Semalaman Indira meringkuk di atas sofa. Membungkus tubuhnya dengan selimut tebal yang diambilkan oleh Bi Imah. Berkat selimut itu, Indira tak lagi menggigil kedinginan.
Ketika waktu menunjukkan pukul lima pagi, Indira sudah terbangun dari tidurnya. Bergegas melipat selimut dan menata sofa yang menjadi tempat tidurnya sejak tadi malam. Kemudian pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi. Pada dasarnya, gadis itu memang sudah terbiasa bangun pagi. Memulai aktivitasnya sejak pagi-pagi buta. Mulai dari bersih-bersih, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan sederhana. Hidup di panti asuhan sejak kecil membuat Indira terbiasa mandiri menghandle seluruh domestic works. Bahkan, kadang-kadang ia membantu adik-adik yang belum bisa mandi dan makan sendiri. “Mbak Indira! Ya ampun, jangan pegang-pegang piring kotor. Ini tugas saya,” kata Bi Imah ketika melihat Indira sedang berdiri di depan wastafel untuk mencuci piring. Indira tersenyum, “nggak apa-apa, Bi Imah. Saya lebih suka cuci piring daripada cuma duduk.” “Nanti Bapak marah kalau tahu Mbak Indira pegang-pegang piring kotor.” “Waktu tinggal di panti asuhan, saya selalu bangun pagi buat cuci piring. Tumpukan piring kotornya jauh lebih banyak daripada ini. Jadi, jangan khawatir, Bi Imah. Saya nggak akan memecahkan piring atau gelas.” Bi Imah tersenyum, senang sekali mendengar tutur kata Indira yang begitu lembut dan sopan. Selain itu, Indira juga cukup cekatan menggerakkan spons di atas piring-piring kotor. “Kalau begitu, Bibi masak sarapan dulu, ya,” kata Bi Imah beberapa saat kemudian. “Terima kasih banyak loh, Mbak Indira. Sudah mau repot-repot membantu Bibi.” “Oh, setelah cuci piring saya bisa bantu masak juga,” sahut Indira. “Jangan, Mbak. Nanti Mas Edgar marah kalau rasa masakannya agak beda.” “Mas Edgar suka marah-marah ya, Bi?” Bi Imah menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Indira dengan senyuman yang masih tersungging di bibirnya. “Mas Edgar sebenarnya baik, kok,” jelas Bi Imah pada akhirnya. “Memang kurang ramah sama orang-orang yang baru dikenal. Tapi, sebenarnya Mas Edgar sangat baik dan perhatian.” Indira mengangguk pelan, kemudian meraih kain lap untuk mengeringkan piring-piring yang baru dicuci. Mungkin apa yang diucapkan Bi Imah memang benar. Edgar belum terlalu mengenal Indira, sehingga sikapnya terkesan ketus dan dingin. “Kalau Pak Danu orangnya seperti apa?” tanya Indira beberapa saat kemudian. “Pak Danu jarang di rumah, sering bepergian ke luar kota untuk urusan bisnis. Hubungan Bapak dan Mas Edgar kurang baik, jadi jangan kaget kalau nantinya sering melihat mereka bertengkar,” jelas Bi Imah. Indira ingin bertanya lebih jauh. Tapi, rasanya kurang sopan mengulik kehidupan pribadi orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan. Maka, gadis itu mengurungkan niatnya. “Ibunya Mas Edgar sudah meninggal. Tolong jangan bahas tentang hal itu di depan Mas Edgar, bisa marah besar,” sambung Bi Imah, sedikit merendahkan suaranya. Bi Imah seolah memberi rambu-rambu, mana saja topik sensitif yang tak boleh Indira bicarakan di depan Edgar. Beberapa saat kemudian, sosok yang mereka bicarakan akhirnya muncul. Berjalan menuju dapur untuk mengambil air dingin dari kulkas. Enggan repot-repot menatap atau menyapa Indira yang masih berdiri di depan rak piring. “Nasi gorengnya sebentar lagi matang, Mas,” kata Bi Imah. Tapi, Edgar justru mengambil sekotak sereal dan susu cair. Menuangkannya ke dalam mangkuk hingga penuh. “Saya sarapan di kamar, Bi,” kata Edgar, lalu berjalan meninggalkan dapur. Edgar tak mau menikmati nasi goreng di ruang makan gara-gara Indira. Laki-laki itu enggan menatap wajah Indira terlalu lama, sebab rasa jengkel akan kembali hadir di dalam dadanya. Dan, Indira cukup sadar diri soal itu. “Mbak Indira sarapan sendiri nggak apa-apa, kan? Sepertinya Mas Edgar pagi ini maunya sarapan pakai sereal,” kata Bi Imah. “Nggak apa-apa, Bi. Saya bisa sarapan di sini bareng Bi Imah,” jawab Indira sembari mengambil dua piring untuk nasi goreng yang telah matang. “Saya sarapan di dapur, Mbak.” “Kalau begitu, saya juga ikut sarapan di dapur sama Bi Imah.” Sampai detik ini, Bi Imah belum tahu siapa Indira sebenarnya. Tapi, kehadiran gadis yang sehangat matahari pagi itu langsung membuat Bi Imah di selimuti kebahagiaan yang tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata. “Ayo makan di belakang, Mbak. Kalau pagi-pagi begini, pemandangannya bagus sekali,” kata Bi Imah setelah memindahkan nasi goreng ke atas dua buah piring. Indira mengangguk setuju. Tapi, saat Indira baru saja mengangkat piringnya, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan. Seperti suara mobil yang baru berhenti, lalu disusul dengan suara langkah kaki yang terkesan tegas dan berwibawa. “Bapak pulang,” ucap Bi Imah, urung memindahkan piringnya. Indira mengerjapkan mata, lalu kembali menaruh piring di atas meja. Perempuan itu lantas memasang sikap sopan, momen yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang. Danuarta Bumantara langsung berjalan menuju dapur, ingin cepat-cepat menemui Indira yang sejak beberapa minggu yang lalu hanya bisa dilihat melalui selembar foto. “Indira?” panggil Papa Danu. Indira tersenyum, kemudian membungkukkan tubuhnya dengan sopan. Papa Danu menatap Indira lekat-lekat, sebab wajah itu memang sangat familiar. Seketika menghadirkan kenangan-kenangan lama yang tak mungkin dilupakan begitu saja. “Mirip sekali denga Darsa waktu masih muda…” gumam Papa Danu. Indira tertegun, lalu berkata, “Pak Danu mengenal ayah saya?” Papa Danu tersenyum tipis, kemudian melepas jasnya dan duduk di ruang makan. Bi Imah bergegas membuatkan secangkir kopi untuk sang tuan. “Duduk, Indira,” pinta Papa Danu. Dengan ragu-ragu Indira berjalan menuju ruang makan, lalu menarik kursi dan duduk di seberang Papa Danu. Ada meja kayu yang menjadi pemisah di antara mereka. “Edgar!” panggil Papa Danu, suaranya menggema di seisi rumah. Selang beberapa menit, Edgar datang. Menatap sang papa dengan ekspresi datarnya. “Duduk,” perintah Papa Danu, terdengar begitu tegas. Edgar mengembuskan napas, dengan amat terpaksa ikut bergabung di ruang makan. Laki-laki itu menatap Indira sekilas, lalu memutuskan untuk memfokuskan tatapannya ke arah vas kaca yang dipajang di atas meja makan. “Saya mengenal kedua orang tua kamu, Indira,” kata Papa Danu, akhirnya memulai penjelasannya. “Mereka sahabat terdekat saja. Yang selalu memberikan bantuan di saat-saat tersulit.” Mata Indira berkaca-kaca. Sekelebat ingatan tentang orang tuanya kembali muncul di dalam kepala. Serupa penggalan film pendek. “Bumantara Construction tidak mungkin sebesar sekarang tanpa bantuan orang tua kamu,” sambungnya. Edgar terdiam, menatap Papa Danu dengan penuh tanya. “Bertahun-tahun saya mencoba mencari kamu, Indira. Sampai akhirnya saya berhasil menemukan kamu, membawa kamu ke sini,” ucap Papa Danu. Indira menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menahan air mata yang telah menggenang di pelupuknya. Papa Danu mengembuskan napas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Edgar yang sejak tadi tak memberi reaksi apa-apa. “Mulai sekarang, jaga calon istrimu baik-baik,” ujar Papa Danu, lagi-lagi serupa perintah mutlak yang tak boleh dibantah. Kedua mata Edgar membuat dengan sempurna, kepalanya serasa baru saja dihantam dengan benda yang sangat berat. Indira juga sama terkejutnya mendengar pernyataan yang dibuat oleh sang papa. Calon istri? Apa maksudnya? Edgar menggebrak meja, lalu bangkit dari duduknya. “Apa maksudnya? Calon istri?” tanya Edgar, nada bicaranya meninggi. Papa Danu mengangguk, “Indira adalah calon istrimu. Satu-satunya perempuan yang akan Papa jadikan menantu.” Kedua tangan Edgar terkepal kuat, emosinya kian memuncak hingga dadanya terasa seperti akan meledak. “Papa nggak bisa sembarangan atur hidup saya—” “Bisa. Papa yang pegang kendali penuh atas hidupmu. Kalau tidak suka dengan aturan yang Papa buat, silakan pergi dan lepaskan semua kemewahan yang selama ini kamu miliki. Kamu bukan satu-satunya anak yang bisa Papa jadikan pewaris.” Edgar tersenyum miris, kemudian membalik badannya dan berjalan meninggalkan ruang makan. Jantung Indira berdegup kencang, bulir-bulir keringat mulai memenuhi pelipisnya. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, gadis itu tak menyangka akan dijodohkan dengan cara seperti ini.“Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima perjodohan ini,” kata Indira setelah susah payah mengumpulkan segenap keberaniannya. Indira memutuskan untuk menolak. Ia tak sebodoh itu untuk langsung menerima perjodohan dengan laki-laki yang belum dikenal. Papa Danu menatap Indira lekat-lekat sambil mengetukkan jemarinya di atas meja. Raut wajahnya terlihat serius, otaknya sibuk mengolah kalimat bujukan yang tepat agar Indira mau menerima perjodohan. “Saya ingin menjaga kamu, Indira. Menarik kamu keluar dari panti asuhan dan kehidupan yang serba kurang,” ucap Papa Danu, kemudian mengembuskan napas. “Dan, seperti inilah cara saya menjaga kamu.”“Mas Edgar juga sepertinya keberatan, Pak,” sahut Indira, mencoba untuk bicara sesopan mungkin. “Daripada nantinya Bapak dan Mas Edgar sering bertengkar, lebih baik perjodohannya dibatalkan. Saya nggak keberatan kalau harus kembali ke panti asuhan. Saya masih muda, bisa bekerja apa saja demi membayar biaya kuliah.” “Bukankah kamu sudah masuk tahun akhi
Cincin tunangan yang tersemat di jari manis Indira terasa begitu berat. Seperti sebuah beban dan ekspektasi yang menghantui tiap langkahnya. Gadis itu mencoba untuk menyingkirkan skenario-skenario terburuk yang bermunculan di dalam kepala, meyakinkan dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja. Indira dan Edgar hanya bertunangan, bukan benar-benar menikah. Yang perlu Indira lakukan hanya fokus menyelesaikan pendidikannya, setelah itu mencari pekerjaan yang bisa memberinya kehidupan yang cukup layak. Saat merasa sudah cukup merdeka secara finansial, ia bisa mulai memikirkan cara untuk membatalkan perjodohan. Indira tak ingin menumpang secara cuma-cuma, oleh sebab itu ia berusaha membayar segala kebaikan yang telah diberikan Papa Dani dengan tenaganya. Indira bangun sejak pagi-pagi buta, langsung menyalakan vacuum cleaner untuk membersihkan ruang tengah. Bantal-bantal sofa dirapikan. Tumpukan koran ditata di atas meja. Asbak yang penuh dengan abu rokok dibersihkan. “Mbak Ind
“Mil, notulensi hasil meeting tadi langsung kirim ke email saya, ya,” ucap Edgar kepada sekretarisnya yang bernama Mila. “Ah, laporan dari masing-masing divisi juga harus sampai di atas meja saya besok pagi. Semuanya perlu dicek sebelum proyek apartemen berjalan.” “Baik, Mas. Nanti akan saya sampaikan ke ketua divisi,” sahut Mila dengan patuh, kemudian merogoh saku blazernya untuk mengambil ponsel. Edgar kembali ke ruang kerja, melepas jas yang membalut tubuhnya. Laki-laki itu lantas duduk menghadap layar komputer, hendak memeriksa email masuk. Tapi, ponselnya tiba-tiba bergetar, ada nama Papa Danu yang tertera di atas layar. “Shit,” gumam Edgar sambil melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, sudah saatnya Edgar menjemput Indira di kampus. Edgar tahu persis apa tujuan Papa Danu menelepon. Tentu saja bukan ingin membahas masalah kantor atau proyek, tapi ingin mengingatkan Edgar soal kewajiban-kewajiban barunya. “Saya sibuk, Pa. Ada beberapa laporan yang har
“Mbak Indira.” Suara Bi Imah membuat Indira seketika terjaga. Gadis itu mengerjapkan mata, kemudian mengedarkan pandangannya. Ternyata ketiduran saat mengerjakan tugas kuliah, sampai lupa kalau sejak tadi siang perutnya belum terisi apa-apa. “Iya, Bi,” sahut Indira, kemudian berjalan menuju pintu. Bi Imah berdiri di depan kamar, membawa sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Wanita paruh baya itu tersenyum dengan hangat, menawarkan nasi goreng buatannya untuk mengganjal perut Indira yang pastinya sudah keroncongan. “Dimakan sampai habis ya, Mbak. Kan dari tadi belum makan,” kata Bi Imah. Indira meringis, lalu berkata, “Mas Edgar udah masuk kamar, Bi?” Bi Imah tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap lengan Indira dengan lembut. Setelah itu, lekas kembali ke dapur untuk mencuci piring dan merapikan alat-alat masak. Indira mengembuskan napas, lalu kembali menutup pintu kamar dengan hati-hati. Nasi goreng buatan Bi Imah terlihat lezat, bahkan aroma
“Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas. Nggak perlu sampai depan gedung kuliah,” ujar Indira, kali ini mewanti-wanti agar kejadian kemarin tak terulang lagi. Edgar menatap spion, menyadari kalau di belakangnya ada beberapa kendaraan. Akan sulit kalau tiba-tiba berhenti di depan gerbang fakultas. Lebih mudah untuk masuk ke dalam fakultas, kemudian putar arah. Tanpa mendengarkan ucapan Indira, Edgar langsung membelokkan mobilnya. Lagi-lagi berhenti tepat di depan Gedung C yang sialnya pagi ini sangat ramai. Segerombol mahasiswi sedang duduk di selasar, mengerjakan tugas sambil menunggu kelas pertama dimulai. Indira menghela napas, kemudian melepas seat beltnya. “Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian turun dari mobil. Tentu saja Indira kembali menjadi pusat perhatian. Banyak yang memandangnya dengan sinis, bahkan beberapa mahasiswi sibuk berbisik-bisik. Indira adalah penerima beasiswa, yang sejak pertama kali masuk kuliah sering bolak-balik ke dekanat untuk mengurus permohon
Saat baru saja tiba di rumah, Indira menjumpai Edgar sedang berciuman dengan seorang perempuan di carport. Mereka berpelukan mesra, bibir saling bertautan. Di bawah teduhnya kanopi, dua manusia itu terlindung dari guyuran air hujan. Jujur, Indira tak peduli. Gadis itu membuka gerbang secara perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara. Tapi, tetap saja usahanya sia-sia. Edgar menghentikan ciumannya ketika mendengar suara langkah kaki. “Hm? Itu siapa, Ed? Pembantu baru di rumah kamu?” tanya perempuan bernama Alice yang baru hari ini Edgar temui di sebuah event. Edgar tak menjawab, tatapannya tertuju pada Indira yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tasnya juga ikut basah. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar. Indira hanya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian melanjutkan langkahnya. Sepatu dilepas di teras rumah, kemudian berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang terasa dingin luar biasa. “I’m sorry, Alicia. Habis ini ada acara
“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.” Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat. Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya. “Mama…Mama…” Edgar terperanjat saat m
“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar. Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya. “Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung. “Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar. Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya. “Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. “Harga dirimu ternyata setinggi langit,” g