Share

Bab 5

Author: BalqizAzzahra
last update Last Updated: 2025-10-15 11:04:29

“Jadi, ini kafe yang kamu maksud?" Yura tertegun melihat gedung bercat putih hitam dan bergaya kolonial. Ada banyak hiasan bunga cantik menempel pada badan pintu.

“Tempatnya keren, enak untuk foto-foto,” sambung Yuri dengan wajah penuh semangat.

Aurel tertawa kecil. “Aku tahu, kalian berdua pasti akan suka tempat ini. Ayo kita masuk." Aurel menggandeng Yura dan Yuri.

Mata Yura langsung berbinar. “Wah, ide bagus! Yuk, aku sudah tidak sabar ingin mencicipi makanan dan minuman yang di jual di tempat ini.”

Begitu pintu kaca dibuka, aroma kopi segar dan manis kue baru dipanggang langsung menyambut ketiga gadis cantik itu. Kepala yang tadi pusing memikirkan beban kuliah seketika jadi hilang.

Namun, bukan hanya aroma yang membuat mereka terhibur. Begitu mata Yura menelusuri ruangan, ia bersiul pelan. “Astaga… rasanya seperti kita sedang terdampar di pulau putra duyung.”

Aurel dan Yuri mengikuti arah pandangnya. Benar saja, deretan pria tampan memenuhi Kafe itu. Ada yang sibuk di balik mesin espresso, ada yang berdiri di kasir sambil tersenyum ramah, dan ada pula yang hilir mudik mencatat pesanan dengan kemeja rapi.

Yura menepuk tangannya sendiri, wajahnya sumringah. “Fix! Ini tempat nongkrong favorit baru kita.”

“Dasar,” celetuk Yuri, meski matanya juga sempat terpaku pada barista berambut gondrong yang tampak keren saat menuang kopi.

Tanpa menunggu lebih lama, Aurel melangkah ke kasir. “Aku pesan ice coffee tiga sama kue coklat potong tiga, ya,” ucapnya penuh semangat.

Sementara itu, Yura dan Yuri memilih meja di pojok dekat jendela, tempat yang nyaman untuk nongkrong sekaligus mengamati pemandangan luar.

“Enak juga ya kalau kita punya teman royal, Yura. Kita bisa sering nongkrong sambil makan enak di tempat asik,” komentar Yuri sambil menaruh tasnya di kursi.

Aurel terkekeh. “Itu masalah gampang. Asal kalian mau bantu aku mengerjakan tugas kuliah kalau aku sedang malas." Aurel menyeret kursi dan duduk dengan manis.

“Memangnya kapan kami tidak membantumu?” Yuri memutar bola matanya, lalu tertawa. “Mungkin, kamu tidak akan bisa lulus dari bangku sekolah dan kuliah di universitas favorit tanpa bantuan kami.”

Aurel ikut tertawa sambil menutup mulut. “Hem... Aku sangat berterimakasih pada kalian. Tapi jangan terlalu blak-blakan kawan, aku malu kalau ada orang yang mendengarnya.”

Yuri menggeleng sambil tersenyum. “Berterima kasihlah pada pamanmu juga. Uang pemberiannya membuatmu menyelesaikan banyak hal."

Dengan bangga Aurel menjawab, “Iya. Aku juga sudah sering mengucapkan terimakasih pada paman."

Belum sempat mereka melanjutkan obrolan, seorang waiters datang membawa nampan berisi pesanan. Aroma kopi bercampur cokelat membuat perut mereka seolah bernyanyi.

“Wah, pesanan lengkap. Ayo kita nikmati sore ini!” kata Yura sambil mengambil gelas kopi dan piring kue bagiannya.

Mereka mulai menyeruput minuman dan menggigit kue manis. Obrolan ringan pun mengalir, dari gosip kampus, dosen killer, hingga rencana liburan semester depan. Namun, di tengah tawa, fokus Aurel mendadak buyar. Matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.

Di sudut Kafe, sedikit tersembunyi dari keramaian, duduk seorang pria yang membuat dadanya langsung berdegup kencang. Leo. Pamannya.

Aurel membeku. Tangannya yang memegang garpu kue ikut terhenti. Wajahnya tiba-tiba panas, bukan karena kopi. Leo tampak sedang berbincang dengan seorang wanita cantik. Rambut wanita itu panjang bergelombang, wajahnya manis, senyumnya anggun. Mereka tampak begitu akrab, seolah-olah dunia hanya milik berdua.

“Ada apa, Rel?” tanya Yura heran, melihat perubahan ekspresi sahabatnya. Ia lalu mengikuti arah pandang Aurel. Begitu melihat, matanya membesar. “Sial, itu kan pamanmu? Dengan siapa dia? Astaga, wanita itu cantik sekali!”

Yuri yang penasaran juga menoleh. Bibirnya langsung menyeringai. “Hmm, iya, dia cantik sekali. Jangan-jangan… dia pacar Paman Leo?”

Aurel cepat-cepat menggeleng, meski hatinya goyah. “Harusnya sih bukan. Kalau paman punya pacar, dia pasti cerita padaku.”

“Tapi bisa saja kan mereka baru PDKT?” sahut Yuri santai sambil menyeruput kopinya.

Kalimat itu menusuk telinga Aurel. Jantungnya berdetak tak karuan, dadanya terasa panas, perasaan asing menguasai dirinya. Ia cemburu. Sangat cemburu. Seolah wanita itu sedang merebut sesuatu yang seharusnya menjadi miliknya.

“Aduh, Rel, mukamu langsung berubah cemberut begitu,” Yura menahan tawa. “Kamu cemburu, ya?”

“Tidak!” sangkal Aurel cepat, meski wajahnya jelas memerah. Ia menunduk, pura-pura sibuk memotong kue cokelat di piringnya. Tubuh dan dadanya terasa panas, padahal ac menyala kencang dan di luar cahaya matahari sudah mulai redup.

Namun Yura dan Yuri saling pandang, lalu cekikikan. “Mulut bisa berkata tidak, tapi pandangan mata tak bisa membohongi,” goda Yuri.

Aurel menggigit bibir bawahnya, tidak menjawab. Ia hanya menatap diam-diam ke arah sudut Kafe. Leo terlihat begitu nyaman tertawa bersama wanita itu. Setiap gerakan mereka membuat hatinya semakin tidak tenang.

Di dalam kepalanya, Aurel berdebat dengan dirinya sendiri. 'Apa benar itu pacar paman? Apa wanita itu yang membuat paman selalu menolakku secara halus saat didekati?'

“Aurel…” suara Yura memecah lamunannya. “Kalau kamu tidak nyaman, kita bisa pindah Kafe. Bagaimana?”

Aurel menggeleng. “Tidak usah. Aku tidak mau terlihat seperti orang yang melarikan diri. Tapi…” Ia berhenti sejenak, menahan perasaan yang menyesak. “Aku akan tanya langsung ke Paman nanti di rumah.”

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 58

    Sore merayap masuk melalui jendela ruang keluarga, menebarkan cahaya keemasan yang hangat namun membuat suasana terasa menegang. Aurel duduk di sofa panjang, kedua tangannya meremas ujung selimut tipis yang ia pangku. Leo berdiri tak jauh dari sana, punggung tegak, rahang mengeras, seolah ia sedang menahan badai yang hanya bisa ia rasakan sendiri.“Aurel,” suara Leo rendah tapi tegas, “untuk sementara waktu… kamu jangan keluar rumah dulu.”Aurel mengangkat wajah. Matanya melebar, menyiratkan rasa bingung bercampur khawatir. “Tidak keluar… sama sekali?”Leo menggeleng pelan. “Untuk sekarang, iya. Pria yang mengejarmu kemarin… aku tidak yakin dia hanya orang iseng. Bisa jadi dia orang jahat. Atau…” Leo menarik napas, tampak ragu mengatakan kelanjutannya. “Atau saingan bisnisku.”Aurel menelan ludah. Jantungnya berdegup. “Saingan bisnismu? Maksud Paman … ada orang yang mencoba membalaskan dendammu melalui aku?”Leo tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan.

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 57

    Aurel baru saja selesai mandi. Sisa uap hangat masih melekat di kulitnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan rambutnya yang basah tergerai bebas di punggung. Aroma sabun melati yang lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi hatinya tidak selembut aromanya. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal, semacam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Mungkin karena kejadian di pemakaman, atau mungkin juga karena pikiran-pikiran yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik ketenangannya. Ia meraih jaket tipis yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya, sekadar untuk menghalau hawa sore yang mulai turun. Hatinya merasa perlu berjalan sebentar, menghirup udara luar, berharap dapat menenangkan diri meski hanya beberapa menit. Baru saja ia melangkah keluar dari pagar rumah, seorang wanita muncul dari arah kiri, langkahnya ringan namun percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, wajahnya cantik dan segar, pakaian santainya tampak rapi meski sederhana. “Kamu di

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 56

    Aurel merapatkan mantel tipisnya saat angin pagi menyapu area pemakaman. Udara beraroma tanah basah sisa hujan semalam seakan menyusup ke rongga dadanya, dingin namun menenangkan. Langkahnya, bersama Leo, Widuri, dan Susi—asisten keluarga yang setia—terdengar lembut di lorong makam berlapis kerikil putih. Kerikil-kerikil itu berderak pelan seperti salam dari bumi kepada setiap kaki yang datang membawa rindu.Di tangan Aurel ada kantong kertas cokelat berisi air mineral, dan bunga tujuh rupa. Widuri bisa merasakan kesedihan menyelimuti Aurel, dia mengusap punggung wanita itu lembut.Leo berjalan di sisi kiri Aurel. Setiap dua atau tiga langkah, jemari pria itu tanpa sadar meneguhkan genggaman di pergelangan Aurel. Bukan posesif—itu refleks perlindungan. Leo jarang berkata banyak, namun tubuhnya selalu berbicara lebih jujur daripada mulutnya. Bahunya terbuka sedikit, langkahnya satu ketukan lebih lambat dari Aurel, seakan ia bersedia menjadi perisai sebelum hal buruk sempat mencapai tun

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 55

    Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari halaman ketika mobil Leo memasuki gerbang rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di dalamnya, Widuri—wanita paruh baya yang selalu tampil anggun dengan rambut disanggul rapi—sudah menunggu dengan wajah penuh harap. Begitu Leo keluar dari mobil, ia membantu Aurel yang masih terlihat lemah. Gadis itu memegang perutnya sesekali, wajah pucat namun ada kedamaian halus dalam tatapannya. Mungkin karena akhirnya ia pulang ke tempat yang dianggapnya aman. “Aurel, Nak…” suara Widuri bergetar pelan ketika melihat gadis itu. Susi, asisten rumah yang setia, mendorong kursi roda Widuri mendekat. Begitu cukup dekat, Aurel langsung berjongkok di hadapan wanita tua itu, memeluknya erat. “Aku kangen, Nenek...” bisiknya dengan suara serak. Widuri mengusap kepala Aurel, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu membuatku cemas. Tapi aku bersyukur kau kembali. Dan sekarang... kau harus tinggal di sini. Jangan kemana-mana lagi.” Aurel t

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 54

    Ruangan itu berbau obat-obatan yang khas, dingin, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang seharusnya penuh harapan. Aurel terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selimut menutupi tubuhnya hingga dada, selang infus menggantung di sisi kanan tempat tidurnya. Setiap beberapa detik, cairan menetes turun, memberi sedikit kekuatan pada tubuhnya yang lunglai. Rambutnya terurai kusut, wajahnya pucat, dan matanya tampak menghitam karena kurang tidur serta mual yang tak berhenti menghantam sejak pagi.Ketika pintu diketuk sekali dan terbuka perlahan, Aurel tak terlalu berharap siapa pun. Tapi begitu suara langkah masuk dan aroma parfum yang hanya dimiliki satu orang memenuhi ruangan, tubuhnya spontan menegang.“Rell…” panggil suara itu, berat dan hangat.Aurel menoleh perlahan. Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan, mata merah seakan tak tidur semalaman. Begitu tatapan mereka bertemu, air mata Aurel langsung tumpah tanpa sempat ia tahan.“Paman…” suaranya parau, pecah. “Bagai

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 53

    Pagi hari, Aurel terbangun dengan rasa tidak nyaman yang menusuk dari perutnya. Mual yang tiba-tiba datang membuat tubuhnya terasa lemas. Ia duduk perlahan di atas tempat tidur, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Ruangan di sekelilingnya seolah berputar pelan, membuatnya terpaksa menutup mata untuk mengurangi rasa pusing.“Aduh… kenapa ini…” gumamnya lirih, menelan ludah karena rasa mual yang kembali naik ke tenggorokan.Aurel jarang sekali sakit. Biasanya ia hanya masuk angin atau kecapekan sedikit. Tapi kali ini berbeda. Tubuhnya seperti memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tak beres.Dengan tangan gemetar, Aurel meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung menekan kontak Nadine—bosnya, sekaligus mentor yang paling sering ia andalkan saat panik.Nada sambung terdengar… sekali… dua kali… kemudian masuk ke voicemail.“Kenapa tidak diangkat…” Aurel mengeluh sambil mengusap dahinya.Ia mencoba menelfon lagi, hasilnya sama.Tak ingin pasrah, Aurel menekan nom

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status