Di dalam ruangan, Liana mendekati ranjang Sienna. Wajah putrinya terlihat pucat, dengan tubuh lemah terbaring di atas ranjang.
"Bunda..." suara kecil Sienna menyambutnya. "Iya, Sayang? Apa yang sakit?" Liana berdiri di sisi ranjang, membelai lembut kepala putrinya. "Kepala Senna sakit, Bunda... badan Senna juga lemas..." keluh Senna dengan suara kecil, matanya sedikit terpejam karena lemah. "Sabar ya, Nak. Sebentar lagi kamu pasti sembuh," bisik Liana lembut, sambil membelai rambut putrinya. "Tapi Senna harus makan dan minum obat dulu, ya?" Senna menggeleng pelan. "Gak mau, Bunda..." "Kalau gak makan, sembuhnya lama, loh," bujuk Liana, mencoba tersenyum untuk menguatkan putrinya. "Gini deh, Senna mau apa? Bunda janji turutin." Mata Senna yang tadi redup kini berbinar kecil. "Senna mau Ayah, Bunda. Senna mau Ayah di sini..." Liana tertegun. Kata-kata sederhana dari putrinya itu menusuk hatinya yang sedang hancur berkeping. Ia berusaha menahan tangis, menyembunyikan rasa sakit akibat pengkhianatan suaminya. Tapi permintaan itu membuat luka di hatinya kembali menganga, mengingat ucapan pahit Juna beberapa waktu lalu. "Bunda... Kenapa diem aja?" Senna bertanya lagi, suaranya lirih namun penuh rasa ingin tahu. "Ayah ke mana, Bun?" Liana tersentak, mencoba menguasai dirinya. Gelagapan, ia berusaha mencari jawaban yang tidak akan menyakiti hati kecil anaknya. Raga suaminya memang ada di rumah sakit ini, tetapi hati dan pikirannya? Liana tak lagi yakin jika keduanya masih sepenuhnya terpaut pada dirinya dan Sienna. Beberapa hari terakhir, Juna sudah terbukti berbohong demi perempuan itu. Bukankah itu cukup jelas menunjukkan ke mana hati suaminya kini lebih condong? Liana menatap wajah mungil putrinya yang penuh harap. Secepat mungkin ia mencoba merangkai alasan yang tepat. Namun, sebelum kata-kata itu sempat terucap, suara lain tiba-tiba memenuhi ruangan, memotong kegelisahannya. "Ayah di sini, Sayang." Liana dan Sienna serentak menoleh ke arah suara tersebut. "Ayah!" seru Sienna dengan mata yang seketika berbinar. Wajah kecilnya berubah cerah, dipenuhi kebahagiaan saat melihat sosok yang begitu ia rindukan selama beberapa hari terakhir. Sementara Liana tampak menatap dingin. Namun ia tetap diam membiarkan Juna mendekat. Ia tidak tahu harus merasa lega karena Sienna akhirnya tersenyum, atau merasa pedih karena pria yang membuat anaknya bahagia itu adalah orang yang telah menghancurkan kepercayaannya. "Ayah ke mana aja? Senna kangen Ayah," ucap Sienna begitu Juna sudah berada tepat di hadapannya. Mata kecilnya menatap Juna penuh harap. "Senna nakal ya? Makanya Ayah gak mau dateng ke ulang tahun Senna?" Juna menarik napas dalam, lalu membungkuk menciumi wajah putrinya dengan penuh kasih. Hatinya terasa perih mendengar pertanyaan polos itu. "Gak, Sayang. Senna gak nakal. Senna itu anak yang paling baik, paling Ayah sayang." "Terus kenapa Ayah gak dateng?" Juna terdiam, bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya. Sienna masih terlalu kecil untuk memahami situasi rumit ini. Melihat suaminya yang terlihat kebingungan, Liana mengambil alih pembicaraan. Ia juga tidak ingin putrinya tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Ayah sibuk, Sayang," ujar Liana lembut. "Ayah 'kan dokter, jadi kadang harus siap siaga kalau ada pasien yang butuh pertolongan segera." "Tapi Ayah udah janji sama Senna, Bun. Ayah bilang Ayah mau dateng." "Tapi ada pasien yang lebih butuh bantuan Ayah, Nak," Liana berusaha menjelaskan dengan hati-hati. "Kalau Ayah egois tetap dateng ke ulang tahun Senna, terus pasiennya jadi gak tertolong, gimana?" Sienna terdiam. Wajah kecilnya tampak berpikir keras, mencerna penjelasan Bundanya. Liana melanjutkan, "Senna maklumin ya, Sayang? Ayah gak dateng bukan karena gak sayang, tapi karena tugas Ayah sebagai dokter itu sangat penting. Lagipula, Ayah pasti mendoakan yang terbaik buat Senna." Liana melirik Juna sekilas dengan tatapan dingin yang menyiratkan banyak hal. "Bukan begitu, Yah?" Juna menelan ludah, merasa tersudut oleh kalimat Liana. Dengan suara pelan, ia menjawab, "I-iya, sayang." *** Kini Sienna sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Gadis kecil itu duduk di ranjang sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya. Juna, yang duduk di sampingnya, dengan telaten menyuapi makanan hangat ke mulut putrinya. Sienna menatap ayahnya penuh rasa rindu karena beberapa hari tidak bertemu. "Pelan-pelan ya, Sayang. Jangan sampai tumpah," ujar Juna lembut sambil mengusap pipi Sienna yang belepotan kuah. Kerinduan yang begitu besar membuat Sienna enggan melepaskan Juna walau hanya sebentar. Juna memaklumi itu. Ia tahu, bukan hanya karena mereka tidak bertemu beberapa hari terakhir, tapi juga karena Sienna memang lebih dekat dengannya dibandingkan dengan Liana. Pernah mendengar orang berkata bahwa anak perempuan cenderung lebih dekat dengan ayahnya? Juna merasa kalimat itu benar adanya. Sebab Sienna adalah buktinya. Gadis kecil itu tak pernah bisa jauh dari Juna, dan kini, setelah apa yang terjadi, Juna semakin sadar betapa ia telah melukai kedua hati yang paling berarti baginya. Setelah selesai makan dan meminum obat, Sienna bersandar pada tubuh ayahnya. Juna perlahan mengelus punggungnya, membuat gadis kecil itu semakin merasa nyaman. Matanya mulai berat, dan beberapa menit kemudian, napasnya terdengar teratur, menandakan ia sudah terlelap. "Tidur yang nyenyak ya, Sayang," bisik Juna sambil menata selimut yang menutupi tubuh mungil putrinya. Juna perlahan turun dari ranjang putrinya. Ia menatap wajah mungil itu sejenak, sebelum akhirnya melangkah menuju Liana yang tengah duduk di sofa, sibuk memainkan ponselnya. Istrinya itu hampir tidak berbicara dengannya kecuali sekadar keperluan untuk Sienna. Juna menarik napas panjang. Ia tahu percakapan ini mungkin akan kembali berakhir dengan pertengkaran, tetapi ia tidak bisa terus menghindar. "Bunda," panggil Juna lembut. "Hm," jawab Liana singkat, tanpa menoleh. Fokusnya masih pada ponsel di tangannya. "Bun, bisa taruh dulu hapenya? Ayah mau ngomong," Juna mendudukkan diri di samping istrinya. Liana meletakkan ponselnya dengan gerakan kasar, lalu menatap Juna tajam. "Mau ngomong apa lagi sih?!" Juna menghela napas panjang. "Ayah cuma mau jelasin kenapa Ayah nikahin dia." Liana tertawa kecil, tetapi penuh kepahitan. "Buat apa? Kamu pikir aku bakal peduli? Apa pun alasan kamu, itu gak akan pernah membenarkan apa yang kamu lakukan! Kamu udah mengkhianati aku dan Senna!" "Bunda, dengar dulu. Ayah nggak—" "Nggak apa? Kamu nggak maksud nyakitin aku? Kamu nggak maksud ngehancurin keluarga kita? Jangan bohong, Mas! Kamu sadar betul apa yang kamu lakuin!" Suara Liana meninggi. Juna mencoba menenangkan istrinya, tetapi hatinya mencelos melihat betapa luka itu tampak begitu dalam. "Aku nggak butuh penjelasan. Yang aku tahu, kamu sudah menghianati aku dan Sienna. Itu saja!" Liana berdiri, menatap Juna dengan mata yang berkilat marah. "Dan aku mau, setelah Sienna sembuh, kita pisah!" Kalimat itu menghantam Juna seperti palu. Ia langsung ikut berdiri. "Bunda, jangan ngomong sembarangan. Ayah nggak mau kita pisah!" "Aku serius!" seru Liana. "Aku nggak mau terus-terusan hidup kayak gini. Aku nggak mau dimadu!" "Bunda, pikirin Sienna! Dia masih butuh kita. Kalau kita pisah, kamu tahu gimana pengaruhnya buat dia." Liana terdiam. Kata-kata Juna seperti menusuk hatinya. Beberapa saat lalu, ia sudah mantap dengan keputusannya untuk berpisah. Dalam pandangannya, tidak ada maaf atau kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat. Tapi sekarang, keraguannya mulai menyeruak. Bayangan Senna terlintas di benaknya. Gadis kecil itu masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya. Memisahkan Senna dari salah satu di antara mereka adalah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi, bagaimana bisa ia terus bertahan dengan hati yang telah hancur berkeping? Melihat Liana terdiam, Juna merasa sedikit lega. Ia mengambil kesempatan itu untuk mendekatkan dirinya. Tangannya meraih jemari Liana, menggenggamnya erat, berusaha meyakinkan wanita itu. "Bunda, jangan pernah minta pisah, ya? Demi Senna, demi kita. Ayah janji akan perbaiki semuanya." Ia lalu mencium punggung tangan Liana dengan penuh penyesalan. Namun, Liana tetap terdiam. Ada perang batin yang berkecamuk di dalam dirinya. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Hatinya berteriak, mempertanyakan bagaimana ia bisa memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kepercayaannya. Tapi di sisi lain, wajah Sienna terbayang jelas, mengingatkannya bahwa keputusan apapun yang ia ambil akan berimbas besar pada putri kecilnya. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Liana menatap Juna dengan mata yang penuh luka dan kelelahan. "Aku butuh waktu. Jangan paksa aku untuk membuat keputusan sekarang." Juna mengangguk pelan. Setidaknya, Liana belum sepenuhnya menu tup pintu. Ia akan berjuang untuk memperbaiki segalanya, meski jalan itu sangat berat sekalipun. Bersambung...Pukul sebelas malam, Juna akhirnya tiba di rumah setelah menjalani hari yang begitu melelahkan. Biasanya, kehadiran Liana dan Sienna di rumah menjadi penyemangatnya. Suara tawa Sienna, perhatian lembut Liana, dan makanan hangat di meja makan—semua itu cukup untuk membuat lelahnya terobati. Namun sekarang berbeda. Beberapa hari ini rumahnya terasa sunyi, seolah kehilangan jiwa. Juna meletakkan tas kerjanya di sofa ruang tamu sambil menghela napas berat. Saat ia hendak melangkah menuju kamarnya, sebuah suara lembut menyapanya. “Den, baru pulang?” Juna sedikit terkejut. Ia hampir lupa bahwa ada orang lain di rumah ini. Lastri, pembantu yang ditugaskan oleh orang tua Aluna, muncul dari kamar istri mudanya sambil membawa cangkir kosong. “Oh, Bik,” ucap Juna singkat, sedikit kaku. Dalam kepenatan dan kekacauan pikirannya, ia hampir lupa bahwa Aluna dan pembantunya masih ada di sini. Ia memaksakan senyum ke
Setelah menimbang berulang kali, Juna akhirnya memutuskan untuk menemui Aluna di kamarnya. Rasa bersalah terus menghantui pikirannya, terutama setelah menyaksikan bagaimana ibunya dengan dingin melemparkan kata-kata tajam kepada gadis itu. Meski pernikahan mereka terjadi karena ancaman, Aluna kini adalah istrinya. Dan Juna tahu, suka atau tidak, gadis itu adalah tanggung jawabnya. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar Aluna. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan rasa canggung yang menyeruak di dadanya. Pernikahan itu baginya lebih seperti beban daripada kebahagiaan. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Aluna tidak sepenuhnya bersalah. Ketukan pelan terdengar di pintu. Tak ada jawaban. Juna mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. "Aluna, ini saya." Sunyi. Menyadari tidak ada respons, Juna membuka pintu perlahan. Kamar itu gelap, hanya diterangi c
"Kamu ini mikir dulu tidak sih sebelum bertindak?" Ratih kembali melanjutkan omelannya ketika ia mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Sungguh ia merasa kesal dan gemas sekali pada Juna. Kalau saja tidak ingat jika Juna merupakan anak semata wayangnya, sudah dipastikan wajah tampan Juna akan habis dicakar atau bahkan dikuliti olehnya. Lagipula Ratih heran, tidak ada angin tidak ada hujan, bisa-bisanya putranya itu menikah lagi. Apa kurangnya Liana coba? Dasar membuat malu saja! "Heh Juna! Apa kamu tidak ingat siapa yang sudah berjasa sampai bisa membuatmu seperti sekarang ini?" Emosinya masih menggebu-gebu, ia menatap nyalang pada sang putra yang masih diam membisu. "Dan kamu apa tidak ingat betapa susahnya kamu dulu berjuang untuk mendapatkan Liana?" Juna menunduk, ingatannya melayang pada saat dulu ia mendekati Liana. Liana merupakan wanita yang sangat can
Juna kembali berjalan mondar-mandir memikirkan caranya. Tapi konsentrasinya terganggu oleh suara gedoran pintu yang sangat keras. "Siapa sih gak sopan banget!" Ia bersungut kesal, kemudian melangkah menuju pintu utama. "Bisa gak sih kalau bertamu ke rumah orang itu yang so--ah aw aw aw." Juna mengaduh kesakitan ketika sebuah tangan menarik daun telinganya tanpa perasaan--tepat saat ia membuka pintu. "Dasar anak kurang ajar! Gak sopan! bikin malu keluarga!" ujar si pelaku dengan geram, yang ternyata adalah Ratih, Ibu kandung Juna. Dengan gemas wanita itu masih menjewer telinga putra semata wayangnya. "Aw sakit Bu, lepasin." Pinta Juna memelas. Telinganya sungguh terasa panas. "Sudah Bu, lepasin. Juna sudah dewasa, jangan kaya gini. Malu sama orang yang lihat." Aryo--ayah Juna--turut meminta agar istrinya itu melepaskan tangannya dari sang anak. Aryo merasa kasihan pada putranya.
Nyaris satu minggu Juna tidak bertemu dengan Liana dan Sienna. Laki-laki itu benar-benar menuruti saran dari Seno untuk memberikan waktu agar Liana bisa merenung dan menenangkan diri. Meski begitu berat menahan rindu karena tidak bertemu dengan istri dan anak tercintanya, tapi Juna mencoba untuk bersabar. Semua itu ia lakukan agar rumah tangganya kembali utuh dan harmonis. Biarlah ia sedikit mengalah--menekan egonya, yang terpenting keluarga kecilnya bisa kembali seperti sedia kala. Namun begitu, setiap hari Juna tetap mengirimi Liana pesan-pesan singkat seperti; [Bunda, gimana kabar kamu sama Senna di sana? Kalau kabar Ayah di sini kurang baik Bun ☹️ Ayah kangen banget sama Bunda dan Senna. Kalian cepat pulang ya] Atau seperti; [Bunda maafin Ayah ya.. Ayah cinta Bunda sama Senna 😘] Semua pesan-pesan yang Juna
"Saya punya penawaran yang menarik untukmu," ujar Tama dengan suara berat dan penuh tekanan. Juna, yang sedari tadi hanya terdiam dengan tatapan kosong, sontak teralihkan perhatiannya. Matanya menatap laki-laki paruh baya di depannya dengan kebingungan. "P-penawaran apa maksud Anda, Tuan?" Tama menyeringai tipis, senyumnya terkesan meremehkan. "Saya tidak akan memperpanjang kasus kecelakaan ini, dengan satu syarat. Kau harus bertanggung jawab sepenuhnya." Juna mengangguk cepat, mengira ia hanya perlu menanggung biaya medis. "Tentu. Saya akan menanggung semua biaya rumah sakit. Saya benar-benar menyesal atas kejadian ini." Namun respon Tama membuat detak jantung Juna berdebar kencang. Senyum meremehkan itu semakin lebar. "Apa kau pikir saya tidak mampu membayar biaya rumah sakit ini? Kau tahu siapa saya, bukan?" Juna terdiam. Tentu ia tahu. Tama Atmaja, pengusaha kaya raya dengan