INICIAR SESIÓNTugas luar kota mendadak. Dua hari tidak bisa dihubungi. Janji segera dilamar. Tiga kalimat itu terasa seperti penenang yang dicampur dengan racun yang mematikan.
Tri menghabiskan hari itu dalam dilema yang menyakitkan. Ia duduk di bangku kelas, di hadapannya terbentang lembar soal ulangan Biologi tentang genetika, tetapi yang berputar di benaknya bukanlah kromosom, melainkan janji-janji Raihan. Di satu sisi, ia memegang pita maroon dan ingatan akan wanita bergelang merah, bukti visual yang kejam. Di sisi lain, ia menggenggam janji lamaran, janji yang mewakili seluruh masa depannya yang telah dirancang rapi. Ia memilih untuk percaya pada janji, menganggap pita dan gelang itu hanya kebetulan, sisa masa lalu Raihan yang belum sepenuhnya ia bersihkan. Namun, keraguan itu tidak hilang. Rasa mual menemani Tri sepanjang jam pelajaran, membuat Tri gagal fokus. Ia akhirnya menyerah. Tepat saat bel istirahat berbunyi, Tri sudah tidak tahan lagi memanggul beban kerahasiaan ini sendirian. Ia harus mencari Dina, sahabatnya yang selalu blak-blakan, untuk memvalidasi pilihannya. "Aku butuh bantuanmu, Din," ujar Tri, menarik Dina menjauh dari keramaian kantin ke sudut perpustakaan yang lebih sepi. Dina menatap Tri. Ada kelelahan dan keputusasaan yang tidak biasa di mata Tri. "Kenapa? Raihan lagi? Aku sudah bilang, Tri, kau terlalu sering mengabaikan kami demi dia." "Bukan soal mengabaikan!" Tri berbisik tajam, suaranya dipenuhi frustrasi. "Ini berbeda. Kemarin, dia datang menjemputku dengan mobil pinjaman sedan hitam mewah, bukan mobilnya. Dia bilang itu pinjaman karena mobilnya diservis total. Lalu dia pamit tugas luar kota mendadak dua hari, tidak bisa dihubungi sama sekali, tapi dia janji akan melamarku begitu dia kembali." Tri sengaja tidak menyebutkan pita maroon atau wanita bergelang merah, karena itu terasa terlalu menyakitkan dan memalukan untuk diucapkan. Cukup mobil pinjaman dan alasan anehnya saja yang ia ungkapkan. Dina mendengarkan dengan ekspresi datar yang dingin. Ia menyilangkan tangan di dada, gerakannya penuh penilaian. "Dengar ya, Tri. Pria dewasa, apalagi perawat sibuk seperti dia, tidak akan 'tugas luar kota mendadak' sampai dua hari tanpa ponsel. Itu alasan klasik untuk menghilang dari tanggung jawab. Kenapa dia harus berbohong soal mobil kalau itu hanya pinjaman biasa? Dia perawat, bukan agen rahasia." "Tapi dia bilang dia akan melamarku setelah pulang!" Tri membela, suaranya menjadi lebih keras. Air matanya mulai menggenang. "Itu pasti karena dia ingin mengakhiri semua rahasia ini, Din! Dia ingin kita go public!" "Dia menjual ambisimu, Tri. Dia tahu kamu ingin menikah, ingin rumah di BSD, jadi dia menjual janji itu untuk membeli waktu," balas Dina tajam, tanpa basa-basi. "Dia mematikan ponselnya, Tri. Itu namanya menghilang, bukan tugas kantor. Berapa kali dia melakukan ini? Aku akan membuktikan siapa yang berbohong. Aku akan cari tahu sekarang." Dina segera mengambil ponselnya, menarik Tri ke balik rak buku katalog yang besar, mencari privasi yang total. "Karena Raihan mematikan ponselnya, kita mengandalkan jejak digital. Jangan ada yang menyentuhku, jangan ada yang menyela," perintah Dina,, nadanya kini berubah menjadi fokus seorang detektif. "Dia bilang tugas luar kota, kan? Kota mana?" tanya Dina. Tri menggeleng. "Dia tidak bilang. Cuma bilang tugas penting." Dina membuka akun I*******m Raihan. Akun itu hening, tidak ada story atau unggahan baru, sesuai dengan alibi 'tugas penting'. Namun, Dina kemudian beralih ke akun F******k, tempat Raihan jarang aktif dan cenderung meninggalkan jejak lama. Ia mencari unggahan lama, sekitar dua tahun lalu, yang pernah Raihan buat tentang ambisinya mendapat promosi di rumah sakit. Di sana, di antara komentar-komentar lama yang penuh ucapan selamat, Dina menemukan jejak. Seorang wanita bernama Sarah, dengan foto profil wanita berambut panjang yang sangat cantik, pernah menulis, "Semoga sukses di Surabaya, Rai. Aku akan menunggumu kembali." "Surabaya?" gumam Dina, alisnya terangkat. "Dia bilang tugas luar kota, itu luas sekali. Kenapa Dina tahu lokasi pastinya dua tahun lalu?" Dina tidak membuang waktu. Ia kembali ke I*******m Raihan, beralih ke bagian following. Ia mencari nama 'Sarah'. Dan benar saja, di antara rekan-rekan Raihan, ada akun Sarah, perawat cantik yang sering berfoto di depan tagline RS Harapan Bunda. Wanita yang sama yang Tri lihat sekilas di dekat pos satpam kemarin! Tri merasakan darahnya mengering. Ketakutan itu nyata. "Jangan, Din. Jangan lihat lagi," Tri memohon, tetapi Dina sudah tidak mendengarkan. Dina membuka story Sarah, yang baru diunggah dua jam lalu. Story itu adalah sebuah foto tiket pesawat dengan tujuan SUB (Surabaya), lengkap dengan jam keberangkatan pagi tadi. Di sudut foto itu, terdapat caption yang penuh teka-teki "Bersiap untuk peran penting. 💍" Tri menatap tiket pesawat itu, dadanya berdebar semakin kencang, seolah akan meledak. Ia tidak tahu mengapa Sarah harus ikut Raihan ke Surabaya jika Raihan hanya 'tugas kantor'. Dan mengapa ada emoji cincin di sana? Peran penting apa yang melibatkan tiket pesawat ke Surabaya dan janji pertunangan? "Lihat, Tri," bisik Dina, suaranya tercekat. Ia menunjuk ke feed Sarah, menggulir jauh ke bawah, ke foto-foto lama. "Ini dia, tunangan Raihan yang dia bilang sudah dia batalkan! Dia perawat senior yang sama dengannya." Tri melihat foto itu, Raihan dan Sarah dalam balutan seragam perawat, merayakan sesuatu dengan kue ulang tahun rumah sakit. Caption-nya jelas, "Empat tahun bersama, selangkah lagi menuju janji abadi." Empat tahun. Raihan mengenal Sarah jauh sebelum ia mengenal Tri. Tri merasakan nyeri tajam di dadanya, lebih sakit dari ditampar, lebih sakit dari keraguan. Ia bukan masa depan, ia adalah selingan. Tiba-tiba, Dina menarik napas kencang. Wajahnya pucat pasi. "Ya Tuhan, Tri! Lihat ini!" Dina menunjuk pada salah satu foto Raihan dan Sarah, yang merupakan foto pre-wedding lama. Wanita itu mengenakan gaun putih sederhana, dan di rambutnya, tersemat sebuah pita. Pita rambut yang ada di foto pre-wedding Sarah itu memiliki warna, bahan, dan simpul yang sama persis 'satin maroon' dengan yang Tri sembunyikan di lacinya. Tri menyadari, pita itu bukan hanya barang asing yang tertinggal, melainkan bukti yang terencana, sengaja ditinggalkan, seolah Raihan sedang memperingatkannya.Cincin janji perak tipis itu terasa dingin di jari manis Tri. Bukan simbol cinta, melainkan chip pelacak yang dipasang Raihan, memastikan Tri tidak akan melangkah keluar dari garis batas yang telah ia tetapkan. Setelah Raihan pergi, meninggalkan jejak aroma maskulin dan janji pernikahan yang baru, kamar Tri kembali sunyi. Namun, keheningan kali ini terasa lebih membebani. Tri telah memilih ilusi kehangatan Raihan daripada realitas dingin yang ditawarkan Dina.Pagi berikutnya, Tri pergi ke sekolah dengan langkah yang berat. Ia harus melaksanakan janji terberat yang ia buat pada Raihan: menghapus 'racun' dari hidupnya.Saat memasuki gerbang, Tri melihat Dina menunggunya di depan mading. Jantung Tri mencelos."Tri! Aku khawatir sekali! Kenapa kamu bolos kemarin, dan kenapa kamu tidak membalas pesanku sama sekali?" Dina menghampiri, matanya memancarkan keprihatinan yang tulus.Tri berusaha memutar arah, tetapi Dina sudah melihatnya. Tri menunduk, menghindari tatapan Dina. Ia menggeng
Tri terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di tenggorokan, seolah ia baru saja menjerit selama berjam-jam. Cahaya kuning remang-remang dari lampu meja menemani matanya yang perlahan terbuka. Ia berada di kamarnya, selimut tebal menutupi tubuhnya, dan di sampingnya, duduk Ibunya dengan mata sembab dan tatapan penuh kekhawatiran."Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar," bisik Ibu Tri, tangannya mengelus rambut Tri dengan lembut. "Tidurmu nyenyak sekali. Jangan khawatir, Sayang. Semuanya baik-baik saja."Semuanya baik-baik saja. Kata-kata itu berulang di kepala Tri, namun bertabrakan dengan memori yang baru saja menghancurkannya. Tri mencoba mengingat. Pita maroon yang dirobek. Cincin yang diinjak. Foto Raihan dan Sarah, tersenyum di pelabuhan abadi mereka.Rasa sakit itu menghantam Tri lagi, membuatnya sesak napas. Ia mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ibu Tri menahan tangan Tri."Jangan dulu, Nak. Kamu istirahat. Ibu akan buatkan teh hangat."Tri menggeleng, memaksa
Tri sempat menatap foto itu selama dua puluh detik, tanpa berkedip, tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan suara. Ia merasakan denyut nadi di pelipisnya berpacu gila-gilaan, dan dunia di sekitarnya meredup. Tubuhnya terasa berat, namun jiwanya tiba-tiba ringan, terlepas dari kenyataan.Pelabuhan abadi. Raihan selalu memanggil Tri sebagai pelabuhan terakhir. Kini, Tri mengerti. Ia bukan pelabuhan. Ia hanya persinggahan. Ia adalah jembatan sementara yang dilewati Raihan, tempat Raihan membuang waktu, mengisi bahan bakar emosional, sebelum kembali ke tujuan sebenarnya 'Sarah'.Rasa dingin yang membekukan itu beralih menjadi amarah yang mendidih. Tri dengan tangan gemetar menyentuh layar, mencoba memperbesar foto itu. Ia ingin memastikan matanya tidak salah.Jas Raihan itu mahal, gaun Sarah anggun, dekorasinya elegan. Ini bukan 'simulasi' untuk promosi kantor, ini adalah pernikahan nyata.Tri bergegas membuka aplikasi Instagram, langsung menuju akun Raihan. Sesuai dugaannya, akun Raihan kini
Pita itu bukan hanya pita, melainkan benang merah yang menghubungkan Raihan dengan tunangan resminya, sebuah kebohongan yang kini tampak menjijikkan.Tri berlari meninggalkan Dina di sekolah, rasa sakit karena dikhianati jauh lebih panas daripada terik matahari Jakarta. Ia tidak peduli pada tatapan bingung teman-temannya atau ancaman hukuman karena bolos jam pelajaran terakhir. Tujuannya hanya satu, kamar tidurnya yang aman.Ia mengunci diri di kamar, merosot ke lantai dengan punggung menempel di pintu. Di tangannya, ia menggenggam ponsel dan pita maroon itu. Pita yang licin, murah, dan kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya pada kebohongan tujuh tahun lebih tua. Rasa sakit di dadanya begitu hebat hingga sulit bernapas. Semua janji tentang rumah di BSD, Santorini, dan "pelabuhan terakhir" kini terasa hampa dan palsu.Tri bangkit, tangannya gemetar meraih ponsel. Ia harus menghubungi Raihan. Ia harus memaksa pria itu menghadapi kebenaran. Logika Dina kini memenuhi otaknya,
Tugas luar kota mendadak. Dua hari tidak bisa dihubungi. Janji segera dilamar. Tiga kalimat itu terasa seperti penenang yang dicampur dengan racun yang mematikan.Tri menghabiskan hari itu dalam dilema yang menyakitkan. Ia duduk di bangku kelas, di hadapannya terbentang lembar soal ulangan Biologi tentang genetika, tetapi yang berputar di benaknya bukanlah kromosom, melainkan janji-janji Raihan. Di satu sisi, ia memegang pita maroon dan ingatan akan wanita bergelang merah, bukti visual yang kejam. Di sisi lain, ia menggenggam janji lamaran, janji yang mewakili seluruh masa depannya yang telah dirancang rapi. Ia memilih untuk percaya pada janji, menganggap pita dan gelang itu hanya kebetulan, sisa masa lalu Raihan yang belum sepenuhnya ia bersihkan.Namun, keraguan itu tidak hilang. Rasa mual menemani Tri sepanjang jam pelajaran, membuat Tri gagal fokus. Ia akhirnya menyerah. Tepat saat bel istirahat berbunyi, Tri sudah tidak tahan lagi memanggul beban kerahasiaan ini sendirian. Ia
Pita satin maroon itu adalah bukti bisu dari kebohongan yang seharusnya tidak pernah ditemukan oleh seorang gadis SMA.Di balik pagar rendah Rumah Sakit Harapan Bunda, di bangku semen yang tersembunyi, Tri Ananda Putri menunggu Raihan Azizi. Udara sore itu terasa dingin karena pendingin ruangan rumah sakit, tetapi kecemasan di perut Tri jauh lebih membekukan. Sudah dua jam ia menunggu, sejak bel sekolah berbunyi.Tri melihat jam digital di ponselnya lagi, pukul 16.35. Jakarta sedang mencapai kepadatan maksimal, namun yang membuatnya gelisah bukanlah macet, melainkan pesan terakhir Raihan, empat jam lalu, "Urusan manajer mendadak. Tunggu. Jangan sampai ada yang lihat". Hubungan ini selalu diselimuti kerahasiaan, seolah cinta mereka adalah proyek rahasia terlarang yang harus dijaga rapat dari pandangan siapa pun, berjalan dalam sunyi, penuh kehati-hatian, namun tetap menyimpan getar rasa yang tak mampu dipadamkan oleh larangan dan keadaanRaihan, perawat senior yang menawan, berusi







