เข้าสู่ระบบRaina duduk di tepi ranjang, tangannya mengepal erat pada ujung selimut. Jantungnya berdegup tak menentu sejak pria itu—Elvano—keluar dari kamar tadi pagi. Ia mengingat mata tajam itu, suara rendah tapi penuh kuasa, dan kalimat dingin yang mengiris:
“Aku bukan penyelamat.” Rasa hangat yang sempat ia rasakan saat pertama kali melihat wajah lelaki itu di tengah hujan malam langsung lenyap, digantikan udara dingin yang menggantung di udara. Namun meskipun pria itu dingin dan tegas dia tetap menolong nya. Namun mengapa aku tidak ingat dengan diriku sendiri. Siapa sebenarnya aku. Raina bermonolog sendiri. Raina tidak tahu siapa dirinya. Ia tidak tahu dari mana ia berasal. Bahkan ia Tidak tahu ke mana ia harus pergi. Yang ia tahu saat ini hanyalah rasa sakit di sekujur tubuhnya, sebuah bisikan rasa takut selalu datang di kepalanya, dan sebuah nama yang tak pernah ia ucapkan,, bahkan kepada dirinya sendiri. Ia menatap tangannya yang kini bersih, tak lagi dipenuhi darah. Sebuah Perban melingkari pergelangan tangan kanannya. Bekas luka itu masih berdenyut, namun tak sesakit kebingungan di kepalanya. Tiba tiba Pintu kamar diketuk dari luar. Iapun membukanya perlahan. Terlihat Seorang wanita paruh baya masuk. Mengenakan seragam pelayan, menampilkan senyum tipis di wajahnya. “Selamat pagi, Nona. Saya mbok Ira, pengurus rumah ini. Tuan Elvano menyuruh saya mengantar sarapan.” Raina mengangguk pelan. Lalu berkata “Terima kasih…” Ira menaruh nampan di meja kecil dekat ranjang. Bubur hangat, segelas air putih, dan beberapa pil obat. “Kalau Nona butuh apa-apa, cukup tekan bel ini, ya.” Ia menunjuk tombol kecil di dinding. Raina mengangguk tanda ia mengerti. Lalu bertanya.. Euumm.... Maaf mbok ira. Aku boleh nanya? Tanya rania ragu. Mbok ira mengangguk dan tersenyum. Boleh non, mau nanya apa? Apa.... “Dia… selalu begini?” tanya Raina pelan. Euumm... maksud ku. “Tuan rumah ini?” Mbok Ira tersenyum simpul. “Tuan Elvano orang baik. Tapi terlalu terbiasa hidup dalam sunyi.” Raina hanya mengangguk mendengar jawaban dari mbok ira. Apa ada yang ingin di tanyakan lagi non? Tanya mbok ira. Tidak mbok. Terimakasih. Ucap rania. Kalau begitu si mbok keluar dulu ya non. Pamit mbok ira. Raina pun mengangguk. Setelah mbok Ira keluar, ia menatap bubur di hadapannya. Perutnya lapar, tapi pikirannya lebih ribut daripada cacing-cacing di perutnya. Siapa sebenarnya aku? Ia menatap cermin besar di sudut kamar. Ia Menatap wajahnya sendiri—pucat, dengan mata sembab dan rambut acak-acakan. Wajah itu asing. Bahkan dirinya sendiri tidak mengenalinya. “Raina…” gumamnya. “Nama itu… bukan milikku. Tapi aku juga tak punya nama lain…” * * Di ruang kerja lantai bawah, Elvano duduk di balik meja panjang, laptop terbuka di hadapannya, tapi matanya tak betul-betul membaca laporan keuangan yang terpampang di layar laptop milik nya. Pikirannya terus melayang kepada gadis yang ia temukan malam itu. Raina. Gadis aneh yang muncul di tengah hujan seperti potongan adegan dari film murahan. Tapi tidak ada yang murahan dari luka-luka di tubuhnya. “Aku harus hidup…” Kalimat itu masih bergema dalam pikirannya. Banyak wanita yang pernah masuk dalam hidup Elvano. Beberapa datang karena uang, sebagian karena nama besarnya. Tapi tak satupun datang karena ketulusan. Dan gadis itu… terlalu rusak untuk berpura-pura. Itu yang mengganggunya. “Elvano?” Suara ketukan pintu menyusul. Elvano menoleh. Masuk. Jawabnya singkat. Pintu pun terbuka. Ia menoleh. Ternyata yang datang adalah Sekretaris pribadinya, Nadia, masuk dengan map di tangannya. “Maaf, tadi ada penyelidik yang datang. Mengenai laporan orang hilang minggu lalu. Ada satu laporan yang mencurigakan. Seorang gadis muda, namanya… Amara.” Elvano mendongak. Dan berkata “Tunjukkan.” Lalu Nadia menyerahkan selembar salinan laporan. Di sana, tertera foto seorang gadis remaja. Matanya besar, bibirnya tipis. Mirip… tapi tidak sama. Ucap Elvano lirih. “Elvano?” tanya Nadia pelan. “Apa mungkin… dia?” Elvano menatap lebih lama, lalu menggeleng. “Rasanya bukan. Tapi selidiki saja. Cari tahu siapa yang melaporkan kehilangan itu.” “Baik.” Setelah Nadia pergi, Elvano bersandar di kursinya. Matanya menatap langit-langit. Ada bagian dari dirinya yang ingin tahu siapa sebenarnya gadis itu. Tapi ada bagian lain… yang lebih nyaman jika tetap tidak tahu. Karena semakin tahu, semakin besar risiko terlibat. Dan Elvano Aditya tidak suka terlibat. Malampun tiba. Raina turun ke lantai bawah. Langkahnya pelan, ragu, seperti seseorang yang tidak tahu apakah dirinya diterima di tempat itu atau hanya sementara numpang hidup. Rumah itu terlalu besar. Sepi, Dingin. Seperti museum. Tidak ada tawa, tidak ada suara. Hanya detik jam dan gemuruh halus AC. Ia menemukan Elvano duduk di ruang baca, menatap api perapian yang menyala kecil. Rania memberanikan diri untuk mendekat dan bertanya. “Boleh… aku bicara?” tanya Raina pelan. Elvano tidak menjawab. Tapi ia menoleh, dan itu cukup sebagai izin. Raina duduk di sofa seberang. Ia menggigit bibirnya. “Aku… tidak ingin merepotkan.” “Lalu?” tanya Elvano tanpa nada. “Aku ingin bekerja. Di sini. Apa saja. Bersih-bersih, masak, atau—” belum sempat rania melanjutkan ucapannya. Dengan cepat Elvano memotongnya. “Rumah ini sudah punya orang untuk itu.” Raina menunduk. “Tapi aku ingin… merasa layak tinggal.” Elvano menatapnya lama. “Kalau kau merasa harus layak tinggal, itu artinya kau belum merasa aman.” Raina terdiam. Kata-kata itu menghantam langsung ke jantungnya. “Aku…” Raina mengambil napas. “Aku benar-benar tidak tahu siapa aku. Tapi aku tahu rasanya takut. Dikejar. Disakiti. Dibuang seperti sampah. Aku tidak ingin kembali ke sana. Ke tempat gelap itu.” Elvano bersandar ke sandaran kursi. Lalu ia berkata. “Tempat seperti itu… kadang tak pernah pergi. Ia tinggal di dalam kepala kita.” Raina mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu dalam sejenak. “Kalau kau tetap ingin merasa berguna,” lanjut Elvano, “ikut aku ke kantor besok.” “Kantor?” “Aku butuh seseorang yang bisa membuat kopi dan tidak terlalu banyak bicara.” jelas Elvaro. Raina mengerutkan alis. “Itu semacam… tawaran pekerjaan?” Bukan... jawab tegas Elvano.. tapi itu “Itu semacam ujian.” Raina pun tak bisa berkata kata, ia hanta menunduk diam. Pergilah jangan ganggu aku. Perintah Elvano tegas. Rainapun mengangguk dan pergi menuju kamarnya. Malam itu, saat kembali ke kamar, Raina menangis dalam diam. Bukan karena sedih, tapi karena untuk pertama kalinya sejak malam mengerikan itu… seseorang memberinya pilihan. Memberinya ruang untuk bertahan. Meski di luar, hujan turun lagi. Tapi kali ini, tidak semenakutkan malam malam sebelumnya.Pagi datang tanpa benar-benar membawa ketenangan.Cahaya matahari menyelinap malu-malu melalui celah gorden rumah kecil itu, jatuh di lantai kayu yang dingin. Raina sudah terjaga sejak subuh. Ia duduk di tepi sofa, buku harian Raditya terbuka di pangkuannya, tapi matanya tak benar-benar membaca. Pikirannya berlari jauh—ke ibunya, ke ruang rapat dewan, ke ancaman yang kini menggantung seperti pedang di atas kepalanya.Di dapur kecil, aroma kopi hitam tercium. Armand berdiri dengan punggung tegap, seolah kelelahan semalam tak pernah menyentuhnya. Danu sedang menelpon seseorang dengan suara rendah, sementara Elvano berdiri dekat jendela, mengamati jalanan sepi dengan kewaspadaan seorang penjaga.“Tidak ada pergerakan mencurigakan sejauh ini,” ujar Elvano tanpa menoleh. “Tapi itu justru yang membuatku tidak tenang.”Raina menutup buku harian itu perlahan. “Karena mereka menunggu.”Elvano menatapnya. “Karena mereka merencanakan.”Armand meletakkan cangkir kopi di meja dan mendekat. “Kita t
Malam itu seolah menelan seluruh kejadian yang baru saja mereka lalui. Rumah aman itu sunyi, hanya suara detakan jam tua di dinding yang memecah keheningan. Raina berdiri di tengah ruangan, memandangi surat kecil di tangannya, seakan kata-kata ayahnya meresap perlahan dan menenangkan gejolak yang berkecamuk di dadanya. Namun ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Karena mulai malam itu, tidak ada satu detik pun yang bisa dianggap aman. Armand mengaktifkan sistem keamanan rumah. Bunyi mekanisme terkunci terdengar dari setiap sudut: jendela, pintu belakang, ventilasi rahasia. Rumah itu berubah menjadi benteng kecil. Danu menutup tirai jendela, memastikan tidak ada celah. Sedangkan Elvano tidak menjauh dari Raina. Gerak tubuhnya tegas, seperti pelindung yang selalu siaga. “Aku tahu kau ingin pura-pura kuat,” katanya pelan, “tapi jika kau ingin bicara… aku di sini.” Raina menatapnya. “El, jika mereka benar-benar menyentuh Ibu… aku tidak akan pernah memaafkan diriku.” Elvano me
Malam semakin larut ketika mereka akhirnya mematikan layar dan mulai membereskan semua dokumen penting. Namun, tidak satu pun dari mereka benar-benar merasa mengantuk. Kebenaran yang baru terungkap itu seperti racun yang sekaligus menjadi penawar—menyakitkan, tapi membuat mereka terjaga dengan arah yang lebih jelas.Armand menutup flash drive dengan kotak khusus anti-pelacakan. “Perangkat ini tidak boleh lepas dari tanganmu,” katanya, menyerahkannya kepada Raina.Raina menatap benda kecil itu. “Jika Ayah berjuang menyembunyikannya selama bertahun-tahun… aku tidak akan menjatuhkannya dalam satu malam.”Armand mengangguk. “Besok akan berat, Ran. Kau harus siap menghadapi pertanyaan, tekanan, bahkan tatapan sinis dari orang-orang yang telah mencuri hakmu.”Raina menarik napas panjang. “Aku tidak takut. Aku lebih takut hidup dalam ketidaktahuan.”Danu menatapnya, kagum. “Aku mulai mengerti mengapa Raditya menyebutmu ‘cahaya Kirana’.”Raina tersenyum samar—baru pertama kali malam itu ia te
Malam itu udara dingin, namun ada api yang menyala dalam dada Raina. Mereka meninggalkan gedung tua itu dalam senyap, memasuki mobil Armand—SUV hitam yang kokoh dan tanpa plat nomor depan. Jalanan kota terbentang sunyi, lampu-lampu berpendar seperti titik-titik cahaya yang memudar.Raina duduk di samping Armand di kursi penumpang depan, sementara Danu dan Elvano di belakang.“Ke mana kita?” tanya Raina pelan.Armand meliriknya sekilas, kemudian menatap jalan lagi. “Ke kantor lamaku. Tempat yang kurancang sendiri—kedap suara, enkripsi jaringan kuat, tidak bisa disadap. Di sana kita bisa membuka isi flash drive itu.”Elvano mengamati sekitar dari kaca jendela. “Kau yakin tidak ada yang menguntit?”Armand tersenyum singkat, bukan sombong—lebih kepada keyakinan. “Aku sudah bermain dalam permainan ini cukup lama untuk tahu kapan aku dibuntuti.”Mobil bergerak melewati gerbang parkir gedung perkantoran yang tampak tidak beroperasi. Lampu-lampu di lantai atas mati,
Raina menggenggam flash drive itu erat seolah benda kecil itu adalah kunci masa depan—dan memang begitu. Tapi sebelum ada kesempatan untuk membukanya, suara dari luar gedung tua itu terdengar. Bukan suara hembusan angin atau dedaunan—ini seperti derap langkah kaki yang berusaha hati-hati.Danu langsung mengangkat tangan memberi sinyal hening. Elvano memadamkan senter.Ruangan tenggelam dalam gelap.Suara langkah itu berhenti tepat di depan pintu kayu gedung.Raina menahan napas. Satu detik terasa seperti selamanya.Lalu…Suara ketokan pelan.Tiga kali.Berirama.Seolah seseorang memberikan kode.Elvano merunduk di dekat jendela, mengintip celah.Danu bersiap dengan pisau lipat di tangan.Raina hanya menggenggam flash drive dan foto ayahnya—tak bisa memikirkan senjata lain selain tekad.Suara pria terdengar jelas:“Aku tahu kalian di dalam. Jangan bodoh. Aku hanya ingin bicara.”Raina meremas tangannya. Suara itu… tidak asing.Elvano menatapnya pelan. “Ran… kau kenal suara itu?”Raina
Raina berdiri mematung dalam diam yang berat. Matanya menatap flash drive hitam itu seakan benda itu adalah masa lalunya sendiri yang dipadatkan menjadi satu titik dalam kehidupan. Semua yang ia pikir ia pahami… berantakan. Semua yang ia kira sudah mati… mungkin hidup. Semua yang ia anggap musuh… mungkin hanya wayang.Dan entah mengapa, ia merasa udara mulai berubah menjadi lebih dingin.“Elvano,” katanya pelan. “Aku takut… tapi aku juga tidak bisa berhenti.”Elvano menatapnya penuh ketegasan tenang yang selalu menjadi jangkar dalam badai pikirannya.“Kamu tidak sendiri dalam ini, Ran.”Danu menatap jam tangannya. “Kita harus kembali ke rumah dulu dan membuka flash drive ini di komputer yang aman. Tidak di sini. Tempat ini mungkin sudah dipasang sensor… atau pantauan.”“Pantauan?” Raina otomatis mendongak.Danu menatapnya serius. “Aku pernah dengar bisik-bisik soal Paman Gunawan… paman yang satu lagi. Dia punya jaringan keamanan swasta. Kalau dia benar dalangnya… mungkin ada CCTV ters







