MasukMalam itu terasa semakin menyiksa bagi Leo. Bayangan tubuh Aurel yang terus-menerus menempel padanya, tatapan matanya yang redup karena mabuk, serta kata-kata menggoda yang terlontar begitu saja, terus menghantui kepala Leo.
Di ruang kerjanya, ia duduk gelisah. Matanya terpejam, tetapi setiap kali ia mencoba menenangkan diri, bayangan wajah Aurel muncul begitu jelas. Nafasnya memburu, tubuhnya menegang, dan ia sadar betul bahwa ia sedang berada di ujung kendali. “Tuhan, kenapa aku goyah seperti ini…” gumamnya, menggenggam erat rambutnya sendiri. Ketika ia mengingat bagaimana tangan Aurel tadi menyentuh wajah dan dadanya dengan nakal, Leo merasa tubuhnya terbakar. Ia bangkit, berjalan cepat menuju kamar mandi, lalu menyalakan pancuran air dingin. Tanpa pikir panjang, ia berdiri di bawah guyuran air yang menusuk kulit, berharap semua hasrat gila itu terkubur. Air dingin membuat tubuhnya bergetar, tetapi pikirannya tetap penuh dengan bayangan Aurel. Pada akhirnya, Leo hanya bisa pasrah, berusaha meredakan gejolak tubuhnya sendiri hingga lelah. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia keluar dari kamar mandi, tubuhnya basah kuyup namun pikirannya sedikit lebih tenang. Malam itu, ia berbaring di ranjang, memejamkan mata dengan perasaan bersalah yang berat. “Aku sudah berjanji pada Clara… aku harus menjaga Aurel, bukan malah jatuh pada godaannya…” bisiknya lirih, sebelum akhirnya tertidur dengan hati yang penuh pergulatan. *** Pagi datang, sinar matahari menyusup melalui celah tirai ruang makan. Aroma roti panggang dan kopi mengisi udara. Aurel sudah duduk manis di kursi, rambut panjangnya tergerai, wajahnya segar meski semalam ia pulang mabuk. Gadis itu bahkan terlihat ceria, seperti tidak terjadi apa-apa. Leo duduk di seberangnya, masih dengan wajah dingin. Ia menaruh secangkir kopi di meja dengan suara keras, membuat Aurel menoleh kaget. “Paman kenapa? Wajahnya serem begitu,” tanya Aurel polos sambil mengunyah roti. Leo menatapnya tajam. “Kamu masih berani bertanya? Apa kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan semalam? Seorang gadis perawan belajar merayu pria di sebuah klub malam? Kamu bahkan masih bau minyak telon, Aurel!” suaranya meninggi, penuh emosi. Aurel mendengus, meletakkan roti yang baru setengah dimakan. “Astaga, Paman ini cerewet sekali. Aku hanya ikut teman-temanku bersenang-senang, itu saja.” “Bersenang-senang?” Leo membentak. “Dengan mabuk? Dengan bersandar pada pria asing? Apa itu yang kamu sebut bersenang-senang? Kalau Clara masih hidup, dia pasti hancur melihat kelakuanmu!” Aurel terdiam sejenak, lalu menunduk. Namun tak lama kemudian ia menghela napas panjang, kembali menatap pamannya. “Semua teman-temanku sudah punya pacar, Paman. Cuma aku yang belum. Kenapa? Karena Paman selalu melarang ku dekat dengan pria manapun! Apa Paman mau aku jadi perawan tua?” keluhnya. Leo mengepalkan tangannya di atas meja, menahan diri agar tidak meledak lagi. “Kalau kamu mau punya pacar, aku yang akan mencarikan pria baik untukmu. Seseorang yang bisa menjagamu, bukan merusak mu.” Aurel langsung mendengus keras, lalu tertawa kecil. “Aku bisa cari sendiri, Paman. Aku punya selera sendiri, tidak perlu bantuanmu.” Leo mengerutkan kening. “Selera? Seperti apa selera yang kamu maksud?” Gadis itu tersenyum nakal, lalu menyandarkan dagunya di telapak tangan, menatap pamannya dengan mata berbinar. “Pria bertubuh tinggi besar… tampan, berkulit putih, mata sipit, dan banyak uang. Satu lagi, dia harus royal dan baik padaku.” Leo tercekat. Kata-kata itu seolah mendeskripsikan dirinya sendiri. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dengan kulit cerah dan mata sipit yang kerap dipuji orang, dan tak bisa dipungkiri, ia cukup berada untuk memenuhi kebutuhan Aurel. Keheningan memenuhi meja makan. Leo menatap Aurel lekat-lekat, mencoba membaca maksud dari ucapannya. Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah gadis itu memang sengaja menyindir, bahkan menggoda dirinya? “Dasar gadis nakal…” Leo berbisik pelan, hampir tidak terdengar. Namun Aurel menangkapnya. Senyum lebar tersungging di wajahnya, seolah ia berhasil memancing reaksi sang paman. Ia kembali melanjutkan sarapannya dengan santai, seakan tak ada yang terjadi. Sementara Leo, duduk membeku dengan pikiran yang semakin kacau. Sepanjang pagi, Leo tidak bisa fokus pada apa pun. Kata-kata Aurel terus terngiang di kepalanya. Senyum nakalnya, tatapan menggoda itu—semua menjadi racun yang tak bisa ia singkirkan. Hatinya berteriak bahwa ia harus menjauh, harus tetap memegang janji pada Clara. Namun sisi lain dirinya, sebagai pria lajang berusia 35 tahun yang hidup serumah dengan seorang gadis cantik yang semakin dewasa, terus digoda oleh sesuatu yang tidak seharusnya. Dan di balik itu semua, Aurel tampak seperti sedang menikmati perannya. Gadis itu tahu persis bagaimana membuat pamannya gelisah. Leo menutup wajah dengan kedua tangannya. “Tuhan, jangan biarkan aku kalah…” Namun dalam hatinya, Leo juga sadar. Aurel, terus menjeratnya dengan permainan berbahaya ini. Bersambung ....Sore merayap masuk melalui jendela ruang keluarga, menebarkan cahaya keemasan yang hangat namun membuat suasana terasa menegang. Aurel duduk di sofa panjang, kedua tangannya meremas ujung selimut tipis yang ia pangku. Leo berdiri tak jauh dari sana, punggung tegak, rahang mengeras, seolah ia sedang menahan badai yang hanya bisa ia rasakan sendiri.“Aurel,” suara Leo rendah tapi tegas, “untuk sementara waktu… kamu jangan keluar rumah dulu.”Aurel mengangkat wajah. Matanya melebar, menyiratkan rasa bingung bercampur khawatir. “Tidak keluar… sama sekali?”Leo menggeleng pelan. “Untuk sekarang, iya. Pria yang mengejarmu kemarin… aku tidak yakin dia hanya orang iseng. Bisa jadi dia orang jahat. Atau…” Leo menarik napas, tampak ragu mengatakan kelanjutannya. “Atau saingan bisnisku.”Aurel menelan ludah. Jantungnya berdegup. “Saingan bisnismu? Maksud Paman … ada orang yang mencoba membalaskan dendammu melalui aku?”Leo tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan.
Aurel baru saja selesai mandi. Sisa uap hangat masih melekat di kulitnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan rambutnya yang basah tergerai bebas di punggung. Aroma sabun melati yang lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi hatinya tidak selembut aromanya. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal, semacam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Mungkin karena kejadian di pemakaman, atau mungkin juga karena pikiran-pikiran yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik ketenangannya. Ia meraih jaket tipis yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya, sekadar untuk menghalau hawa sore yang mulai turun. Hatinya merasa perlu berjalan sebentar, menghirup udara luar, berharap dapat menenangkan diri meski hanya beberapa menit. Baru saja ia melangkah keluar dari pagar rumah, seorang wanita muncul dari arah kiri, langkahnya ringan namun percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, wajahnya cantik dan segar, pakaian santainya tampak rapi meski sederhana. “Kamu di
Aurel merapatkan mantel tipisnya saat angin pagi menyapu area pemakaman. Udara beraroma tanah basah sisa hujan semalam seakan menyusup ke rongga dadanya, dingin namun menenangkan. Langkahnya, bersama Leo, Widuri, dan Susi—asisten keluarga yang setia—terdengar lembut di lorong makam berlapis kerikil putih. Kerikil-kerikil itu berderak pelan seperti salam dari bumi kepada setiap kaki yang datang membawa rindu.Di tangan Aurel ada kantong kertas cokelat berisi air mineral, dan bunga tujuh rupa. Widuri bisa merasakan kesedihan menyelimuti Aurel, dia mengusap punggung wanita itu lembut.Leo berjalan di sisi kiri Aurel. Setiap dua atau tiga langkah, jemari pria itu tanpa sadar meneguhkan genggaman di pergelangan Aurel. Bukan posesif—itu refleks perlindungan. Leo jarang berkata banyak, namun tubuhnya selalu berbicara lebih jujur daripada mulutnya. Bahunya terbuka sedikit, langkahnya satu ketukan lebih lambat dari Aurel, seakan ia bersedia menjadi perisai sebelum hal buruk sempat mencapai tun
Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari halaman ketika mobil Leo memasuki gerbang rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di dalamnya, Widuri—wanita paruh baya yang selalu tampil anggun dengan rambut disanggul rapi—sudah menunggu dengan wajah penuh harap. Begitu Leo keluar dari mobil, ia membantu Aurel yang masih terlihat lemah. Gadis itu memegang perutnya sesekali, wajah pucat namun ada kedamaian halus dalam tatapannya. Mungkin karena akhirnya ia pulang ke tempat yang dianggapnya aman. “Aurel, Nak…” suara Widuri bergetar pelan ketika melihat gadis itu. Susi, asisten rumah yang setia, mendorong kursi roda Widuri mendekat. Begitu cukup dekat, Aurel langsung berjongkok di hadapan wanita tua itu, memeluknya erat. “Aku kangen, Nenek...” bisiknya dengan suara serak. Widuri mengusap kepala Aurel, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu membuatku cemas. Tapi aku bersyukur kau kembali. Dan sekarang... kau harus tinggal di sini. Jangan kemana-mana lagi.” Aurel t
Ruangan itu berbau obat-obatan yang khas, dingin, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang seharusnya penuh harapan. Aurel terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selimut menutupi tubuhnya hingga dada, selang infus menggantung di sisi kanan tempat tidurnya. Setiap beberapa detik, cairan menetes turun, memberi sedikit kekuatan pada tubuhnya yang lunglai. Rambutnya terurai kusut, wajahnya pucat, dan matanya tampak menghitam karena kurang tidur serta mual yang tak berhenti menghantam sejak pagi.Ketika pintu diketuk sekali dan terbuka perlahan, Aurel tak terlalu berharap siapa pun. Tapi begitu suara langkah masuk dan aroma parfum yang hanya dimiliki satu orang memenuhi ruangan, tubuhnya spontan menegang.“Rell…” panggil suara itu, berat dan hangat.Aurel menoleh perlahan. Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan, mata merah seakan tak tidur semalaman. Begitu tatapan mereka bertemu, air mata Aurel langsung tumpah tanpa sempat ia tahan.“Paman…” suaranya parau, pecah. “Bagai
Pagi hari, Aurel terbangun dengan rasa tidak nyaman yang menusuk dari perutnya. Mual yang tiba-tiba datang membuat tubuhnya terasa lemas. Ia duduk perlahan di atas tempat tidur, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Ruangan di sekelilingnya seolah berputar pelan, membuatnya terpaksa menutup mata untuk mengurangi rasa pusing.“Aduh… kenapa ini…” gumamnya lirih, menelan ludah karena rasa mual yang kembali naik ke tenggorokan.Aurel jarang sekali sakit. Biasanya ia hanya masuk angin atau kecapekan sedikit. Tapi kali ini berbeda. Tubuhnya seperti memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tak beres.Dengan tangan gemetar, Aurel meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung menekan kontak Nadine—bosnya, sekaligus mentor yang paling sering ia andalkan saat panik.Nada sambung terdengar… sekali… dua kali… kemudian masuk ke voicemail.“Kenapa tidak diangkat…” Aurel mengeluh sambil mengusap dahinya.Ia mencoba menelfon lagi, hasilnya sama.Tak ingin pasrah, Aurel menekan nom







