Sebuah bukti kalau hasrat tiap manusia menimbulkan gagasan-gagasan untuk dilakukan tanpa perintah.
Sahara menenggelamkannya begitu dalam ke mulutnya. Masuk dan keluar, lalu melepaskannya. Menggenggamnya, lalu menyapukan lidahnya ke bagian bawah yang sangat sensitif. Roy mengerang dan mengibaskan tangannya ke bawah berusaha menangkap satu tangan Sahara yang sedang menggaruk pahanya.
Wanita itu kembali terkikik menggemaskan. “Aku akan menyambung yang tertunda tadi. Sabar …,” bisik Sahara, menegakkan tubuh dan merangkak ke atas tubuh Roy. Dia mengangkat dress-nya dan meloloskannya melewati kepala, lalu mencampakkannya. Bergerak perlahan menggesekkan bagian bawah tubuh mereka.
Raut wajah Roy terlihat berusaha sabar menonton aksi Sahara memanjakannya. Atau bisa disebut dengan kata lain, menyiksanya. Itu sudah terlalu lama. Roy mengulurkan tangannya. “Baby …,” bisik Roy.
Gairah yang tak tertahankan membuat suara
“Kenapa aku harus sakit hati? Perkataan Pak Novan malah bikin aku enggak sabar mau ke kampung halaman ibuku. Itu tempat yang aku tinggalkan saat usia belum lima tahun. Ingatan soal makam ibuku pun cuma sedikit sekali. Sayang, boleh, kan?”Memangnya ada apa dengan keluarga ibunya? Sudah lama sekali dia tak mengharapkan apa pun dari keberadaan sanak keluarganya di dunia ini. Namun, hari itu Roy menyodorkannya sebuntalan berkas yang memuat soal ibunya, Bu Mis, bahkan beberapa catatan soal ayahnya, Lucio Spencer ketika pertama kali bertemu dengan ibunya. Entah kapan dan bagaimana cara Roy mengumpulkan semua informasi yang terangkum lengkap di tangannya saat itu.Sahara memandang Roy yang sedang mengerucutkan bibir dan mengernyitkan dahi. Roy lalu bertukar pandang dengan Novan dan mengembalikan tatapan pada Sahara.“Oke,” jawab Roy. “Tunggu saat Sabby berusia genap dua bulan. Perjalanan itu cukup melelahkan untuk anak seusianya.&rd
Rasa penasaran dan penantian membuat waktu bergulir terasa amat lama bagi Sahara. Sebelum-sebelumnya dia tak pernah terlalu memikirkan bagaimana mencari dan mendatangi makam ibunya lagi. Ingatannya sangat samar dan dia melupakan soal suaminya yang mampu mengatasi kesulitan itu hanya dalam tempo yang terhitung cepat. Roy berhasil menemukan cerita soal keluarganya tanpa diminta. Merujuk seperti yang pernah dikatakan Rini padanya, bagaimana pun Roy menginginkan anak-anaknya kelak memiliki garis keturunan jelas yang bisa diceritakan. Setidaknya soal kampung halaman. Dalam perjalanan, Sahara tak banyak bicara. Mereka menumpangi sebuah van besar berwarna hitam dengan seorang supir yang belum pernah dilihat Sahara sebelumnya. Katanya itu adalah salah satu supir kantor yang lebih memahami medan yang akan mereka tempuh. Hari itu Novan dan Herbert ikut sekaligus. Ditambah dua orang staf khusus yang mengikuti van dengan sebuah sedan hitam. Dua wanita lain ya
“Ngapain kalian di sini?” Suara pria asing yang setengah menghardik, membuat semuanya menoleh. Novan yang berada beberapa meter di belakang Roy, juga Herbert yang tengah memayungi seorang babysitter yang sedang menggendong Sabina. Herbert mendekati pria itu, “Maaf, bisa tahu ada masalah apa, Pak?” “Saya tanya kalian ngapain di sini?” “Atasan saya sedang mengunjungi makam mertuanya. Ada masalah, Pak?” Herbert berdiri masih menggunakan payung. Tatapan pria itu menyelidik wajah semua orang dengan cepat, berpindah-pindah dan penuh curiga. “Mertua? Menantu siapa? Ini bukan pemakaman,” kata pria tua itu. “Ini memang bukan pemakaman. Tapi ada makam di sana. Dan tanah ini sudah dibeli oleh atasan saya. Secara sederhana, ini lahan pribadi dan tak ada seorang pun yang berhak melarang pemilik lahan berada di sini.” Herbert tersenyum dan mengangguk. “Permisi, Pak. Saya mau lewat mengantarkan bayi ini melihat makam neneknya.
Sebelum Roy menerima telepon menghebohkan dari rumah.Kekesalan Sahara sepulang dari makam ibunya belum juga surut. Ia masih menggerutu sesekali. Bahkan sampai mereka tiba di makam ayah Roy yang terletak di sebuah pemakaman elit di perbatasan kota, wajahnya berubah-ubah sesuai dengan suasana hatinya.Tiba di rumah, dia kembali membuka-buka berkas soal keluarganya dan membaca ulang. Melihat foto ayah-ibunya, salinan catatan pernikahan orang tuanya. Juga surat-surat kelahirannya yang dicatatkan di Dinas Kependudukan. Semuanya sah. Tak ada yang perlu diragukan dari keabsahan surat-surat itu. Menurut catatan hukum negara, dia adalah anak sah dari kedua orang tuanya.Karena permasalahan soal keluarganya sedang mencuat ke permukaan, Sahara kembali membongkar semua foto-foto yang dia miliki. Tas besar yang diangkut dari kamar kosnya oleh Novan dan belum pernah dibongkarnya lagi sejak itu, kini terhampar di lantai kamar dengan isi berserakan.“I
“Ya, Tuhan … gimana kalau memang benar. Sabina … Sabina … Mama akan merasa bersalah. Ini belum waktunya kamu punya adik. Jangan—jangan dulu,” gerutu Sahara buru-buru membuka lemari pakaian dan berjongkok untuk melongok bagian bawahnya.“Ini dia,” cetus Sahara, menggenggam tiga alat tes kehamilan, lalu melesat ke kamar mandi.Sepuluh menit kemudian ….“Sabina …. Maafkan Mama ….” Sahara menatap tiga test pack yang disusunnya di pinggiran wastafel. “Dia harus bertanggung jawab. Ini kesalahan papamu …. Sabina … Mama merasa telah merampas masa-masa bayimu. Kamu sedang menikmati jadi putri kesayangannya. Dan sekarang dia memberimu adik. Papamu harus bertanggung jawab. Masa mudaku—oh, masa mudaku.” Sahara duduk di tepi bath tub dengan satu tangan meremas rambutnya dan tangan lain memegang test pack yang dikibaskannya berkali-kali.
Novan tengah duduk di kursinya sambil berkirim pesan pada Rini sambil tersenyum-senyum. Dia baru saja mengetikkan balasan untuk pesan Rini sebelumnya. 'Kalau memang benar, artinya Pak Roy sedang dalam masalah. Sahara akan merajuk dan wajah Pak Roy akan tegang sepanjang hari. Itu artinya pekerjaan kami juga semakin berat di sini. Sebentar lagi Pak Roy mungkin akan keluar ruangan.’ Lalu Novan mendongak karena suara pintu ruangan Roy terbuka. “Van, ambil mobil dan antar aku pulang.” Roy mengetuk meja kerja Novan yang berada sederet dengan meja Letta. "Mana Herbert?” Tatapan Roy tertuju pada Letta. “Herbert sedang keluar bersama staf khusus mengurus lahan makam mertua Anda, Sir. Seperti perintah Anda kemarin, tempat itu akan dipagar agar terlihat batasnya.” Roy mengangguk pada Letta, lalu tatapannya beralih pada Novan yang sudah berdiri dan siap melangkah menuju lift. “Ada masalah di rumah dengan istri Anda, Sir?” tanya Novan, berjal
“Jadi … masalah kita sudah selesai?” tanya Roy, masih berlutut di depan Sahara. Kedua tangan mereka masih bertaut dan Sahara menunduk memandanginya. Sepertinya masih ada sesuatu yang akan wanita itu sampaikan. “Sewaktu ke sini tadi, sepertinya aku mau marah-marah. Tapi kenapa sekarang aku malah menyetujui hamil tiga anak? Kamu selalu bisa mengakaliku, Pak Roy.” Roy tertawa, mencubit pelan pipi Sahara dan mengusapnya. “Aku tidak mengakalimu. Itu hanya sebuah kesepakatan. Tidak perlu dalam jangka waktu dekat ini, yang paling penting kita sudah sepakat. Semoga adik Sabina laki-laki,” ujar Roy. Seperti dihipnotis, Sahara mengikuti ucapan Roy, “Semoga adik Sabina laki-laki,” ulangnya, menautkan tatapan ke mata cokelat Roy yang berbinar menatapnya. Laki-laki di depannya itu memang licik sekali, pikir Sahara. Harusnya dia tadi marah-marah dan menghajar Roy. Nyatanya dengan begitu mudah dia luluh hanya dalam hitungan menit. “Sudah se
“Novan … aku dan istriku mengucapkan selamat atas kelahiran putra pertama kalian,” ucap Roy, menggeser sebuah kotak besar yang dibungkus kertas warna-warni. “Ini pilihan istriku,” sambungnya lagi. “Tapi anak kami sudah lahir dua bulan yang lalu dan Anda sudah memberi cukup … banyak,” cetus Novan dengan raut heran, menatap kado besar yang baru disodorkan Roy . “Akan lebih bijaksana kalau hal itu tidak sampai ke telinga istriku. Kalian cukup menerima ini dan mengatakan sudah menerimanya tanpa mengatakan kapan kalian menerimanya? Bagaimana? Bisa dimengerti?” Roy menatap Novan dan Rini bergantian. Sepasang suami istri itu mengangguk. “Besok siapa yang menjemput Anna dan keluarganya?” tanya Rini. “Aku sudah mengutus Herbert dan Letta yang mengurus soal itu. Aku tidak menugaskan Novan karena aku memahami kondisi dan situasinya sebagai ayah baru. Dalam hal itu … aku tetap lebih senior,” cetus Roy. M