Home / Romansa / Gadis Tanpa Ingatan / 2. gadis tanpa masa lalu

Share

2. gadis tanpa masa lalu

Author: Alvarezmom
last update Last Updated: 2025-06-03 21:10:42

Raina duduk di tepi ranjang, tangannya mengepal erat pada ujung selimut. Jantungnya berdegup tak menentu sejak pria itu—Elvano—keluar dari kamar tadi pagi. Ia mengingat mata tajam itu, suara rendah tapi penuh kuasa, dan kalimat dingin yang mengiris:

“Aku bukan penyelamat.”

Rasa hangat yang sempat ia rasakan saat pertama kali melihat wajah lelaki itu di tengah hujan malam langsung lenyap, digantikan udara dingin yang menggantung di udara. Namun meskipun pria itu dingin dan tegas dia tetap menolong nya.

Namun mengapa aku tidak ingat dengan diriku sendiri.

Siapa sebenarnya aku. Raina bermonolog sendiri.

Raina tidak tahu siapa dirinya.

Ia tidak tahu dari mana ia berasal. Bahkan ia Tidak tahu ke mana ia harus pergi.

Yang ia tahu saat ini hanyalah rasa sakit di sekujur tubuhnya, sebuah bisikan rasa takut selalu datang di kepalanya, dan sebuah nama yang tak pernah ia ucapkan,, bahkan kepada dirinya sendiri.

Ia menatap tangannya yang kini bersih, tak lagi dipenuhi darah. Sebuah Perban melingkari pergelangan tangan kanannya. Bekas luka itu masih berdenyut, namun tak sesakit kebingungan di kepalanya.

Tiba tiba

Pintu kamar diketuk dari luar. Iapun membukanya perlahan.

Terlihat Seorang wanita paruh baya masuk. Mengenakan seragam pelayan, menampilkan senyum tipis di wajahnya. “Selamat pagi, Nona. Saya mbok Ira, pengurus rumah ini. Tuan Elvano menyuruh saya mengantar sarapan.”

Raina mengangguk pelan. Lalu berkata “Terima kasih…”

Ira menaruh nampan di meja kecil dekat ranjang. Bubur hangat, segelas air putih, dan beberapa pil obat. “Kalau Nona butuh apa-apa, cukup tekan bel ini, ya.”

Ia menunjuk tombol kecil di dinding.

Raina mengangguk tanda ia mengerti.

Lalu bertanya..

Euumm....

Maaf mbok ira. Aku boleh nanya? Tanya rania ragu.

Mbok ira mengangguk dan tersenyum. Boleh non, mau nanya apa?

Apa....

“Dia… selalu begini?” tanya Raina pelan. Euumm... maksud ku. “Tuan rumah ini?”

Mbok Ira tersenyum simpul. “Tuan Elvano orang baik. Tapi terlalu terbiasa hidup dalam sunyi.”

Raina hanya mengangguk mendengar jawaban dari mbok ira.

Apa ada yang ingin di tanyakan lagi non? Tanya mbok ira.

Tidak mbok. Terimakasih. Ucap rania.

Kalau begitu si mbok keluar dulu ya non. Pamit mbok ira.

Raina pun mengangguk. Setelah mbok Ira keluar, ia menatap bubur di hadapannya. Perutnya lapar, tapi pikirannya lebih ribut daripada cacing-cacing di perutnya.

Siapa sebenarnya aku?

Ia menatap cermin besar di sudut kamar. Ia Menatap wajahnya sendiri—pucat, dengan mata sembab dan rambut acak-acakan. Wajah itu asing. Bahkan dirinya sendiri tidak mengenalinya.

“Raina…” gumamnya. “Nama itu… bukan milikku. Tapi aku juga tak punya nama lain…”

*

*

Di ruang kerja lantai bawah, Elvano duduk di balik meja panjang, laptop terbuka di hadapannya, tapi matanya tak betul-betul membaca laporan keuangan yang terpampang di layar laptop milik nya.

Pikirannya terus melayang kepada gadis yang ia temukan malam itu.

Raina. Gadis aneh yang muncul di tengah hujan seperti potongan adegan dari film murahan. Tapi tidak ada yang murahan dari luka-luka di tubuhnya.

“Aku harus hidup…” Kalimat itu masih bergema dalam pikirannya.

Banyak wanita yang pernah masuk dalam hidup Elvano. Beberapa datang karena uang, sebagian karena nama besarnya. Tapi tak satupun datang karena ketulusan. Dan gadis itu… terlalu rusak untuk berpura-pura. Itu yang mengganggunya.

“Elvano?” Suara ketukan pintu menyusul.

Elvano menoleh. Masuk. Jawabnya singkat.

Pintu pun terbuka.

Ia menoleh. Ternyata yang datang adalah Sekretaris pribadinya, Nadia, masuk dengan map di tangannya.

“Maaf, tadi ada penyelidik yang datang. Mengenai laporan orang hilang minggu lalu. Ada satu laporan yang mencurigakan. Seorang gadis muda, namanya… Amara.”

Elvano mendongak. Dan berkata “Tunjukkan.”

Lalu Nadia menyerahkan selembar salinan laporan. Di sana, tertera foto seorang gadis remaja. Matanya besar, bibirnya tipis. Mirip… tapi tidak sama. Ucap Elvano lirih.

“Elvano?” tanya Nadia pelan. “Apa mungkin… dia?”

Elvano menatap lebih lama, lalu menggeleng. “Rasanya bukan. Tapi selidiki saja. Cari tahu siapa yang melaporkan kehilangan itu.”

“Baik.”

Setelah Nadia pergi, Elvano bersandar di kursinya. Matanya menatap langit-langit. Ada bagian dari dirinya yang ingin tahu siapa sebenarnya gadis itu. Tapi ada bagian lain… yang lebih nyaman jika tetap tidak tahu. Karena semakin tahu, semakin besar risiko terlibat.

Dan Elvano Aditya tidak suka terlibat.

Malampun tiba. Raina turun ke lantai bawah. Langkahnya pelan, ragu, seperti seseorang yang tidak tahu apakah dirinya diterima di tempat itu atau hanya sementara numpang hidup.

Rumah itu terlalu besar. Sepi, Dingin. Seperti museum. Tidak ada tawa, tidak ada suara. Hanya detik jam dan gemuruh halus AC.

Ia menemukan Elvano duduk di ruang baca, menatap api perapian yang menyala kecil.

Rania memberanikan diri untuk mendekat dan bertanya.

“Boleh… aku bicara?” tanya Raina pelan.

Elvano tidak menjawab. Tapi ia menoleh, dan itu cukup sebagai izin.

Raina duduk di sofa seberang. Ia menggigit bibirnya. “Aku… tidak ingin merepotkan.”

“Lalu?” tanya Elvano tanpa nada.

“Aku ingin bekerja. Di sini. Apa saja. Bersih-bersih, masak, atau—” belum sempat rania melanjutkan ucapannya.

Dengan cepat Elvano memotongnya.

“Rumah ini sudah punya orang untuk itu.”

Raina menunduk. “Tapi aku ingin… merasa layak tinggal.”

Elvano menatapnya lama. “Kalau kau merasa harus layak tinggal, itu artinya kau belum merasa aman.”

Raina terdiam. Kata-kata itu menghantam langsung ke jantungnya.

“Aku…” Raina mengambil napas. “Aku benar-benar tidak tahu siapa aku. Tapi aku tahu rasanya takut. Dikejar. Disakiti. Dibuang seperti sampah. Aku tidak ingin kembali ke sana. Ke tempat gelap itu.”

Elvano bersandar ke sandaran kursi. Lalu ia berkata. “Tempat seperti itu… kadang tak pernah pergi. Ia tinggal di dalam kepala kita.”

Raina mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu dalam sejenak.

“Kalau kau tetap ingin merasa berguna,” lanjut Elvano, “ikut aku ke kantor besok.”

“Kantor?”

“Aku butuh seseorang yang bisa membuat kopi dan tidak terlalu banyak bicara.” jelas Elvaro.

Raina mengerutkan alis. “Itu semacam… tawaran pekerjaan?”

Bukan... jawab tegas Elvano.. tapi itu

“Itu semacam ujian.”

Raina pun tak bisa berkata kata, ia hanta menunduk diam.

Pergilah jangan ganggu aku. Perintah Elvano tegas.

Rainapun mengangguk dan pergi menuju kamarnya.

Malam itu, saat kembali ke kamar, Raina menangis dalam diam. Bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya sejak malam mengerikan itu… seseorang memberinya pilihan. Memberinya ruang untuk bertahan.

Meski di luar, hujan turun lagi. Tapi kali ini, tidak semenakutkan malam malam sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gadis Tanpa Ingatan   51.

    Hari-hari menjelang konferensi pers Nadine terasa seperti detik-detik menuju perang. Rumah Elvano menjadi markas kecil yang penuh dengan rahasia, strategi, dan ketegangan yang tak pernah surut. Raina kerap merasa jiwanya terhimpit, namun setiap kali mengingat kata-kata Elvano dan dukungan Lusi, ia mencoba berdiri tegak.Pagi itu, ia duduk di ruang tamu sambil menatap keluar jendela. Langit mendung, awan kelabu menggantung rendah seakan ikut merasakan beban yang tengah dipikulnya. Di pangkuannya, buku catatan lusuh yang selalu ia bawa kini terbuka pada halaman terakhir. Ia menulis pelan, “Jika aku jatuh, aku ingin jatuh dengan nama Amara, bukan bayangan yang lain.”“Sedang menulis lagi?” suara berat Elvano memecah lamunannya.Raina menutup buku itu cepat, seolah menyembunyikan rahasia. “Hanya… mencoba menenangkan hati.”Elvano mendekat, duduk di kursi seberang. Tatapannya tajam, namun ada kelembutan samar yang jarang muncul. “Aku ingin kau bersiap. Besok malam, kita akan menghadap dewa

  • Gadis Tanpa Ingatan   50.

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Raina bangun dengan kepala yang dipenuhi pikiran. Konferensi pers Nadine hanya tinggal hitungan hari. Bayangan itu terus menghantuinya seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Di sisi lain, tekadnya untuk merebut kembali jati diri semakin kuat, meski tubuhnya kadang terasa lemah untuk menanggung beban sebesar itu.Ia melangkah ke ruang makan, menemukan Elvano sudah duduk dengan koran terbuka di depannya. Wajah dinginnya seperti biasa, tapi mata tajamnya menatap lurus ke sebuah artikel di halaman depan. Raina mendekat, menunduk untuk membaca.“Keturunan Gunawan Akan Umumkan Pewaris Baru.”Tulisan besar itu membuat jantung Raina seakan terhenti. Di bawahnya, ada foto Nadine dengan gaun putih elegan, senyum penuh percaya diri terpampang jelas.Raina tertegun. “Dia sudah mulai…”Elvano menutup koran itu, lalu menatap Raina dalam. “Ya. Nadine ingin semua orang percaya padanya sebelum kita sempat bertindak.”Lusi masuk tak lama kemudian, w

  • Gadis Tanpa Ingatan   49. Luka Yang Di Sembunyikan

    Keesokan harinya, rumah Elvano terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara gesekan sapu dari para pekerja yang terdengar di koridor panjang. Raina berjalan pelan melewati lorong itu, langkahnya ragu seakan setiap ubin yang ia pijak bisa memantulkan beban hatinya. Malam sebelumnya ia menuliskan tekad di buku kecilnya, tapi pagi ini ia merasakan tubuhnya lemah, jiwanya gamang.Ia berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke taman. Bayangan pohon flamboyan masih melekat kuat di pikirannya. Ukiran kecil “A” di batangnya seakan menyalakan kembali sesuatu yang sudah lama padam dalam dirinya. Tapi bersamaan dengan itu, ketakutan juga menyeruak. Bagaimana jika Nadine benar-benar menghancurkan semua bukti? Bagaimana jika pada akhirnya, kebenaran yang ia genggam tidak cukup kuat untuk mengalahkan kebohongan besar itu?“Raina.”Suara berat itu membuatnya menoleh. Elvano berdiri beberapa langkah di belakang, dengan kemeja hitam yang rapi, wajah dinginnya tampak semakin tajam di bawah cahay

  • Gadis Tanpa Ingatan   48. Saksi Bisu Masalalu

    Malam di rumah besar Wijaya Gunawan seakan membeku. Setelah kepergian Nadine dari taman flamboyan, udara dingin menusuk tulang. Raina duduk di tepi ranjang dengan buku catatan lusuhnya, sementara pikirannya terus berputar—antara rasa takut dan keberanian yang dipaksa lahir.Ia memandangi jendela, seolah bulan yang pucat bisa memberinya jawaban. Setiap kali ia mengingat wajah Nadine yang penuh kemenangan tadi sore, tubuhnya bergidik. Namun ketika menunduk, ia melihat bekas tinta yang baru ditulis: Aku adalah Amara. Kata-kata itu menjadi pengingat bahwa ia tidak lagi bisa bersembunyi.Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. “Raina?” suara Elvano terdengar tenang, namun ada ketegasan di baliknya.“Masuk,” jawabnya.Elvano melangkah masuk, membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkannya di meja samping ranjang. “Kau belum tidur. Matamu masih sembab.”Raina mencoba tersenyum, meski terasa pahit. “Aku tidak bisa. Setiap kali memejamkan mata, aku merasa Nadine sudah lebih dulu bergerak.

  • Gadis Tanpa Ingatan   47. kebenaran Yang Terkubur

    Hari itu berjalan dengan aneh bagi Raina. Setelah pertemuannya dengan Elvano di balkon, ia merasa ada beban yang menekan dadanya, seolah waktu terus menghitung mundur. Nadine sudah bergerak lebih dulu, dan setiap jam yang berlalu membuat kebohongan itu semakin dipercaya banyak orang.Di ruang tengah, Lusi duduk bersama beberapa berkas lama milik keluarga Wijaya Gunawan. Di hadapannya, tumpukan map cokelat berdebu yang baru saja diambil dari gudang arsip rumah utama. Raina yang melintas spontan berhenti.“Apa itu, Lusi?” tanyanya, suaranya serak.“Dokumen lama,” jawab Lusi tanpa menoleh. Ia sibuk membuka halaman demi halaman. “Aku mencari sesuatu yang bisa menjadi pembeda. Surat lahir, catatan kesehatan, apapun yang mencatat keaslian Amara kecil dulu.”Raina mendekat, jantungnya berdebar. Tangannya hampir gemetar saat ia ikut membuka satu map. Di dalamnya ada beberapa foto lama: seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, berambut hitam panjang, matanya tajam. Hatinya mencelos—i

  • Gadis Tanpa Ingatan   46. Malam Di Balik Topeng

    Suasana di aula besar keluarga Wijaya Gunawan masih dipenuhi gemuruh bisik-bisik setelah pengumuman Nadine. Para tamu saling menatap dengan ekspresi beragam: terkejut, curiga, ada pula yang tampak terbuai oleh keyakinan perempuan bergaun merah itu.Nadine berdiri tegak, seolah cahaya lampu kristal seluruhnya ditujukan padanya. Senyumnya tidak sekadar manis, tapi penuh perhitungan. “Aku adalah Amara Wijaya Gunawan, putri sah yang selama ini hilang,” ulangnya, kali ini dengan nada yang lebih lantang, seolah ingin mengukuhkan kebenaran pada telinga siapa pun yang hadir.Raina, yang berdiri di samping Elvano, merasa darahnya mendidih. Setiap kata Nadine adalah penghinaan bagi dirinya—bagi masa lalunya. Jemarinya meremas gaun biru pucat yang ia kenakan, berusaha menahan gejolak untuk tidak berteriak di hadapan semua orang.Namun genggaman tangan Elvano di pergelangannya tetap kokoh, menahan. Ia hanya melirik singkat ke arah Raina, seolah berkata tanpa suara: Bukan sekarang.Lusi melangkah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status