Saat baru saja tiba di rumah, Indira menjumpai Edgar sedang berciuman dengan seorang perempuan di carport. Mereka berpelukan mesra, bibir saling bertautan. Di bawah teduhnya kanopi, dua manusia itu terlindung dari guyuran air hujan.
Jujur, Indira tak peduli. Gadis itu membuka gerbang secara perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara. Tapi, tetap saja usahanya sia-sia. Edgar menghentikan ciumannya ketika mendengar suara langkah kaki. “Hm? Itu siapa, Ed? Pembantu baru di rumah kamu?” tanya perempuan bernama Alice yang baru hari ini Edgar temui di sebuah event. Edgar tak menjawab, tatapannya tertuju pada Indira yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tasnya juga ikut basah. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar. Indira hanya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian melanjutkan langkahnya. Sepatu dilepas di teras rumah, kemudian berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang terasa dingin luar biasa. “I’m sorry, Alicia. Habis ini ada acara keluarga,” ujar Edgar, mengusir Alicia secara halus. Alicia cemberut, melingkarkan tangannya di pinggang Edgar. Rupanya perempuan itu masih ingin menghabiskan waktu bersama Edgar, barangkali makan malam bersama atau berpelukan mesra di atas ranjang. “Next time, Babe,” ucap Edgar, kemudian mengecup bibir mungil Alicia. “Can I stay a little bit longer? Please,” sahut Alicia dengan suara manjanya. Edgar tersenyum tipis, lalu melepaskan tangan Alicia yang melingkar di pinggangnya. Secara tak langsung menolak permintaan Alicia. “Okay,” kata Alicia pada akhirnya. “Nanti kita atur jadwal buat kencan. Kamu juga boleh dateng ke apartemenku. Pintu selalu terbuka buat kamu.” “Sure,” jawab Edgar sambil menganggukkan kepala. Alicia membalik badannya, kemudian berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang. Sebelum benar-benar pergi, perempuan itu menyempatkan diri untuk melambaikan tangannya. Edgar membalasnya dengan seulas senyuman. Tak berselang lama, mobil putih yang dikemudikan oleh Alicia telah melaju meninggalkan kompleks. Edgar mengembuskan napas, kemudian bergegas memasuki rumah. Tak ada Bi Imah yang menyambutnya. Tak ada makanan hangat yang tersaji di ruang makan. Suasana rumah begitu sunyi dan dingin, sebab yang tersisa hanya Edgar dan Indira. Edgar mengerutkan kening ketika mencium aroma masakan dari arah dapur. Ternyata Indira sedang berdiri di depan kompor, menyiapkan nasi goreng sederhana sebagai menu makan malam. Gadis itu masih dalam kondisi basah, bahkan wajahnya sedikit pucat. “Ganti baju dulu,” kata Edgar. Indira tak menyahuti, masih sibuk menggoreng nasi. Perutnya memang sudah keroncongan, sehingga ia harus bergegas menyiapkan makanan yang bisa disantap. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar yang kini berdiri di belakang Indira. Indira masih diam, enggan sekadar menatap Edgar. Memilih untuk fokus pada nasi gorengnya. Edgar menghela napas, lalu berkata, “Indira, punya mulut, kan?” Kompor dimatikan. Indira lantas mengambil dua buah piring, memindahkan nasi goreng yang telah matang. Dari luar terlihat cukup lezat, apalagi saat diberi taburan bawang goreng di atasnya. “Kamu nunggu saya di kampus?” gumam Edgar sambil menatap Indira penuh selidik. Indira menatap Edgar dengan ekspresi datarnya, kemudian berkata. “Ini makan malamnya, Mas. Kalau nggak suka, bisa pesan pizza atau fried chicken.” Edgar menatap sepiring nasi goreng yang disodorkan oleh Indira. “Jawab dulu pertanyaan saya yang tadi,” tagih Edgar. Indira mengembuskan napas, lalu berkata, “saya nggak nunggu Mas Edgar. Baru pulang jam segini karena tadi mampir ke perpustakaan dulu.” “Kenapa hujan-hujanan?” “Lari dari gedung kuliah ke halte, tanpa payung.” Edgar terdiam. Harusnya Edgar memang menjemput Indira. Tapi, event yang dihadiri tadi sore membuatnya lupa waktu. Apalagi setelah berjumpa dengan Alicia, si model seksi yang digilai banyak laki-laki. “Harusnya pesan taksi, nggak perlu lari-lari sampai ke halte,” kata Edgar. Indira termenung, menatap Edgar dengan penuh tanda tanya. Indira tak mengerti kenapa Edgar tiba-tiba sok peduli. “Ganti baju dulu, biar nggak sakit,” sambung Edgar, kemudian beranjak ke ruang makan sambil membawa sepiring nasi goreng buatan Indira. Indira masih membeku di tempatnya, memandang Edgar yang sudah duduk di ruang makan. Laki-laki itu terlihat menikmati masakan Indira dengan lahap. Tak memberikan kritik atau komentar pedas. Beberapa saat kemudian, rasa dingin semakin menjalar di tubuh Indira. Bahkan kepalanya mulai terasa pening bukan main. Maka, gadis itu pergi menuju kamar tanpa membawa nasi gorengnya. Berniat untuk mandi dan berganti pakaian terlebih dulu. *** Sudah satu jam berlalu sejak Indira masuk ke dalam kamar. Gadis itu belum muncul lagi di ruang makan, hingga nasi gorengnya mendingin. Edgar bersandar pada kitchen table, sedang menyeduh kopi. Tatapannya terpaku pada sepiring nasi goreng milik Indira yang belum tersentuh. Kenapa lama sekali? Apa yang sedang gadis itu lakukan di dalam kamar? Tadi Edgar sempat melihat bibir Indira yang sedikit pucat, bahkan tangannya agak gemetar. Berbagai skenario buruk mulai bermunculan di dalam kepala Edgar. Tapi, sedetik kemudian laki-laki itu menggelengkan kepala kuat-kuat. Menyingkirkan setitik rasa peduli yang mulai berkembang di dalam hatinya. Tidak benar. Harusnya Edgar tak perlu repot-repot memikirkan Indira, apalagi sampai mengkhawatirkannya. Edgar menghela napas, kemudian menuangkan air panas ke dalam cangkir yang telah diberi bubuk kopi dan sedikit gula. Ia mengikuti langkah-langkah yang dilakukan oleh Indira tadi pagi. Harusnya rasa kopinya sama. Sialnya, ketika dicicipi, ternyata kopinya terlalu manis. Edgar mengerutkan kening, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas kitchen table. Tak bisa dihabiskan karena rasanya sangat manis. Padahal, gula yang dimasukkan jumlahnya sangat sedikit. Sekali lagi, Edgar memandang piring berisi nasi goreng yang tergeletak begitu saja di atas meja. Tenggelam di dalam lamunannya, menimbang-nimbang apakah harus menghampiri Indira untuk sekadar memastikan apakah gadis itu baik-baik saja. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Edgar mengangkat piring berisi nasi goreng yang telah dingin. Kedua kakinya lantas berjalan menuju lantai dua, tepatnya menuju kamar Indira. “Indira,” panggil Edgar sambil mengetuk pintu kamar. Tak ada respon. “Nasi gorengnya belum dimakan,” ulang Edgar, sekali lagi sambil mengetuk pintu kamar. Tetap tak ada jawaban dari sang pemilik kamar. Edgar menyentuh gagang pintu, kemudian mendorongnya secara perlahan-lahan. Hal pertama yang Edgar jumpai ketika pintu terbuka adalah sosok gadis yang sedang meringkuk di atas ranjang dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. “Indira?” panggil Edgar. Indira tak menjawab. Kedua matanya terpejam, kepalanya terasa pusing, sekujur tubuhnya sakit, perutnya terasa sedikit perih. Setelah berganti pakaian, gadis itu langsung tumbang. Tak sanggup melanjutkan langkahnya menuju ruang makan. Edgar meletakkan piring di atas nakas, kemudian mendekat ke arah ranjang. Pelan-pelan menempelkan telapak tangannya di kening Indira. “Demam,” gumam Edgar saat ada sensasi panas yang menjalar di telapak tangannya saat menyentuh kening Indira. Bibir Indira terlihat kering dan pucat. Gadis itu meracau, entah mengatakan apa. “Indira? Can you hear me?” tanya Edgar sambil menyentuh bahu Indira dengan lembut. Indira tak memberi respon. “God…” gumam Edgar, lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menghubungi dokter yang ia kenal untuk meminta pertolongan. “Tunggu di sini, jangan banyak gerak. Saya telepon dokter dulu.”“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.” Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat. Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya. “Mama…Mama…” Edgar terperanjat saat m
“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar. Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya. “Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung. “Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar. Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya. “Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. “Harga dirimu ternyata setinggi langit,” g
[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus][Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas]Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan. Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik. Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu. “Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar. “Minta Indira pergi ke pusa
Setelah memborong banyak baju tidur dan pakaian dalam, Edgar mengajak Indira ke sebuah outlet dari brand fashion ternama. Berbagai jenis dress terpajang di etalase kaca, sepatu dan tas keluaran terbaru juga dipertontonkan di meja display. Saat melihat price tag di salah satu dress yang dipajang pada manekin, Indira langsung bergidik ngeri. Harga sebuah simple dress berwarna hitam setara dengan uang kuliah Indira selama empat semester. Seumur hidupnya, belum pernah sekali pun Indira membeli pakaian yang harganya lebih dari satu juta.“Mas,” panggil Indira sambil berjalan di belakang Edgar. Edgar tak menyahuti, sibuk memilih dress pada etalase kaca. Jujur, Edgar muak sekali melihat kemeja flannel dan celana jins yang dipakai oleh Indira setiap harinya. Tak enak dipandang. Oleh sebab itu, semua pakaian yang ada di dalam lemari Indira harus diganti dengan yang baru. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar mengambil sebuah casual dress berwarna biru pastel, sebuah mini dress berwarna peach, sert
Indira merasa seperti boneka. Yang didandani sedemikian rupa agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemiliknya. Dalam hal ini, pemilik yang dimaksud adalah Edgar. Ketika menatap cermin, Indira tak lagi menjumpai sosok gadis sederhana dengan pakaian lusuhnya. Kini, ia telah berubah menjadi seorang nona muda yang terlihat mempesona dari ujung kaki sampai ujung kepala. Edgar benar-benar membuang semua pakaian lama Indira, mengisi lemarinya dengan pakaian-pakaian yang baru. Demikian pula dengan sepasang sepatu kesayangan Indira yang telah lusuh, serta tote bagnya yang telah pudar. Indira menghela napas, perlahan menyentuh dress berwarna biru yang kini membalut tubuhnya. Sejak pertama kali masuk kuliah, tak pernah sekali pun Indira datang ke kampus dengan mengenakan dress. Rasanya benar-benar aneh. “Indira!” Lamunan Indira seketika buyar ketika mendengar suara panggilan dari arah bawah. Edgar memanggil, tampaknya minta dibuatkan kopi karena sampai detik ini Bi Imah belum kem
Malam ini Indira benar-benar sendirian di rumah tiga lantai yang sangat luas. Suasana rumah benar-benar sunyi, hanya suara jarum jam yang terdengar begitu lantang dan menggema. Sebenarnya Indira bukanlah seorang penakut. Saat masih tinggal di panti asuhan, Indira sering pergi ke ruang penyimpanan saat tengah malam untuk sekadar mengambil stok diapers atau selimut baru untuk adik-adiknya. Dan, ruang penyimpanan itu letaknya di belakang, dekat dengan kebun bambu yang gelap gulita ketika malam hari. Tapi, kali ini situasinya berbeda karena Indira berada di sebuah rumah mewah dengan banyak barang berharga di dalamnya. Bagaimana jika perampok tiba-tiba masuk karena tahu rumah dalam keadaan kosong? Sebab di luar sana, ada banyak sekali orang-orang yang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan kejahatan. Maka, Indira hanya berdiam diri di dalam kamar. Mencoba mendistraksi pikirannya dengan mengerjakan tugas dan mendengarkan musik. Di atas meja, telah tersaji satu kotak nasi goreng dan sa
Pagi ini suasana rumah menjadi lebih tegang daripada biasanya. Indira bahkan tak berani bersuara, pura-pura fokus memasak nasi goreng di dapur. Mencoba untuk mengabaikan Edgar dan Ezra yang sedang berdebat di ruang makan. Kakak beradik itu jelas-jelas muak melihat wajah satu sama lain. Saat harus berada di tempat yang sama, perdebatan dan pertengkaran tak dapat dihindari. Tak ada yang bisa menengahi, sebab keduanya sama-sama keras kepala dan merasa menjadi pihak yang paling benar. “Udah hampir dua tahun kita nggak ketemu, Bang,” kata Ezra yang duduk di atas kursi sambil melipat kedua kakinya. “Terakhir kali ketemu di acara makan malam keluarga.” Edgar tersenyum sinis, lalu berkata, “tolong tahu diri sedikit, Ez. Statusmu cuma anak yang lahir dari hasil perselingkuhan. Nggak perlu bangga cuma karena ada Bumantara di belakang namamu.”“Yeah. Aku cukup tahu diri, that’s why selama dua tahun nggak pernah muncul lagi di rumah ini. Sekarang aku ke sini lagi karena permintaannya Papa.” “
[Mas Edgar : pulang jam berapa?]Indira mengucek matanya, memastikan bahwa sebaris pesan yang baru saja ia baca benar-benar dikirimkan oleh Edgar. Tumben sekali, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba mengirim pesan. Saking terkejutnya, Indira sampai hampir menjatuhkan ponselnya. Gadis itu sedang berada di perpustakaan, duduk di depan komputer untuk mengerjakan tugas. Ada setumpuk buku di hadapannya, dijadikan sumber referensi. Dengan ragu-ragu, jemarinya bergerak di atas layar ponsel untuk mengetik pesan balasan. [Indira : saya sedang mengerjakan tugas di perpustakaan, Mas. Mungkin selesai sekitar jam setengah lima]Usai mengirim balasan, Indira kembali memfokuskan pandangannya ke arah komputer. Ia harus bergegas menyelesaikan essay, setelah itu membuat power point. Memasuki semester enam, tugasnya memang kian menggunung. Belum lagi Indira harus mulai menentukan topik skripsi, lalu membuat kerangka proposal. Tak berselang lama, ponsel Indira kembali bergetar. Lagi-lagi nama Edgar y