"Ayah—"
"Bunda—" Keduanya berucap bersamaan, dengan ekspresi terkejut yang serupa. Namun, perbedaan di antara mereka begitu nyata. Liana terkejut melihat suaminya bersama wanita lain, sementara Juna terkejut karena keberadaan istrinya di rumah sakit, terlebih saat Liana memergokinya bersama seorang gadis. Dalam sekejap, kegelisahan menyelimuti pria tersebut. "S-siapa dia, Yah? Kenapa kamu—" "A-ayah bisa jelasin, Bun." Juna buru-buru memotong, sebelum Liana menyelesaikan kalimatnya. Ia menoleh pada gadis yang duduk di kursi roda. "Luna, kamu ke ruangan lebih dulu, ya?" Aluna mengangguk, ia tidak mengatakan sepatah katapun, sebab ia takut hanya akan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Lantas Juna memanggil seorang suster yang kebetulan lewat untuk mengantarkan Aluna ke ruangannya. Setelah Aluna pergi, suasana berubah tegang. Liana menatap Juna tajam, matanya memerah, mencerminkan amarah yang membara bercampur luka yang baru saja terbuka. "Jadi, ini alasan kenapa kamu gak bisa pulang, Yah?" suara Liana menggema di lorong. "Kamu sibuk merawat 'pasien' kamu, bahkan sampai mendorong kursi rodanya? Jalan-jalan pula?!" Ia tertawa sinis, meski matanya penuh dengan kaca-kaca. "Benar-benar sosok dokter idaman. Mulia banget hatimu ternyata, ya!" Juna belum bersuara, otaknya masih memilah kata yang tepat untuk menjelaskan pada sang istri, sebab jujur saja keadaan ini terlalu cepat. Juna bukan ingin membohongi dan menutupi semuanya dari Liana. Juna hanya memerlukan sedikit waktu untuk menjelaskan dengan perlahan-lahan semuanya pada sang istri. "Kamu luar biasa, Yah," lanjut Liana, suaranya mulai bergetar. "Saking luar biasanya, kamu lebih memilih orang lain daripada anak kamu sendiri yang lagi sakit! Kamu bahkan gak peduli sama aku yang harus berjuang sendirian di sini!" Juna menggeleng pelan. Dengan suara yang terdengar rendah, hampir berbisik ia berucap. "Luna... dia bukan orang lain, Bun." lelaki itu lantas menunduk. Sungguh ia tidak berani menatap wajah sang istri. Kalimat sederhana itu membuat Liana tertegun. Napasnya tercekat, dan tubuhnya terasa lemas. "A-apa maksud kamu? Kalau dia bukan orang lain, terus dia siapa?" tanyanya dengan suara gemetar. Juna menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengakui semuanya. "Dia... dia istri Ayah juga." "Apa?!" Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Liana mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar hebat. Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari belah bibir suaminya sendiri. Tatapan Juna penuh penyesalan seolah membenarkan segalanya. Namun masih ingin bersikap denial, Liana tidak ingin begitu saja mempercayai ucapan sang suami. Bohong! Ya, suaminya pasti tengah berbohong untuk mengerjainya. "Bercanda kamu gak lucu, Yah." Liana tertawa kering, mencoba menepis rasa gelisah yang mulai menghimpit dadanya. "Kamu gak mungkin ngelakuin ini ke aku. Aku istri kamu—satu-satunya istri kamu!" Juna tetap diam. Tangannya mengepal di atas lutut, wajahnya tertunduk dalam, seolah tak sanggup menghadapi tatapan istrinya. "Jawab aku, Mas!" Liana membentak, suara dan emosinya pecah. Air matanya mulai menggenang, tapi ia berusaha keras menahannya. "Kamu serius?! Kamu benar-benar punya istri lain selama ini? Dan kamu diam aja? Seolah gak ada yang salah?!" Hening sejenak. Hanya terdengar isak pelan Liana yang mulai tak terbendung. Juna akhirnya mengangkat wajahnya. Matanya basah, penuh rasa bersalah. Ia menarik napas dalam sebelum berkata dengan suara bergetar, "Maaf, Bun. Tapi Ayah gak bercanda. Dia memang istri Ayah juga." Kata-kata itu meluncur dengan berat, seperti batu besar yang jatuh ke jurang dalam. Setiap huruf terasa seperti duri yang menusuk dirinya sendiri, tetapi Juna tahu, tak ada lagi alasan untuk menunda kenyataan. Ia tak ingin semakin terperangkap dalam kebohongan yang hanya menambah dosa dan menyakiti hati Liana lebih dalam. Liana tertegun. Tubuhnya seolah membeku, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Jadi... selama ini kamu bohong? Kamu tega nyakitin aku, Mas?" suaranya hampir tak terdengar, tapi getarannya menggambarkan luka yang begitu dalam. Juna hanya diam, tak mampu merangkai kata. Tatapannya penuh penyesalan, namun ia tahu, apa pun yang ia ucapkan tak akan mampu menghapus sakit di hati istrinya. Liana melangkah mundur dengan pandangan yang mulai kabur oleh air mata. Tatapannya tertuju pada Juna, penuh kekecewaan dan luka yang bercampur jadi satu. "Kamu bohong selama ini?" tanyanya lagi, lebih kepada dirinya sendiri, mencoba mencerna kenyataan pahit itu. "Bun, Ayah bisa jelasin," Juna memberanikan diri melangkah mendekat, ingin menyentuh tangan Liana. Tapi Liana dengan cepat menepisnya. "Kamu jahat, Mas!" serunya, suaranya pecah oleh tangis. "Tega kamu nyakitin aku... tega kamu sama Senna!" Isakannya semakin menjadi, menggema di ruangan yang kini terasa begitu sunyi. Nama putri mereka terucap penuh kepedihan, menambah berat luka di hati Liana. Juna hanya bisa terpaku. Nama Sienna menghantamnya seperti pukulan telak. Ia tahu, kesalahannya tidak hanya melukai hati Liana, tapi juga berdampak pada masa depan putri kecil mereka yang tak bersalah. Air mata Liana akhirnya jatuh tanpa henti, mengalir deras di pipinya. Matanya yang basah menatap Juna dengan penuh luka dan kekecewaan. "Aku... aku percaya sama kamu, Mas. Aku pikir kamu suami yang baik, ayah yang bertanggung jawab. Tapi ternyata aku salah besar. Kamu pengkhianat!" Juna mencoba mendekati istrinya, suaranya terdengar bergetar penuh penyesalan. "Bun, Ayah bisa jelasin. Ayah gak bermaksud menyakiti kamu atau Senna. Ini semua lebih rumit dari yang kamu pikir." "Rumit?!" Liana tertawa pahit, suaranya dipenuhi kepedihan yang teramat dalam. "Apa yang rumit dari menikah lagi tanpa izin, tanpa memberitahu istrimu yang sah? Kamu bahkan gak berpikir bagaimana perasaan aku atau anak kita! Tega banget kamu, Mas. Aku dan Senna ini gak ada artinya buat kamu, ya?" Kata-kata Liana menusuk hati Juna seperti pisau tajam. Ia tahu, apa pun yang ia katakan saat ini tak akan mampu menghapus luka yang sudah ia torehkan di hati wanita yang begitu ia cintai. "Ayah minta maaf, Bun. Ini semua—" Kalimat Juna terpotong oleh suara pintu yang terbuka. Seorang dokter keluar dari ruang tindakan, membuat Liana dan Juna seketika mengalihkan perhatian mereka. Liana buru-buru menghapus air matanya yang masih membasahi pipi. Meski hatinya remuk, ia mencoba menunjukkan ketenangan. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Dokter Sella yang merupakan dokter umum, tersenyum tipis, mencoba menenangkan. "Putri ibu sudah dalam kondisi stabil. Setelah pemeriksaan, kami menemukan bahwa dia terkena gejala demam berdarah. Kami sarankan agar putri ibu dirawat beberapa hari di rumah sakit untuk pemulihan." Liana mengangguk pelan, berusaha tetap tenang. "Terima kasih, Dok. Apa sekarang saya sudah boleh masuk?" "Silakan." Sebelum masuk ke dalam ruang emergency, Liana sempat melirik dingin pada sang suami yang terdiam terpaku di tempatnya, seakan tidak tahu harus berbuat apa. Bersambung...Pukul sebelas malam, Juna akhirnya tiba di rumah setelah menjalani hari yang begitu melelahkan. Biasanya, kehadiran Liana dan Sienna di rumah menjadi penyemangatnya. Suara tawa Sienna, perhatian lembut Liana, dan makanan hangat di meja makan—semua itu cukup untuk membuat lelahnya terobati. Namun sekarang berbeda. Beberapa hari ini rumahnya terasa sunyi, seolah kehilangan jiwa. Juna meletakkan tas kerjanya di sofa ruang tamu sambil menghela napas berat. Saat ia hendak melangkah menuju kamarnya, sebuah suara lembut menyapanya. “Den, baru pulang?” Juna sedikit terkejut. Ia hampir lupa bahwa ada orang lain di rumah ini. Lastri, pembantu yang ditugaskan oleh orang tua Aluna, muncul dari kamar istri mudanya sambil membawa cangkir kosong. “Oh, Bik,” ucap Juna singkat, sedikit kaku. Dalam kepenatan dan kekacauan pikirannya, ia hampir lupa bahwa Aluna dan pembantunya masih ada di sini. Ia memaksakan senyum ke
Setelah menimbang berulang kali, Juna akhirnya memutuskan untuk menemui Aluna di kamarnya. Rasa bersalah terus menghantui pikirannya, terutama setelah menyaksikan bagaimana ibunya dengan dingin melemparkan kata-kata tajam kepada gadis itu. Meski pernikahan mereka terjadi karena ancaman, Aluna kini adalah istrinya. Dan Juna tahu, suka atau tidak, gadis itu adalah tanggung jawabnya. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar Aluna. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan rasa canggung yang menyeruak di dadanya. Pernikahan itu baginya lebih seperti beban daripada kebahagiaan. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Aluna tidak sepenuhnya bersalah. Ketukan pelan terdengar di pintu. Tak ada jawaban. Juna mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Aluna, ini saya." Sunyi. Menyadari tidak ada respons, Juna membuka pintu perlahan. Kamar itu gelap, hanya diterangi c
"Kamu ini mikir dulu tidak sih sebelum bertindak?" Ratih kembali melanjutkan omelannya ketika ia mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Sungguh ia merasa kesal dan gemas sekali pada Juna. Kalau saja tidak ingat jika Juna merupakan anak semata wayangnya, sudah dipastikan wajah tampan Juna akan habis dicakar atau bahkan dikuliti olehnya. Lagipula Ratih heran, tidak ada angin tidak ada hujan, bisa-bisanya putranya itu menikah lagi. Apa kurangnya Liana coba? Dasar membuat malu saja! "Heh Juna! Apa kamu tidak ingat siapa yang sudah berjasa sampai bisa membuatmu seperti sekarang ini?" Emosinya masih menggebu-gebu, ia menatap nyalang pada sang putra yang masih diam membisu. "Dan kamu apa tidak ingat betapa susahnya kamu dulu berjuang untuk mendapatkan Liana?" Juna menunduk, ingatannya melayang pada saat dulu ia mendekati Liana. Liana merupakan wanita yang sangat can
Juna kembali berjalan mondar-mandir memikirkan caranya. Tapi konsentrasinya terganggu oleh suara gedoran pintu yang sangat keras. "Siapa sih gak sopan banget!" Ia bersungut kesal, kemudian melangkah menuju pintu utama. "Bisa gak sih kalau bertamu ke rumah orang itu yang so--ah aw aw aw." Juna mengaduh kesakitan ketika sebuah tangan menarik daun telinganya tanpa perasaan--tepat saat ia membuka pintu. "Dasar anak kurang ajar! Gak sopan! bikin malu keluarga!" ujar si pelaku dengan geram, yang ternyata adalah Ratih, Ibu kandung Juna. Dengan gemas wanita itu masih menjewer telinga putra semata wayangnya. "Aw sakit Bu, lepasin." Pinta Juna memelas. Telinganya sungguh terasa panas. "Sudah Bu, lepasin. Juna sudah dewasa, jangan kaya gini. Malu sama orang yang lihat." Aryo--ayah Juna--turut meminta agar istrinya itu melepaskan tangannya dari sang anak. Aryo merasa kasihan pada putranya.
Nyaris satu minggu Juna tidak bertemu dengan Liana dan Sienna. Laki-laki itu benar-benar menuruti saran dari Seno untuk memberikan waktu agar Liana bisa merenung dan menenangkan diri. Meski begitu berat menahan rindu karena tidak bertemu dengan istri dan anak tercintanya, tapi Juna mencoba untuk bersabar. Semua itu ia lakukan agar rumah tangganya kembali utuh dan harmonis. Biarlah ia sedikit mengalah--menekan egonya, yang terpenting keluarga kecilnya bisa kembali seperti sedia kala. Namun begitu, setiap hari Juna tetap mengirimi Liana pesan-pesan singkat seperti; [Bunda, gimana kabar kamu sama Senna di sana? Kalau kabar Ayah di sini kurang baik Bun ☹️ Ayah kangen banget sama Bunda dan Senna. Kalian cepat pulang ya] Atau seperti; [Bunda maafin Ayah ya.. Ayah cinta Bunda sama Senna 😘] Semua pesan-pesan yang Juna
"Saya punya penawaran yang menarik untukmu," ujar Tama dengan suara berat dan penuh tekanan. Juna, yang sedari tadi hanya terdiam dengan tatapan kosong, sontak teralihkan perhatiannya. Matanya menatap laki-laki paruh baya di depannya dengan kebingungan. "P-penawaran apa maksud Anda, Tuan?" Tama menyeringai tipis, senyumnya terkesan meremehkan. "Saya tidak akan memperpanjang kasus kecelakaan ini, dengan satu syarat. Kau harus bertanggung jawab sepenuhnya." Juna mengangguk cepat, mengira ia hanya perlu menanggung biaya medis. "Tentu. Saya akan menanggung semua biaya rumah sakit. Saya benar-benar menyesal atas kejadian ini." Namun respon Tama membuat detak jantung Juna berdebar kencang. Senyum meremehkan itu semakin lebar. "Apa kau pikir saya tidak mampu membayar biaya rumah sakit ini? Kau tahu siapa saya, bukan?" Juna terdiam. Tentu ia tahu. Tama Atmaja, pengusaha kaya raya dengan