“Cukup sampai depan gerbang fakultas, Mas. Nggak perlu sampai depan gedung kuliah,” ujar Indira, kali ini mewanti-wanti agar kejadian kemarin tak terulang lagi.
Edgar menatap spion, menyadari kalau di belakangnya ada beberapa kendaraan. Akan sulit kalau tiba-tiba berhenti di depan gerbang fakultas. Lebih mudah untuk masuk ke dalam fakultas, kemudian putar arah. Tanpa mendengarkan ucapan Indira, Edgar langsung membelokkan mobilnya. Lagi-lagi berhenti tepat di depan Gedung C yang sialnya pagi ini sangat ramai. Segerombol mahasiswi sedang duduk di selasar, mengerjakan tugas sambil menunggu kelas pertama dimulai. Indira menghela napas, kemudian melepas seat beltnya. “Terima kasih, Mas,” ucap Indira, kemudian turun dari mobil. Tentu saja Indira kembali menjadi pusat perhatian. Banyak yang memandangnya dengan sinis, bahkan beberapa mahasiswi sibuk berbisik-bisik. Indira adalah penerima beasiswa, yang sejak pertama kali masuk kuliah sering bolak-balik ke dekanat untuk mengurus permohonan beasiswa. Mahasiswi program studi Ilmu Perpustakaan itu cukup terkenal, sebab nilai akademiknya selalu sempurna dan sering memenangkan kompetisi esay atau karya tulis. Banyak yang mengagumi Indira, sebab gadis itu sangat gigih dalam memperjuangkan mimpinya. Rela kerja part time demi membiayai hidupnya sendiri, rajin berburu beasiswa dan mengikuti berbagai lomba demi mendapatkan hadiah. Tapi, sejak kemarin, opini orang-orang mulai berubah. “Jangan-jangan selama ini Indira cuma pura-pura miskin…” Indira baru saja akan menaiki tangga saat tiba-tiba mendengar namanya menjadi topik pembicaraan. Indira langsung menoleh, menatap dua teman seangkatannya yang sedang berbisik-bisik. Yang Indira khawatirkan akhirnya benar-benar menjadi kenyataan. Dirinya lagi-lagi menjadi bahan gosip. “Indira!” Untungnya, beberapa saat kemudian Kiran muncul. Gadis yang rambutnya dicat cokelat itu merupakan sahabat Indira sejak berstatus mahasiswa baru. “Kiran,” panggil Indira sambil menunjukkan seulas senyum di bibirnya. “Ayo ke kelas,” ajak Kiran sembari menggandeng tangan Indira. Indira menganggukkan kepala. Dua perempuan itu lantas berjalan bersisian, menaiki satu persatu anak tangga menuju ruang kuliah yang ada di lantai dua. Kelas pertama akan dimulai setengah jam lagi, artinya masih ada sedikit waktu untuk mengobrol ringan. “Dari kemarin kamu berangkat sama siapa, Ndi? Banyak yang bilang kalau kamu diantar mobil mewah,” tanya Kiran. Indira terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Indira memang belum mengatakan pada siapa pun kalau statusnya kini sudah bertunangan. Cincinnya dilepas tiap kali berangkat kuliah. “Oh, kamu udah punya orang tua angkat?” sambung Kiran. Indira tersenyum tipis, lalu berkata, “semacam itu. Sekarang aku nggak tinggal di panti asuhan lagi.” “Ya ampun! Kenapa baru cerita, Ndi? I’m so happy for you.” “Makasih, Ran. Aku belum cerita karena…belum nemu timing yang pas…” Kiran tersenyum, lalu mengusap bahu Indira dengan lembut. Kiran terlihat senang, sebab Indira telah memiliki keluarga baru. Jujur, Indira merasa bersalah telah membohongi Kiran. Faktanya, Indira kini tinggal serumah dengan tunangannya, bukan dengan orang tua angkatnya. “Tapi, orang tua angkat kamu baik, kan?” tanya Kiran saat mereka baru saja tiba di dalam kelas. “Mereka baik, kok,” jawab Indira, lagi-lagi berdusta. “Kok mereka adopsi anak yang udah masuk umur dewasa? I mean, apa alasannya? Kebanyakan pasangan suami istri kan milih buat ngadopsi anak yang masih bayi atau usia balita. Proses adopsi orang dewasa juga pasti lebih ribet, kan?” “Aku juga nggak tahu, Ran. Nggak ada yang ngasih tahu alasannya, tiba-tiba diminta buat tinggal di rumah mereka.” “Loh, kalau mau adopsi kan harusnya ada proses diskusi dulu.” Masalahnya, Indira tidak diadopsi. Ia tinggal di rumah Papa Danu karena sebentar lagi akan dijadikan menantu. Semakin sulit mencari alasan yang logis. “Aku ngomong begini nggak ada niat apa-apa, Ndi. Aku cuma khawatir, karena marak banget kasus human trafficking. Jadi, lebih baik kamu cek dulu surat adopsinya dengan detail, terus selidiki keluarga angkat kamu,” sambung Kiran. Di antara banyaknya masalah yang menghampirinya, Indira bersyukur karena ada Kiran yang begitu tulus mengkhawatirkannya. “Makasih, Ran,” ucap Indira. “Pokoknya kalau ada apa-apa jangan ragu buat cerita,” sahut Kiran. Indira menganggukkan kepala, kemudian mengembuskan napas. Gemuruh yang semula memenuhi rongga dadanya perlahan menghilang. Selama beberapa saat, Indira bisa melupakan segala rumor dan gunjingan yang menyebar di sekitarnya. Setibanya di kelas, Indira langsung duduk di barisan depan. Mengabaikan tatapan-tatapan sinis yang diberikan oleh teman-teman sekelasnya. *** Hari ini ada dua kelas yang harus dihadiri oleh Indira, masing-masing 2 SKS. Kelas kedua selesai pada pukul dua siang. Indira memilih untuk pergi ke perpustakaan terlebih dulu, hendak mencari referensi untuk menyusun kerangka proposal. Ada komputer yang bisa dimanfaatkan untuk mengetik, meringkas informasi-informasi penting yang dihimpun dari setumpuk buku. Lalu, tahu-tahu dua jam sudah berlalu. Usai menyimpan file ke g****e drive, Indira mematikan komputer. Buku-buku yang sudah ia baca sekilas dikembalikan ke rak, nantinya bisa dipinjam saat mulai mengerjakan proposal. Gadis itu meninggalkan perpustakaan ketika waktu menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit. Ketika baru saja keluar dari perpustakaan, ada semilir angin yang menyambut. Kondisi langit berselimut awan kelabu, tampaknya sebentar lagi hujan deras akan turun. Indira menengadah, kemudian mengulurkan tangannya. Gerimis tipis mulai turun. Tanpa pikir panjang, Indira langsung berlari. Kembali ke Gedung C yang mulai sepi karena sebagian besar kelas telah berakhir. Indira lantas membuka ponselnya, berniat untuk memeriksa kotak pesan. Siapa tahu ada sebaris chat atau panggilan tak terjawab dari Edgar. Sayangnya, ponsel dalam kondisi mati karena kehabisan baterai. Haruskah Indira berlari menuju halte sebelum hujan turun? Tapi, bagaimana kalau Edgar datang menjemput? Jujur, Indira malas setengah mati jika harus kembali mendengar omelan panjang lebar dari mulut Edgar. Belum lagi kalau harus melihat ekspresi masam pada wajah laki-laki itu. Maka, Indira duduk di selasar. Menunggu Edgar. Tak berselang lama, gerimis tipis mulai berubah menjadi hujan deras. Disertai angin kencang dan kilatan petir. Indira menatap sekeliling, menyadari kalau Gedung C sudah sepi. Tak ada mahasiswa yang tersisa, bahkan pelataran parkir juga terlihat kosong. Indira mengembuskan napas, kemudian menyentuh perutnya yang mulai keroncongan. Sayangnya, tak ada camilan di dalam tasnya. Yang ada hanya botol tumbler, dalam kondisi kosong karena airnya telah dihabiskan. Detik demi detik berlalu. Indira terus memandang ke arah gerbang, berharap Edgar segera datang. Sayangnya, bahkan satu jam kemudian laki-laki itu tak kunjung terlihat. Indira mendekap tasnya erat-erat, menatap langit yang telah berubah menjadi gelap. Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras. Suara gemuruh petir membuat suasana kampus semakin mencekam. Indira menghela napas, menyesali keputusannya. Harusnya setelah selesai kelas, ia menerima tawaran Kiran untuk pulang bersama. Lagipula, memangnya apa yang bisa Indira harapkan dari Edgar? Laki-laki itu selalu berbuat semaunya, hanya melakukan apa yang menurutnya benar. Maka, Indira pelan-pelan berdiri. Tasnya masih dipeluk erat-erat, kakinya bersiap-siap untuk berlari menembus hujan. Tapi, mau berlari sekencang apa pun, Indira sepenuhnya menyadari kalau tubuhnya akan tetap basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tak ada pilihan lain. Indira berlari, menyusuri pelataran fakultas yang basah akibat guyuran hujan deras. Harus berlari sejauh tiga ratus meter untuk mencapai halte. Dinginnya air hujan terasa menusuk kulit, kemeja yang membalut tubuhnya telah sepenuhnya basah. Hari sudah malam, gelap, dan sepi. Indira berlarian seorang diri dalam kondisi kedinginan dan lapar. Gara-gara keputusan naifnya untuk menunggu Edgar.Saat baru saja tiba di rumah, Indira menjumpai Edgar sedang berciuman dengan seorang perempuan di carport. Mereka berpelukan mesra, bibir saling bertautan. Di bawah teduhnya kanopi, dua manusia itu terlindung dari guyuran air hujan. Jujur, Indira tak peduli. Gadis itu membuka gerbang secara perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara. Tapi, tetap saja usahanya sia-sia. Edgar menghentikan ciumannya ketika mendengar suara langkah kaki. “Hm? Itu siapa, Ed? Pembantu baru di rumah kamu?” tanya perempuan bernama Alice yang baru hari ini Edgar temui di sebuah event. Edgar tak menjawab, tatapannya tertuju pada Indira yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki. Bahkan tasnya juga ikut basah. “Kenapa hujan-hujanan?” tanya Edgar. Indira hanya membungkukkan tubuhnya dengan sopan, kemudian melanjutkan langkahnya. Sepatu dilepas di teras rumah, kemudian berjalan memasuki rumah dengan kedua kaki yang terasa dingin luar biasa. “I’m sorry, Alicia. Habis ini ada acara
“Demamnya nggak terlalu tinggi, jadi hanya perlu istirahat yang cukup. Kalau dalam dua puluh empat jam demamnya belum turun, bisa langsung dibawa ke rumah sakit. Untuk sementara waktu, coba buat dikompres dulu pakai air biasa sambil rutin dicek suhu badannya pakai termometer. Selama nggak ada efek lain semacam muntah-muntah, mimisan, atau kejang, she’ll be fine. Besok pasti membaik.” Edgar mendengar dengan saksama tiap kata yang diucapkan oleh Dokter Arya. Sementara itu, Indira masih berbaring di atas ranjang dengan kedua mata yang terpejam rapat. Sayup-sayup Indira dapat mendengar suara, tapi kepalanya terlalu berat untuk sekadar memastikan apakah suara yang ia dengar memang benar-benar nyata. Sejak kecil, Indira bukan anak yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhnya sangat bagus, barangkali karena sudah terbiasa tinggal di tempat yang keras. Tapi, pada akhirnya gadis itu ambruk juga, mungkin karena terlalu banyak beban yang mengganggu pikirannya. “Mama…Mama…” Edgar terperanjat saat m
“Nggak perlu, Mas. Saya masih punya cukup uang buat pulang-pergi naik bus,” ujar Indira, menolak kartu kredit yang disodorkan oleh Edgar. Edgar tertegun, tak menduga kalau Indira akan menolak kartu kreditnya. Edgar sudah sering berkencan, bertemu dengan berbagai tipe perempuan. Tapi, sejauh ini, belum ada satu pun perempuan yang menolak kartu kreditnya. “Mas Edgar dan Pak Danu udah ngasih tempat tinggal dan ngasih makan. Udah lebih dari cukup, saya nggak butuh apa-apa lagi,” sambung Indira. Berusaha menggunakan kalimat yang sehalus mungkin agar Edgar tak tersinggung. “Barang-barang kamu nyaris nggak layak pakai. Bahkan buku-buku kuliahmu juga lusuh, seperti buku bekas. Jangan keras kepala, terima kartu kredit ini buat beli barang-barang baru yang kamu butuhkan,” sahut Edgar. Indira terdiam selama beberapa saat, hingga akhirnya seulas senyum hadir di bibirnya. “Mas Edgar nggak perlu mengasihani saya,” ucap Indira, terdengar cukup tegas. “Harga dirimu ternyata setinggi langit,” g
[Papa : ajak Indira belanja, pilihkan pakaian, sepatu, dan tas yang bagus][Papa : sertakan bukti foto, agar Papa percaya kalau kamu benar-benar menjalankan tugas]Edgar baru saja membuka kedua matanya, mendadak pening saat membaca rentetan pesan singkat yang dikirimkan oleh Papa Danu. Ternyata mengajak Indira ke peresmian gedung baru Antara Group tidaklah cukup, hari ini Edgar bahkan harus mengajak gadis itu ke pusat perbelanjaan. Sumpah, Edgar benar-benar muak. Hari ini ia ada janji bermain golf dengan beberapa rekan lama, tapi perintah yang diberikan oleh Papa Danu seketika merusak segalanya. Kenapa harus Edgar yang mengantar Indira ke pusat perbelanjaan? Padahal, gadis itu punya kaki, tangan, dan mulut yang masih berfungsi dengan sangat baik. Edgar mengembuskan napas, kemudian menelepon Papa Danu. “Sudah baca pesan dari Papa?” tanya Papa Danu begitu mengangkat telepon dari Edgar. Sangat to the point. Tak ada basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar. “Minta Indira pergi ke pusa
Setelah memborong banyak baju tidur dan pakaian dalam, Edgar mengajak Indira ke sebuah outlet dari brand fashion ternama. Berbagai jenis dress terpajang di etalase kaca, sepatu dan tas keluaran terbaru juga dipertontonkan di meja display. Saat melihat price tag di salah satu dress yang dipajang pada manekin, Indira langsung bergidik ngeri. Harga sebuah simple dress berwarna hitam setara dengan uang kuliah Indira selama empat semester. Seumur hidupnya, belum pernah sekali pun Indira membeli pakaian yang harganya lebih dari satu juta.“Mas,” panggil Indira sambil berjalan di belakang Edgar. Edgar tak menyahuti, sibuk memilih dress pada etalase kaca. Jujur, Edgar muak sekali melihat kemeja flannel dan celana jins yang dipakai oleh Indira setiap harinya. Tak enak dipandang. Oleh sebab itu, semua pakaian yang ada di dalam lemari Indira harus diganti dengan yang baru. Tanpa ragu sedikit pun, Edgar mengambil sebuah casual dress berwarna biru pastel, sebuah mini dress berwarna peach, sert
Indira merasa seperti boneka. Yang didandani sedemikian rupa agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemiliknya. Dalam hal ini, pemilik yang dimaksud adalah Edgar. Ketika menatap cermin, Indira tak lagi menjumpai sosok gadis sederhana dengan pakaian lusuhnya. Kini, ia telah berubah menjadi seorang nona muda yang terlihat mempesona dari ujung kaki sampai ujung kepala. Edgar benar-benar membuang semua pakaian lama Indira, mengisi lemarinya dengan pakaian-pakaian yang baru. Demikian pula dengan sepasang sepatu kesayangan Indira yang telah lusuh, serta tote bagnya yang telah pudar. Indira menghela napas, perlahan menyentuh dress berwarna biru yang kini membalut tubuhnya. Sejak pertama kali masuk kuliah, tak pernah sekali pun Indira datang ke kampus dengan mengenakan dress. Rasanya benar-benar aneh. “Indira!” Lamunan Indira seketika buyar ketika mendengar suara panggilan dari arah bawah. Edgar memanggil, tampaknya minta dibuatkan kopi karena sampai detik ini Bi Imah belum kem
Malam ini Indira benar-benar sendirian di rumah tiga lantai yang sangat luas. Suasana rumah benar-benar sunyi, hanya suara jarum jam yang terdengar begitu lantang dan menggema. Sebenarnya Indira bukanlah seorang penakut. Saat masih tinggal di panti asuhan, Indira sering pergi ke ruang penyimpanan saat tengah malam untuk sekadar mengambil stok diapers atau selimut baru untuk adik-adiknya. Dan, ruang penyimpanan itu letaknya di belakang, dekat dengan kebun bambu yang gelap gulita ketika malam hari. Tapi, kali ini situasinya berbeda karena Indira berada di sebuah rumah mewah dengan banyak barang berharga di dalamnya. Bagaimana jika perampok tiba-tiba masuk karena tahu rumah dalam keadaan kosong? Sebab di luar sana, ada banyak sekali orang-orang yang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan kejahatan. Maka, Indira hanya berdiam diri di dalam kamar. Mencoba mendistraksi pikirannya dengan mengerjakan tugas dan mendengarkan musik. Di atas meja, telah tersaji satu kotak nasi goreng dan sa
Pagi ini suasana rumah menjadi lebih tegang daripada biasanya. Indira bahkan tak berani bersuara, pura-pura fokus memasak nasi goreng di dapur. Mencoba untuk mengabaikan Edgar dan Ezra yang sedang berdebat di ruang makan. Kakak beradik itu jelas-jelas muak melihat wajah satu sama lain. Saat harus berada di tempat yang sama, perdebatan dan pertengkaran tak dapat dihindari. Tak ada yang bisa menengahi, sebab keduanya sama-sama keras kepala dan merasa menjadi pihak yang paling benar. “Udah hampir dua tahun kita nggak ketemu, Bang,” kata Ezra yang duduk di atas kursi sambil melipat kedua kakinya. “Terakhir kali ketemu di acara makan malam keluarga.” Edgar tersenyum sinis, lalu berkata, “tolong tahu diri sedikit, Ez. Statusmu cuma anak yang lahir dari hasil perselingkuhan. Nggak perlu bangga cuma karena ada Bumantara di belakang namamu.”“Yeah. Aku cukup tahu diri, that’s why selama dua tahun nggak pernah muncul lagi di rumah ini. Sekarang aku ke sini lagi karena permintaannya Papa.” “