Seorang pria datang setengah berlari ke arah Agni yang duduk membungkuk menelungkupkan kepalanya hingga menyentuh lutut. "Ni ...," panggil pria itu yang kemudian berlutut di hadapan Agni. "Are you oke?" tanyanya membelai lembut rambut di kepala gadis yang mempunyai tanda bintang di lengannya itu.Gadis itu mengangkat kepala saat mendengar suara yang tak asing itu memanggil akhiran dari namanya. Wajah jelita itu terlihat memerah dengan banyak bekas air mata yang menghiasi wajahnya."Vid, ibu, vid ...." Sesenggukan, Agni terlihat susah payah menceritakan segala sesak di relung hatinya."Tua Bangka itu menyakiti Ibu karena kebodohan gue, Vid. Harusnya ... harusnya malam itu gue gak pergi. Harusnya gue melindungi ibu.""Gue marah ... Gue marah saat gue pulang dan ngeliat luka di wajah ibu sangat parah, lebih parah dari sebelumnya. Gue ... Gue pukul lelaki itu, Vid. Gue ngehajar dia. Sampe gatau gimana ceritanya, saat gue lengah ibu
Setelah melalui beberapa penanganan, Tari akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Nafas lega berhembus dari diri Agni kala mendengar bahwa luka yang ibunya alami tidak begitu parah. Ia hanya perlu menjalani beberapa pengobatan di bawah pantauan media selama beberapa hari ke depan.Dan di sinilah gadis itu berada, terduduk di samping ranjang sang bunda yang terbaring dengan mata terpejam.Hingga suara ketukan pintu membuat Agni menolehkan kepala. Ia kemudian berjalan menuju pintu dan membukanya. Seketika, netranya terbelalak kala melihat siapa yang datang. Matanya menatap bengis pada salah dari seorang tersebut.—"Dia keterlaluan, Opa! Maaf yang selalu diucapkan hanya berlaku di depan Opa. Selebihnya, dia seolah lupa dengan kata maafnya sendiri," papar Agni berdiri dengan telunjuk yang mengarah tepat ke wajah Bagas yang terlihat memiliki luka lebih parah dari saat terakhir ia melihatnya. Dapat ditebak, jika Yudi
Setelah pertemuannya dengan Yudistira dan Bagas malam itu, Agni langsung memutuskan untuk memindahkan Tari ke rumah sakit lain. Ruang rawat yang sudah diketahui oleh Bagas beresiko besar mengancam keselamatan ibunya. Bagas bisa saja melakukan apapun yang ia mau dan itulah yang Agni khawatirkan."Ibu tunggu di sini dulu, ya. Agni mau ke depan dulu," pamitnya pada sang Bunda yang dijawab anggukan singkat.Gadis itu berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit, menuju bagian resepsionis. Ia berniat meminta bantuan rumah sakit untuk tidak memberikan informasi apapun jika ada seseorang yang bertanya tentang keberadaan ibunya selain dirinya.Agni sebenarnya bisa meminta bantuan Yudistira untuk memberikannya pengawalan. Namun, niatnya itu kembali ia urungkan sebab satu dari alasan lainnya. Bahkan, Yudistira pun tak tahu bahwa ia memindahkan sang bunda ke rumah sakit lain. Sekali lagi, semuanya ia lakukan untuk melindungi dirinya dan bundanya.La
"Lu bukan orang pertama yang ngira dia pacar gue," ucap Agni tertawa pelan. Ia menghela napasnya panjang kala mengingat betapa banyaknya orang yang menyebut David adalah kekasihnya."Benar begitu, 'kan?"Gadis itu menggeleng cepat. "Dia sahabat gue.""Hanya sahabat?""Ya. Apalagi?" tanyanya menoleh ke samping, menatap pria yang ternyata juga tengah menatapnya saat itu."Rasa yang tergambar antara kalian berdua kayak nyata dan lebih dari sekedar persahabatan.""Oh, ya?" Tirtha mengangguk.Agni mengalihkan tatapannya kembali ke arah depan. Terdiam, ingatannya kemudian kembali mengingat pada ungkapan rasa yang selalu David utarakan akhir-akhir ini.Ada sebuah rasa bersalah yang timbul di hatinya kala lagi dan lagi, bahkan berulang kali ungkapan rasa itu kembali ia tolak.Bukan tanpa alasan. Dirinya terlalu takut menjalani sebuah hubungan yang serius dengan seorang pria. Apalagi yang ditawarkan D
Arsen Davidson, pria tampan berdarah Indonesia-Jerman yang biasa dipanggil Arsen oleh keluarga serta seluruh rekan bisnis dan bawahannya itu terlihat bergerak gelisah di dalam ruang meeting. Bolak-balik matanya mengecek ponsel, menanti notifikasi balasan dari salah seorang gadis yang amat dinanti, yang namanya terukir indah di dalam hati. Merasa kesal dengan sang putra yang sama sekali tidak bisa fokus pada pembahasan meeting, Aaric Davidson—Ayah Arsen, pun merogoh ponsel, jemarinya bergerak lincah di atas layar sebelum kemudian meletakkan benda itu ke dalam saku jasnya kembali.Getar ponsel yang sejak tadi terus digenggamnya seketika terasa, membuat Arsen menatap cepat ke arah ponsel di tangan. Namun, ekspresinya berubah ketika mendapati bahwa ternyata ayahnya-lah yang mengirimi pesan tersebut.Aaric : [Fokus, Arsen! Ini meeting penting dan kau masih saja melirik ponselmu itu! Letakkan segera dan kembali fokus, atau kurebut ponselmu sekarang di depan para kolega!]Pria itu memutar
David memejamkan mata dengan napas yang terlihat memburu. Terus berusaha untuk menahan segala emosi yang mulai menguasai diri."Ya, oke. Aku minta maaf. Aku cuma terlalu capek sekaligus cemburu di waktu yang bersamaan. Maafin aku," ujar David menundukkan kepalanya dengan mata yang masih terpejam.Susah payah pria itu menahan segala rasa yang membakar hati hingga dadanya terlihat kembang kempis. Mencoba menekan segala ego demi bisa tetap berada di sisi wanita pujaannya. David maju beberapa langkah mendekat ke arah Agni, mencoba meraih tangan wanitanya. Namun, belum sampai tangan itu menyentuh, Agni sudah lebih dulu menjauhkan dirinya dari David. Membuat pria itu kembali menghela napas panjang, mencoba mengerti meski sebetulnya sulit untuk ia mengerti."Agni." Suara lemah seorang wanita terdengar dari dalam ruangan. Membuat Agni mengalihkan tatapan amarahnya dari sosok David dan berjalan ke dalam, ke tempat di mana ibunya tengah terbaring.
"Sore, Tante Tari," sapa seorang pria pada wanita yang tengah terduduk di atas ranjang rumah sakit dengan tatapan mata tergamang menatap cahaya senja dari balik kaca jendela ruang rawatnya.Wanita itu lantas menolehkan kepala saat mendengar namanya disapa. "Sore, Tirtha." Lekukan senyum tipis kemudian menghiasi wajah bengkak nan pucatnya."Apa kabar, Tante?" Pria yang tak lain adalah Tirtha itu mendekat dan mengecup punggung tangan Tari dengan penuh rasa hormat."Baik. Terima kasih sudah kembali datang menjenguk, ya."Dengan senyuman yang tak kalah manis, Tirtha mengangguk menanggapi sembari meletakkan buah serta makanan di atas nakas samping ranjang Tari. "Sedikit makanan untuk Tante dan ...." Pria itu mengedarkan pandangan ke arah sekitar, mencari satu sosok yang ingin sekali ia lihat saat ini. "Ke mana Agni, Tante?""Dia masih ada di kantornya.""Kantor? Bukannya Agni masih kuliah, Tante?" tanya Tirtha dengan alis berkerut.
"Adik iparku—Sherina Yudistira, sangat tidak menyukai putriku." Tari tiba-tiba bersuara, membuat Tirtha yang telah berdiri berniat pamit pun akhirnya kembali mendudukkan dirinya. Ia menatap serius pada Tari, menanti kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh wanita itu."Kadar bencinya terjadi bahkan sejak putriku lahir, dan semakin bertambah parah ketika kecelakaan terjadi belasan tahun silam yang menewaskan suami serta anak semata wayangnya yang bernama Aarav. Di dalam kecelakaan itu, putriku juga ada di sana. Namun, Puji Tuhan ia selamat dari kecelakaan itu," tutur Tari mulai bercerita."Akan tetapi, sepertinya Tuhan menakdirkan hidupnya hanya untuk merasakan kemalangan. Putriku kembali diberikan kesempatan hidup hanya untuk merasakan rasanya dibenci. Mendapatkan caci dan maki dari banyak pihak yang mengatakan bahwa ia adalah seorang pembunuh dan penyebab kecelakaan itu terjadi. Mereka menuduh aku adalah dalang dibalik kecelakaan itu dengan memperalat anakku,