Share

Bab 10

“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.”

Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat.

Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya.

“Mama…Mama…”

Edgar terperanjat saat mendengar Indira meracau. Dokter Arya telah pergi, sehingga Edgar tak tahu harus melakukan apa ketika Indira tiba-tiba memanggil ibu. Beberapa detik kemudian, Indira mulai terisak. Cairan bening mengalir dari sudut matanya.

Edgar lekas mendekat, menempelkan telapak tangannya di kening Indira.

“Bisa bangun?” tanya Edgar sambil menepuk pipi Indira dengan lembut. “Makan dulu, habis itu minum obat.”

Indira tak merespon, justru meraih tangan Edgar dan menggenggamnya dengan erat. Edgar terkejut luar biasa, tak menduga kalau Indira berani menyentuhnya.

Indira tentu tak menyadari kalau sosok yang tangannya ia genggam dengan erat adalah Edgar. Gadis itu tengah bermimpi. Dalam mimpinya, muncul sosok wanita yang selama bertahun-tahun lamanya selalu ia rindukan.

“Mau ikut Mama…” gumam Indira yang dalam mimpinya sedang memeluk sang ibu erat-erat.

Edgar mengerutkan kening ketika genggaman Indira semakin kuat, air mata yang mengalir dari sudut mata gadis itu juga semakin deras.

“Kenapa nekat hujan-hujanan sampai sakit begini?” gerutu Edgar sambil berusaha untuk melepaskan genggaman Indira. “Lepas dulu, Indira. Saya perlu ambil handuk kecil dan air buat ngompres.”

Isakan Indira pelan-pelan terhenti, kemudian melepaskan genggaman tangannya pada Edgar.

Edgar mengembuskan napas, kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air dan handuk kecil.

Siapa sangka kalau seorang Edgar Pradana Bumantara mau menjaga tunangannya yang sedang demam?

“Lain kali jangan hujan-hujanan lagi,” ucap Edgar saat kembali ke kamar. “Bisa pesan taksi atau tunggu sampai hujannya reda.”

Laki-laki itu duduk di tepi ranjang, pelan-pelan menempelkan handuk basah di kening Indira. Berharap demamnya segera turun, agar tak perlu berjaga semalaman untuk mengganti kompres.

Kamar terasa sunyi dan dingin. Hanya suara jarum jam yang terdengar begitu lantang.

Selama beberapa saat, Edgar mengedarkan pandangannya. Mengamati barang-barang Indira yang ada di dalam kamar. Ada setumpuk buku yang tertata rapi di atas meja, serta sebuah celengan berbentuk babi yang penuh berisi koin. Lalu, di atas nakas terdapat sebuah figura yang telah usang.

Edgar mengulurkan tangannya, mengambil figura kayu yang tergeletak di atas nakas. Mengamati sosok gadis kecil bersama kedua orang tuanya. Mereka terlihat bahagia, layaknya keluarga harmonis lain di luar sana.

Edgar tersenyum miris, kemudian mengalihkan pandangannya pada Indira.

“Jadi, dulu kamu punya keluarga yang sempurna?” gumam Edgar.

Tiba-tiba Edgar membayangkan Indira kecil yang harus berakhir di panti asuhan karena kedua orang tuanya telah tiada.

Tatapan Edgar melunak. Laki-laki itu lantas berkata, “kalau udah sembuh, coba cari cara buat keluar dari sini. Rumah ini bukan tempat yang tepat buat kamu.”

***

Indira mengerutkan kening, pelan-pelan membuka kedua matanya. Kepalanya masih terasa sedikit berat, tapi paling tidak pandangannya tak lagi berkunang-kunang seperti tadi malam.

Ketika matanya telah sepenuhnya terbuka, Indira terkejut luar biasa dengan kehadiran Edgar. Laki-laki itu tertidur di tepi ranjang, memegang sebuah handuk kecil yang semalaman digunakan untuk mengompres kening Indira.

Saking terkejutnya, Indira sampai kesulitan untuk bergerak.

Apa yang terjadi? Kenapa Edgar tidur di samping ranjang?

Beberapa detik kemudian, Edgar terlihat menggerakkan tangannya. Indira buru-buru memejamkan mata, pura-pura terlelap.

Edgar mengusap tengkuk lehernya yang terasa pegal, kemudian menatap Indira lekat-lekat. Bibirnya tak lagi terlihat pucat, meskipun wajahnya masih sayu. Edgar lantas menyentuh kening Indira dengan lembut, untuk memeriksa suhu tubuhnya.

“Oh, akhirnya turun juga,” gumam Edgar, lalu mengembuskan napas. Lega luar biasa karena suhu tubuh Indira kembali normal.

Indira terpaku, sama sekali tak menyangka kalau Edgar akan menyentuh keningnya. Maksudnya, bukankah Edgar sangat tak menyukai kehadiran Indira? Lalu, kenapa tiba-tiba perhatian dan peduli?

Tak berselang lama, Edgar beranjak meninggalkan kamar. Berniat mencari bubur ayam sebagai menu sarapan, sebab tak ada Bi Imah yang bisa menyiapkan makanan.

Begitu Edgar pergi, Indira langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Gadis itu termenung sambil menyentuh dadanya sendiri.

“Semalam aku demam?” gumam Indira, kemudian menatap ke arah nakas. Di sana, ada sebuah zip lock berisi obat-obatan, sebuah termometer, dan mangkuk kaca berisi air.

Indira menelan ludahnya dengan susah payah, tak enak hati karena telah merepotkan Edgar. Salahnya sendiri karena kemarin nekat berlari menembus hujan.

Indira lantas turun dari ranjang, meskipun kepalanya masih sedikit pusing. Gadis itu berniat pergi ke lantai bawah, menggantikan tugas Bi Imah untuk bersih-bersih dan menyiapkan sarapan.

Tapi, ketika baru saja tiba di lantai dasar, Indira justru berjumpa dengan Edgar. Laki-laki itu menenteng sebuah kantung plastik berisi dua porsi bubur ayam yang masih hangat.

Edgar agak terkejut saat melihat Indira sudah bisa berdiri dan berjalan.

“Are you okay? Kepalanya masih pusing?” tanya Edgar.

“Saya baik-baik aja, Mas,” jawab Indira sambil menunjukkan seulas senyum di bibirnya. “Maaf sudah merepotkan Mas Edgar.”

“Lain kali jangan nekat hujan-hujanan.”

“Baik, Mas.”

“Saya nggak bisa setiap saat jemput kamu di kampus, jadi nggak perlu nunggu. Kalau udah waktunya pulang, langsung pulang aja.”

“Baik, Mas.”

Edgar mengembuskan napas, kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil mangkuk. Matanya terasa berat. Laki-laki itu mengantuk karena semalaman menjaga Indira, berkali-kali mengganti kompresnya.

“Makan dulu, habis itu langsung minum obat,” ucap Edgar sembari menyerahkan semangkuk bubur ayam kepada Indira.

Indira membungkukkan tubuhnya dengan sopan, lalu berkata, “terima kasih, Mas.”

“Sit down. Buburnya dimakan sampai habis.”

“Okay…”

Indira menuruti tiap perintah yang diberikan oleh Edgar. Duduk di ruang makan, pelan-pelan menyantap bubur ayam yang masih hangat. Lidahnya terasa pahit, tapi Indira tetap memaksakan diri untuk menghabiskan makanan di dalam mangkuk. Sebab Edgar sudah bersusah payah membelikannya.

Edgar ikut duduk di seberang Indira, memegang sebuah sendok logam. Tatapannya tertuju pada Indira yang sedang menyantap buburnya dengan tenang.

“Indira,” panggil Edgar.

“Iya, Mas?” sahut Indira sambil meletakkan sendoknya di atas meja. Seluruh atensinya tertuju pada laki-laki yang saat ini duduk di seberangnya.

Edgar merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet. Sebuah kartu ditarik dari sana, lalu diserahkan pada Indira.

“Pakai ini kalau mau beli sesuatu,” kata Edgar.

Jantung Indira seolah berhenti berdetak. Tak ada sepatah kata yang mampu terucap dari bibirnya. Ia hanya menatap ke arah kartu yang disodorkan oleh Edgar. Dalam hati bertanya-tanya apakah pantas untuk menerimanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Novita Sari
jangan mau dulu dikasih kartu....km gak butuh itu kan indira takutnya dikira memanfaatkan atau matre...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status