Share

Bab 9

Saat baru saja tiba di rumah, Indira menjumpai Edgar sedang berciuman dengan seorang perempuan di carport. Mereka berpelukan mesra, bibir saling bertautan. Di bawah teduhnya kanopi, dua manusia itu terlindung dari guyuran air hujan.

 

Jujur, Indira tak peduli. Gadis itu membuka gerbang secara perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara. Tapi, tetap saja usahanya sia-sia.

 

Edgar menghentikan ciumannya ketika mendengar suara langkah kaki.

 

“Hm? Itu siapa, Ed? Pembantu baru di rumah kamu?” tanya perempuan bernama Alice yang baru hari ini Edgar temui di sebuah event.

 

Edgar tak menjawab, tatapannya tertuju pada Indira yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tasnya juga ikut basah.

 

“Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar.

 

Indira hanya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian melanjutkan langkahnya. Sepatu dilepas di teras rumah, kemudian berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang terasa dingin luar biasa.

 

“I’m sorry, Alicia. Habis ini ada acara keluarga,” ujar Edgar, mengusir Alicia secara halus.

 

Alicia cemberut, melingkarkan tangannya di pinggang Edgar. Rupanya perempuan itu masih ingin menghabiskan waktu bersama Edgar, barangkali makan malam bersama atau berpelukan mesra di atas ranjang.

 

“Next time, Babe,” ucap Edgar, kemudian mengecup bibir mungil Alicia.

 

“Can I stay a little bit longer? Please,” sahut Alicia dengan suara manjanya.

 

Edgar tersenyum tipis, lalu melepaskan tangan Alicia yang melingkar di pinggangnya. Secara tak langsung menolak permintaan Alicia.

 

“Okay,” kata Alicia pada akhirnya. “Nanti kita atur jadwal buat kencan. Kamu juga boleh dateng ke apartemenku. Pintu selalu terbuka buat kamu.”

 

“Sure,” jawab Edgar sambil menganggukkan kepala.

 

Alicia membalik badannya, kemudian berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang. Sebelum benar-benar pergi, perempuan itu menyempatkan diri untuk melambaikan tangannya.

 

Edgar membalasnya dengan seulas senyuman. Tak berselang lama, mobil putih yang dikemudikan oleh Alicia telah melaju meninggalkan kompleks.

 

Edgar mengembuskan napas, kemudian bergegas memasuki rumah.

 

Tak ada Bi Imah yang menyambutnya. Tak ada makanan hangat yang tersaji di ruang makan. Suasana rumah begitu sunyi dan dingin, sebab yang tersisa hanya Edgar dan Indira.

 

Edgar mengerutkan kening ketika mencium aroma masakan dari arah dapur. Ternyata Indira sedang berdiri di depan kompor, menyiapkan nasi goreng sederhana sebagai menu makan malam. Gadis itu masih dalam kondisi basah, bahkan wajahnya sedikit pucat.

 

“Ganti baju dulu,” kata Edgar.

 

Indira tak menyahuti, masih sibuk menggoreng nasi. Perutnya memang sudah keroncongan, sehingga ia harus bergegas menyiapkan makanan yang bisa disantap.

 

“Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar yang kini berdiri di belakang Indira.

 

Indira masih diam, enggan sekadar menatap Edgar. Memilih untuk fokus pada nasi gorengnya.

 

Edgar menghela napas, lalu berkata, “Indira, punya mulut, kan?”

 

Kompor dimatikan. Indira lantas mengambil dua buah piring, memindahkan nasi goreng yang telah matang. Dari luar terlihat cukup lezat, apalagi saat diberi taburan bawang goreng di atasnya.

 

“Kamu nunggu saya di kampus?” gumam Edgar sambil menatap Indira penuh selidik.

 

Indira menatap Edgar dengan ekspresi datarnya, kemudian berkata. “Ini makan malamnya, Mas. Kalau nggak suka, bisa pesan pizza atau fried chicken.”

 

Edgar menatap sepiring nasi goreng yang disodorkan oleh Indira.

 

“Jawab dulu pertanyaan saya yang tadi,” tagih Edgar.

 

Indira mengembuskan napas, lalu berkata, “saya nggak nunggu Mas Edgar. Baru pulang jam segini karena tadi mampir ke perpustakaan dulu.”

 

“Kenapa hujan-hujanan?”

 

“Lari dari gedung kuliah ke halte, tanpa payung.”

 

Edgar terdiam.

 

Harusnya Edgar memang menjemput Indira. Tapi, event yang dihadiri tadi sore membuatnya lupa waktu. Apalagi setelah berjumpa dengan Alicia, si model seksi yang digilai banyak laki-laki.

 

“Harusnya pesan taksi, nggak perlu lari-lari sampai ke halte,” kata Edgar.

 

Indira termenung, menatap Edgar dengan penuh tanda tanya. Indira tak mengerti kenapa Edgar tiba-tiba sok peduli.

 

“Ganti baju dulu, biar nggak sakit,” sambung Edgar, kemudian beranjak ke ruang makan sambil membawa sepiring nasi goreng buatan Indira.

 

Indira masih membeku di tempatnya, memandang Edgar yang sudah duduk di ruang makan. Laki-laki itu terlihat menikmati masakan Indira dengan lahap. Tak memberikan kritik atau komentar pedas.

 

Beberapa saat kemudian, rasa dingin semakin menjalar di tubuh Indira. Bahkan kepalanya mulai terasa pening bukan main. Maka, gadis itu pergi menuju kamar tanpa membawa nasi gorengnya. Berniat untuk mandi dan berganti pakaian terlebih dulu.

 

***

 

Sudah satu jam berlalu sejak Indira masuk ke dalam kamar. Gadis itu belum muncul lagi di ruang makan, hingga nasi gorengnya mendingin.

 

Edgar bersandar pada kitchen table, sedang menyeduh kopi. Tatapannya terpaku pada sepiring nasi goreng milik Indira yang belum tersentuh. Kenapa lama sekali? Apa yang sedang gadis itu lakukan di dalam kamar?

 

Tadi Edgar sempat melihat bibir Indira yang sedikit pucat, bahkan tangannya agak gemetar. Berbagai skenario buruk mulai bermunculan di dalam kepala Edgar.

 

Tapi, sedetik kemudian laki-laki itu menggelengkan kepala kuat-kuat. Menyingkirkan setitik rasa peduli yang mulai berkembang di dalam hatinya. Tidak benar. Harusnya Edgar tak perlu repot-repot memikirkan Indira, apalagi sampai mengkhawatirkannya.

 

Edgar menghela napas, kemudian menuangkan air panas ke dalam cangkir yang telah diberi bubuk kopi dan sedikit gula. Ia mengikuti langkah-langkah yang dilakukan oleh Indira tadi pagi. Harusnya rasa kopinya sama.

 

Sialnya, ketika dicicipi, ternyata kopinya terlalu manis. Edgar mengerutkan kening, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas kitchen table. Tak bisa dihabiskan karena rasanya sangat manis. Padahal, gula yang dimasukkan jumlahnya sangat sedikit.

 

Sekali lagi, Edgar memandang piring berisi nasi goreng yang tergeletak begitu saja di atas meja. Tenggelam di dalam lamunannya, menimbang-nimbang apakah harus menghampiri Indira untuk sekadar memastikan apakah gadis itu baik-baik saja.

 

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Edgar mengangkat piring berisi nasi goreng yang telah dingin. Kedua kakinya lantas berjalan menuju lantai dua, tepatnya menuju kamar Indira.

 

“Indira,” panggil Edgar sambil mengetuk pintu kamar.

 

Tak ada respon.

 

“Nasi gorengnya belum dimakan,” ulang Edgar, sekali lagi sambil mengetuk pintu kamar.

 

Tetap tak ada jawaban dari sang pemilik kamar.

 

Edgar menyentuh gagang pintu, kemudian mendorongnya secara perlahan-lahan. Hal pertama yang Edgar jumpai ketika pintu terbuka adalah sosok gadis yang sedang meringkuk di atas ranjang dengan selimut tebal menutupi tubuhnya.

 

“Indira?” panggil Edgar.

 

Indira tak menjawab. Kedua matanya terpejam, kepalanya terasa pusing, sekujur tubuhnya sakit, perutnya terasa sedikit perih. Setelah berganti pakaian, gadis itu langsung tumbang. Tak sanggup melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.

 

Edgar meletakkan piring di atas nakas, kemudian mendekat ke arah ranjang. Pelan-pelan menempelkan telapak tangannya di kening Indira.

 

“Demam,” gumam Edgar saat ada sensasi panas yang menjalar di telapak tangannya saat menyentuh kening Indira.

 

Bibir Indira terlihat kering dan pucat. Gadis itu meracau, entah mengatakan apa.

 

“Indira? Can you hear me?” tanya Edgar sambil menyentuh bahu Indira dengan lembut.

 

Indira tak memberi respon.

 

“God…” gumam Edgar, lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menghubungi dokter yang ia kenal untuk meminta pertolongan. “Tunggu di sini, jangan banyak gerak. Saya telepon dokter dulu.”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
lilyedy.
Punya hati juga ......
goodnovel comment avatar
Novita Sari
sekali sebel tetap sebel....semoga ada jodoh yg lain buat indira adik nya edgar mungkin......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status