Beranda / Romansa / Gadis Tanpa Ingatan / 3. ujian membuat kopi dan rahasia yang tersembunyi

Share

3. ujian membuat kopi dan rahasia yang tersembunyi

Penulis: Alvarezmom
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-04 02:00:21

Hujan masih berjatuhan pelan ketika pagi menjelang. Cahaya matahari enggan menembus pekatnya awan, menyisakan warna abu-abu yang dingin menyelimuti kota. Raina berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri dengan rasa tidak percaya. Gadis yang menatapnya kini masih asing, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

Namun di dalam dada, ada benih harapan yang tumbuh namun begitu samar, benih yang mulai tumbuh sejak malam tadi. ketika Elvano, pria dingin itu, memberinya pilihan.

Di pagi hari setelah sarapan yang begitu hening dan canggung, Raina mulai bersiap untuk pergi ke kantor Elvano. Ia mengenakan pakaian sederhana yang disediakan mbok Ira, pakaian yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus dan lelah. Dengan langkah ragu, ia meninggalkan kamarnya lalu menuruni tangga menuju ruang utama rumah megah itu.

Sementara Elvano sudah menunggu di pintu masuk, berdiri tegap dengan tangan disilangkan di depan dada. Saat Raina berjalan semakin mendekat, Tatapannya menyapu dari ujung rambut hingga ujung kaki Raina. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan, antara penghakiman dan rasa ingin tahu.

“Kau siap?” tanya Elvano dengan suara rendah.

Raina mengangguk pelan. “Aku akan mencoba.” jawabnya lirih.

Kemudian Mereka keluar dan menuju mobil hitam yang terparkir di halaman. Perjalananpun terasa singkat,, mobil melaju dengan cepat menuju gedung perkantoran Elvano di pusat kota. Gedung itu tinggi menjulang, kaca-kaca besar memantulkan pemandangan kota yang basah oleh hujan.

Sesampainya di kantor. Dengan cepat Raina berlari mengikuti Elvaro menuju pintu masuk perusahaan Elvaro.

Di dalam kantor, suasana jauh berbeda dengan rumah besar itu. Suara dering telepon, ketukan keyboard, dan bisik-bisik percakapan menjadi musik latar yang asing bagi Raina. Ia dibawa ke ruang kecil yang sudah dipersiapkan sebagai kantornya—sebuah meja sederhana dengan mesin kopi terlihat jelas di sudut kanan.

Elvano berdiri di ambang pintu. “Tugasmu mudah. Buat kopi, dan jangan banyak bicara. Aku akan memberitahumu jika ada yang perlu kau lakukan.”

Raina mengangguk patuh. Maaf tapi..... "Aku tidak pernah membuat kopi sebelumnya.” jawab Raina polos.

Elvano mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata dengan nada dingin, “Pelajari. Itu bagian dari ujian.” perintah Elvano tegas.

Raina hanya mengangguk patuh.

Hari pertama berlalu dengan penuh ketegangan. Raina belajar menggunakan mesin kopi, menghafal menu minuman, dan berusaha memahami perintah-perintah sederhana dari staf kantor. Ia menyadari betapa kecilnya dirinya di antara para pekerja yang berjalan cepat dan sibuk dengan tugasnya masing-masing.

Namun setiap kali ia menatap wajah Elvano dari kejauhan, hatinya berdebar. Ada rahasia yang tersembunyi di balik sikap dingin pria itu. Rahasia yang seolah mengikat mereka berdua dalam tali yang tak terlihat.

Haripun berhalan dengan cepat. Di siang ini, saat waktunya makan, Raina duduk sendiri di sudut ruang pantry. Tangan gemetar saat ia memegang cangkir kopi pertamanya yang berhasil dibuat sendiri. Rasanya pahit, tapi baginya itu adalah kemenangan kecil.

Permisi... suara seseorang memecah keheningan. Lalu lanjut berkata.

“Tuan Elvano akan memeriksa laporan keuangan sore ini,” kata suara lembut di belakangnya.

Raina menoleh dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam.

Perkenalkan “Aku Nadia, sekretaris pribadinya tuan Elvano. Kalau kau butuh apa-apa, jangan ragu untuk bertanya, ya.” ucap Dania tersenyum ramah.

Raina tersenyum tipis. Dan berkata, “Terima kasih, mbak Nadia. Aku... masih harus banyak belajar.”

Nadia tersenyum hangat. “Semua orang memulai dari nol. Termasuk Tuan Elvano.”

Kalimat itu membuat Raina semakin penasaran. Apa sebenarnya yang membuat pria itu begitu tertutup dan dingin?

Satu hari sudah Raina habiskan waktunya di kantor. Ia pergunakan untuk belajar dan belajar. Hari demi hari terus berjalan. Dania selalu bekerja denga giat,,

Di Hari-hari berikutnya. Hidupnya membawa lebih banyak tantangan. Raina mulai menemukan celah dalam kesunyian Elvano. Kadang, saat ia membersihkan ruang kerjanya, ia menemukan catatan-catatan kecil berisi angka dan simbol aneh yang tampak seperti kode rahasia. Ada juga foto-foto lama yang tersembunyi di laci meja, menampilkan sosok wanita muda dengan wajah mirip Raina, tapi dengan mata yang lebih tajam dan penuh tekad.

Semakin dalam Raina menyelidiki, semakin banyak pertanyaan yang menghantuinya.

Suatu malam, ketika hujan kembali mengguyur kota dengan deras, Raina memutuskan untuk mengunjungi ruang kerja Elvano saat kantor sudah sepi. Dengan hati-hati, ia membuka laci meja yang tak terkunci dan melihat sekilas foto-foto itu. Namun Tiba-tiba langkah berat terdengar dari belakangnya.

Ia pun menoleh cepat,

“Elvano…” Raina terkaget melihat sosok Pria tampan berdiri di ambang pintu, menatapnya dingin. wajahnya tampak serius namun juga tidak marah.

Pria dingin itu mendekat dan berkata.

“Kau tidak seharusnya berada di sini,” katanya pelan.

Raina menunduk, jantungnya berdebar lebih kencang. Ma-maaf. “Aku... aku hanya ingin tahu siapa aku. Kenapa aku ada di sini.”

Elvano menutup pintu dengan hati hati. dan melangkah semakin dekat. “Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentang dirimu, Raina.”

“Apa maksudmu?” tanya Raina dengan suara hampir berbisik.

Elvano duduk dan menghela napas panjang. “Kau datang ke hidupku dalam keadaan hancur. Aku tidak tahu siapa yang menyakitimu, tapi aku tahu sesuatu yang penting, kamu bukan gadis biasa. Ada sesuatu dalam dirimu yang harus dilindungi.”

Raina menatapnya penuh harap. “Aku ingin tahu... aku ingin mengingat.”

“Memori itu... kadang terbungkus oleh rasa sakit dan takut. Tapi aku akan membantumu, selama kau mau percaya padaku,” jawab Elvano.

Malam itu menjadi titik balik bagi Raina. Bukan hanya sebagai gadis yang kehilangan masa lalu, tapi juga sebagai seseorang yang mulai membuka diri pada kemungkinan masa depan. Bersama Elvano, meski jalan yang harus ditempuh masih penuh misteri dan bahaya.

Di balik hujan dan dingin yang menggigilkan kota, sebuah cerita baru mulai terjalin,, kisah dua jiwa yang rapuh namun kuat, saling mencari arti di antara bayang-bayang masa lalu yang kelam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gadis Tanpa Ingatan   51.

    Hari-hari menjelang konferensi pers Nadine terasa seperti detik-detik menuju perang. Rumah Elvano menjadi markas kecil yang penuh dengan rahasia, strategi, dan ketegangan yang tak pernah surut. Raina kerap merasa jiwanya terhimpit, namun setiap kali mengingat kata-kata Elvano dan dukungan Lusi, ia mencoba berdiri tegak.Pagi itu, ia duduk di ruang tamu sambil menatap keluar jendela. Langit mendung, awan kelabu menggantung rendah seakan ikut merasakan beban yang tengah dipikulnya. Di pangkuannya, buku catatan lusuh yang selalu ia bawa kini terbuka pada halaman terakhir. Ia menulis pelan, “Jika aku jatuh, aku ingin jatuh dengan nama Amara, bukan bayangan yang lain.”“Sedang menulis lagi?” suara berat Elvano memecah lamunannya.Raina menutup buku itu cepat, seolah menyembunyikan rahasia. “Hanya… mencoba menenangkan hati.”Elvano mendekat, duduk di kursi seberang. Tatapannya tajam, namun ada kelembutan samar yang jarang muncul. “Aku ingin kau bersiap. Besok malam, kita akan menghadap dewa

  • Gadis Tanpa Ingatan   50.

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Raina bangun dengan kepala yang dipenuhi pikiran. Konferensi pers Nadine hanya tinggal hitungan hari. Bayangan itu terus menghantuinya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Di sisi lain, tekadnya untuk merebut kembali jati diri semakin kuat, meski tubuhnya kadang terasa lemah untuk menanggung beban sebesar itu.Ia melangkah ke ruang makan, menemukan Elvano sudah duduk dengan koran terbuka di depannya. Wajah dinginnya seperti biasa, tapi mata tajamnya menatap lurus ke sebuah artikel di halaman depan. Raina mendekat, menunduk untuk membaca.“Keturunan Gunawan Akan Umumkan Pewaris Baru.”Tulisan besar itu membuat jantung Raina seakan terhenti. Di bawahnya, ada foto Nadine dengan gaun putih elegan, senyum penuh percaya diri terpampang jelas.Raina tertegun. “Dia sudah mulai…”Elvano menutup koran itu, lalu menatap Raina dalam. “Ya. Nadine ingin semua orang percaya padanya sebelum kita sempat bertindak.”Lusi masuk tak lama kemudian, w

  • Gadis Tanpa Ingatan   49. Luka Yang Di Sembunyikan

    Keesokan harinya, rumah Elvano terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara gesekan sapu dari para pekerja yang terdengar di koridor panjang. Raina berjalan pelan melewati lorong itu, langkahnya ragu seakan setiap ubin yang ia pijak bisa memantulkan beban hatinya. Malam sebelumnya ia menuliskan tekad di buku kecilnya, tapi pagi ini ia merasakan tubuhnya lemah, jiwanya gamang.Ia berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke taman. Bayangan pohon flamboyan masih melekat kuat di pikirannya. Ukiran kecil “A” di batangnya seakan menyalakan kembali sesuatu yang sudah lama padam dalam dirinya. Tapi bersamaan dengan itu, ketakutan juga menyeruak. Bagaimana jika Nadine benar-benar menghancurkan semua bukti? Bagaimana jika pada akhirnya, kebenaran yang ia genggam tidak cukup kuat untuk mengalahkan kebohongan besar itu?“Raina.”Suara berat itu membuatnya menoleh. Elvano berdiri beberapa langkah di belakang, dengan kemeja hitam yang rapi, wajah dinginnya tampak semakin tajam di bawah cahay

  • Gadis Tanpa Ingatan   48. Saksi Bisu Masalalu

    Malam di rumah besar Wijaya Gunawan seakan membeku. Setelah kepergian Nadine dari taman flamboyan, udara dingin menusuk tulang. Raina duduk di tepi ranjang dengan buku catatan lusuhnya, sementara pikirannya terus berputar—antara rasa takut dan keberanian yang dipaksa lahir.Ia memandangi jendela, seolah bulan yang pucat bisa memberinya jawaban. Setiap kali ia mengingat wajah Nadine yang penuh kemenangan tadi sore, tubuhnya bergidik. Namun ketika menunduk, ia melihat bekas tinta yang baru ditulis: Aku adalah Amara. Kata-kata itu menjadi pengingat bahwa ia tidak lagi bisa bersembunyi.Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. “Raina?” suara Elvano terdengar tenang, namun ada ketegasan di baliknya.“Masuk,” jawabnya.Elvano melangkah masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di meja samping ranjang. “Kau belum tidur. Matamu masih sembab.”Raina mencoba tersenyum, meski terasa pahit. “Aku tidak bisa. Setiap kali memejamkan mata, aku merasa Nadine sudah lebih dulu bergerak.

  • Gadis Tanpa Ingatan   47. kebenaran Yang Terkubur

    Hari itu berjalan dengan aneh bagi Raina. Setelah pertemuannya dengan Elvano di balkon, ia merasa ada beban yang menekan dadanya, seolah waktu terus menghitung mundur. Nadine sudah bergerak lebih dulu, dan setiap jam yang berlalu membuat kebohongan itu semakin dipercaya banyak orang.Di ruang tengah, Lusi duduk bersama beberapa berkas lama milik keluarga Wijaya Gunawan. Di hadapannya, tumpukan map cokelat berdebu yang baru saja diambil dari gudang arsip rumah utama. Raina yang melintas spontan berhenti.“Apa itu, Lusi?” tanyanya, suaranya serak.“Dokumen lama,” jawab Lusi tanpa menoleh. Ia sibuk membuka halaman demi halaman. “Aku mencari sesuatu yang bisa menjadi pembeda. Surat lahir, catatan kesehatan, apapun yang mencatat keaslian Amara kecil dulu.”Raina mendekat, jantungnya berdebar. Tangannya hampir gemetar saat ia ikut membuka satu map. Di dalamnya ada beberapa foto lama: seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, berambut hitam panjang, matanya tajam. Hatinya mencelos—i

  • Gadis Tanpa Ingatan   46. Malam Di Balik Topeng

    Suasana di aula besar keluarga Wijaya Gunawan masih dipenuhi gemuruh bisik-bisik setelah pengumuman Nadine. Para tamu saling menatap dengan ekspresi beragam: terkejut, curiga, ada pula yang tampak terbuai oleh keyakinan perempuan bergaun merah itu.Nadine berdiri tegak, seolah cahaya lampu kristal seluruhnya ditujukan padanya. Senyumnya tidak sekadar manis, tapi penuh perhitungan. “Aku adalah Amara Wijaya Gunawan, putri sah yang selama ini hilang,” ulangnya, kali ini dengan nada yang lebih lantang, seolah ingin mengukuhkan kebenaran pada telinga siapa pun yang hadir.Raina, yang berdiri di samping Elvano, merasa darahnya mendidih. Setiap kata Nadine adalah penghinaan bagi dirinya—bagi masa lalunya. Jemarinya meremas gaun biru pucat yang ia kenakan, berusaha menahan gejolak untuk tidak berteriak di hadapan semua orang.Namun genggaman tangan Elvano di pergelangannya tetap kokoh, menahan. Ia hanya melirik singkat ke arah Raina, seolah berkata tanpa suara: Bukan sekarang.Lusi melangkah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status