Share

Bab 5

Cincin tunangan yang tersemat di jari manis Indira terasa begitu berat. Seperti sebuah beban dan ekspektasi yang menghantui tiap langkahnya. Gadis itu mencoba untuk menyingkirkan skenario-skenario terburuk yang bermunculan di dalam kepala, meyakinkan dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja.

 

Indira dan Edgar hanya bertunangan, bukan benar-benar menikah. Yang perlu Indira lakukan hanya fokus menyelesaikan pendidikannya, setelah itu mencari pekerjaan yang bisa memberinya kehidupan yang cukup layak. Saat merasa sudah cukup merdeka secara finansial, ia bisa mulai memikirkan cara untuk membatalkan perjodohan.

 

Indira tak ingin menumpang secara cuma-cuma, oleh sebab itu ia berusaha membayar segala kebaikan yang telah diberikan Papa Dani dengan tenaganya.

 

Indira bangun sejak pagi-pagi buta, langsung menyalakan vacuum cleaner untuk membersihkan ruang tengah. Bantal-bantal sofa dirapikan. Tumpukan koran ditata di atas meja. Asbak yang penuh dengan abu rokok dibersihkan.

 

“Mbak Indira, jangan pegang barang-barang yang kotor. Itu tugas saya,” ucap Bi Imah yang baru saja bangun tidur.

 

Indira tersenyum, “nggak apa-apa, Bi Imah. Saya udah terbiasa bangun pagi, terus langsung bersih-bersih.”

 

“Kalau Bapak tahu, pasti marah besar.”

 

“Pak Danu kan nggak di rumah, jadi nggak akan tahu kalau saya bersih-bersih.”

 

Bi Imah tersenyum. Tanpa disadari, kehadiran Indira seperti memberi kehangatan di rumah yang biasanya selalu berselimut awan kelabu.

 

“Mbak Indira hari ini kuliah, kan?” tanya Bi Imah beberapa saat kemudian.

 

Indira mengangguk pelan, “iya, Mbak. Kelas pagi dimulai jam delapan, nanti saya berangkat dari sini jam setengah tujuh.”

 

“Diantar Mas Edgar?”

 

“Berangkat sendiri aja, Mbak. Saya bisa naik angkutan umum. Nggak terlalu jauh, kok.”

 

Indira tak ingin membebani, apalagi Edgar jelas-jelas tak menyukai kehadirannya. Indira hanya ingin menjalani hidupnya dengan tenang, layaknya hantu yang tak terlihat oleh pandangan mata. Hanya satu tahun, sampai pendidikannya benar-benar selesai.

 

“Perlu saya bantu masak sarapan, Bi?” tanya Indira setelah membersihkan ruang tengah.

 

“Nggak perlu, Mbak. Lebih baik Mbak Indira siap-siap berangkat ke kampus,” tolak Bi Imah dengan sopan.

 

Indira tersenyum, kemudian berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Langkahnya sangat pelan dan hati-hati, sebab ia tak ingin mengganggu Edgar yang mungkin masih tertidur di dalam kamar.

 

Setibanya di kamar, Indira langsung membuka tasnya. Menarik keluar sebuah kemeja dan celana jins yang lusuh. Itulah pakaian yang akan ia kenakan untuk berangkat kuliah.

 

***

 

Edgar benci dengan fakta bahwa kini ada cincin yang tersemat di jari manisnya. Cincin itu membuat Edgar terus teringat kalau statusnya sudah bertunangan. Sampai detik ini, laki-laki itu masih tak mengerti dengan perjodohan konyol yang diatur oleh sang papa.

 

Apa spesialnya Indira sampai Papa Danu bersikeras ingin mengatur perjodohan?

 

Edgar tersenyum miris, lalu buru-buru melepas cincin di jari manisnya. Diletakkan begitu saja di atas nakas. Seperti seonggok benda logam yang tak memiliki makna apa-apa.

 

Tepat pukul setengah tujuh, Edgar keluar dari kamar. Ia sudah mengenakan kemeja putih dan setelan jas. Aroma musk menguar dari tubuhnya yang tegap. Tiap langkah yang diambil terasa berkharisma dan menawan.

 

Sayangnya, begitu tiba di ruang makan, mood Edgar langsung hancur berantakan. Gara-gara kehadiran seorang gadis dalam balutan kemeja flannel dan jins lusuh yang sedang duduk sambil mengunyah nasi goreng.

 

“Bibi masak nasi goreng, Mas,” jelas Bi Imah sambil meletakkan dua cangkir teh di atas meja makan. “Atau Mas Edgar mau sarapan pakai sereal?”

 

Edgar tak mengatakan apa-apa, hanya duduk di tempatnya sambil mengangkat cangkir teh yang terasa sedikit panas. Laki-laki itu enggan melirik Indira yang duduk di seberangnya.

 

Indira juga diam, tak mau sekadar menyapa atau berbasa-basi dengan tunangannya. Indira cukup tahu diri, bahwa satus aja kalimat yang terucap dari bibirnya bisa membuat Edgar emosi.

 

Maka, dua manusia itu hanya menikmati sarapan dalam keheningan. Tak ada obrolan ringan, apalagi canda dan tawa.

 

Di tengah keheningan yang menyelimuti ruang makan, ponsel Edgar tiba-tiba bergetar. Ada pesan baru dari Papa Danu.

 

[Papa : antar Indira ke kampus]

 

[Papa : kalau tidak melaksanakan perintah Papa, silakan tinggalkan rumah sekarang juga]

 

Pesan bernada ancaman itu membuat Edgar tersenyum miris. Laki-laki itu meletakkan sendoknya di atas meja, kemudian menatap Indira lekat-lekat.

 

Indira diserang rasa gugup saat ditatap dengan tajam oleh Edgar. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah dirinya tanpa sengaja membuat kesalahan yang membuat Edgar kesal.

 

“Kenapa, Mas?” tanya Indira dengan ragu-ragu. Akhirnya memberanikan diri untuk buka suara, tak tahan dengan ketegangan yang kian terasa.

 

Edgar hanya menghela napas, kemudian bangkit dari duduknya.

 

“Cepat. Kita berangkat sekarang,” kata Edgar.

 

Indira mengerjapkan mata. “Berangkat ke mana?”

 

“Kamu hari ini ada jadwal kuliah, kan?”

 

“Mas Edgar mau antar saya ke kampus?”

 

Edgar tak menjawab, tapi ekspresinya sudah cukup menjelaskan segalanya. Indira meremas lututnya sendiri, sudah mengira kalau Papa Danu akan memerintahkan Edgar untuk mengantar ke kampus.

 

“Terima kasih tawarannya, Mas. Tapi, saya bisa berangkat sendiri pakai angkutan umum,” ucap Indira sambil menunjukkan seulas senyum di bibirnya.

 

“Ini perintah Papa,” sahut Edgar dengan penuh penekanan, kemudian berjalan meninggalkan ruang makan.

 

Indira ikut berdiri, meraih tote bagnya yang berisi buku catatan. Ia lantas berjalan dengan cepat, menyusul Edgar yang sudah terlebih dulu tiba di carport.

 

Sumpah, Indira lebih suka berangkat ke kampus dengan angkutan umum daripada diantar oleh Edgar.

 

“Masuk,” perintah Edgar.

 

Indira mengembuskan napas, pada akhirnya ikut masuk ke dalam mobil. Daripada mendengar Edgar menggerutu, lebih baik menuruti ucapannya. Indira hanya perlu menahan diri dan memupuk kesabarannya sampai tiba di kampus.

 

Dalam hitungan detik, mobil yang dikemudikan oleh Edgar telah melaju meninggalkan carport.

 

Sepanjang perjalanan, dua manusia itu sama-sama diam. Edgar hanya fokus menatap jalanan, sedangkan Indira memilih untuk memeluk tote bagnya erat-erat.

 

Menggunakan angkutan umum akan memakan waktu perjalanan hingga empat puluh lima menit. Tapi, dengan kendaraan pribadi, dalam waktu dua puluh menit sudah sampai di area kampus.

 

“Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas,” ujar Indira sambil menunjuk ke arah gerbang fakultasnya.

 

Tapi, Edgar justru membelokkan mobilnya. Memasuki area fakultas yang cukup ramai, hingga akhirnya berhenti di depan Gedung C.

 

Jantung Indira berdegup kencang, sebab kondisi Gedung C sangat ramai. Ada segerombol mahasiswa yang berkumpul di selasar untuk mengerjakan tugas sambil menunggu kuliah pertama dimulai.

 

“Keluar,” kata Edgar, seketika membuyarkan lamunan Indira.

 

Dengan hati-hati, Indira melepas seat belt yang membelit tubuhnya. Bagaimana pun, ia memang harus keluar.

 

“Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian keluar dari mobil.

 

Indira sontak menjadi pusat perhatian. Teman-teman seangkatannya yang sedang duduk di gazebo langsung berbisik-bisik, mungkin heran bukan main karena seorang Indira Kalani turun dari sebuah mobil mewah. Padahal, gadis itu cukup terkenal karena suka berburu beasiswa dan suka mencari pekerjaan part time untuk memenuhi kebutuhannya.

 

“Indira turun dari mobil mewah…”

 

“Lah, bukannya dia anak bidik misi, ya? Kok bisa-bisanya turun dari mobil mewah?”

 

“Jangan-jangan dia malsuin data! Aslinya kaya, tapi pura-pura miskin demi beasiswa.”

 

Indira mendengar segalanya. Ia mencoba untuk tidak peduli, fokus memperhatikan langkahnya menuju ruang kuliah yang ada di Gedung C. Tapi, tak bisa dipungkiri kalau ada bagian dari hatinya yang terasa nyeri.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Meti
Sini peluk buat kamu Indira
goodnovel comment avatar
Novita Sari
semangat indira...km kuat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status