MasukElena berdiri terpaku di atas panggung, napasnya tertahan seperti burung kecil yang terperangkap dalam sangkar sempit.
Kata-kata itu—satu juta dollar—menggema di telinganya seperti suara lonceng besar yang bergema di lembah, membawa harapan sekaligus kehampaan yang tak bisa dia jelaskan. Syok merayap di wajahnya, matanya membelalak tak percaya. Dalam sekejap, nilainya ditentukan oleh angka, seolah seluruh hidupnya diringkas menjadi sekadar nominal di atas kertas. Namun, di balik keterkejutannya, ada secercah kebebasan yang mulai bersinar redup. Satu juta dollar berarti akhir dari neraka ini, akhir dari rantai tak terlihat yang menahannya dalam sindikat perdagangan manusia. Meski kebebasan itu tampak semu, ia tetap terasa seperti udara segar di tengah ruang sempit yang penuh sesak. Suara pembawa acara lelang kembali melengking, memecahkan pikirannya. “Apakah ada yang menawar lebih dari satu juta dollar? Harga yang begitu fantastis,” serunya, memancing antusiasme palsu di tengah riuh rendah komentar penonton. "Wanita itu tidak pantas terbeli satu juta dollar." "Pria itu terlalu bodoh membelinya." "Tidak ada yang spesial dari wanita itu, untuk apa membuang uang sebanyak itu?" Setiap kata bagaikan serpihan kaca yang menancap di hati Elena. Komentar itu mengiris rasa harga dirinya yang telah lama terkubur. Dia berdiri di sana, mendengar dirinya direndahkan, dijadikan objek pembicaraan, seperti barang rusak di etalase toko yang ditawar sembarang. Tangannya bergetar, tetapi dia tidak lagi mencoba menyembunyikannya. Ketakutan telah berubah menjadi luka yang menganga. “Baiklah kalau begitu, satu juta pertama... satu juta kedua... satu juta ketiga...” Terdengar bunyi palu di tangan pembawa acara yang memantulkan suara tajam di seluruh ruangan, bagaikan genta yang menandakan akhir hidupnya yang lama dan awal sesuatu yang baru. “Keperawanan dan kontrak Elena sah menjadi milik Tuan Jackson!” serunya penuh semangat, seolah ini adalah puncak pencapaiannya sebagai pembawa acara. Di sudut ruangan, Jackson berdiri perlahan, tubuhnya tegap dengan wajah tanpa ekspresi. Dia melangkah menuju meja administrasi dengan langkah yang mantap, seperti seorang raja yang baru saja menaklukkan kerajaan. Di atas kertas kontrak, tinta menjadi saksi bisu dari perjanjian yang mengikat Elena padanya selama setahun penuh. Satu tahun untuk menyerahkan diri, tubuh, dan kebebasan kepada pria yang kini menjadi tuannya. Setelah menyelesaikan semua prosedur, Jackson berjalan menuju ruang ganti, di mana Elena telah dipindahkan. Dia membuka pintu dengan gerakan kasar, wajahnya dingin seperti es yang tidak pernah meleleh. Di dalam, Elena berdiri mematung, seperti boneka yang kehilangan pemiliknya. Tatapan matanya kosong, tetapi tubuhnya gemetar, seakan dia ingin melarikan diri tetapi tidak tahu ke mana harus pergi. "Ikut aku!" ujar Jackson, nadanya tegas, tanpa ruang untuk bantahan. Elena hanya mengangguk kecil. Kakinya bergerak, mengikuti pria itu dengan langkah berat, seperti tawanan yang berjalan menuju pengadilan terakhirnya. Mereka berdua turun ke basement, di mana mobil mewah Jackson terparkir, tubuhnya mengilap seperti predator yang siap melahap mangsa. "Masuk dan duduk di kursi depan," perintah Jackson. Tanpa kata, Elena membuka pintu dan duduk. Jok mobil yang lembut terasa dingin di kulitnya, seolah menegaskan posisi baru yang harus dia terima. Di dalam keheningan, suara Jackson terdengar tajam. "Panggil aku Jackson." Elena mengangguk gugup, suaranya gemetar saat dia mencoba berbicara. "Namaku Elena... panggil saja aku Elena," katanya dengan bahasa yang belepotan, mencoba memperkenalkan dirinya meski tahu bahwa nama itu kini hanya menjadi identitas yang terasing. Jackson tidak menjawab. Matanya tetap fokus ke jalan di depan, tetapi dalam hati, badai berkecamuk. Dia tidak bisa lagi membedakan apakah dia ingin menyelamatkan Elena, atau justru merenggut sesuatu yang tidak dia pahami dari wanita itu. "Apakah itu nama aslimu?" tanya Jackson, suaranya berat, seperti badai yang mendahului hujan. "Ya, itu nama asliku. Kamu bisa melihat kartu identitasku jika tidak percaya," jawab Elena dengan nada yang bergetar, mencoba meneguhkan dirinya meskipun sorotan mata pria di sebelahnya membuatnya merasa kecil dan rapuh. Jackson diam sesaat sebelum pertanyaan berikutnya keluar dari bibirnya seperti anak panah yang menusuk langsung ke inti dirinya. "Benarkah kamu masih perawan?" Bluuushhh... Wajah Elena langsung memerah seperti mawar yang baru mekar di bawah sinar matahari, tetapi bukan karena rasa malu yang manis. Ada bara marah yang menyala di balik rona itu, meski bibirnya tetap mengucapkan jawaban dengan nada terkendali. "Aku belum pernah berhubungan badan dengan pria atau pun wanita. Dulu aku pernah punya kekasih, tapi kami hanya sebatas bersentuhan sampai bibir saja. Hubungan kami tidak bertahan lama karena aku tidak mau tidur dengannya." Jackson mendengarkan dengan senyum sinis yang mencoreng wajahnya. "Jadi, bibirmu sudah tidak perawan."Elena sedang memasukkan mantel yang sebelumnya dia pakai ke dalam tas ketika pintu kamarnya terbuka.Mengira jika Ariana yang masuk, Elena bertanya tanpa melihat siapa yang datang."Apakah David sudah selesai bicara dengan papanya? Apakah kita sudah mau pergi? Tunggu sebentar, Ariana! Ada beberapa barang yang masih harus aku siapkan," ujar Elena dengan tangan yang masih sibuk mencari barang-barangnya yang tercecer."Ini aku, aku bukan Ariana," suara bariton seorang pria mengagetkan Elena.Wanita itu langsung menghentikan kegiatannya dan menegakkan tubuhnya.Dia menoleh ke arah pintu dan menegang melihat Jackson berdiri beberapa meter di depannya. Nafasnya seketika tercekat dengan jantung berdetak kencang.Harusnya saat ini dia membenci Jackson dan berharap pria itu menjauh darinya, namun apa yang dia rasakan malah sebaliknya, matanya menatap pria itu penuh rindu dan keberadaan Jackson seperti magnet yang menariknya untuk mendekat.Beruntung kesadaran Elena masih berfungsi dengan baik
"Apakah kamu yakin akan keluar dan menemui keluarga Collins sekarang?" tanya Ariana yang masih khawatir dengan kesehatan Elena."Ya, aku yakin. Aku sudah baikan dan ingin segera keluar dari rumah ini,” tegas Elena."Kamu mau pergi ke mana setelah dari sini?" Ariana semakin mengkhawatirkan Elena dan kehamilan wanita itu."Aku belum tahu, tetapi aku ingin menjauh dari keluarga Collins dan mencari pekerjaan. Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Jackson.”"Kalau begitu, tinggallah bersamaku," ajak Ariana yang tidak mungkin membiarkan saudaranya itu berkeliaran sendiri tanpa tempat tinggal dan pekerjaan.Elena langsung menggeleng dan menolak ajakan Ariana. "Aku tidak ingin tinggal bersama kalian dan menjadi beban di dalam keluarga kalian. Lagi pula rasanya akan tidak nyaman jika aku serumah dengan suamimu."Ariana terdiam dan mengakui apa yang Elena katakan memang benar. "Aku tidak mungkin membiarkan kamu tinggal sendiri, apalagi dalam keadaan hamil. Aku akan bicara pada David untuk bisa
"Aku tidak mungkin hamil," gumam Elena dengan tatapan sendu"Apa maksudmu tidak mungkin hamil?" tanya Ariana memastikan apa yang saudaranya itu katakan."Selama kami berhubungan, aku selalu meminum obat pencegah kehamilan dan aku tidak pernah melupakannya. Bagaimana ini bisa terjadi?" Elena tampak syok dan putus asa."Maaf jika aku menanyakan sesuatu yang mungkin menyinggungmu. Apakah anak yang kamu kandung adalah benar anak Jackson? Apakah janin dalam kandunganmu adalah keturunan Collins?"Pertanyaan itu membuat Elena menatap tajam ke arah Ariana, lalu tak lama setelahnya mata itu berkabut dan berkaca-kaca, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. "Aku tidak pernah berhubungan dengan siapapun selain Jackson. Pria itu yang mengambil kehormatanku dan satu-satunya pria yang pernah menyentuhku. Jika benar saat ini aku sedang hamil, maka anak yang aku kandung adalah benar anak Jackson."Kini ganti mata Ariana yang berkabut, dia mengusap wajahnya. tampak tertekan. "Efektifitas obat pence
Jackson menatap Ariana dengan wajah pucat. Pandangannya kosong seolah otaknya berusaha keras mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut perempuan di hadapannya."Elena... hamil?"Nafas Jackson tersengal, dan cangkir kristal yang sedari tadi digenggamnya jatuh ke lantai, pecah berhamburan. Suara pecahan itu seperti meretakkan ketenangan semu yang sempat ia pertahankan selama ini.Ariana menatapnya penuh kemarahan. Matanya sembab, bukan karena takut, tetapi karena marah dan kecewa. “Jangan berpura-pura tidak tahu! Elena hamil, Jackson. Dan kamu satu-satunya pria yang pernah dekat dengannya selama ini!”Jackson menggeleng, mulutnya terbuka, tapi tak satu pun kata keluar. Tenggorokannya tercekat. Wajahnya pucat, seperti seseorang yang melihat bayang-bayang dosanya bangkit dari kubur."Ariana..." gumamnya, akhirnya berhasil bersuara. "Aku... aku benar-benar tidak tahu...""Apa kau ingin bilang itu bukan anakmu?" potong Ariana dengan nada getir. “Setelah kau tidur dengannya, kau perg
"Keadaan Nona Elena masih dalam batas aman tetapi jangan disepelekan. Dia butuh banyak istirahat dan juga banyak cairan karena tubuhnya kurang minum dan mengalami dehidrasi.“Jauhkan juga Nona Elena dari hal yang membuatnya terkejut atau tertekan, dia mengalami stress dengan tekanan darah yang cukup tinggi," ucap Dokter sebelum mengakhir perkataannya."Baik Dok, aku akan merawatnya dengan baik dan memastikan Elena meminum obat yang kamu berikan."Dokter itu kemudian memberikan obat untuk beberapa hari ke depan dan menulis resep untuk rawat jalan. "Karena Nona Elena sedang hamil, maka aku akan memberikan obat yang aman untuk ibu hamil."Deg...Tubuh Ariana seketika menegang dan mematung saat menerima obat dari dokter tersebut mengetahui jika Elena sedang hamil."Hamil...? ma-maksud Dokter? Elena saat ini sedang hamil?" gumamnya lirih yang masih bisa di dengar oleh dokter itu.Dia tampak syok bukan karena berita yang dia dengar tetapi nasib Elena selanjutnya akan seperti apa."Apakah ka
Belum sempat Elena mengatakan sesuatu, pandangan wania itu tiba-tiba menggelap. Tubuhnya terasa sangat ringan dan bruuuukkk.. wanita itu jatuh dari tempatnya berdiri.Beruntung sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, David sudah menangkap dan menyangganya."Ada apa dengan Elena?" tanya Ariana tampak khawatir."Tadi dia sedang sakit, papanya menjualkan untuk dijadikan pemuas hasrat pria kaya. Aku menolongnya melarikan diri dari sindikat yang menjualnya hingga tidak sempat membawanya rumah sakit," terang David."Bawa dia ke kamar tamu, aku akan memanggil dokter," ujar Ariana kepada suaminya.Baru saja David ingin menggendong Elena, sepasang tangan kekar menghentikannya. "Biar aku yang membawanya. Kamu sudah beristri, tak pantas menyentuh wanita lain."David menoleh dan menatap Jackson dengan penuh tanda tanya. Kenapa pria itu berkata demikian?Siapa pun di ruangan itu tahu, dia tidak ada niatan apapun apalagi mengambil kesempatan saat menolong Elena.Dengan cepat Jackson mengambil Elena dari







