Cincin tunangan yang tersemat di jari manis Indira terasa begitu berat. Seperti sebuah beban dan ekspektasi yang menghantui tiap langkahnya. Gadis itu mencoba untuk menyingkirkan skenario-skenario terburuk yang bermunculan di dalam kepala, meyakinkan dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Indira dan Edgar hanya bertunangan, bukan benar-benar menikah. Yang perlu Indira lakukan hanya fokus menyelesaikan pendidikannya, setelah itu mencari pekerjaan yang bisa memberinya kehidupan yang cukup layak. Saat merasa sudah cukup merdeka secara finansial, ia bisa mulai memikirkan cara untuk membatalkan perjodohan. Indira tak ingin menumpang secara cuma-cuma, oleh sebab itu ia berusaha membayar segala kebaikan yang telah diberikan Papa Dani dengan tenaganya. Indira bangun sejak pagi-pagi buta, langsung menyalakan vacuum cleaner untuk membersihkan ruang tengah. Bantal-bantal sofa dirapikan. Tumpukan koran ditata di atas meja. Asbak yang penuh dengan abu rokok dibersihkan. “Mbak Indira, jangan pegang barang-barang yang kotor. Itu tugas saya,” ucap Bi Imah yang baru saja bangun tidur. Indira tersenyum, “nggak apa-apa, Bi Imah. Saya udah terbiasa bangun pagi, terus langsung bersih-bersih.” “Kalau Bapak tahu, pasti marah besar.” “Pak Danu kan nggak di rumah, jadi nggak akan tahu kalau saya bersih-bersih.” Bi Imah tersenyum. Tanpa disadari, kehadiran Indira seperti memberi kehangatan di rumah yang biasanya selalu berselimut awan kelabu. “Mbak Indira hari ini kuliah, kan?” tanya Bi Imah beberapa saat kemudian. Indira mengangguk pelan, “iya, Mbak. Kelas pagi dimulai jam delapan, nanti saya berangkat dari sini jam setengah tujuh.” “Diantar Mas Edgar?” “Berangkat sendiri aja, Mbak. Saya bisa naik angkutan umum. Nggak terlalu jauh, kok.” Indira tak ingin membebani, apalagi Edgar jelas-jelas tak menyukai kehadirannya. Indira hanya ingin menjalani hidupnya dengan tenang, layaknya hantu yang tak terlihat oleh pandangan mata. Hanya satu tahun, sampai pendidikannya benar-benar selesai. “Perlu saya bantu masak sarapan, Bi?” tanya Indira setelah membersihkan ruang tengah. “Nggak perlu, Mbak. Lebih baik Mbak Indira siap-siap berangkat ke kampus,” tolak Bi Imah dengan sopan. Indira tersenyum, kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Langkahnya sangat pelan dan hati-hati, sebab ia tak ingin mengganggu Edgar yang mungkin masih tertidur di dalam kamar. Setibanya di kamar, Indira langsung membuka tasnya. Menarik keluar sebuah kemeja dan celana jins yang lusuh. Itulah pakaian yang akan ia kenakan untuk berangkat kuliah. *** Edgar benci dengan fakta bahwa kini ada cincin yang tersemat di jari manisnya. Cincin itu membuat Edgar terus teringat kalau statusnya sudah bertunangan. Sampai detik ini, laki-laki itu masih tak mengerti dengan perjodohan konyol yang diatur oleh sang papa. Apa spesialnya Indira sampai Papa Danu bersikeras ingin mengatur perjodohan? Edgar tersenyum miris, lalu buru-buru melepas cincin di jari manisnya. Diletakkan begitu saja di atas nakas. Seperti seonggok benda logam yang tak memiliki makna apa-apa. Tepat pukul setengah tujuh, Edgar keluar dari kamar. Ia sudah mengenakan kemeja putih dan setelan jas. Aroma musk menguar dari tubuhnya yang tegap. Tiap langkah yang diambil terasa berkharisma dan menawan. Sayangnya, begitu tiba di ruang makan, mood Edgar langsung hancur berantakan. Gara-gara kehadiran seorang gadis dalam balutan kemeja flannel dan jins lusuh yang sedang duduk sambil mengunyah nasi goreng. “Bibi masak nasi goreng, Mas,” jelas Bi Imah sambil meletakkan dua cangkir teh di atas meja makan. “Atau Mas Edgar mau sarapan pakai sereal?” Edgar tak mengatakan apa-apa, hanya duduk di tempatnya sambil mengangkat cangkir teh yang terasa sedikit panas. Laki-laki itu enggan melirik Indira yang duduk di seberangnya. Indira juga diam, tak mau sekadar menyapa atau berbasa-basi dengan tunangannya. Indira cukup tahu diri, bahwa satus aja kalimat yang terucap dari bibirnya bisa membuat Edgar emosi. Maka, dua manusia itu hanya menikmati sarapan dalam keheningan. Tak ada obrolan ringan, apalagi canda dan tawa. Di tengah keheningan yang menyelimuti ruang makan, ponsel Edgar tiba-tiba bergetar. Ada pesan baru dari Papa Danu. [Papa : antar Indira ke kampus] [Papa : kalau tidak melaksanakan perintah Papa, silakan tinggalkan rumah sekarang juga] Pesan bernada ancaman itu membuat Edgar tersenyum miris. Laki-laki itu meletakkan sendoknya di atas meja, kemudian menatap Indira lekat-lekat. Indira diserang rasa gugup saat ditatap dengan tajam oleh Edgar. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah dirinya tanpa sengaja membuat kesalahan yang membuat Edgar kesal. “Kenapa, Mas?” tanya Indira dengan ragu-ragu. Akhirnya memberanikan diri untuk buka suara, tak tahan dengan ketegangan yang kian terasa. Edgar hanya menghela napas, kemudian bangkit dari duduknya. “Cepat. Kita berangkat sekarang,” kata Edgar. Indira mengerjapkan mata. “Berangkat ke mana?” “Kamu hari ini ada jadwal kuliah, kan?” “Mas Edgar mau antar saya ke kampus?” Edgar tak menjawab, tapi ekspresinya sudah cukup menjelaskan segalanya. Indira meremas lututnya sendiri, sudah mengira kalau Papa Danu akan memerintahkan Edgar untuk mengantar ke kampus. “Terima kasih tawarannya, Mas. Tapi, saya bisa berangkat sendiri pakai angkutan umum,” ucap Indira sambil menunjukkan seulas senyum di bibirnya. “Ini perintah Papa,” sahut Edgar dengan penuh penekanan, kemudian berjalan meninggalkan ruang makan. Indira ikut berdiri, meraih tote bagnya yang berisi buku catatan. Ia lantas berjalan dengan cepat, menyusul Edgar yang sudah terlebih dulu tiba di carport. Sumpah, Indira lebih suka berangkat ke kampus dengan angkutan umum daripada diantar oleh Edgar. “Masuk,” perintah Edgar. Indira mengembuskan napas, pada akhirnya ikut masuk ke dalam mobil. Daripada mendengar Edgar menggerutu, lebih baik menuruti ucapannya. Indira hanya perlu menahan diri dan memupuk kesabarannya sampai tiba di kampus. Dalam hitungan detik, mobil yang dikemudikan oleh Edgar telah melaju meninggalkan carport. Sepanjang perjalanan, dua manusia itu sama-sama diam. Edgar hanya fokus menatap jalanan, sedangkan Indira memilih untuk memeluk tote bagnya erat-erat. Menggunakan angkutan umum akan memakan waktu perjalanan hingga empat puluh lima menit. Tapi, dengan kendaraan pribadi, dalam waktu dua puluh menit sudah sampai di area kampus. “Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas,” ujar Indira sambil menunjuk ke arah gerbang fakultasnya. Tapi, Edgar justru membelokkan mobilnya. Memasuki area fakultas yang cukup ramai, hingga akhirnya berhenti di depan Gedung C. Jantung Indira berdegup kencang, sebab kondisi Gedung C sangat ramai. Ada segerombol mahasiswa yang berkumpul di selasar untuk mengerjakan tugas sambil menunggu kuliah pertama dimulai. “Keluar,” kata Edgar, seketika membuyarkan lamunan Indira. Dengan hati-hati, Indira melepas seat belt yang membelit tubuhnya. Bagaimana pun, ia memang harus keluar. “Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian keluar dari mobil. Indira sontak menjadi pusat perhatian. Teman-teman seangkatannya yang sedang duduk di gazebo langsung berbisik-bisik, mungkin heran bukan main karena seorang Indira Kalani turun dari sebuah mobil mewah. Padahal, gadis itu cukup terkenal karena suka berburu beasiswa dan suka mencari pekerjaan part time untuk memenuhi kebutuhannya. “Indira turun dari mobil mewah…” “Lah, bukannya dia anak bidik misi, ya? Kok bisa-bisanya turun dari mobil mewah?” “Jangan-jangan dia malsuin data! Aslinya kaya, tapi pura-pura miskin demi beasiswa.” Indira mendengar segalanya. Ia mencoba untuk tidak peduli, fokus memperhatikan langkahnya menuju ruang kuliah yang ada di Gedung C. Tapi, tak bisa dipungkiri kalau ada bagian dari hatinya yang terasa nyeri.“Mil, notulensi hasil meeting tadi langsung kirim ke email saya, ya,” ucap Edgar kepada sekretarisnya yang bernama Mila. “Ah, laporan dari masing-masing divisi juga harus sampai di atas meja saya besok pagi. Semuanya perlu dicek sebelum proyek apartemen berjalan.” “Baik, Mas. Nanti akan saya sampaikan ke ketua divisi,” sahut Mila dengan patuh, kemudian merogoh saku blazernya untuk mengambil ponsel. Edgar kembali ke ruang kerja, melepas jas yang membalut tubuhnya. Laki-laki itu lantas duduk menghadap layar komputer, hendak memeriksa email masuk. Tapi, ponselnya tiba-tiba bergetar, ada nama Papa Danu yang tertera di atas layar. “Shit,” gumam Edgar sambil melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, sudah saatnya Edgar menjemput Indira di kampus. Edgar tahu persis apa tujuan Papa Danu menelepon. Tentu saja bukan ingin membahas masalah kantor atau proyek, tapi ingin mengingatkan Edgar soal kewajiban-kewajiban barunya. “Saya sibuk, Pa. Ada beberapa laporan yang har
“Mbak Indira.” Suara Bi Imah membuat Indira seketika terjaga. Gadis itu mengerjapkan mata, kemudian mengedarkan pandangannya. Ternyata ketiduran saat mengerjakan tugas kuliah, sampai lupa kalau sejak tadi siang perutnya belum terisi apa-apa. “Iya, Bi,” sahut Indira, kemudian berjalan menuju pintu. Bi Imah berdiri di depan kamar, membawa sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Wanita paruh baya itu tersenyum dengan hangat, menawarkan nasi goreng buatannya untuk mengganjal perut Indira yang pastinya sudah keroncongan. “Dimakan sampai habis ya, Mbak. Kan dari tadi belum makan,” kata Bi Imah. Indira meringis, lalu berkata, “Mas Edgar udah masuk kamar, Bi?” Bi Imah tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap lengan Indira dengan lembut. Setelah itu, lekas kembali ke dapur untuk mencuci piring dan merapikan alat-alat masak. Indira mengembuskan napas, lalu kembali menutup pintu kamar dengan hati-hati. Nasi goreng buatan Bi Imah terlihat lezat, bahkan aroma
“Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas. Nggak perlu sampai depan gedung kuliah,” ujar Indira, kali ini mewanti-wanti agar kejadian kemarin tak terulang lagi. Edgar menatap spion, menyadari kalau di belakangnya ada beberapa kendaraan. Akan sulit kalau tiba-tiba berhenti di depan gerbang fakultas. Lebih mudah untuk masuk ke dalam fakultas, kemudian putar arah. Tanpa mendengarkan ucapan Indira, Edgar langsung membelokkan mobilnya. Lagi-lagi berhenti tepat di depan Gedung C yang sialnya pagi ini sangat ramai. Segerombol mahasiswi sedang duduk di selasar, mengerjakan tugas sambil menunggu kelas pertama dimulai. Indira menghela napas, kemudian melepas seat beltnya. “Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian turun dari mobil. Tentu saja Indira kembali menjadi pusat perhatian. Banyak yang memandangnya dengan sinis, bahkan beberapa mahasiswi sibuk berbisik-bisik. Indira adalah penerima beasiswa, yang sejak pertama kali masuk kuliah sering bolak-balik ke dekanat untuk mengurus permohon
Saat baru saja tiba di rumah, Indira menjumpai Edgar sedang berciuman dengan seorang perempuan di carport. Mereka berpelukan mesra, bibir saling bertautan. Di bawah teduhnya kanopi, dua manusia itu terlindung dari guyuran air hujan. Jujur, Indira tak peduli. Gadis itu membuka gerbang secara perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara. Tapi, tetap saja usahanya sia-sia. Edgar menghentikan ciumannya ketika mendengar suara langkah kaki. “Hm? Itu siapa, Ed? Pembantu baru di rumah kamu?” tanya perempuan bernama Alice yang baru hari ini Edgar temui di sebuah event. Edgar tak menjawab, tatapannya tertuju pada Indira yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tasnya juga ikut basah. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar. Indira hanya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian melanjutkan langkahnya. Sepatu dilepas di teras rumah, kemudian berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang terasa dingin luar biasa. “I’m sorry, Alicia. Habis ini ada acara
“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.” Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat. Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya. “Mama…Mama…” Edgar terperanjat saat m
“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar. Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya. “Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung. “Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar. Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya. “Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. “Harga dirimu ternyata setinggi langit,” g
[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus][Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas]Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan. Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik. Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu. “Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar. “Minta Indira pergi ke pusa
Setelah memborong banyak baju tidur dan pakaian dalam, Edgar mengajak Indira ke sebuah outlet dari brand fashion ternama. Berbagai jenis dress terpajang di etalase kaca, sepatu dan tas keluaran terbaru juga dipertontonkan di meja display. Saat melihat price tag di salah satu dress yang dipajang pada manekin, Indira langsung bergidik ngeri. Harga sebuah simple dress berwarna hitam setara dengan uang kuliah Indira selama empat semester. Seumur hidupnya, belum pernah sekali pun Indira membeli pakaian yang harganya lebih dari satu juta.“Mas,” panggil Indira sambil berjalan di belakang Edgar. Edgar tak menyahuti, sibuk memilih dress pada etalase kaca. Jujur, Edgar muak sekali melihat kemeja flannel dan celana jins yang dipakai oleh Indira setiap harinya. Tak enak dipandang. Oleh sebab itu, semua pakaian yang ada di dalam lemari Indira harus diganti dengan yang baru. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar mengambil sebuah casual dress berwarna biru pastel, sebuah mini dress berwarna peach, sert