Share

Bab 4

Penulis: BalqizAzzahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-15 10:55:48

Suasana siang di taman kampus begitu ramai. Mahasiswa berseragam bebas duduk berkelompok, ada yang sibuk mengerjakan tugas, ada pula yang sekadar mengobrol sambil menikmati semilir angin. Di salah satu sudut taman, tiga gadis duduk santai di bangku panjang. Mereka adalah Aurel, Yura, dan Yuri—sahabat sejak kecil yang kini sama-sama kuliah di fakultas berbeda, tetapi selalu meluangkan waktu untuk bertemu.

Yura menyisir rambut hitam panjangnya dengan jemari sambil melirik ke arah Aurel. Senyum nakal tersungging di bibirnya. “Jadi, bagaimana? Apa kamu berhasil membuat pamanmu cemburu?”

Aurel, yang tengah menggigit sedotan minuman botolnya, tersenyum samar. “Dia tak hanya cemburu, tapi juga marah. Sayangnya, dia masih juga belum mau mengaku kalau dia tertarik padaku.”

“Wajar saja,” Yuri menyela, mengibaskan rambut pendek sebahunya. Ia dan Yura memang kembar identik, tetapi selalu berusaha tampil dengan gaya berbeda agar tak disalahpahami orang. “Bagaimanapun hubungan kalian itu… membuat canggung. Kalian bukan sekadar laki-laki dan perempuan biasa. Dia paman mu, Aurel. Kamu keponakannya.”

Aurel mendesah pelan. “Aku tahu. Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini. Aku sudah terlalu lama tinggal bersamanya, dan semakin lama aku semakin yakin kalau aku… jatuh cinta padanya.”

Yura mencondongkan tubuh, matanya berbinar. “Lalu apa rencanamu selanjutnya? Mau menyerah?”

Aurel langsung menggeleng keras. “Tidak. Aku akan terus mengejarnya, menggodanya, sampai dia bertekuk lutut padaku dan mengatakan cinta. Aku bisa menahan rasa malu untuk mengatakannya duluan. Dan.... aku tidak takut walaupun ditolak secara terang-terangan.”

Ketiga gadis itu terdiam sejenak. Angin sore berhembus pelan, membuat dedaunan bergoyang. Yura dan Yuri saling pandang, lalu tersenyum nakal.

“Kamu memang keras kepala sejak kecil, Aurel,” kata Yura. “Kalau kamu sudah menginginkan sesuatu, kamu akan berusaha mendapatkannya meski jalannya sulit.”

Aurel hanya tertawa kecil, meski hatinya bergejolak. Ia teringat wajah Leo semalam—marah, tegas, dan penuh emosi. Ia tahu Leo sangat protektif, tapi ia juga merasakan sesuatu di balik tatapan tajam itu. Ada rasa lain yang tak berani diucapkan.

Tiba-tiba, ponsel Aurel yang tergeletak di atas bangku bergetar. Layarnya menyala, menampilkan nama yang begitu familiar. Paman Leo.

Yura melirik cepat dan terkikik. “Kenapa tidak diangkat?”

Aurel mendengus malas. “Untuk apa? Dia pasti hanya akan memarahiku lagi. Meminta aku segera pulang ke rumah setelah kuliah selesai, mengatur ini itu, seolah aku anak kecil. Aku sedang malas mendengar ceramahnya.”

“Benar kata pamanmu,” Yuri ikut menimpali sambil tertawa. “Kamu memang gadis nakal. Kalau saja dia tahu kamu sedang di sini, membicarakannya seperti ini, dia pasti bisa tambah marah.”

Aurel tersenyum tipis, memasukkan ponselnya ke dalam tas tanpa mengangkat panggilan. “Biarkan saja. Nanti aku balas chatnya dengan alasan klasik. Aku sedang sibuk mengerjakan tugas kelompok.”

Yura dan Yuri menatapnya dengan wajah geli. “Kamu ini benar-benar…”

Ketiganya terdiam sejenak, lalu Aurel mendadak bertepuk tangan, mengubah suasana. “Baiklah! Siapa yang mau aku traktir minum kopi di kafe seberang kampus sepulang kuliah nanti?”

“Aku mau...?” Yura langsung berseru, matanya berbinar penuh semangat.

“Iya. Aku dengar semua pelayan di sana tampan dan seksi,” sahut Aurel dengan nada menggoda.

“Wah!” Yuri langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi, disusul Yura yang tak mau kalah. “Aku mau! Aku juga mau! Jangan lupa tambah kue coklat gratis, ya.”

Aurel tertawa lepas melihat antusiasme mereka. “Sekarang aku tahu kenapa kita bisa berteman baik sejak TK. Karena ternyata kita memang satu frekuensi. Sama-sama suka hal yang seru, sama-sama nakal, dan sama-sama tidak bisa hidup tanpa drama.”

Yura merangkul bahu Aurel sambil tertawa. “Kamu benar. Dan jangan khawatir, kalau pun Pamanmu marah, kami selalu siap jadi tamengmu. Katakan saja kau belajar kelompok bersama kami.”

Aurel tersenyum hangat, merasa lega memiliki teman yang bisa mendukungnya dalam keadaan apa pun. Namun jauh di dalam hati, ia tahu, permainan berbahaya yang ia jalani dengan pamannya tidak bisa ia bagikan pada siapa pun, bahkan pada sahabat terdekatnya.

Untuk saat ini, cukup baginya menutupi semuanya dengan tawa, kopi hangat, dan cerita-cerita nakal di taman kampus.

Sore itu, ketiga gadis itu berjalan menuju kelas masing-masing dengan hati riang. Namun Aurel tetap merasakan getaran ponselnya berkali-kali di dalam tas. Ia tahu, di balik layar yang tidak ia sentuh, ada seorang pria berusia tiga puluh lima tahun yang tengah menunggu kabarnya dengan cemas.

Dan justru itulah yang membuat Aurel semakin yakin. Ia akan terus menggoda pamannya, membuatnya semakin terikat, sampai akhirnya Leo tidak punya pilihan selain mengakui cinta yang selama ini ia sembunyikan.

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 58

    Sore merayap masuk melalui jendela ruang keluarga, menebarkan cahaya keemasan yang hangat namun membuat suasana terasa menegang. Aurel duduk di sofa panjang, kedua tangannya meremas ujung selimut tipis yang ia pangku. Leo berdiri tak jauh dari sana, punggung tegak, rahang mengeras, seolah ia sedang menahan badai yang hanya bisa ia rasakan sendiri.“Aurel,” suara Leo rendah tapi tegas, “untuk sementara waktu… kamu jangan keluar rumah dulu.”Aurel mengangkat wajah. Matanya melebar, menyiratkan rasa bingung bercampur khawatir. “Tidak keluar… sama sekali?”Leo menggeleng pelan. “Untuk sekarang, iya. Pria yang mengejarmu kemarin… aku tidak yakin dia hanya orang iseng. Bisa jadi dia orang jahat. Atau…” Leo menarik napas, tampak ragu mengatakan kelanjutannya. “Atau saingan bisnisku.”Aurel menelan ludah. Jantungnya berdegup. “Saingan bisnismu? Maksud Paman … ada orang yang mencoba membalaskan dendammu melalui aku?”Leo tidak langsung menjawab, tapi ekspresi wajahnya sudah cukup menjelaskan.

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 57

    Aurel baru saja selesai mandi. Sisa uap hangat masih melekat di kulitnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, membiarkan rambutnya yang basah tergerai bebas di punggung. Aroma sabun melati yang lembut mengikuti setiap langkahnya, tapi hatinya tidak selembut aromanya. Sejak pagi, ada sesuatu yang mengganjal, semacam kegelisahan yang tidak ia mengerti. Mungkin karena kejadian di pemakaman, atau mungkin juga karena pikiran-pikiran yang sejak beberapa hari terakhir terus mengusik ketenangannya. Ia meraih jaket tipis yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya, sekadar untuk menghalau hawa sore yang mulai turun. Hatinya merasa perlu berjalan sebentar, menghirup udara luar, berharap dapat menenangkan diri meski hanya beberapa menit. Baru saja ia melangkah keluar dari pagar rumah, seorang wanita muncul dari arah kiri, langkahnya ringan namun percaya diri. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, wajahnya cantik dan segar, pakaian santainya tampak rapi meski sederhana. “Kamu di

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 56

    Aurel merapatkan mantel tipisnya saat angin pagi menyapu area pemakaman. Udara beraroma tanah basah sisa hujan semalam seakan menyusup ke rongga dadanya, dingin namun menenangkan. Langkahnya, bersama Leo, Widuri, dan Susi—asisten keluarga yang setia—terdengar lembut di lorong makam berlapis kerikil putih. Kerikil-kerikil itu berderak pelan seperti salam dari bumi kepada setiap kaki yang datang membawa rindu.Di tangan Aurel ada kantong kertas cokelat berisi air mineral, dan bunga tujuh rupa. Widuri bisa merasakan kesedihan menyelimuti Aurel, dia mengusap punggung wanita itu lembut.Leo berjalan di sisi kiri Aurel. Setiap dua atau tiga langkah, jemari pria itu tanpa sadar meneguhkan genggaman di pergelangan Aurel. Bukan posesif—itu refleks perlindungan. Leo jarang berkata banyak, namun tubuhnya selalu berbicara lebih jujur daripada mulutnya. Bahunya terbuka sedikit, langkahnya satu ketukan lebih lambat dari Aurel, seakan ia bersedia menjadi perisai sebelum hal buruk sempat mencapai tun

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 55

    Angin sore membawa aroma bunga kamboja dari halaman ketika mobil Leo memasuki gerbang rumah besar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Di dalamnya, Widuri—wanita paruh baya yang selalu tampil anggun dengan rambut disanggul rapi—sudah menunggu dengan wajah penuh harap. Begitu Leo keluar dari mobil, ia membantu Aurel yang masih terlihat lemah. Gadis itu memegang perutnya sesekali, wajah pucat namun ada kedamaian halus dalam tatapannya. Mungkin karena akhirnya ia pulang ke tempat yang dianggapnya aman. “Aurel, Nak…” suara Widuri bergetar pelan ketika melihat gadis itu. Susi, asisten rumah yang setia, mendorong kursi roda Widuri mendekat. Begitu cukup dekat, Aurel langsung berjongkok di hadapan wanita tua itu, memeluknya erat. “Aku kangen, Nenek...” bisiknya dengan suara serak. Widuri mengusap kepala Aurel, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kamu membuatku cemas. Tapi aku bersyukur kau kembali. Dan sekarang... kau harus tinggal di sini. Jangan kemana-mana lagi.” Aurel t

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 54

    Ruangan itu berbau obat-obatan yang khas, dingin, dan terlalu sunyi untuk ukuran tempat yang seharusnya penuh harapan. Aurel terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selimut menutupi tubuhnya hingga dada, selang infus menggantung di sisi kanan tempat tidurnya. Setiap beberapa detik, cairan menetes turun, memberi sedikit kekuatan pada tubuhnya yang lunglai. Rambutnya terurai kusut, wajahnya pucat, dan matanya tampak menghitam karena kurang tidur serta mual yang tak berhenti menghantam sejak pagi.Ketika pintu diketuk sekali dan terbuka perlahan, Aurel tak terlalu berharap siapa pun. Tapi begitu suara langkah masuk dan aroma parfum yang hanya dimiliki satu orang memenuhi ruangan, tubuhnya spontan menegang.“Rell…” panggil suara itu, berat dan hangat.Aurel menoleh perlahan. Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan, mata merah seakan tak tidur semalaman. Begitu tatapan mereka bertemu, air mata Aurel langsung tumpah tanpa sempat ia tahan.“Paman…” suaranya parau, pecah. “Bagai

  • Gadis Nakal Milik Paman Dingin   Bab 53

    Pagi hari, Aurel terbangun dengan rasa tidak nyaman yang menusuk dari perutnya. Mual yang tiba-tiba datang membuat tubuhnya terasa lemas. Ia duduk perlahan di atas tempat tidur, memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Ruangan di sekelilingnya seolah berputar pelan, membuatnya terpaksa menutup mata untuk mengurangi rasa pusing.“Aduh… kenapa ini…” gumamnya lirih, menelan ludah karena rasa mual yang kembali naik ke tenggorokan.Aurel jarang sekali sakit. Biasanya ia hanya masuk angin atau kecapekan sedikit. Tapi kali ini berbeda. Tubuhnya seperti memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tak beres.Dengan tangan gemetar, Aurel meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung menekan kontak Nadine—bosnya, sekaligus mentor yang paling sering ia andalkan saat panik.Nada sambung terdengar… sekali… dua kali… kemudian masuk ke voicemail.“Kenapa tidak diangkat…” Aurel mengeluh sambil mengusap dahinya.Ia mencoba menelfon lagi, hasilnya sama.Tak ingin pasrah, Aurel menekan nom

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status