Share

Bab 8

“Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas. Nggak perlu sampai depan gedung kuliah,” ujar Indira, kali ini mewanti-wanti agar kejadian kemarin tak terulang lagi.

 

Edgar menatap spion, menyadari kalau di belakangnya ada beberapa kendaraan. Akan sulit kalau tiba-tiba berhenti di depan gerbang fakultas. Lebih mudah untuk masuk ke dalam fakultas, kemudian putar arah.

 

Tanpa mendengarkan ucapan Indira, Edgar langsung membelokkan mobilnya. Lagi-lagi berhenti tepat di depan Gedung C yang sialnya pagi ini sangat ramai. Segerombol mahasiswi sedang duduk di selasar, mengerjakan tugas sambil menunggu kelas pertama dimulai.

 

Indira menghela napas, kemudian melepas seat beltnya.

 

“Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian turun dari mobil.

 

Tentu saja Indira kembali menjadi pusat perhatian. Banyak yang memandangnya dengan sinis, bahkan beberapa mahasiswi sibuk berbisik-bisik.

 

Indira adalah penerima beasiswa, yang sejak pertama kali masuk kuliah sering bolak-balik ke dekanat untuk mengurus permohonan beasiswa. Mahasiswi program studi Ilmu Perpustakaan itu cukup terkenal, sebab nilai akademiknya selalu sempurna dan sering memenangkan kompetisi esay atau karya tulis.

 

Banyak yang mengagumi Indira, sebab gadis itu sangat gigih dalam memperjuangkan mimpinya. Rela kerja part time demi membiayai hidupnya sendiri, rajin berburu beasiswa dan mengikuti berbagai lomba demi mendapatkan hadiah. Tapi, sejak kemarin, opini orang-orang mulai berubah.

 

“Jangan-jangan selama ini Indira cuma pura-pura miskin…”

 

Indira baru saja akan menaiki tangga saat tiba-tiba mendengar namanya menjadi topik pembicaraan. Indira langsung menoleh, menatap dua teman seangkatannya yang sedang berbisik-bisik.

 

Yang Indira khawatirkan akhirnya benar-benar menjadi kenyataan. Dirinya lagi-lagi menjadi bahan gosip.

 

“Indira!”

 

Untungnya, beberapa saat kemudian Kiran muncul. Gadis yang rambutnya dicat cokelat itu merupakan sahabat Indira sejak berstatus mahasiswa baru.

 

“Kiran,” panggil Indira sambil menunjukkan seulas senyum di bibirnya.

 

“Ayo ke kelas,” ajak Kiran sembari menggandeng tangan Indira.

 

Indira menganggukkan kepala.

 

Dua perempuan itu lantas berjalan bersisian, menaiki satu persatu anak tangga menuju ruang kuliah yang ada di lantai dua. Kelas pertama akan dimulai setengah jam lagi, artinya masih ada sedikit waktu untuk mengobrol ringan.

 

“Dari kemarin kamu berangkat sama siapa, Ndi? Banyak yang bilang kalau kamu diantar mobil mewah,” tanya Kiran.

 

Indira terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Indira memang belum mengatakan pada siapa pun kalau statusnya kini sudah bertunangan. Cincinnya dilepas tiap kali berangkat kuliah.

 

“Oh, kamu udah punya orang tua angkat?” sambung Kiran.

 

Indira tersenyum tipis, lalu berkata, “semacam itu. Sekarang aku nggak tinggal di panti asuhan lagi.”

 

“Ya ampun! Kenapa baru cerita, Ndi? I’m so happy for you.”

 

“Makasih, Ran. Aku belum cerita karena…belum nemu timing yang pas…”

 

Kiran tersenyum, lalu mengusap bahu Indira dengan lembut. Kiran terlihat senang, sebab Indira telah memiliki keluarga baru.

 

Jujur, Indira merasa bersalah telah membohongi Kiran. Faktanya, Indira kini tinggal serumah dengan tunangannya, bukan dengan orang tua angkatnya.

 

“Tapi, orang tua angkat kamu baik, kan?” tanya Kiran saat mereka baru saja tiba di dalam kelas.

 

“Mereka baik, kok,” jawab Indira, lagi-lagi berdusta.

 

“Kok mereka adopsi anak yang udah masuk umur dewasa? I mean, apa alasannya? Kebanyakan pasangan suami istri kan milih buat ngadopsi anak yang masih bayi atau usia balita. Proses adopsi orang dewasa juga pasti lebih ribet, kan?”

 

“Aku juga nggak tahu, Ran. Nggak ada yang ngasih tahu alasannya, tiba-tiba diminta buat tinggal di rumah mereka.”

 

“Loh, kalau mau adopsi kan harusnya ada proses diskusi dulu.”

 

Masalahnya, Indira tidak diadopsi. Ia tinggal di rumah Papa Danu karena sebentar lagi akan dijadikan menantu. Semakin sulit mencari alasan yang logis.

 

“Aku ngomong begini nggak ada niat apa-apa, Ndi. Aku cuma khawatir, karena marak banget kasus human trafficking. Jadi, lebih baik kamu cek dulu surat adopsinya dengan detail, terus selidiki keluarga angkat kamu,” sambung Kiran.

 

Di antara banyaknya masalah yang menghampirinya, Indira bersyukur karena ada Kiran yang begitu tulus mengkhawatirkannya.

 

“Makasih, Ran,” ucap Indira.

 

“Pokoknya kalau ada apa-apa jangan ragu buat cerita,” sahut Kiran.

 

Indira menganggukkan kepala, kemudian mengembuskan napas. Gemuruh yang semula memenuhi rongga dadanya perlahan menghilang. Selama beberapa saat, Indira bisa melupakan segala rumor dan gunjingan yang menyebar di sekitarnya.

 

Setibanya di kelas, Indira langsung duduk di barisan depan. Mengabaikan tatapan-tatapan sinis yang diberikan oleh teman-teman sekelasnya.

 

***

 

Hari ini ada dua kelas yang harus dihadiri oleh Indira, masing-masing 2 SKS.

 

Kelas kedua selesai pada pukul dua siang. Indira memilih untuk pergi ke perpustakaan terlebih dulu, hendak mencari referensi untuk menyusun kerangka proposal. Ada komputer yang bisa dimanfaatkan untuk mengetik, meringkas informasi-informasi penting yang dihimpun dari setumpuk buku.

 

Lalu, tahu-tahu dua jam sudah berlalu.

 

Usai menyimpan file ke g****e drive, Indira mematikan komputer. Buku-buku yang sudah ia baca sekilas dikembalikan ke rak, nantinya bisa dipinjam saat mulai mengerjakan proposal.

 

Gadis itu meninggalkan perpustakaan ketika waktu menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Ketika baru saja keluar dari perpustakaan, ada semilir angin yang menyambut. Kondisi langit berselimut awan kelabu, tampaknya sebentar lagi hujan deras akan turun.

 

Indira menengadah, kemudian mengulurkan tangannya. Gerimis tipis mulai turun.

 

Tanpa pikir panjang, Indira langsung berlari. Kembali ke Gedung C yang mulai sepi karena sebagian besar kelas telah berakhir.

 

Indira lantas membuka ponselnya, berniat untuk memeriksa kotak pesan. Siapa tahu ada sebaris chat atau panggilan tak terjawab dari Edgar. Sayangnya, ponsel dalam kondisi mati karena kehabisan baterai.

 

Haruskah Indira berlari menuju halte sebelum hujan turun? Tapi, bagaimana kalau Edgar datang menjemput? Jujur, Indira malas setengah mati jika harus kembali mendengar omelan panjang lebar dari mulut Edgar. Belum lagi kalau harus melihat ekspresi masam pada wajah laki-laki itu.

 

Maka, Indira duduk di selasar. Menunggu Edgar.

 

Tak berselang lama, gerimis tipis mulai berubah menjadi hujan deras. Disertai angin kencang dan kilatan petir.

 

Indira menatap sekeliling, menyadari kalau Gedung C sudah sepi. Tak ada mahasiswa yang tersisa, bahkan pelataran parkir juga terlihat kosong.

 

Indira mengembuskan napas, kemudian menyentuh perutnya yang mulai keroncongan. Sayangnya, tak ada camilan di dalam tasnya. Yang ada hanya botol tumbler, dalam kondisi kosong karena airnya telah dihabiskan.

 

Detik demi detik berlalu. Indira terus memandang ke arah gerbang, berharap Edgar segera datang.

 

Sayangnya, bahkan satu jam kemudian laki-laki itu tak kunjung terlihat.

 

Indira mendekap tasnya erat-erat, menatap langit yang telah berubah menjadi gelap. Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras. Suara gemuruh petir membuat suasana kampus semakin mencekam.

 

Indira menghela napas, menyesali keputusannya. Harusnya setelah selesai kelas, ia menerima tawaran Kiran untuk pulang bersama.

 

Lagipula, memangnya apa yang bisa Indira harapkan dari Edgar? Laki-laki itu selalu berbuat semaunya, hanya melakukan apa yang menurutnya benar.

 

Maka, Indira pelan-pelan berdiri. Tasnya masih dipeluk erat-erat, kakinya bersiap-siap untuk berlari menembus hujan. Tapi, mau berlari sekencang apa pun, Indira sepenuhnya menyadari kalau tubuhnya akan tetap basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki.

 

Tak ada pilihan lain.

 

Indira berlari, menyusuri pelataran fakultas yang basah akibat guyuran hujan deras. Harus berlari sejauh tiga ratus meter untuk mencapai halte. Dinginnya air hujan terasa menusuk kulit, kemeja yang membalut tubuhnya telah sepenuhnya basah.

 

Hari sudah malam, gelap, dan sepi. Indira berlarian seorang diri dalam kondisi kedinginan dan lapar. Gara-gara keputusan naifnya untuk menunggu Edgar.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Novita Sari
sabar ya indira...
goodnovel comment avatar
lilyedy.
Serba salah y In....g ditunggu dia dtg, ditunggu kehujanan Sabar y In....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status