MasukElena terdiam, menundukkan kepala sambil meremas jarinya yang sudah memucat.
Sesuatu dalam dirinya memberontak, tetapi dia tidak tahu bagaimana melawannya. Di hadapan Jackson, dia merasa seperti boneka yang benang-benangnya dipegang penuh oleh pria itu. Keheningan yang melingkupi mereka terasa berat, seperti kabut pekat yang menyelimuti malam. Jackson mengarahkan mobil ke sebuah hotel mewah, enggan kembali ke apartemennya. Pikirannya penuh dengan bayangan keluarga Collins yang tengah merayakan Natal di rumah besar mereka. Biasanya, dia tidak pernah melewatkan acara itu—pesta keluarga yang hangat dengan pohon Natal berkilauan dan tawa yang memenuhi ruangan. Tapi tidak untuk malam ini. Ariana akan ada di sana. Wanita itu, dengan senyumnya yang dulu menjadi cahaya dalam hidup Jackson, kini menjadi istri dari sepupunya, David Collins. Seolah tak cukup, mereka telah memiliki anak yang tampan, sebuah simbol kebahagiaan yang tak pernah bisa Jackson miliki. Tangannya mencengkeram kemudi dengan keras, buku-buku jarinya memutih, menahan rasa marah yang membakar di dadanya. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengusir bayangan Ariana dan David dari pikirannya. Di sebelahnya, Elena duduk kaku. Jantungnya berdegup seperti burung kecil yang mencoba terbang keluar dari sangkar. Ketika mobil Jackson memasuki area hotel yang mewah, matanya membesar, menatap keindahan yang begitu asing baginya. Lampu-lampu kristal berkilauan seperti bintang di langit malam, dan pintu masuk yang megah memancarkan aura kekayaan yang membuat Elena merasa semakin kecil. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dinginnya udara malam, tetapi juga karena rasa takut yang mencekam. Malam ini, dia tahu, dia akan kehilangan sesuatu yang paling berharga—kehormatan yang selama ini dia pertahankan meskipun hidup telah berulang kali menjatuhkannya. Ketika mereka keluar dari mobil, tatapan-tatapan menusuk langsung mengarah padanya. Para tamu hotel, dengan pakaian mereka yang anggun dan elegan, memandang Elena dengan penghinaan yang tak mereka sembunyikan. Pakaian murahan yang dikenakannya, make-up tebal yang tampak seperti topeng muram, membuatnya terlihat seperti wanita murahan yang dibawa Jackson untuk memenuhi hasratnya. Tatapan-tatapan itu bagaikan cambuk yang mencambuk habis sisa harga diri Elena. Tetapi dia hanya bisa menunduk, membiarkan dirinya dihakimi tanpa pembelaan. Sepanjang perjalanan menuju kamar, Elena merasa dirinya menyusut di bawah tatapan-tatapan tajam yang seperti duri menusuk setiap inci kulitnya. Malu dan marah bergumul dalam dirinya, namun rasa hina lebih mendominasi. Dalam hati, dia mengutuk situasi ini, tetapi mulutnya tetap terkatup rapat, seperti boneka yang telah kehilangan suaranya. Dia bukan lagi Elena yang dulu—gadis dengan harapan sederhana dan senyuman tulus. Kini dia hanyalah bayang-bayang dirinya sendiri, wanita jalang yang ditakdirkan memuaskan keinginan seorang pria asing. Jackson, yang berjalan di sampingnya, tak acuh pada atmosfer intimidasi yang menyelubungi mereka. Tatapan merendahkan para tamu tak lebih dari angin lalu baginya. Dia terus melangkah dengan tenang, seolah dunia di sekitarnya hanyalah teater murahan yang tak pantas mendapatkan perhatian. Namun, ketika pintu kamar tertutup rapat di belakang mereka, menghalangi dunia luar, tatapan dinginnya segera tertuju pada Elena. "Lepaskan semua pakaianmu!" Suara Jackson menggema di ruangan itu, dingin dan tanpa kompromi. Elena tertegun, matanya membesar seperti rusa yang terjebak dalam sorotan lampu. "Me-melepas pakaianku?" ulangnya gugup, suara gemetarnya hampir tak terdengar. Jackson mendekat, dan dalam sekejap, wreeekkk... suara robekan kain mengisi udara. Elena tersentak ketika pakaian murahan yang melekat di tubuhnya terbelah, memperlihatkan penutup dada berwarna merah yang mencolok di antara kulitnya yang putih bak porselen. "Kamu mau melepaskannya sendiri atau aku yang akan melepaskannya dengan paksa?" ujar Jackson, suaranya mengandung ancaman halus, namun cukup untuk membuat Elena melangkah mundur. "A-aku bisa melepaskannya sendiri," jawabnya cepat, berusaha menghindari tangan pria itu yang terasa seperti besi dingin. Dengan tangan gemetar, Elena mulai menanggalkan sisa-sisa pakaiannya. Satu per satu, kain itu jatuh ke lantai, hingga akhirnya hanya menyisakan dua potong kecil yang menutupi area paling pribadi miliknya. Malu dengan ketertelanjangannya, dia menyilangkan tangan di depan tubuhnya, berusaha menutupi apa yang tersisa. Namun usahanya sia-sia di hadapan tatapan Jackson yang tajam dan penuh penilaian. Pria itu membungkuk, memungut pakaian Elena yang telah terlepas, lalu membuangnya ke tempat sampah tanpa ragu. "Pakaian murahan seperti ini tidak pantas melekat di tubuhmu," gumamnya, nyaris seperti hinaan. Elena tetap berdiri di tempat, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya mengikuti setiap gerakan Jackson dengan waspada, mencoba menebak apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya. Namun ketakutannya memuncak ketika pria itu mengucapkan perintah yang tak terduga. "Pergilah ke kamar mandi!" Elena mengerjap. "A-apa...?" tanyanya pelan, bingung oleh perintah yang tidak sesuai dengan bayangannya. Apakah pria itu ingin melakukannya di kamar mandi? Pikirannya langsung berlari liar, membayangkan skenario-skenario yang membuatnya menggigil. Dia mengguncang kepalanya, berusaha mengusir pikiran itu, tetapi gerakannya malah membuat Jackson salah paham. "Jadi kamu mau menentangku?" Suara Jackson berubah menjadi geraman yang dalam, seperti singa yang baru saja diusik. Matanya menyipit, menatap langsung ke Elena dengan intensitas yang membuat napasnya tersangkut di tenggorokan. "Bukan seperti itu yang aku maksud. Aku akan pergi ke kamar mandi sekarang," sanggah Elena cepat, suaranya terdengar seperti gemerisik daun di tengah badai.Elena sedang memasukkan mantel yang sebelumnya dia pakai ke dalam tas ketika pintu kamarnya terbuka.Mengira jika Ariana yang masuk, Elena bertanya tanpa melihat siapa yang datang."Apakah David sudah selesai bicara dengan papanya? Apakah kita sudah mau pergi? Tunggu sebentar, Ariana! Ada beberapa barang yang masih harus aku siapkan," ujar Elena dengan tangan yang masih sibuk mencari barang-barangnya yang tercecer."Ini aku, aku bukan Ariana," suara bariton seorang pria mengagetkan Elena.Wanita itu langsung menghentikan kegiatannya dan menegakkan tubuhnya.Dia menoleh ke arah pintu dan menegang melihat Jackson berdiri beberapa meter di depannya. Nafasnya seketika tercekat dengan jantung berdetak kencang.Harusnya saat ini dia membenci Jackson dan berharap pria itu menjauh darinya, namun apa yang dia rasakan malah sebaliknya, matanya menatap pria itu penuh rindu dan keberadaan Jackson seperti magnet yang menariknya untuk mendekat.Beruntung kesadaran Elena masih berfungsi dengan baik
"Apakah kamu yakin akan keluar dan menemui keluarga Collins sekarang?" tanya Ariana yang masih khawatir dengan kesehatan Elena."Ya, aku yakin. Aku sudah baikan dan ingin segera keluar dari rumah ini,” tegas Elena."Kamu mau pergi ke mana setelah dari sini?" Ariana semakin mengkhawatirkan Elena dan kehamilan wanita itu."Aku belum tahu, tetapi aku ingin menjauh dari keluarga Collins dan mencari pekerjaan. Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Jackson.”"Kalau begitu, tinggallah bersamaku," ajak Ariana yang tidak mungkin membiarkan saudaranya itu berkeliaran sendiri tanpa tempat tinggal dan pekerjaan.Elena langsung menggeleng dan menolak ajakan Ariana. "Aku tidak ingin tinggal bersama kalian dan menjadi beban di dalam keluarga kalian. Lagi pula rasanya akan tidak nyaman jika aku serumah dengan suamimu."Ariana terdiam dan mengakui apa yang Elena katakan memang benar. "Aku tidak mungkin membiarkan kamu tinggal sendiri, apalagi dalam keadaan hamil. Aku akan bicara pada David untuk bisa
"Aku tidak mungkin hamil," gumam Elena dengan tatapan sendu"Apa maksudmu tidak mungkin hamil?" tanya Ariana memastikan apa yang saudaranya itu katakan."Selama kami berhubungan, aku selalu meminum obat pencegah kehamilan dan aku tidak pernah melupakannya. Bagaimana ini bisa terjadi?" Elena tampak syok dan putus asa."Maaf jika aku menanyakan sesuatu yang mungkin menyinggungmu. Apakah anak yang kamu kandung adalah benar anak Jackson? Apakah janin dalam kandunganmu adalah keturunan Collins?"Pertanyaan itu membuat Elena menatap tajam ke arah Ariana, lalu tak lama setelahnya mata itu berkabut dan berkaca-kaca, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. "Aku tidak pernah berhubungan dengan siapapun selain Jackson. Pria itu yang mengambil kehormatanku dan satu-satunya pria yang pernah menyentuhku. Jika benar saat ini aku sedang hamil, maka anak yang aku kandung adalah benar anak Jackson."Kini ganti mata Ariana yang berkabut, dia mengusap wajahnya. tampak tertekan. "Efektifitas obat pence
Jackson menatap Ariana dengan wajah pucat. Pandangannya kosong seolah otaknya berusaha keras mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut perempuan di hadapannya."Elena... hamil?"Nafas Jackson tersengal, dan cangkir kristal yang sedari tadi digenggamnya jatuh ke lantai, pecah berhamburan. Suara pecahan itu seperti meretakkan ketenangan semu yang sempat ia pertahankan selama ini.Ariana menatapnya penuh kemarahan. Matanya sembab, bukan karena takut, tetapi karena marah dan kecewa. “Jangan berpura-pura tidak tahu! Elena hamil, Jackson. Dan kamu satu-satunya pria yang pernah dekat dengannya selama ini!”Jackson menggeleng, mulutnya terbuka, tapi tak satu pun kata keluar. Tenggorokannya tercekat. Wajahnya pucat, seperti seseorang yang melihat bayang-bayang dosanya bangkit dari kubur."Ariana..." gumamnya, akhirnya berhasil bersuara. "Aku... aku benar-benar tidak tahu...""Apa kau ingin bilang itu bukan anakmu?" potong Ariana dengan nada getir. “Setelah kau tidur dengannya, kau perg
"Keadaan Nona Elena masih dalam batas aman tetapi jangan disepelekan. Dia butuh banyak istirahat dan juga banyak cairan karena tubuhnya kurang minum dan mengalami dehidrasi.“Jauhkan juga Nona Elena dari hal yang membuatnya terkejut atau tertekan, dia mengalami stress dengan tekanan darah yang cukup tinggi," ucap Dokter sebelum mengakhir perkataannya."Baik Dok, aku akan merawatnya dengan baik dan memastikan Elena meminum obat yang kamu berikan."Dokter itu kemudian memberikan obat untuk beberapa hari ke depan dan menulis resep untuk rawat jalan. "Karena Nona Elena sedang hamil, maka aku akan memberikan obat yang aman untuk ibu hamil."Deg...Tubuh Ariana seketika menegang dan mematung saat menerima obat dari dokter tersebut mengetahui jika Elena sedang hamil."Hamil...? ma-maksud Dokter? Elena saat ini sedang hamil?" gumamnya lirih yang masih bisa di dengar oleh dokter itu.Dia tampak syok bukan karena berita yang dia dengar tetapi nasib Elena selanjutnya akan seperti apa."Apakah ka
Belum sempat Elena mengatakan sesuatu, pandangan wania itu tiba-tiba menggelap. Tubuhnya terasa sangat ringan dan bruuuukkk.. wanita itu jatuh dari tempatnya berdiri.Beruntung sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, David sudah menangkap dan menyangganya."Ada apa dengan Elena?" tanya Ariana tampak khawatir."Tadi dia sedang sakit, papanya menjualkan untuk dijadikan pemuas hasrat pria kaya. Aku menolongnya melarikan diri dari sindikat yang menjualnya hingga tidak sempat membawanya rumah sakit," terang David."Bawa dia ke kamar tamu, aku akan memanggil dokter," ujar Ariana kepada suaminya.Baru saja David ingin menggendong Elena, sepasang tangan kekar menghentikannya. "Biar aku yang membawanya. Kamu sudah beristri, tak pantas menyentuh wanita lain."David menoleh dan menatap Jackson dengan penuh tanda tanya. Kenapa pria itu berkata demikian?Siapa pun di ruangan itu tahu, dia tidak ada niatan apapun apalagi mengambil kesempatan saat menolong Elena.Dengan cepat Jackson mengambil Elena dari







