Alif sudah tidak sabar menunggu Kamea selesai besiap. Mereka akan makan malam di restoran hotel. Lelaki berwajah datar itu melenggang menemui Kamea yang masih betah di depan cermin.
"Kamu sedang apa? Kenapa lama sekali?" gerutu Alif tak sabar.
Gadis itu beranjak dari duduknya berbalik menghadap ke arah Alif. Ia memang sudah siap memoles tipis wajahnya agar tidak terlalu kelihatan pucat.
"Uda siap, kok. Yuk, berangkat," ajak Kamea seraya meraih tas kecil miliknya dan melenggang menghampiri Alif yang terpaku di tempatnya.
"Mas? Ayo," tegur Kamea karena lelaki itu malah bergeming sambil menatapnya tak berkedip.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya.
Gadis itu mengernyitkan kedua alisnya. Ia menggaruk pelipis yang tak gatal karena bingung. Bukankah mereka sudah sepakat akan pergi makan malam? Lalu mengapa Alif bertanya seolah ia tidak tahu Kamea akan pergi ke mana?
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya seorang pelayan datang membawakan makanan yang dipesannya.Alif melihat ke arah Kamea yang sedari tadi sedang memainkan ponsel sambil rebahan."Makanannya sudah datang, ayo kita makan dulu," ajak Alif.Kamea masih tak memalingkan wajahnya dari layar ponsel. Entah apa yang sedang gadis itu lihat di sana hingga ia sama sekali tidak tertarik untuk melihat Alif walau hanya sekilas."Dia masih marah," gumam Alif pelan.Lelaki itu mendecakan lidah, lalu kemudian menghela napas panjang. Sebenarnya ia ingin bersikap tak peduli. Tetapi hati kecilnya ingin membujuk gadis itu agar tidak lagi marah padanya.Dengan mengenyampingkan ego, Alif melangkah mendekati Kamea. Lelaki yang masih mengenakan kemeja berwarna biru gelap itu duduk di samping tepi tempat tidur."Sanee," panggilnya. Gadis itu hanya merespons den
Alif panik ketika melihat gadis di hadapannya menangis. Apa sikapnya keterlaluan? Tapi, bukankah legal baginya untuk menyentuh gadis itu? Apa mungkin dia mencintai lelaki lain?Otak Alif dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang perasaan Kamea saat ini. Kecewa saat ia memikirkan alasan gadis itu menangis karena gadis itu mulai mencintai laki-laki lain selain dirinya. Dia mendesah kasar, kedua tangannya mengepal erat."Enggak. Aku gak memiliki utang apapun sama, Mas. Pokoknya aku gak akan izinin Mas mencium bibirku lagi. Kecuali ... kecuali kalau Mas sudah benar-benar mencintaiku," ucap Kamea dengan menekankan kalimat terakhirnya.Gadis itu beranjak dan pergi menuju ke kamar mandi. Ia menutup mulutnya agar Alif tidak mendengar tangisnya.Bukan tentang mencium bibirnya yang menjadi permasalahan bagi Kamea. Tetapi tentang sikap Alif yang melakukan hal itu tanpa memiliki sedikitpun perasaan untuknya. Gadis
Cahaya sinar matahari pagi menyeruak masuk melalui celah kaca jendela menyilaukan mata lelaki yang masih bergelung dalam selimutnya. Dia mengerjapkan mata, menyesuaikan dengan cahaya itu.Hal pertama yang ia lihat saat membuka mata, adalah gadis belia yang masih terlelap. Wajah polos nan cantik itu meneduhkan hati. Entah mulai sejak kapan wajah itu mulai menjadi candu, yang membuatnya selalu ingin terus memandangi wajah itu.Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menampakkan sebuah senyum. Iris berwarna cokelatnya berdinar terus memandangi wajah itu. Ia mengusap anak rambut yang menghalangi kecantikannya, menyelipkan ke belakang telinga dengan lembut dan hati-hati agar tidak mengganggu tidur belia itu.Senyum itu pudar ketika melihat Kamea mengerjap, merasa terusik dengan sentuhan tangan Alif. Kesadaran gadis itu belum sepenuhnya terkumpul ketika iris hitamnya mendapati Alif yang tengah memandanginya.
"Kenapa tiba-tiba kita harus pulang sekarang, bukannya lusa? Apa ada masalah?"Jujur saja Kamea merasa bingung dengan sikap Alif yang tiba-tiba saja mengajaknya pulang hari sore itu juga setelah menerima sebuah pesan dari seseorang. Padahal sebelumnya Alif berjanji akan memanfaatkan waktu liburan agar semakin menyenangkan. Gadis itu membereskan semua pakaiannya dan juga Alif ke dalam koper.Alif menghela napas panjang. Sebegitu senangnya mendapat kabar tentang Felysia hingga melupakan saat ini ada gadis yang seharusnya ia prioritaskan. Lelaki itu tak langsung menjawab, ia menatap lamat punggung mungil yang sedang duduk sambil memebereskan barang-barangnya."Sanee," panggilnya.Belia itu memutar kepala untuk melihat ke arah Alif. "Ya?"Alif melangkah mendekati belia itu. Dia mendudukkan tubuhnya di samping Kamea. Iris matanya lamat menatap lekat netra berbinar gadis itu.&n
Kamea kehilangan semangatnya. Sepanjang perjalanan dia bergelut dengan pikirannya sendiri memikirkan kangkah apa yang akan ia ambil sebagai jalan tengah untuk hubungannya dengan Alif.Hingga mereka tiba di rumah malam itu, kamea masih tak berminat untuk berceloteh seperti biasanya. Lelah, benar-benar lelah. Hati dan juga fisiknya.Sedari tadi Alif memerhatikan Kamea dalam diam. Ia menyadari sesuatu yang berbeda dari sikap gadis itu. Ia dapat menebak, semuanya bersangkutan dengan pengakuan yang baru saja ia katakan pada belia itu.Salahkah jika ia ingin jujur pada belia itu bahwa di hatinya sudah ada wanita lain. Meski akhir-akhir ini, ia merasakan perasaan aneh saat bersama Kamea. Rasa nyaman dan juga sesuatu yang sulit untuk dijabarkan. Namun tetap tak mengubah perasaannya untuk Felysia."Sanee, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya ketika mereka baru saja memasuki kamar.Belia itu
Kamea dan Alif sedang menikmati sarapan bersama. Menikmati masakan yang buat oleh bi Siti, asisten rumah tangganya yang baru beberapa hari ini kembali dari kampung halamannya. Tak ada yang memulai pembicaraan di antara keduanya.Suasana menjadi canggung setelah kejadian kemarin atas pengakuan Alif tentang kekasihnya. Alif tak tahu harus bersikap seperti bagaimana, begitupun dengan Kamea terhadap Alif. Alhasil sekarang mereka saling diam."Kapan kamu masuk kuliah lagi?" Akhirnya Alif mengalah dan memulai berbicara dengan Kamea.Gadis belia yang sedari tadi hanya fokus dengan makanan di piringnya, dengan enggan mendongak untuk melihat Alif yang duduk di kursi di hadapannya hanya terpisah oleh meja makan."Minggu depan. Papa mengambilkan cuti satu minggu untukku," sahutnya dengan nada yang kurang bersemangat.Ia masih memiliki waktu cuti tiga hari lagi. Dan selama itu akan Kamea hab
Sebenarnya Alif ingin menyusul Kamea ke kamar. Ingin memastikan gadis itu baik-baik saja setelah melihat Felysia. Namun niatnya urung karena Felysia mengatakan ingin berbicara berdua dengannya.Wanita itu terus memaksa Alif hingga lelaki itu tak memiliki pilihan lain selain ikut bersamanya. Lagi pula ia juga ingin bertanya banyak hal kepada Felysia, juga ingin mendengar alasan mengapa wanita itu meninggalkannya.Dari dapur, Bi Siti yang baru saja pulang dari pasar terus memperhatikan interaksi Alif dengan Felysia. Terbersit di pikirannya mengingat tentang perasaan Kamea saat ini melihat suaminya pergi bersama mantan kekasihnya."Kenpa Den Alif malah pergi bersama non Faly? Kasihan non Kamea, pasti dia sangat sedih sekarang," gumam Bi Siti selepas kepergian Alif dan Felysia.Alif menghentikan mobilnya di sebuah taman kota. Ia terlebih dulu ke luar dari mobilnya menuju kursi taman yang berada tepat di
Kamea membereskan beberapa pakaian memasukannya ke dalam tas. Ia akan pulang ke Bandung untuk menenangkan diri sebelum masa cuti kuliahnya habis. Lagi pula tak ada aktivitas yang bisa ia kerjakan di rumah, itu hanya akan menambah jenuh pikirannya.Gadis itu berkali-kali menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dadanya masih terasa sesak saat ini. Tadi begitu ia ke luar dari kamar, ia sudah tidak menemukan keberadaan Alif di sana. Ia tidak tahu suaminya itu akan pergi ke mana bersama kekasihnya.Ia meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Gadis itu tak menemukan chat dari Alif, yang ada hanya chat dari Abimanyu, Olivia dan grup kelas. Hatinya sedikit kecewa.[Mas Alif di mana? Aku mau izin pulang ke Bandung hari ini. Mumpung masih siang dan masih ada waktu cuti kuliah. Boleh, ya?]Kamea mengirimkan pesan itu kepada Alif. Gadis itu duduk di tepi samping tempat tidur sambil mencengkram k