinya. Dan di salah satu sudut ruangan, ia menemukannya. Aurel, dengan gaun hitam pendek, wajah memerah karena alkohol, sedang bersandar pada bahu seorang pria asing berbadan kekar. Pria itu menaruh lengannya di pinggang Aurel dengan tatapan penuh maksud. “Dasar gadis genit!” Leo berdesis marah. Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat, menepis tangan pria itu, dan menarik Aurel dari kursinya. “Paman…” Aurel bergumam dengan suara mabuk, matanya setengah terpejam. Pria asing itu berdiri, hendak protes, namun Leo menatapnya tajam. “Jangan coba-coba menyentuh keponakanku lagi, atau aku pastikan kamu menyesal.” Sorot mata Leo yang dingin membuat pria itu mundur, apalagi melihat tubuh Leo yang tinggi dan berwibawa. Tanpa banyak kata, Leo menggendong Aurel di pundaknya, meninggalkan klub malam itu. Teman-teman Aurel masih tertawa, sibuk dengan minuman dan pria-pria lain, tak peduli bahwa salah satu dari mereka telah dijemput paksa. Malam semakin larut ketika mereka tiba di rumah. Leo masih diliputi emosi, wajahnya merah menahan marah. Ia menurunkan Aurel di ruang tamu. “Dasar gadis nakal! Apa yang kamu pikirkan? Mabuk di tempat seperti itu, bersama pria asing?!” bentaknya. Aurel hanya tertawa kecil, wajahnya memerah. “Paman cemburu, ya?” katanya dengan nada menggoda, matanya berbinar nakal. Leo terkejut, urat lehernya menegang. “Kamu mabuk, Aurel. Diam lah!” Namun gadis itu semakin mendekat, tangannya berusaha menyentuh wajah Leo. “Aku tahu Paman sayang aku… lebih dari sekadar keponakan…” “Cukup!” Leo menggeram, menahan pergelangan tangan Aurel. Nafasnya memburu, godaan itu nyaris membuatnya hilang kendali. Dengan cepat, ia menyeret Aurel ke kamarnya. Ia mengambil seutas kain, mengikat tangan dan kaki Aurel ke ranjang agar gadis itu tidak berkutik. “Aku lakukan ini supaya kamu tidak bertingkah macam-macam!” suaranya tegas, meski hatinya bergejolak. Aurel meronta, tapi tubuhnya lemah karena alkohol. Ia hanya bisa menatap Leo dengan senyum miring. “Paman jahat… tapi aku suka…” katanya, lalu tertawa kecil sebelum matanya terpejam. Leo mengusap wajahnya frustasi. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan denganmu, Aurel…” Ia segera memanggil asisten rumah tangga yang tinggal di rumah itu. “Tolong bersihkan dia, ganti pakaiannya. Rawat dia sampai tertidur. Jangan biarkan dia bangun dalam keadaan seperti ini.” Asisten itu mengangguk, segera mengurus Aurel yang masih terikat. Sementara itu, Leo melangkah keluar kamar dengan hati kacau. Ia duduk di teras rumah, menatap langit malam yang gelap. Perasaan marah, cemas, dan bersalah bercampur aduk. Lima tahun ia berusaha menjaga janji pada Clara, membesarkan Aurel dengan baik, tetapi malam ini semua itu terasa goyah. Bayangan wajah Aurel yang mabuk, senyumnya, dan godaannya terus menari di kepala Leo. Ia menepuk dahinya keras-keras, mencoba mengusir pikiran itu. “Aku janji akan menjagamu, Aurel. Bukan sebaliknya…” bisiknya lirih, seolah mengingatkan dirinya sendiri. Namun jauh di lubuk hati, Leo tahu malam ini telah membuka pintu pada sesuatu yang selama ini berusaha ia hindari. Bersambung....Sore merayap masuk melalui jendela ruang keluarga, menebarkan cahaya keemasan yang hangat namun membuat suasana terasa menegang. Aurel duduk di sofa panjang, kedua tangannya meremas ujung selimut tipis yang ia pangku. Leo berdiri tak jauh dari sana, punggung tegak, rahang mengeras, seolah ia sedang menahan badai yang hanya bisa ia rasakan sendiri.“Aurel,” suara Leo rendah tapi tegas, “untuk sementara waktu… kamu jangan keluar rumah dulu.”Aurel mengangkat wajah. Matanya melebar, menyiratkan rasa bingung bercampur khawatir. “Tidak keluar… sama sekali?”Leo menggeleng pelan. “Untuk sekarang, iya. Pria yang mengejarmu kemarin… aku tidak yakin dia hanya orang iseng. Bisa jadi dia orang jahat. Atau…” Leo menarik napas, tampak ragu mengatakan kelanjutannya. “Atau saingan bisnisku.”Aurel menelan ludah. Jantungnya berdegup. “Saingan bisnismu? Maksud Paman … ada orang yang mencoba membalaskan dendammu melalui aku?”Leo tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan.
Aurel baru saja selesai mandi. Sisa uap hangat masih melekat di kulitnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan rambutnya yang basah tergerai bebas di punggung. Aroma sabun melati yang lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi hatinya tidak selembut aromanya. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal, semacam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Mungkin karena kejadian di pemakaman, atau mungkin juga karena pikiran-pikiran yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik ketenangannya. Ia meraih jaket tipis yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya, sekadar untuk menghalau hawa sore yang mulai turun. Hatinya merasa perlu berjalan sebentar, menghirup udara luar, berharap dapat menenangkan diri meski hanya beberapa menit. Baru saja ia melangkah keluar dari pagar rumah, seorang wanita muncul dari arah kiri, langkahnya ringan namun percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, wajahnya cantik dan segar, pakaian santainya tampak rapi meski sederhana. “Kamu di
Aurel merapatkan mantel tipisnya saat angin pagi menyapu area pemakaman. Udara beraroma tanah basah sisa hujan semalam seakan menyusup ke rongga dadanya, dingin namun menenangkan. Langkahnya, bersama Leo, Widuri, dan Susi—asisten keluarga yang setia—terdengar lembut di lorong makam berlapis kerikil putih. Kerikil-kerikil itu berderak pelan seperti salam dari bumi kepada setiap kaki yang datang membawa rindu.Di tangan Aurel ada kantong kertas cokelat berisi air mineral, dan bunga tujuh rupa. Widuri bisa merasakan kesedihan menyelimuti Aurel, dia mengusap punggung wanita itu lembut.Leo berjalan di sisi kiri Aurel. Setiap dua atau tiga langkah, jemari pria itu tanpa sadar meneguhkan genggaman di pergelangan Aurel. Bukan posesif—itu refleks perlindungan. Leo jarang berkata banyak, namun tubuhnya selalu berbicara lebih jujur daripada mulutnya. Bahunya terbuka sedikit, langkahnya satu ketukan lebih lambat dari Aurel, seakan ia bersedia menjadi perisai sebelum hal buruk sempat mencapai tun
Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari halaman ketika mobil Leo memasuki gerbang rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di dalamnya, Widuri—wanita paruh baya yang selalu tampil anggun dengan rambut disanggul rapi—sudah menunggu dengan wajah penuh harap. Begitu Leo keluar dari mobil, ia membantu Aurel yang masih terlihat lemah. Gadis itu memegang perutnya sesekali, wajah pucat namun ada kedamaian halus dalam tatapannya. Mungkin karena akhirnya ia pulang ke tempat yang dianggapnya aman. “Aurel, Nak…” suara Widuri bergetar pelan ketika melihat gadis itu. Susi, asisten rumah yang setia, mendorong kursi roda Widuri mendekat. Begitu cukup dekat, Aurel langsung berjongkok di hadapan wanita tua itu, memeluknya erat. “Aku kangen, Nenek...” bisiknya dengan suara serak. Widuri mengusap kepala Aurel, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu membuatku cemas. Tapi aku bersyukur kau kembali. Dan sekarang... kau harus tinggal di sini. Jangan kemana-mana lagi.” Aurel t
Ruangan itu berbau obat-obatan yang khas, dingin, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang seharusnya penuh harapan. Aurel terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selimut menutupi tubuhnya hingga dada, selang infus menggantung di sisi kanan tempat tidurnya. Setiap beberapa detik, cairan menetes turun, memberi sedikit kekuatan pada tubuhnya yang lunglai. Rambutnya terurai kusut, wajahnya pucat, dan matanya tampak menghitam karena kurang tidur serta mual yang tak berhenti menghantam sejak pagi.Ketika pintu diketuk sekali dan terbuka perlahan, Aurel tak terlalu berharap siapa pun. Tapi begitu suara langkah masuk dan aroma parfum yang hanya dimiliki satu orang memenuhi ruangan, tubuhnya spontan menegang.“Rell…” panggil suara itu, berat dan hangat.Aurel menoleh perlahan. Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan, mata merah seakan tak tidur semalaman. Begitu tatapan mereka bertemu, air mata Aurel langsung tumpah tanpa sempat ia tahan.“Paman…” suaranya parau, pecah. “Bagai
Pagi hari, Aurel terbangun dengan rasa tidak nyaman yang menusuk dari perutnya. Mual yang tiba-tiba datang membuat tubuhnya terasa lemas. Ia duduk perlahan di atas tempat tidur, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Ruangan di sekelilingnya seolah berputar pelan, membuatnya terpaksa menutup mata untuk mengurangi rasa pusing.“Aduh… kenapa ini…” gumamnya lirih, menelan ludah karena rasa mual yang kembali naik ke tenggorokan.Aurel jarang sekali sakit. Biasanya ia hanya masuk angin atau kecapekan sedikit. Tapi kali ini berbeda. Tubuhnya seperti memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tak beres.Dengan tangan gemetar, Aurel meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung menekan kontak Nadine—bosnya, sekaligus mentor yang paling sering ia andalkan saat panik.Nada sambung terdengar… sekali… dua kali… kemudian masuk ke voicemail.“Kenapa tidak diangkat…” Aurel mengeluh sambil mengusap dahinya.Ia mencoba menelfon lagi, hasilnya sama.Tak ingin pasrah, Aurel menekan nom







