“Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perjodohan ini,” kata Indira setelah susah payah mengumpulkan segenap keberaniannya.
Indira memutuskan untuk menolak. Ia tak sebodoh itu untuk langsung menerima perjodohan dengan laki-laki yang belum dikenal. Papa Danu menatap Indira lekat-lekat sambil mengetukkan jemarinya di atas meja. Raut wajahnya terlihat serius, otaknya sibuk mengolah kalimat bujukan yang tepat agar Indira mau menerima perjodohan. “Saya ingin menjaga kamu, Indira. Menarik kamu keluar dari panti asuhan dan kehidupan yang serba kurang,” ucap Papa Danu, kemudian mengembuskan napas. “Dan, seperti inilah cara saya menjaga kamu.” “Mas Edgar juga sepertinya keberatan, Pak,” sahut Indira, mencoba untuk bicara sesopan mungkin. “Daripada nantinya Bapak dan Mas Edgar sering bertengkar, lebih baik perjodohannya dibatalkan. Saya nggak keberatan kalau harus kembali ke panti asuhan. Saya masih muda, bisa bekerja apa saja demi membayar biaya kuliah.” “Bukankah kamu sudah masuk tahun akhir? Penelitian untuk tugas akhir pasti memakan biaya yang tidak sedikit.” “Kalau keadaannya memang tidak memungkinkan, saya bisa ambil cuti dulu setahun untuk mengumpulkan uang.” Papa Danu tersenyum, kemudian menyesap kopi buatan Bi Imah. Kopi pahit yang tidak ditambahkan gula, terasa getir kala menyentuh ujung lidah. “Mirip sekali dengan Risa,” gumam Papa Dani sambil menatap Indira. Dada Indira mencelos ketika mendengar nama mendiang ibunya. Ada rasa rindu yang begitu besar, mengakar di dalam hati Indira. Tak bisa dipungkiri kalau gadis itu sangat merindukan pelukan hangat orang tuanya, merindukan suara lembut mereka ketika sedang bicara bersama di ruang makan, merindukan suara candaan juga tawa yang sangat menyenangkan. “Kamu dan Edgar bisa bertunangan terlebih dulu,” sambung Papa Danu beberapa saat kemudian. “Pelan-pelan kalian bisa saling mengenal. Setelah itu, baru kita diskusi soal rencana pernikahan.” Indira meremas ujung pakaiannya, kemudian menatap ke arah tangga. Ia tahu persis kalau saat ini Edgar sedang kesal setengah mati. “Tidak perlu khawatir soal Edgar. Dia pasti mau menerima perjodohan ini,” jelas Papa Danu, seolah bisa menebak isi pikiran Indira. Indira tak menjawab. Hanya diam sambil menundukkan kepala, menatap kedua kakinya. “Kamu ingin membuka toko buku, kan?” tanya Papa Danu. Indira tersenyum miris, kemudian mengangguk pelan. “Itu cita-cita saya sejak kecil, Pak.” “Setelah kamu dan Edgar resmi bertunangan, saya akan mencari gedung yang pas untuk dijadikan toko buku. Nanti kamu yang mengelola toko buku itu.” “Tidak perlu, Pak. Saya ingin mewujudkan mimpi itu dengan usaha sendiri.” “Jangan menolak, Indira. Apa yang saya berikan ini tidak sebanding dengan semua kebaikan yang sudah orang tuamu lakukan di masa lalu.” Pada dasarnya, Papa Danu memang tak suka dibantah. Apabila memiliki satu keinginan, pria paruh baya itu akan menempuh segala cara untuk mewujudkannya. “Bi Imah,” panggil Papa Danu setelah menghabiskan kopi di dalam cangkirnya. Tak berselang lama, Bi Imah datang. Siap menerima perintah apa pun yang akan diberikan oleh atasannya. Sementara itu, Indira masih diam di tempatnya, mencoba untuk mencerna situasi yang sedang dihadapinya saat ini. “Kamar tamu yang ada di lantai dua sekarang menjadi kamar Indira. Antar Indira ke kamar barunya,” perintah Papa Danu. Bi Imah mengangguk dengan patuh, lalu mengalihkan pandangannya pada Indira. Dengan ragu-ragu, Indira berdiri. Mengambil tasnya yang masih tergeletak di ruang tamu, kemudian berjalan menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar barunya yang ada di lantai dua. “Ah, jangan lupa siap-siap,” ucap Papa Danu, seketika menghentikan langkah Indira. “Acara pertunangannya malam ini. Dressnya akan sampai sebentar lagi.” Malam ini? *** Edgar berdiri di dekat jendela kamarnya, terdapat sebatang rokok di antara bibirnya. Kepulan asap putih terbang ke udara. Abu rokoknya berjatuhan ke atas lantai. Laki-laki itu termenung, menatap langit yang telah menggelap. Merasa miris dengan hidupnya yang kacau dan berantakan. Perjodohan adalah mimpi buruk yang sangat mengerikan. Yang lebih parah, Edgar akan dijodohkan dengan Indira yang jauh dari tipe idealnya. Usia Indira masih sangat muda, terlihat polos dan keras kepala. Edgar paling tak suka dengan perempuan yang childish, labil, dan manja. Rasanya seperti mengasuh seorang remaja, sangat menjengkelkan. “Bapak sudah menunggu di bawah, Mas,” ucap Bi Imah dari depan pintu kamar. Edgar mengisap rokoknya, kemudian mengembuskan kepulan asap putih. Tatapannya beralih pada setelan jas yang telah tergeletak di atas ranjang, harus dikenakan untuk acara pertunangan yang digelar malam ini. Haruskah Edgar meninggalkan rumah? Barangkali kabur ke luar negeri adalah solusi yang sangat efektif untuk menghindari perjodohan. Tapi, rasanya sulit sekali melepas pekerjaannya saat ini. Meninggalkan Bumantara Construction adalah hal yang sangat berat untuk dilakukan, mengingat laki-laki itu mulai mengelola perusahaan ketika usianya menginjak kepala dua. Sudah sepuluh tahun lamanya. Ada banyak project besar yang telah ditangani dengan sangat baik. Ada banyak kerjasama dengan perusahaan asing yang telah terjalin. Meninggalkan Bumantara Construction, tak ada bedanya dengan menghancurkan pencapaian yang telah susah payah dibangun selama bertahun-tahun. Edgar mematikan rokoknya, kemudian meraih setelan jas hitam yang telah disiapkan oleh Papa Danu. Laki-laki itu berdiri di depan standing mirror, memakai kemeja dan jasnya. Berusaha mati-matian untuk menekan egonya, sambil memikirkan berbagai cara untuk membatalkan perjodohan. Malam ini hanya pertunangan. Edgar masih memiliki cukup waktu sebelum Papa Danu mulai merencanakan pesta pernikahan. Tepat pukul delapan, akhirnya Edgar meninggalkan kamar. Melangkahkan kedua kakinya yang terasa berat luar biasa, hingga akhirnya tiba di lantai dasar. Indira duduk di atas kursi kayu, memakai long dress berwarna putih. Rambutnya dihias dengan jepit berbentuk bunga. Wajahnya dirias dengan makeup tipis. Cantik sekali. “Duduk,” ucap Papa Danu. Lamunan Edgar seketika buyar. Ia segera membuang muka, dengan amat terpaksa duduk di atas kursi kayu yang telah disiapkan. Berhadap-hadapan dengan Indira. Indira meremas dressnya, sebab rasa gugup dan gelisah mulai menyelimuti rongga dadanya. Gadis itu seolah sedang terimpit di dalam ruangan yang sempit dan gelap. “Ini cincinnya,” kata Papa Danu sembari mengeluarkan sebuah kotak perhiasan, berisi sepasang cincin emas putih. Acara pertunangan itu memang sangat sederhana, tak ada tamu atau dekorasi yang mewah. Papa Danu hanya ingin secepatnya mengikat Edgar dan Indira dalam sebuah status yang pasti. “Kalian bisa saling memasangkan cincin di jari manis satu sama lain,” sambung Papa Danu. Edgar menatap Indira dengan sudut matanya yang tajam, sedangkan Indira hanya menundukkan kepala. “Ed,” panggil Papa Danu saat melihat Edgar hanya diam. Ketegangan begitu terasa di ruang tengah. Edgar terlihat menahan emosinya sekuat tenaga, sedangkan Papa Danu yang tak sabaran terus mendesak putranya untuk segera mengambil cincin dari kotak perhiasan. Tangan Edgar akhirnya bergerak, meraih cincin yang lebih kecil. Ia lantas menatap Indira yang masih mematung seperti manekin. “Your hand,” pinta Edgar. Indira menelan ludahnya dengan susah payah, kemudian mengulurkan tangannya. Tangan kecil itu terasa begitu dingin dan sedikit gemetar. Lalu, cincin pertunangan akhirnya melingkar di jari manis Indira. “Giliranmu, Indira,” ucap Papa Danu. Indira mengembuskan napas, kemudian meraih cincin yang tersisa di kotak perhiasan. Dengan tangannya yang gemetar, Indira memasang cincin emas putih itu di jari manis Edgar. Keduanya sama sekali tak bertatapan, apalagi saling melempar senyuman. Dengan demikian, Edgar dan Indira telah resmi bertunangan. Ada benang tak kasat mata yang membuat mereka saling terikat.Cincin tunangan yang tersemat di jari manis Indira terasa begitu berat. Seperti sebuah beban dan ekspektasi yang menghantui tiap langkahnya. Gadis itu mencoba untuk menyingkirkan skenario-skenario terburuk yang bermunculan di dalam kepala, meyakinkan dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja. Indira dan Edgar hanya bertunangan, bukan benar-benar menikah. Yang perlu Indira lakukan hanya fokus menyelesaikan pendidikannya, setelah itu mencari pekerjaan yang bisa memberinya kehidupan yang cukup layak. Saat merasa sudah cukup merdeka secara finansial, ia bisa mulai memikirkan cara untuk membatalkan perjodohan. Indira tak ingin menumpang secara cuma-cuma, oleh sebab itu ia berusaha membayar segala kebaikan yang telah diberikan Papa Dani dengan tenaganya. Indira bangun sejak pagi-pagi buta, langsung menyalakan vacuum cleaner untuk membersihkan ruang tengah. Bantal-bantal sofa dirapikan. Tumpukan koran ditata di atas meja. Asbak yang penuh dengan abu rokok dibersihkan. “Mbak Ind
“Mil, notulensi hasil meeting tadi langsung kirim ke email saya, ya,” ucap Edgar kepada sekretarisnya yang bernama Mila. “Ah, laporan dari masing-masing divisi juga harus sampai di atas meja saya besok pagi. Semuanya perlu dicek sebelum proyek apartemen berjalan.” “Baik, Mas. Nanti akan saya sampaikan ke ketua divisi,” sahut Mila dengan patuh, kemudian merogoh saku blazernya untuk mengambil ponsel. Edgar kembali ke ruang kerja, melepas jas yang membalut tubuhnya. Laki-laki itu lantas duduk menghadap layar komputer, hendak memeriksa email masuk. Tapi, ponselnya tiba-tiba bergetar, ada nama Papa Danu yang tertera di atas layar. “Shit,” gumam Edgar sambil melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, sudah saatnya Edgar menjemput Indira di kampus. Edgar tahu persis apa tujuan Papa Danu menelepon. Tentu saja bukan ingin membahas masalah kantor atau proyek, tapi ingin mengingatkan Edgar soal kewajiban-kewajiban barunya. “Saya sibuk, Pa. Ada beberapa laporan yang har
“Mbak Indira.” Suara Bi Imah membuat Indira seketika terjaga. Gadis itu mengerjapkan mata, kemudian mengedarkan pandangannya. Ternyata ketiduran saat mengerjakan tugas kuliah, sampai lupa kalau sejak tadi siang perutnya belum terisi apa-apa. “Iya, Bi,” sahut Indira, kemudian berjalan menuju pintu. Bi Imah berdiri di depan kamar, membawa sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Wanita paruh baya itu tersenyum dengan hangat, menawarkan nasi goreng buatannya untuk mengganjal perut Indira yang pastinya sudah keroncongan. “Dimakan sampai habis ya, Mbak. Kan dari tadi belum makan,” kata Bi Imah. Indira meringis, lalu berkata, “Mas Edgar udah masuk kamar, Bi?” Bi Imah tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap lengan Indira dengan lembut. Setelah itu, lekas kembali ke dapur untuk mencuci piring dan merapikan alat-alat masak. Indira mengembuskan napas, lalu kembali menutup pintu kamar dengan hati-hati. Nasi goreng buatan Bi Imah terlihat lezat, bahkan aroma
“Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas. Nggak perlu sampai depan gedung kuliah,” ujar Indira, kali ini mewanti-wanti agar kejadian kemarin tak terulang lagi. Edgar menatap spion, menyadari kalau di belakangnya ada beberapa kendaraan. Akan sulit kalau tiba-tiba berhenti di depan gerbang fakultas. Lebih mudah untuk masuk ke dalam fakultas, kemudian putar arah. Tanpa mendengarkan ucapan Indira, Edgar langsung membelokkan mobilnya. Lagi-lagi berhenti tepat di depan Gedung C yang sialnya pagi ini sangat ramai. Segerombol mahasiswi sedang duduk di selasar, mengerjakan tugas sambil menunggu kelas pertama dimulai. Indira menghela napas, kemudian melepas seat beltnya. “Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian turun dari mobil. Tentu saja Indira kembali menjadi pusat perhatian. Banyak yang memandangnya dengan sinis, bahkan beberapa mahasiswi sibuk berbisik-bisik. Indira adalah penerima beasiswa, yang sejak pertama kali masuk kuliah sering bolak-balik ke dekanat untuk mengurus permohon
Saat baru saja tiba di rumah, Indira menjumpai Edgar sedang berciuman dengan seorang perempuan di carport. Mereka berpelukan mesra, bibir saling bertautan. Di bawah teduhnya kanopi, dua manusia itu terlindung dari guyuran air hujan. Jujur, Indira tak peduli. Gadis itu membuka gerbang secara perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara. Tapi, tetap saja usahanya sia-sia. Edgar menghentikan ciumannya ketika mendengar suara langkah kaki. “Hm? Itu siapa, Ed? Pembantu baru di rumah kamu?” tanya perempuan bernama Alice yang baru hari ini Edgar temui di sebuah event. Edgar tak menjawab, tatapannya tertuju pada Indira yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tasnya juga ikut basah. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar. Indira hanya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian melanjutkan langkahnya. Sepatu dilepas di teras rumah, kemudian berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang terasa dingin luar biasa. “I’m sorry, Alicia. Habis ini ada acara
“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.” Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat. Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya. “Mama…Mama…” Edgar terperanjat saat m
“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar. Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya. “Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung. “Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar. Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya. “Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. “Harga dirimu ternyata setinggi langit,” g
[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus][Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas]Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan. Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik. Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu. “Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar. “Minta Indira pergi ke pusa