"Saya punya penawaran yang menarik untukmu," ujar Tama dengan suara berat dan penuh tekanan. Juna, yang sedari tadi hanya terdiam dengan tatapan kosong, sontak teralihkan perhatiannya. Matanya menatap laki-laki paruh baya di depannya dengan kebingungan. "P-penawaran apa maksud Anda, Tuan?" Tama menyeringai tipis, senyumnya terkesan meremehkan. "Saya tidak akan memperpanjang kasus kecelakaan ini, dengan satu syarat. Kau harus bertanggung jawab sepenuhnya." Juna mengangguk cepat, mengira ia hanya perlu menanggung biaya medis. "Tentu. Saya akan menanggung semua biaya rumah sakit. Saya benar-benar menyesal atas kejadian ini." Namun respon Tama membuat detak jantung Juna berdebar kencang. Senyum meremehkan itu semakin lebar. "Apa kau pikir saya tidak mampu membayar biaya rumah sakit ini? Kau tahu siapa saya, bukan?" Juna terdiam. Tentu ia tahu. Tama Atmaja, pengusaha kaya raya dengan
Selepas Liana dan Irene pergi, Seno mengajak Juna untuk duduk di sofa ruang tamu. Tidak seperti para wanita yang selalu mengedepankan emosi, Seno justru ingin mengetahui dari dua sisi."Maafkan aku, Pa. Aku gak bermaksud menduakan Liana dan mengecewakan kalian. Aku punya alasan kuat mengapa melakukan itu.""Kalau boleh Papa tahu, apa alasanmu menikah lagi?""Aku terpaksa Pa. Aku ..." Juna menarik napas dalam, pria itu kembali melanjutkan. "Aku menabrak gadis itu sampai dia koma. Orang tuanya tidak terima dan memintaku bertanggungjawab untuk menikahinya.""Kenapa harus dengan cara menikahinya? Kamu bisa bertanggung jawab dengan menanggung biaya perawatannya 'kan?""Mereka tidak membutuhkan pertanggungjawaban dalam bentuk biaya. Mereka bukan seseorang yang kurang dalam finansial justru rumah sakit tempatku bekerja saja milik mereka.""Kalau begitu kenapa harus dengan cara menikahinya? Memangnya tidak ada cara lain?"Juna menggelengkan kepala, ia berucap pelan. "Sebab gadis itu mencintai
Mempunyai rumah sakit sendiri adalah impian terbesar Juna sejak ia berhasil menjadi seorang dokter. Namun, apakah ia rela mengorbankan keluarga kecilnya demi mewujudkan impian tersebut? Tentu saja tidak. Memiliki rumah sakit memang menjadi cita-citanya, tetapi keluarga kecilnya adalah segalanya bagi Juna.Jadi dengan tegas dan tanpa ada keraguan sedikitpun Juna menolak pemberian Tama. Ia juga menekankan bahwa Juna bersedia menikahi Aluna semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Ia sama sekali tidak berniat mengambil keuntungan dari situasi ini. Meski Tama, terus memaksa Juna untuk menerima tawaran tersebut, ia tetap teguh menolak. Juna tidak ingin membuat situasi semakin kacau di kemudian hari. Keadaan rumah tangganya yang hampir hancur saja sudah cukup membuatnya tertekan. Ia tidak mau memperburuk lagi, terlebih jika sampai membuat Liana, benar-benar mengajukan gugatan cer
"Kurang ajar! Ini tidak bisa dibiarkan!" Irene bersungut marah. Emosinya seketika meledak-ledak. Ia tidak terima jika putrinya diduakan dan disakiti seperti ini. Ia mendadak dihantam rasa bersalah. Pasalnya, dahulu Irene yang paling gencar dan semangat meminta Liana untuk menerima Juna. Sebab saat itu ia begitu yakin jika Juna merupakan laki-laki baik dan dapat membahagiakan Liana. Irene bahkan yang lebih dulu bertemu dan mengenal Juna. Momen pertemuan pertama mereka pun Irene masih mengingatnya sampai sekarang. Kala itu, saat Irene menemani Liana untuk mendaftar ke Universitas, ia bertemu dengan Juna dan langsung dibuat terkesima serta kagum pada pemuda itu. Bukan hanya karena parasnya saja yang tampan tapi karena kesopanan dan kemandirian Juna-lah yang akhirnya memikat hati Irene. Coba bayangkan saja, disaat yang lainnya datang ke Universitas untuk menda
"Bun, Bunda mau ke mana? Jangan tinggalin Ayah, Bun. Ayah minta maaf," suara Juna terdengar penuh rasa putus asa, tangannya berusaha menahan pergerakan sang istri yang tengah mengambil tas besar di atas lemari."Bun, Ayah minta maaf. Please Bun jangan pergi. Jangan tinggalin Ayah."Tanpa kata, Liana menatap dingin. Sedikitpun tak ada keraguan di wajahnya. Ia sudah memutuskan. Bertahan dalam pernikahan ini hanya membuat hatinya terus terluka. Tidak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang sudah hancur, pikirnya. Liana tidak menggubris meski Juna terus memohon, wanita itu terus memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar secara asal. Kemudian bergegas cepat melangkah menuju kamar sang putri.Di belakang, Juna terus mengekori dan memohon-mohon agar sang istri tidak pergi. Namun tetap, Liana tidak peduli. Dengan langkah yang semakin cepat Liana memasukkan pakaian Sienna ke dalam tas itu juga, kemudian ia menggendo
Pada pukul setengah sepuluh malam, Liana masuk ke dalam kamar yang ditempatinya bersama Juna. Sontak saja hal tersebut membuat Juna yang memang belum tidur, merasa senang. Pria tersebut mengira bahwa sang istri sudah tidak marah lagi. Juna lantas bertanya. "Bunda mau tidur di sini?" Tapi Liana tidak menjawab. Wanita itu terus melangkah ke arah lemari--mengambil pakaian tidur lalu masuk ke dalam toilet yang ada di dalam kamar. Sekitar lima menit, Liana ke luar. Wanita itu sudah memakai pakaian tidurnya. Ia melangkah lalu duduk di kursi meja rias untuk memakai body lotion dan sejenis rangkaian perawatan lainnya, yang biasa ia lakukan. Juna sedari tadi terus memerhatikan gerak-gerik sang istri dari tempatnya. Jujur saja, Juna begitu sangat merindukan istri pertamanya itu. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bermesraan dengan sang istri. Huft ... Karena banyak sekali yang terjadi akhir-akhir ini, membuat hubu