“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.”
Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat.Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya.“Mama…Mama…”Edgar terperanjat saat mendengar Indira meracau. Dokter Arya telah pergi, sehingga Edgar tak tahu harus melakukan apa ketika Indira tiba-tiba memanggil ibu. Beberapa detik kemudian, Indira mulai terisak. Cairan bening mengalir dari sudut matanya.Edgar lekas mendekat, menempelkan telapak tangannya di kening Indira.“Bisa bangun?” tanya Edgar sambil menepuk pipi Indira dengan lembut. “Makan dulu, habis itu minum obat.”Indira tak merespon, justru meraih tangan Edgar dan menggenggamnya dengan erat. Edgar terkejut luar biasa, tak menduga kalau Indira berani menyentuhnya.Indira tentu tak menyadari kalau sosok yang tangannya ia genggam dengan erat adalah Edgar. Gadis itu tengah bermimpi. Dalam mimpinya, muncul sosok wanita yang selama bertahun-tahun lamanya selalu ia rindukan.“Mau ikut Mama…” gumam Indira yang dalam mimpinya sedang memeluk sang ibu erat-erat.Edgar mengerutkan kening ketika genggaman Indira semakin kuat, air mata yang mengalir dari sudut mata gadis itu juga semakin deras.“Kenapa nekat hujan-hujanan sampai sakit begini?” gerutu Edgar sambil berusaha untuk melepaskan genggaman Indira. “Lepas dulu, Indira. Saya perlu ambil handuk kecil dan air buat ngompres.”Isakan Indira pelan-pelan terhenti, kemudian melepaskan genggaman tangannya pada Edgar.Edgar mengembuskan napas, kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air dan handuk kecil.Siapa sangka kalau seorang Edgar Pradana Bumantara mau menjaga tunangannya yang sedang demam?“Lain kali jangan hujan-hujanan lagi,” ucap Edgar saat kembali ke kamar. “Bisa pesan taksi atau tunggu sampai hujannya reda.”Laki-laki itu duduk di tepi ranjang, pelan-pelan menempelkan handuk basah di kening Indira. Berharap demamnya segera turun, agar tak perlu berjaga semalaman untuk mengganti kompres.Kamar terasa sunyi dan dingin. Hanya suara jarum jam yang terdengar begitu lantang.Selama beberapa saat, Edgar mengedarkan pandangannya. Mengamati barang-barang Indira yang ada di dalam kamar. Ada setumpuk buku yang tertata rapi di atas meja, serta sebuah celengan berbentuk babi yang penuh berisi koin. Lalu, di atas nakas terdapat sebuah figura yang telah usang.Edgar mengulurkan tangannya, mengambil figura kayu yang tergeletak di atas nakas. Mengamati sosok gadis kecil bersama kedua orang tuanya. Mereka terlihat bahagia, layaknya keluarga harmonis lain di luar sana.Edgar tersenyum miris, kemudian mengalihkan pandangannya pada Indira.“Jadi, dulu kamu punya keluarga yang sempurna?” gumam Edgar.Tiba-tiba Edgar membayangkan Indira kecil yang harus berakhir di panti asuhan karena kedua orang tuanya telah tiada.Tatapan Edgar melunak. Laki-laki itu lantas berkata, “kalau udah sembuh, coba cari cara buat keluar dari sini. Rumah ini bukan tempat yang tepat buat kamu.”***Indira mengerutkan kening, pelan-pelan membuka kedua matanya. Kepalanya masih terasa sedikit berat, tapi paling tidak pandangannya tak lagi berkunang-kunang seperti tadi malam.Ketika matanya telah sepenuhnya terbuka, Indira terkejut luar biasa dengan kehadiran Edgar. Laki-laki itu tertidur di tepi ranjang, memegang sebuah handuk kecil yang semalaman digunakan untuk mengompres kening Indira.Saking terkejutnya, Indira sampai kesulitan untuk bergerak.Apa yang terjadi? Kenapa Edgar tidur di samping ranjang?Beberapa detik kemudian, Edgar terlihat menggerakkan tangannya. Indira buru-buru memejamkan mata, pura-pura terlelap.Edgar mengusap tengkuk lehernya yang terasa pegal, kemudian menatap Indira lekat-lekat. Bibirnya tak lagi terlihat pucat, meskipun wajahnya masih sayu. Edgar lantas menyentuh kening Indira dengan lembut, untuk memeriksa suhu tubuhnya.“Oh, akhirnya turun juga,” gumam Edgar, lalu mengembuskan napas. Lega luar biasa karena suhu tubuh Indira kembali normal.Indira terpaku, sama sekali tak menyangka kalau Edgar akan menyentuh keningnya. Maksudnya, bukankah Edgar sangat tak menyukai kehadiran Indira? Lalu, kenapa tiba-tiba perhatian dan peduli?Tak berselang lama, Edgar beranjak meninggalkan kamar. Berniat mencari bubur ayam sebagai menu sarapan, sebab tak ada Bi Imah yang bisa menyiapkan makanan.Begitu Edgar pergi, Indira langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Gadis itu termenung sambil menyentuh dadanya sendiri.“Semalam aku demam?” gumam Indira, kemudian menatap ke arah nakas. Di sana, ada sebuah zip lock berisi obat-obatan, sebuah termometer, dan mangkuk kaca berisi air.Indira menelan ludahnya dengan susah payah, tak enak hati karena telah merepotkan Edgar. Salahnya sendiri karena kemarin nekat berlari menembus hujan.Indira lantas turun dari ranjang, meskipun kepalanya masih sedikit pusing. Gadis itu berniat pergi ke lantai bawah, menggantikan tugas Bi Imah untuk bersih-bersih dan menyiapkan sarapan.Tapi, ketika baru saja tiba di lantai dasar, Indira justru berjumpa dengan Edgar. Laki-laki itu menenteng sebuah kantung plastik berisi dua porsi bubur ayam yang masih hangat.Edgar agak terkejut saat melihat Indira sudah bisa berdiri dan berjalan.“Are you okay? Kepalanya masih pusing?” tanya Edgar.“Saya baik-baik aja, Mas,” jawab Indira sambil menunjukkan seulas senyum di bibirnya. “Maaf sudah merepotkan Mas Edgar.”“Lain kali jangan nekat hujan-hujanan.”“Baik, Mas.”“Saya nggak bisa setiap saat jemput kamu di kampus, jadi nggak perlu nunggu. Kalau udah waktunya pulang, langsung pulang aja.”“Baik, Mas.”Edgar mengembuskan napas, kemudian berjalan menuju dapur untuk mengambil mangkuk. Matanya terasa berat. Laki-laki itu mengantuk karena semalaman menjaga Indira, berkali-kali mengganti kompresnya.“Makan dulu, habis itu langsung minum obat,” ucap Edgar sembari menyerahkan semangkuk bubur ayam kepada Indira.Indira membungkukkan tubuhnya dengan sopan, lalu berkata, “terima kasih, Mas.”“Sit down. Buburnya dimakan sampai habis.”“Okay…”Indira menuruti tiap perintah yang diberikan oleh Edgar. Duduk di ruang makan, pelan-pelan menyantap bubur ayam yang masih hangat. Lidahnya terasa pahit, tapi Indira tetap memaksakan diri untuk menghabiskan makanan di dalam mangkuk. Sebab Edgar sudah bersusah payah membelikannya.Edgar ikut duduk di seberang Indira, memegang sebuah sendok logam. Tatapannya tertuju pada Indira yang sedang menyantap buburnya dengan tenang.“Indira,” panggil Edgar.“Iya, Mas?” sahut Indira sambil meletakkan sendoknya di atas meja. Seluruh atensinya tertuju pada laki-laki yang saat ini duduk di seberangnya.Edgar merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet. Sebuah kartu ditarik dari sana, lalu diserahkan pada Indira.“Pakai ini kalau mau beli sesuatu,” kata Edgar.Jantung Indira seolah berhenti berdetak. Tak ada sepatah kata yang mampu terucap dari bibirnya. Ia hanya menatap ke arah kartu yang disodorkan oleh Edgar. Dalam hati bertanya-tanya apakah pantas untuk menerimanya.Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote