“Mbak Indira.”
Suara Bi Imah membuat Indira seketika terjaga. Gadis itu mengerjapkan mata, kemudian mengedarkan pandangannya. Ternyata ketiduran saat mengerjakan tugas kuliah, sampai lupa kalau sejak tadi siang perutnya belum terisi apa-apa. “Iya, Bi,” sahut Indira, kemudian berjalan menuju pintu. Bi Imah berdiri di depan kamar, membawa sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Wanita paruh baya itu tersenyum dengan hangat, menawarkan nasi goreng buatannya untuk mengganjal perut Indira yang pastinya sudah keroncongan. “Dimakan sampai habis ya, Mbak. Kan dari tadi belum makan,” kata Bi Imah. Indira meringis, lalu berkata, “Mas Edgar udah masuk kamar, Bi?” Bi Imah tak menjawab, hanya mengulurkan tangannya untuk mengusap lengan Indira dengan lembut. Setelah itu, lekas kembali ke dapur untuk mencuci piring dan merapikan alat-alat masak. Indira mengembuskan napas, lalu kembali menutup pintu kamar dengan hati-hati. Nasi goreng buatan Bi Imah terlihat lezat, bahkan aromanya saja membuat Indira tak sabar ingin segera menyicipinya. Karena tak ingin mengotori ranjang atau meja belajar, Indira memutuskan untuk makan di balkon. Tirai semi-transparan disibak, pintu dibuka secara perlahan-lahan. Begitu menginjakkan kaki di balkon, semilir angin menyapa Indira. Malam ini langit cukup cerah. Bulan sabit terlihat begitu cantik, malu-malu menampakkan diri dari balik awan tipis. Indira duduk di atas lantai, menengadah untuk menatap bintang yang kelipnya terlihat samar. Tanpa sadar, seulas senyum terbit di bibir mungilnya. “Bersyukur, Indira,” gumam Indira pada dirinya sendiri. “Hari ini masih bisa kuliah, bisa makan enak, tidur di tempat yang nyaman.” Indira memegang sendok, pelan-pelan menyantap nasi goreng yang masih sedikit hangat. Berselimut kesunyian, hanya suara gemersik dedaunan yang terdengar di sekelilingnya. Lalu, suara tawa laki-laki dan perempuan seketika membuyarkan lamunan Indira. Indira mendekat ke pembatas, menatap ke arah bawah. Di sana, ada Edgar yang sedang merangkul seorang perempuan. Mereka berjalan bersisian, sesekali saling bertukar candaan ringan. Tempat yang dituju adalah kolam renang. “Ah, ternyata Mas Edgar udah punya pacar,” gumam Indira, kini mengerti kenapa Edgar tak menyukai perjodohan yang diatur oleh Papa Danu. Di bawah sana, Edgar sedang berpelukan mesra dengan perempuan seksi yang hanya mengenakan bikini itu. Mereka berdiri di dekat kolam, sama-sama tertawa. Indira mengembuskan napas, lalu memutuskan untuk kembali ke dalam kamar. Masa bodoh dengan apa yang sedang Edgar lakukan. Indira hanya perlu fokus pada tugas kuliahnya, sambil mencari pekerjaan freelance untuk menambah penghasilan. *** [Bi Imah harus pulang ke Cianjur karena anak sedang dirawat di rumah sakit] Indira menemukan sebuah sticky note, tertempel di kulkas. Tampaknya Bi Imah pergi sejak pagi-pagi buta setelah mendengar kabar kalau anaknya dirawat di rumah sakit. Kondisi rumah sudah rapi, hanya saja belum ada makanan yang tersaji di atas meja. Tiba-tiba Indira dilema. Di satu sisi, ia ingin sekali menyiapkan sarapan sederhana. Di sisi lain, ia khawatir seandainya Edgar malah marah besar. Indira terdiam cukup lama, memandang seisi dapur untuk mencari tahu letak bumbu-bumbu dan alat memasak. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Indira nekat membuka kulkas. Mengeluarkan beberapa butir telur dan sayuran. Tanpa diperintahkan oleh siapa pun, gadis itu berinisiatif menyiapkan sarapan. Pertama-tama, Indira mengambil beras dari sebuah container box. Menucicnya beberapa kali, kemudian memasukkannya ke dalam rice cooker. Biarkan mesin itu menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, beberapa telur dipecahkan ke dalam mangkuk, kemudian dikocok menggunakan garpu hingga kuning dan putihnya bercampur. Tak lupa, Indira juga menambahkan sedikit garam dan lada untuk menambah rasa. Teflon diletakkan di atas kompor, diberi sedikit minyak. Karena waktu yang terbatas, akhirnya Indira hanya bisa membuat telur dadar dan tumis sayuran sederhana sebagai menu sarapan. Tepat pukul tujuh, Edgar turun. Laki-laki itu sudah berpakaian rapi, siap untuk berangkat ke kantor. Arom musk menguar dari tubuhnya. Langkahnya terhenti di dekat dapur, memandang seorang gadis yang sedang menata telur dadar dan tumis sayuran di atas piring. “Bi Imah ke mana?” tanya Edgar. Indira terkejut luar biasa, sampai hampir menjatuhkan sendok dari genggamannya. Gadis itu bergidik ngeri, khawatir kalau Edgar tiba-tiba memarahinya karena berani mengolah makanan di dapur. “Bi Imah pulang ke Cianjur, anaknya masuk rumah sakit,” jelas Indira sambil menunjuk ke arah sticky note berwarna kuning yang tertempel di kulkas. Edgar hanya menghela napas, kemudian berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir kopi. Terpaksa menyiapkan morning coffeenya sendiri karena Bi Imah sedang pulang kampung. “Saya masak telur dadar sama tumis sayuran, Mas,” ujar Indira. “Saya sarapan pakai sereal,” jawab Edgar seadanya. Indira hanya menganggukkan kepala, kemudian memindahkan makanannya ke ruang makan. Jika Edgar enggan menyantap makanan yang telah Indira siapkan, terserah. Bagi Indira, yang penting perutnya sendiri kenyang sebelum berangkat ke kampus. Edgar mengambil sebuah cangkir dari rak, lalu mencari bubuk kopi dan gula yang entah berada di mana. Laki-laki itu terlihat kebingungan, menengok ke kanan dan kiri. Maklum, selama ini kopinya selalu disiapkan oleh Bi Imah. “Kopinya di mana?” tanya Edgar. Yang ditanya tak memberi respon apa-apa. “Indira,” pangil Edgar. Barulah Indira menoleh, agak terkejut karena Edgar tiba-tiba memanggilnya. “Iya? Bicara sama saya, Mas?” “Ada orang lain di sini?” “Sorry.” Edgar menghela napas. Mau membuat kopi saja rintangannya sulit setengah mati. Dengan berat hati, laki-laki itu harus bertanya pada Indira. “Kopi sama gula di mana?” ulang Edgar sekali lagi. Indira lekas berdiri, melangkahkan kakinya menuju dapur. Jujur, Indira juga belum terlalu familiar dengan segala perlengkapan dan bahan-bahan yang ada di dapur. Tapi, dalam urusan menemukan sesuatu, bisa dibilang Indira adalah ahlinya. “Ini kopi,” ucap Indira sambil menunjuk sebuah jar kaca berisi bubuk kopi. “Di sampingnya ini gula, hati-hati jangan sampai tertukar sama garam.” Edgar membuka jar kaca berisi kopi. Terus terang, Edgar tak mengerti rasio yang pas untuk membuat kopi yang enak. Indira menatap Edgar, mencoba untuk membaca ekspresinya. “Mau saya buatin?” tanya Indira, akhirnya menawarkan diri untuk membuatkan kopi. Edgar berdeham, lalu berkata, “bisa bikin kopi yang enak?” “Saya nggak yakin rasanya bakal sesuai sama seleranya Mas Edgar. Tapi, dijamin nggak akan keasinan.” “Coba buat. Kalau nggak enak, baru nanti saya bikin sendiri.” Indira ingin tertawa, sebab laki-laki di sampingnya itu punya gengsi yang setinggi langit. Memang apa sulitnya meminta tolong secara baik-baik? Maka, Indira beregas menambahkan bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir. Kemudian menuangkan air panas ke dalamnya. Sedetik kemudian, uap beraroma kopi mulai menyeruak di seisi dapur. Indira meraih sebuah sendok, menggunakannya untuk mengaduk kopi. Sementara itu, Edgar masih berdiri di samping Indira. Memperhatikan tiap tahapan yang dilakukan oleh gadis itu. Agar besok-besok tak perlu meminta tolong lagi untuk dibuatkan kopi. “Ini kopinya, Mas,” kata Indira. Edgar mengangkat cangkir berisi kopi yang masih sedikit panas itu, pelan-pelan menyesapnya. Rasanya enak, bahkan lebih enak dari kopi buatan Bi Imah. Tidak terlalu manis, sehingga pahitnya kopi masih terasa di ujung lidah. “Mau disiapin sereal juga?” tanya Indira. Edgar menganggukkan kepala. Indira tersenyum tipis, lalu mengambil kotak sereal dan susu. Déjà vu. Indira merasa seperti berada di panti asuhan, menyiapkan sarapan untuk anak-anak yang tak mau makan nasi.Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote