INICIAR SESIÓNPita itu bukan hanya pita, melainkan benang merah yang menghubungkan Raihan dengan tunangan resminya, sebuah kebohongan yang kini tampak menjijikkan.
Tri berlari meninggalkan Dina di sekolah, rasa sakit karena dikhianati jauh lebih panas daripada terik matahari Jakarta. Ia tidak peduli pada tatapan bingung teman-temannya atau ancaman hukuman karena bolos jam pelajaran terakhir. Tujuannya hanya satu, kamar tidurnya yang aman. Ia mengunci diri di kamar, merosot ke lantai dengan punggung menempel di pintu. Di tangannya, ia menggenggam ponsel dan pita maroon itu. Pita yang licin, murah, dan kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya pada kebohongan tujuh tahun lebih tua. Rasa sakit di dadanya begitu hebat hingga sulit bernapas. Semua janji tentang rumah di BSD, Santorini, dan "pelabuhan terakhir" kini terasa hampa dan palsu. Tri bangkit, tangannya gemetar meraih ponsel. Ia harus menghubungi Raihan. Ia harus memaksa pria itu menghadapi kebenaran. Logika Dina kini memenuhi otaknya, menenggelamkan suara Raihan yang selalu membujuk. Ia menekan tombol panggil Raihan, dan kali ini, Raihan yang sedang 'sibuk di luar kota' itu mengangkatnya. Suaranya terdengar jengkel, penuh otoritas yang terganggu. "Tri! Kenapa kamu telepon? Aku bilang aku tidak bisa diganggu! Aku sedang bekerja, dan ini tugas yang sangat penting! Kamu merusak konsentrasiku!" bentaknya. Raihan yang membentak Tri karena mengganggu 'tugas pentingnya' jauh lebih menakutkan daripada Raihan yang memelas. Kemarahan itu memicu sisa keberanian Tri. "Siapa Sarah, Kak? Dan mengapa pita maroon yang aku temukan di mobilmu ada di foto pre-wedding-nya? Jangan berbohong lagi! Aku sudah lihat tiket pesawat ke Surabaya!" Tri berkata cepat, tanpa jeda, menumpahkan semua yang ia temukan. Raihan diam. Keheningan di ujung telepon terasa begitu lama, begitu berat, seolah Tri sedang mendengarkan pengakuan dosa, tetapi yang terdengar hanyalah napas Raihan yang dikendalikan. "Aku tanya, Kak! Apa yang kamu lakukan di Surabaya dengan dia?!" suara Tri mulai bergetar, air mata sudah membanjiri pipinya. "Dengar, Sayang," suara Raihan akhirnya keluar, nadanya berubah menjadi dingin dan otoriter. Kelembutan yang memikat itu lenyap, digantikan suara komandan yang memberi perintah. "Sarah adalah bagian dari masa lalu yang harus aku hadapi demi pekerjaan. Pita itu hanyalah kebetulan. Kamu terlalu sensitif, Tri. Ini yang kubenci dari anak SMA, terlalu posesif pada hal-hal kecil yang tidak penting. Kamu tidak fokus pada gambaran besarnya." "Posesif? Kamu bilang akan melamarku, Kak! Kamu yang menjanjikan masa depan itu!" "Dan aku akan melakukannya! Tapi kamu harus lulus ujian ini dulu!" Raihan membentak lagi, suaranya meninggi. "Ujian ini adalah untuk membuktikan ketulusanmu dan keseriusanmu pada janji kita. Aku ingin kamu hentikan semua kecurigaan bodoh ini. Aku ingin kamu hapus semua jejak kita di media sosial, dan yang paling penting, aku ingin kamu putus komunikasi dengan Dina. Dia sudah meracuni pikiranmu. Dia ingin kita putus!" Tri tercekat. Memutus komunikasi dengan Dina? Sahabatnya satu-satunya, satu-satunya orang yang memegang akal sehat di dekatnya? Raihan memaksanya memilih antara dukungan emosional dan janji material. Raihan melanjutkan, suaranya kembali melembut, kini terdengar sedih, seolah Tri-lah yang bersalah. "Aku sedang berjuang untuk masa depan kita di Surabaya, Tri. Aku mengorbankan waktu tidurku, aku mempertaruhkan posisiku semua demi kita, demi rumah impian kita. Kamu tidak bisa percaya padaku? Setelah semua yang kuberikan? Buktikan kamu mau berjuang juga. Buktikan kamu rela membangun garis batas antara kita dan dunia luar. Hanya kita. Tidak ada Dina. Lakukan sekarang." Tri tahu itu adalah manipulasi paling kejam. Raihan menjebaknya dalam ilusi eksklusif, memposisikan Dina sebagai musuh demi melindungi kebohongannya. Rasa takut kehilangan janji pernikahan itu, rasa takut kembali menjadi siswi biasa yang tak punya masa depan terencana, ternyata lebih besar dari logika dan harga diri. "Aku butuh kamu, Tri. Aku hanya punya kamu," bisik Raihan, kata-kata yang mematikan itu menghantam kelemahan terbesar Tri. Tri menghela napas pasrah, menundukkan kepala di hadapan kebohongan itu. "Baik, Kak. Aku akan putus kontak dengan Dina." "Gadis pintar," Raihan terdengar puas, suaranya kembali hangat seolah tidak ada bentakan sedetik yang lalu. "Aku akan menghubungimu lusa pagi. Jangan hubungi aku sampai saat itu. Lakukan apa yang kusuruh sekarang, Sayang. Buktikan cintamu." Raihan menutup telepon. Tri menatap layar ponsel yang kini gelap. Dengan hati yang hancur, ia membuka akun I*******m Dina. Jarinya melayang di atas tombol Block. Ia merasa bersalah, tetapi ia harus melakukannya demi "masa depan" yang dijanjikan Raihan. Ia harus menghapus 'racun' itu. Tepat sebelum ia menekan tombol Block yang menghancurkan persahabatan mereka, ponselnya kembali bergetar. Itu adalah sebuah pesan yang masuk melalui Direct Message dari akun anonim yang Tri tidak kenal, akun yang hanya berisi inisial acak tanpa foto profil. Pesan itu hanya berisi satu tangkapan layar. Tri melihat tangkapan layar itu. Itu adalah Story yang baru diunggah oleh Raihan, bukan di feed F******k lamanya, melainkan di akun pribadi I*******m-nya, akun yang selama ini Raihan bilang tidak ia sentuh. Story itu menunjukkan Raihan mengenakan jas pengantin yang pas, sedang tersenyum lebar ke arah kamera, tampak bahagia dan lega, memancarkan aura yang belum pernah Tri lihat. Dan di sampingnya, berdiri Sarah yang mengenakan gaun pernikahan, berpegangan tangan. Mereka tampak seperti pasangan baru yang sempurna. Caption pada foto itu berbunyi: "Mulai hari ini, aku bukan lagi persinggahan. Selamat datang di pelabuhan abadi."Cincin janji perak tipis itu terasa dingin di jari manis Tri. Bukan simbol cinta, melainkan chip pelacak yang dipasang Raihan, memastikan Tri tidak akan melangkah keluar dari garis batas yang telah ia tetapkan. Setelah Raihan pergi, meninggalkan jejak aroma maskulin dan janji pernikahan yang baru, kamar Tri kembali sunyi. Namun, keheningan kali ini terasa lebih membebani. Tri telah memilih ilusi kehangatan Raihan daripada realitas dingin yang ditawarkan Dina.Pagi berikutnya, Tri pergi ke sekolah dengan langkah yang berat. Ia harus melaksanakan janji terberat yang ia buat pada Raihan: menghapus 'racun' dari hidupnya.Saat memasuki gerbang, Tri melihat Dina menunggunya di depan mading. Jantung Tri mencelos."Tri! Aku khawatir sekali! Kenapa kamu bolos kemarin, dan kenapa kamu tidak membalas pesanku sama sekali?" Dina menghampiri, matanya memancarkan keprihatinan yang tulus.Tri berusaha memutar arah, tetapi Dina sudah melihatnya. Tri menunduk, menghindari tatapan Dina. Ia menggeng
Tri terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di tenggorokan, seolah ia baru saja menjerit selama berjam-jam. Cahaya kuning remang-remang dari lampu meja menemani matanya yang perlahan terbuka. Ia berada di kamarnya, selimut tebal menutupi tubuhnya, dan di sampingnya, duduk Ibunya dengan mata sembab dan tatapan penuh kekhawatiran."Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar," bisik Ibu Tri, tangannya mengelus rambut Tri dengan lembut. "Tidurmu nyenyak sekali. Jangan khawatir, Sayang. Semuanya baik-baik saja."Semuanya baik-baik saja. Kata-kata itu berulang di kepala Tri, namun bertabrakan dengan memori yang baru saja menghancurkannya. Tri mencoba mengingat. Pita maroon yang dirobek. Cincin yang diinjak. Foto Raihan dan Sarah, tersenyum di pelabuhan abadi mereka.Rasa sakit itu menghantam Tri lagi, membuatnya sesak napas. Ia mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ibu Tri menahan tangan Tri."Jangan dulu, Nak. Kamu istirahat. Ibu akan buatkan teh hangat."Tri menggeleng, memaksa
Tri sempat menatap foto itu selama dua puluh detik, tanpa berkedip, tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan suara. Ia merasakan denyut nadi di pelipisnya berpacu gila-gilaan, dan dunia di sekitarnya meredup. Tubuhnya terasa berat, namun jiwanya tiba-tiba ringan, terlepas dari kenyataan.Pelabuhan abadi. Raihan selalu memanggil Tri sebagai pelabuhan terakhir. Kini, Tri mengerti. Ia bukan pelabuhan. Ia hanya persinggahan. Ia adalah jembatan sementara yang dilewati Raihan, tempat Raihan membuang waktu, mengisi bahan bakar emosional, sebelum kembali ke tujuan sebenarnya 'Sarah'.Rasa dingin yang membekukan itu beralih menjadi amarah yang mendidih. Tri dengan tangan gemetar menyentuh layar, mencoba memperbesar foto itu. Ia ingin memastikan matanya tidak salah.Jas Raihan itu mahal, gaun Sarah anggun, dekorasinya elegan. Ini bukan 'simulasi' untuk promosi kantor, ini adalah pernikahan nyata.Tri bergegas membuka aplikasi Instagram, langsung menuju akun Raihan. Sesuai dugaannya, akun Raihan kini
Pita itu bukan hanya pita, melainkan benang merah yang menghubungkan Raihan dengan tunangan resminya, sebuah kebohongan yang kini tampak menjijikkan.Tri berlari meninggalkan Dina di sekolah, rasa sakit karena dikhianati jauh lebih panas daripada terik matahari Jakarta. Ia tidak peduli pada tatapan bingung teman-temannya atau ancaman hukuman karena bolos jam pelajaran terakhir. Tujuannya hanya satu, kamar tidurnya yang aman.Ia mengunci diri di kamar, merosot ke lantai dengan punggung menempel di pintu. Di tangannya, ia menggenggam ponsel dan pita maroon itu. Pita yang licin, murah, dan kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya pada kebohongan tujuh tahun lebih tua. Rasa sakit di dadanya begitu hebat hingga sulit bernapas. Semua janji tentang rumah di BSD, Santorini, dan "pelabuhan terakhir" kini terasa hampa dan palsu.Tri bangkit, tangannya gemetar meraih ponsel. Ia harus menghubungi Raihan. Ia harus memaksa pria itu menghadapi kebenaran. Logika Dina kini memenuhi otaknya,
Tugas luar kota mendadak. Dua hari tidak bisa dihubungi. Janji segera dilamar. Tiga kalimat itu terasa seperti penenang yang dicampur dengan racun yang mematikan.Tri menghabiskan hari itu dalam dilema yang menyakitkan. Ia duduk di bangku kelas, di hadapannya terbentang lembar soal ulangan Biologi tentang genetika, tetapi yang berputar di benaknya bukanlah kromosom, melainkan janji-janji Raihan. Di satu sisi, ia memegang pita maroon dan ingatan akan wanita bergelang merah, bukti visual yang kejam. Di sisi lain, ia menggenggam janji lamaran, janji yang mewakili seluruh masa depannya yang telah dirancang rapi. Ia memilih untuk percaya pada janji, menganggap pita dan gelang itu hanya kebetulan, sisa masa lalu Raihan yang belum sepenuhnya ia bersihkan.Namun, keraguan itu tidak hilang. Rasa mual menemani Tri sepanjang jam pelajaran, membuat Tri gagal fokus. Ia akhirnya menyerah. Tepat saat bel istirahat berbunyi, Tri sudah tidak tahan lagi memanggul beban kerahasiaan ini sendirian. Ia
Pita satin maroon itu adalah bukti bisu dari kebohongan yang seharusnya tidak pernah ditemukan oleh seorang gadis SMA.Di balik pagar rendah Rumah Sakit Harapan Bunda, di bangku semen yang tersembunyi, Tri Ananda Putri menunggu Raihan Azizi. Udara sore itu terasa dingin karena pendingin ruangan rumah sakit, tetapi kecemasan di perut Tri jauh lebih membekukan. Sudah dua jam ia menunggu, sejak bel sekolah berbunyi.Tri melihat jam digital di ponselnya lagi, pukul 16.35. Jakarta sedang mencapai kepadatan maksimal, namun yang membuatnya gelisah bukanlah macet, melainkan pesan terakhir Raihan, empat jam lalu, "Urusan manajer mendadak. Tunggu. Jangan sampai ada yang lihat". Hubungan ini selalu diselimuti kerahasiaan, seolah cinta mereka adalah proyek rahasia terlarang yang harus dijaga rapat dari pandangan siapa pun, berjalan dalam sunyi, penuh kehati-hatian, namun tetap menyimpan getar rasa yang tak mampu dipadamkan oleh larangan dan keadaanRaihan, perawat senior yang menawan, berusi







