Share

Bab 3

Penulis: Louisa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-12 10:20:45

Semalaman Indira meringkuk di atas sofa. Membungkus tubuhnya dengan selimut tebal yang diambilkan oleh Bi Imah. Berkat selimut itu, Indira tak lagi menggigil kedinginan.

 

Ketika waktu menunjukkan pukul lima pagi, Indira sudah terbangun dari tidurnya. Bergegas melipat selimut dan menata sofa yang menjadi tempat tidurnya sejak tadi malam. Kemudian pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi.

 

Pada dasarnya, gadis itu memang sudah terbiasa bangun pagi. Memulai aktivitasnya sejak pagi-pagi buta. Mulai dari bersih-bersih, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan sederhana. Hidup di panti asuhan sejak kecil membuat Indira terbiasa mandiri menghandle seluruh domestic works. Bahkan, kadang-kadang ia membantu adik-adik yang belum bisa mandi dan makan sendiri.

 

“Mbak Indira! Ya ampun, jangan pegang-pegang piring kotor. Ini tugas saya,” kata Bi Imah ketika melihat Indira sedang berdiri di depan wastafel untuk mencuci piring.

 

Indira tersenyum, “nggak apa-apa, Bi Imah. Saya lebih suka cuci piring daripada cuma duduk.”

 

“Nanti Bapak marah kalau tahu Mbak Indira pegang-pegang piring kotor.”

 

“Waktu tinggal di panti asuhan, saya selalu bangun pagi buat cuci piring. Tumpukan piring kotornya jauh lebih banyak daripada ini. Jadi, jangan khawatir, Bi Imah. Saya nggak akan memecahkan piring atau gelas.”

 

Bi Imah tersenyum, senang sekali mendengar tutur kata Indira yang begitu lembut dan sopan. Selain itu, Indira juga cukup cekatan menggerakkan spons di atas piring-piring kotor.

 

“Kalau begitu, Bibi masak sarapan dulu, ya,” kata Bi Imah beberapa saat kemudian. “Terima kasih banyak loh, Mbak Indira. Sudah mau repot-repot membantu Bibi.”

 

“Oh, setelah cuci piring saya bisa bantu masak juga,” sahut Indira.

 

“Jangan, Mbak. Nanti Mas Edgar marah kalau rasa masakannya agak beda.”

 

“Mas Edgar suka marah-marah ya, Bi?”

 

Bi Imah menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Indira dengan senyuman yang masih tersungging di bibirnya.

 

“Mas Edgar sebenarnya baik, kok,” jelas Bi Imah pada akhirnya. “Memang kurang ramah sama orang-orang yang baru dikenal. Tapi, sebenarnya Mas Edgar sangat baik dan perhatian.”

 

Indira mengangguk pelan, kemudian meraih kain lap untuk mengeringkan piring-piring yang baru dicuci. Mungkin apa yang diucapkan Bi Imah memang benar. Edgar belum terlalu mengenal Indira, sehingga sikapnya terkesan ketus dan dingin.

 

“Kalau Pak Danu orangnya seperti apa?” tanya Indira beberapa saat kemudian.

 

“Pak Danu jarang di rumah, sering bepergian ke luar kota untuk urusan bisnis. Hubungan Bapak dan Mas Edgar kurang baik, jadi jangan kaget kalau nantinya sering melihat mereka bertengkar,” jelas Bi Imah.

 

Indira ingin bertanya lebih jauh. Tapi, rasanya kurang sopan mengulik kehidupan pribadi orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan. Maka, gadis itu mengurungkan niatnya.

 

“Ibunya Mas Edgar sudah meninggal. Tolong jangan bahas tentang hal itu di depan Mas Edgar, bisa marah besar,” sambung Bi Imah, sedikit merendahkan suaranya.

 

Bi Imah seolah memberi rambu-rambu, mana saja topik sensitif yang tak boleh Indira bicarakan di depan Edgar.

 

Beberapa saat kemudian, sosok yang mereka bicarakan akhirnya muncul. Berjalan menuju dapur untuk mengambil air dingin dari kulkas. Enggan repot-repot menatap atau menyapa Indira yang masih berdiri di depan rak piring.

 

“Nasi gorengnya sebentar lagi matang, Mas,” kata Bi Imah.

 

Tapi, Edgar justru mengambil sekotak sereal dan susu cair. Menuangkannya ke dalam mangkuk hingga penuh.

 

“Saya sarapan di kamar, Bi,” kata Edgar, lalu berjalan meninggalkan dapur.

 

Edgar tak mau menikmati nasi goreng di ruang makan gara-gara Indira. Laki-laki itu enggan menatap wajah Indira terlalu lama, sebab rasa jengkel akan kembali hadir di dalam dadanya.

 

Dan, Indira cukup sadar diri soal itu.

 

“Mbak Indira sarapan sendiri nggak apa-apa, kan? Sepertinya Mas Edgar pagi ini maunya sarapan pakai sereal,” kata Bi Imah.

 

“Nggak apa-apa, Bi. Saya bisa sarapan di sini bareng Bi Imah,” jawab Indira sembari mengambil dua piring untuk nasi goreng yang telah matang.

 

“Saya sarapan di dapur, Mbak.”

 

“Kalau begitu, saya juga ikut sarapan di dapur sama Bi Imah.”

 

Sampai detik ini, Bi Imah belum tahu siapa Indira sebenarnya. Tapi, kehadiran gadis yang sehangat matahari pagi itu langsung membuat Bi Imah di selimuti kebahagiaan yang tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata.

 

“Ayo makan di belakang, Mbak. Kalau pagi-pagi begini, pemandangannya bagus sekali,” kata Bi Imah setelah memindahkan nasi goreng ke atas dua buah piring.

 

Indira mengangguk setuju.

 

Tapi, saat Indira baru saja mengangkat piringnya, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan. Seperti suara mobil yang baru berhenti, lalu disusul dengan suara langkah kaki yang terkesan tegas dan berwibawa.

 

“Bapak pulang,” ucap Bi Imah, urung memindahkan piringnya.

 

Indira mengerjapkan mata, lalu kembali menaruh piring di atas meja. Perempuan itu lantas memasang sikap sopan, momen yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang.

 

Danuarta Bumantara langsung berjalan menuju dapur, ingin cepat-cepat menemui Indira yang sejak beberapa minggu yang lalu hanya bisa dilihat melalui selembar foto.

 

“Indira?” panggil Papa Danu.

 

Indira tersenyum, kemudian membungkukkan tubuhnya dengan sopan.

 

Papa Danu menatap Indira lekat-lekat, sebab wajah itu memang sangat familiar. Seketika menghadirkan kenangan-kenangan lama yang tak mungkin dilupakan begitu saja.

 

“Mirip sekali denga Darsa waktu masih muda…” gumam Papa Danu.

 

Indira tertegun, lalu berkata, “Pak Danu mengenal ayah saya?”

 

Papa Danu tersenyum tipis, kemudian melepas jasnya dan duduk di ruang makan. Bi Imah bergegas membuatkan secangkir kopi untuk sang tuan.

 

“Duduk, Indira,” pinta Papa Danu.

 

Dengan ragu-ragu Indira berjalan menuju ruang makan, lalu menarik kursi dan duduk di seberang Papa Danu. Ada meja kayu yang menjadi pemisah di antara mereka.

 

“Edgar!” panggil Papa Danu, suaranya menggema di seisi rumah.

 

Selang beberapa menit, Edgar datang. Menatap sang papa dengan ekspresi datarnya.

 

“Duduk,” perintah Papa Danu, terdengar begitu tegas.

 

Edgar mengembuskan napas, dengan amat terpaksa ikut bergabung di ruang makan. Laki-laki itu menatap Indira sekilas, lalu memutuskan untuk memfokuskan tatapannya ke arah vas kaca yang dipajang di atas meja makan.

 

“Saya mengenal kedua orang tua kamu, Indira,” kata Papa Danu, akhirnya memulai penjelasannya. “Mereka sahabat terdekat saja. Yang selalu memberikan bantuan di saat-saat tersulit.”

 

Mata Indira berkaca-kaca. Sekelebat ingatan tentang orang tuanya kembali muncul di dalam kepala. Serupa penggalan film pendek.

 

“Bumantara Construction tidak mungkin sebesar sekarang tanpa bantuan orang tua kamu,” sambungnya.

 

Edgar terdiam, menatap Papa Danu dengan penuh tanya.

 

“Bertahun-tahun saya mencoba mencari kamu, Indira. Sampai akhirnya saya berhasil menemukan kamu, membawa kamu ke sini,” ucap Papa Danu.

 

Indira menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menahan air mata yang telah menggenang di pelupuknya.

 

Papa Danu mengembuskan napas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Edgar yang sejak tadi tak memberi reaksi apa-apa.

 

“Mulai sekarang, jaga calon istrimu baik-baik,” ujar Papa Danu, lagi-lagi serupa perintah mutlak yang tak boleh dibantah.

 

Kedua mata Edgar membuat dengan sempurna, kepalanya serasa baru saja dihantam dengan benda yang sangat berat. Indira juga sama terkejutnya mendengar pernyataan yang dibuat oleh sang papa.

 

Calon istri? Apa maksudnya?

 

Edgar menggebrak meja, lalu bangkit dari duduknya. 

 

“Apa maksudnya? Calon istri?” tanya Edgar, nada bicaranya meninggi.

 

Papa Danu mengangguk, “Indira adalah calon istrimu. Satu-satunya perempuan yang akan Papa jadikan menantu.”

 

Kedua tangan Edgar terkepal kuat, emosinya kian memuncak hingga dadanya terasa seperti akan meledak.

 

“Papa nggak bisa sembarangan atur hidup saya—”

 

“Bisa. Papa yang pegang kendali penuh atas hidupmu. Kalau tidak suka dengan aturan yang Papa buat, silakan pergi dan lepaskan semua kemewahan yang selama ini kamu miliki. Kamu bukan satu-satunya anak yang bisa Papa jadikan pewaris.”

 

Edgar tersenyum miris, kemudian membalik badannya dan berjalan meninggalkan ruang makan. Jantung Indira berdegup kencang, bulir-bulir keringat mulai memenuhi pelipisnya. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, gadis itu tak menyangka akan dijodohkan dengan cara seperti ini.

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Meti
Edgar gayamu tok.... koyo indira gelem juga ......
goodnovel comment avatar
Novita Sari
belum tentu indira mau juga jangan sombong edgar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 111

    Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 110

    Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 109

    Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 108

    Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 107

    Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se

  • Gadis Rahasia Sang Pewaris   Bab 106

    Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status