Inicio / Romansa / Gadis Persinggahan / Bab 4: Pukulan Telak

Compartir

Bab 4: Pukulan Telak

Autor: Alyantha_Z
last update Última actualización: 2025-10-27 04:36:47

Tri sempat menatap foto itu selama dua puluh detik, tanpa berkedip, tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan suara. Ia merasakan denyut nadi di pelipisnya berpacu gila-gilaan, dan dunia di sekitarnya meredup. Tubuhnya terasa berat, namun jiwanya tiba-tiba ringan, terlepas dari kenyataan.

Pelabuhan abadi. Raihan selalu memanggil Tri sebagai pelabuhan terakhir. Kini, Tri mengerti. Ia bukan pelabuhan. Ia hanya persinggahan. Ia adalah jembatan sementara yang dilewati Raihan, tempat Raihan membuang waktu, mengisi bahan bakar emosional, sebelum kembali ke tujuan sebenarnya 'Sarah'.

Rasa dingin yang membekukan itu beralih menjadi amarah yang mendidih. Tri dengan tangan gemetar menyentuh layar, mencoba memperbesar foto itu. Ia ingin memastikan matanya tidak salah.

Jas Raihan itu mahal, gaun Sarah anggun, dekorasinya elegan. Ini bukan 'simulasi' untuk promosi kantor, ini adalah pernikahan nyata.

Tri bergegas membuka aplikasi I*******m, langsung menuju akun Raihan. Sesuai dugaannya, akun Raihan kini sudah menghilang dari daftar pengikutnya. Tri telah diblokir. Raihan telah menekan tombol Block sesaat sebelum ia menekan tombol Upload. Raihan telah memastikan Tri tidak akan pernah melihat kebenaran itu secara langsung, meninggalkan Tri hanya dengan bukti anonim yang bisa ia sangkal. Pengecut. Manipulator.

Ponsel itu terlepas dari genggaman Tri, menghantam kasur dengan suara pelan yang ironis. Hening. Keheningan yang memekakkan telinga setelah badai hebat. Tri kini duduk sendirian di lantai kamarnya, di antara buku-buku Biologi yang gagal ia pelajari, dan pita satin maroon yang menjadi saksi bisu.

Tri menatap pita maroon itu, lalu melihat cincin perak tipis di jari manisnya, Cincin Janji.

"Bohong! Kau bohong, Raihan!" Teriakan itu pecah dari tenggorokannya, parau dan menyakitkan.

Teriakan pertama Tri setelah berbulan-bulan menahan semua kecurigaan, kesedihan, dan keraguannya. Teriakan itu diikuti oleh ledakan tangis yang histeris. Tri menjambak rambutnya sendiri, memukul-mukul lantai, merangkak, menangis sejadi-jadinya.

"Aku bukan persinggahan! Aku masa depanmu! Kamu bilang begitu!" Kini, bukan hanya Raihan yang ia salahkan, tetapi dirinya sendiri. Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa aku percaya? Mengapa aku membiarkannya mematikan logikaku?

Tri meraih pita maroon itu. Pita yang menjadi obsesinya, yang ia simpan dengan harapan kebohongan Raihan akan terbukti. Tri merobek pita itu dengan giginya, merobeknya berkeping-keping seolah ia merobek ingatan tentang Raihan. Kain satin yang halus itu terasa pahit di lidahnya.

Kemudian, ia menatap cincin perak di jari manisnya. Cincin Janji. Cincin murah yang kini terasa seperti rantai besi. Cincin yang ia pakai sebagai pengikat eksklusif, sementara Raihan memakai cincin emas di jari yang sama dengan Sarah.

Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Tri menarik cincin itu hingga kulitnya memerah, melemparkannya ke dinding kamar. Cincin itu memantul dan jatuh di bawah meja belajar. Tri tidak puas. Ia merangkak, menemukan cincin itu, lalu menginjaknya sekuat tenaga dengan tumitnya, berulang kali, hingga cincin perak yang rapuh itu bengkok dan hancur tak berbentuk. Ia harus menghancurkan simbol kebohongan itu.

Napas Tri terengah-engah. Tenggorokannya sakit, matanya bengkak. Ia merasa mual, seolah semua kata-kata manis dan janji-janji palsu Raihan kini menjadi beban fisik di perutnya.

Ia melihat bayangannya di cermin lemari, wajah pucat pasi, rambut acak-acakan, seragam sekolah yang kusut. Ia terlihat seperti hantu dirinya sendiri. Inikah harga dari janji palsu?

Tri mengingat permintaan terakhir Raihan, Putuskan komunikasi dengan Dina. Permintaan itu kini terasa seperti pisau yang ditikamkan dua kali. Raihan tidak hanya menipunya, tetapi juga berusaha memutusnya dari satu-satunya jalan keluar. Raihan ingin Tri benar-benar sendiri, agar ia tidak punya siapa-siapa saat kebenaran ini menghantamnya.

Raihan takut pada Dina, karena Dina cerdas dan memiliki logika yang kuat. Raihan tahu, selama Tri memiliki Dina, kontrolnya tidak akan pernah berguna.

Kesadaran itu membuat amarah Tri sedikit mereda, digantikan oleh kepasrahan yang mendalam. Ia terlalu lelah untuk menangis lagi. Ia terlalu hancur untuk bergerak. Tri merangkak ke sudut kamar, di antara tumpukan bantal, dan meringkuk.

Ia tidak lagi memikirkan Raihan, Sarah, atau pernikahan di Surabaya. Ia hanya memikirkan rasa malu yang akan ia hadapi. Bagaimana ia akan menghadapi Dina, yang peringatannya ia abaikan? Bagaimana ia akan menghadapi Ayahnya, yang ia yakinkan Raihan adalah pria yang stabil? Dan bagaimana ia akan menjelaskan kegagalan nilai-nilainya di sekolah?

Seluruh masa depannya yang ia bangun di atas ilusi kini runtuh, menyisakan puing-puing berupa kehancuran akademik dan mental.

Saat Tri terperosok dalam keheningan total, keheningan yang lebih menakutkan dari teriakan histerisnya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu.

"Tri? Sayang, kamu di dalam? Bukalah, Nak. Ibu dengar ada suara keras. Kenapa kamu tidak keluar sejak pulang sekolah?" Itu suara Ibunya, lembut namun cemas.

Tri tidak merespons. Ia tidak bisa. Lidahnya kelu. Ia hanya mampu meringkuk lebih erat, berharap kegelapan menelannya.

Ibu Tri, yang sudah merasakan ada yang tidak beres sejak Tri menjauhi Dina, mencoba memutar kenop pintu. Pintunya terkunci dari dalam.

"Tri, Ibu mohon, buka pintunya. Ibu khawatir."

Setelah beberapa detik tanpa respons, kekhawatiran Ibu Tri memuncak. Ibu Tri mengeluarkan kunci cadangan. Ia membuka pintu kamar Tri perlahan.

Pemandangan di dalam kamar membuat Ibu Tri terperangah. Jendela tertutup, kamar remang-remang. Cincin perak yang bengkok tergeletak di lantai dekat dinding. Kepingan pita satin maroon berserakan di atas karpet. Dan di sudut, meringkuk di antara bantal, Tri terlihat seperti patung yang tak bernyawa.

Ibu Tri segera mendekat, lututnya lemas. Ia menyentuh punggung Tri yang kedinginan.

"Ya Tuhan, Tri! Ada apa, Sayang?"

Tri sedikit bergerak, mengangkat wajahnya. Matanya sembap, merah, penuh air mata kering dan kekosongan. Tatapan itu tidak fokus, seolah melihat menembus Ibunya, menembus dinding, menembus kebohongan yang baru saja menghancurkan dunianya.

"Raihan... Raihan..." Itu satu-satunya kata yang mampu diucapkan Tri, suaranya seperti bisikan angin, sebelum ia kembali meringkuk dan kehilangan kesadaran. Ibu Tri panik, memeluk tubuh Tri yang kaku dan dingin, menyadari bahwa putrinya baru saja mengalami kehancuran emosional total. Tri terlalu rusak untuk memberitahu Ibunya. Aku adalah gadis persinggahan, Bu. Dan dia sudah sampai di pelabuhan abadinya.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Gadis Persinggahan   Bab 6: Harga Sebuah Keheningan

    ​Cincin janji perak tipis itu terasa dingin di jari manis Tri. Bukan simbol cinta, melainkan chip pelacak yang dipasang Raihan, memastikan Tri tidak akan melangkah keluar dari garis batas yang telah ia tetapkan. Setelah Raihan pergi, meninggalkan jejak aroma maskulin dan janji pernikahan yang baru, kamar Tri kembali sunyi. Namun, keheningan kali ini terasa lebih membebani. Tri telah memilih ilusi kehangatan Raihan daripada realitas dingin yang ditawarkan Dina.​Pagi berikutnya, Tri pergi ke sekolah dengan langkah yang berat. Ia harus melaksanakan janji terberat yang ia buat pada Raihan: menghapus 'racun' dari hidupnya.​Saat memasuki gerbang, Tri melihat Dina menunggunya di depan mading. Jantung Tri mencelos.​"Tri! Aku khawatir sekali! Kenapa kamu bolos kemarin, dan kenapa kamu tidak membalas pesanku sama sekali?" Dina menghampiri, matanya memancarkan keprihatinan yang tulus.​Tri berusaha memutar arah, tetapi Dina sudah melihatnya. Tri menunduk, menghindari tatapan Dina. Ia menggeng

  • Gadis Persinggahan   Bab 5: Gaslighting Sempurna

    ​Tri terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di tenggorokan, seolah ia baru saja menjerit selama berjam-jam. Cahaya kuning remang-remang dari lampu meja menemani matanya yang perlahan terbuka. Ia berada di kamarnya, selimut tebal menutupi tubuhnya, dan di sampingnya, duduk Ibunya dengan mata sembab dan tatapan penuh kekhawatiran.​"Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar," bisik Ibu Tri, tangannya mengelus rambut Tri dengan lembut. "Tidurmu nyenyak sekali. Jangan khawatir, Sayang. Semuanya baik-baik saja."​Semuanya baik-baik saja. Kata-kata itu berulang di kepala Tri, namun bertabrakan dengan memori yang baru saja menghancurkannya. Tri mencoba mengingat. Pita maroon yang dirobek. Cincin yang diinjak. Foto Raihan dan Sarah, tersenyum di pelabuhan abadi mereka.​Rasa sakit itu menghantam Tri lagi, membuatnya sesak napas. Ia mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ibu Tri menahan tangan Tri.​"Jangan dulu, Nak. Kamu istirahat. Ibu akan buatkan teh hangat."​Tri menggeleng, memaksa

  • Gadis Persinggahan   Bab 4: Pukulan Telak

    Tri sempat menatap foto itu selama dua puluh detik, tanpa berkedip, tanpa bergerak, tanpa mengeluarkan suara. Ia merasakan denyut nadi di pelipisnya berpacu gila-gilaan, dan dunia di sekitarnya meredup. Tubuhnya terasa berat, namun jiwanya tiba-tiba ringan, terlepas dari kenyataan.Pelabuhan abadi. Raihan selalu memanggil Tri sebagai pelabuhan terakhir. Kini, Tri mengerti. Ia bukan pelabuhan. Ia hanya persinggahan. Ia adalah jembatan sementara yang dilewati Raihan, tempat Raihan membuang waktu, mengisi bahan bakar emosional, sebelum kembali ke tujuan sebenarnya 'Sarah'.Rasa dingin yang membekukan itu beralih menjadi amarah yang mendidih. Tri dengan tangan gemetar menyentuh layar, mencoba memperbesar foto itu. Ia ingin memastikan matanya tidak salah.Jas Raihan itu mahal, gaun Sarah anggun, dekorasinya elegan. Ini bukan 'simulasi' untuk promosi kantor, ini adalah pernikahan nyata.Tri bergegas membuka aplikasi Instagram, langsung menuju akun Raihan. Sesuai dugaannya, akun Raihan kini

  • Gadis Persinggahan   Bab 3: Garis Batas dan Pemberontakan Hati

    ​Pita itu bukan hanya pita, melainkan benang merah yang menghubungkan Raihan dengan tunangan resminya, sebuah kebohongan yang kini tampak menjijikkan.​Tri berlari meninggalkan Dina di sekolah, rasa sakit karena dikhianati jauh lebih panas daripada terik matahari Jakarta. Ia tidak peduli pada tatapan bingung teman-temannya atau ancaman hukuman karena bolos jam pelajaran terakhir. Tujuannya hanya satu, kamar tidurnya yang aman.​Ia mengunci diri di kamar, merosot ke lantai dengan punggung menempel di pintu. Di tangannya, ia menggenggam ponsel dan pita maroon itu. Pita yang licin, murah, dan kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya pada kebohongan tujuh tahun lebih tua. Rasa sakit di dadanya begitu hebat hingga sulit bernapas. Semua janji tentang rumah di BSD, Santorini, dan "pelabuhan terakhir" kini terasa hampa dan palsu.​Tri bangkit, tangannya gemetar meraih ponsel. Ia harus menghubungi Raihan. Ia harus memaksa pria itu menghadapi kebenaran. Logika Dina kini memenuhi otaknya,

  • Gadis Persinggahan   Bab 2: Ujian Ketulusan

    ​Tugas luar kota mendadak. Dua hari tidak bisa dihubungi. Janji segera dilamar. Tiga kalimat itu terasa seperti penenang yang dicampur dengan racun yang mematikan.​Tri menghabiskan hari itu dalam dilema yang menyakitkan. Ia duduk di bangku kelas, di hadapannya terbentang lembar soal ulangan Biologi tentang genetika, tetapi yang berputar di benaknya bukanlah kromosom, melainkan janji-janji Raihan. Di satu sisi, ia memegang pita maroon dan ingatan akan wanita bergelang merah, bukti visual yang kejam. Di sisi lain, ia menggenggam janji lamaran, janji yang mewakili seluruh masa depannya yang telah dirancang rapi. Ia memilih untuk percaya pada janji, menganggap pita dan gelang itu hanya kebetulan, sisa masa lalu Raihan yang belum sepenuhnya ia bersihkan.​Namun, keraguan itu tidak hilang. Rasa mual menemani Tri sepanjang jam pelajaran, membuat Tri gagal fokus. Ia akhirnya menyerah. Tepat saat bel istirahat berbunyi, Tri sudah tidak tahan lagi memanggul beban kerahasiaan ini sendirian. Ia

  • Gadis Persinggahan   Bab 1: Janji di Bangku Taman

    ​Pita satin maroon itu adalah bukti bisu dari kebohongan yang seharusnya tidak pernah ditemukan oleh seorang gadis SMA.​Di balik pagar rendah Rumah Sakit Harapan Bunda, di bangku semen yang tersembunyi, Tri Ananda Putri menunggu Raihan Azizi. Udara sore itu terasa dingin karena pendingin ruangan rumah sakit, tetapi kecemasan di perut Tri jauh lebih membekukan. Sudah dua jam ia menunggu, sejak bel sekolah berbunyi.​Tri melihat jam digital di ponselnya lagi, pukul 16.35. Jakarta sedang mencapai kepadatan maksimal, namun yang membuatnya gelisah bukanlah macet, melainkan pesan terakhir Raihan, empat jam lalu, "Urusan manajer mendadak. Tunggu. Jangan sampai ada yang lihat". Hubungan ini selalu diselimuti kerahasiaan, seolah cinta mereka adalah proyek rahasia terlarang yang harus dijaga rapat dari pandangan siapa pun, berjalan dalam sunyi, penuh kehati-hatian, namun tetap menyimpan getar rasa yang tak mampu dipadamkan oleh larangan dan keadaan​Raihan, perawat senior yang menawan, berusi

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status