Share

Sebatang Kara

Tasya berjalan menuju parkiran kampus, ia menghela napas berat melihat kondisi sepeda motornya yang ringsek. Bagian depan motor itu rusak cukup parah, akibat tabrakan tadi pagi. Jadi mau tidak mau Tasya harus mengantar motornya ke bengkel.

"Kenapa, Sya? Kok lesu gitu?" tanya Dila sahabatnya.

"Motorku rusak! Tadi pagi abis tabrakan, kayaknya harus dibawa ke bengkel dulu nih motor," sahut Tasya lemas memikirkan uang keluar lagi, sementara setiap harinya dia harus berhemat dalam segala sesuatunya.

"Ya udah, ayo aku temanin!" Dila melirik jam di tangannya. "Kita harus buru-buru ke resetoran, kamu tahu sendiri risikonya kalau sampe telat, bisa di omelin habis-habisan kita sama bu Windy."

Tasya mengangguk, mereka langsung pergi meninggalkan area kampus. Setelah mengantarkan motornya ke bengkel, mereka langsung menuju restoran tempat mereka bekerja part time.

Setibanya di restoran Tasya dan Dila langsung di sambut tatapan tajam oleh bu Windy.

"Kalian masih mau kerja atau tidak?" tanya bu Windy ketus saat mereka tiba di dapur.

"Maaf, Bu. Motor saya rusak, jadi kami harus naik angkutan umum, makanya jadi sedikit terlambat," sahut Tasya pelan sambil menundukkan kepala.

"Saya tidak mentolerir alasan apapun, ini peringatan terakhir jika masih mau kerja di sini, sekarang cepat urus pekerjaan kalian!" seru bu Windy sembari mengacungkan jari telunjuknya sebagai ancaman.

"Baik, Bu!" Tasya langsung menarik Dila, mereka pun menuju ruang ganti untuk mengenakan seragam restoran.

"Sombong banget tuh orang, baru juga jadi kepala dapur, kita kan cma telat 5-menit, tapi ngancemnya udak kayak bolos kerja seabad aja" gerutu Dila sewot.

"Udah lah, Dil! Masih sukur kita bisa kerja di sini, kalau dipecat gimana?" Tasya menenangkan emosi sahabatnya itu.

Setelah mengenakan seragam, mereka pun kembali ke dapur, untuk memulai pekerjaan mereka.

***

Hari yang melelahkan.

Tasya menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, di sinilah tempat tinggal Tasya selama 7-tahun ke belakang ini. Di sebuah Rumah kontrakan yang sempit di pinggiran kota, perlahan Tasya terpejam dan mulai beranjak ke alam mimpi.

Tasya terlahir dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya adalah seorang pengusaha terpandang, pemilik sebuah perusahaan Entertaiment yang terbesar di kota ini.

Tapi kehidupan Tasya saat ini jauh dari kata layak. Bermula 12-tahun yang lalu, saat kedua orang tua Tasya mengalami kecelakaan Mobil, dan membuat Tasya kecil menjadi seorang yatim piatu.

Kesedihan Tasya semakin bertambah, karena paman yang seharusnya menjadi pengganti orang tuanya, malah memperlakukan Tasya dengan kejam.

Pamannya merebut semua peninggalan orang tua Tasya, termasuk perusahan keluarganya. Bahkan yang lebih sadis, Tasya harus terusir dari rumahnya sendiri.

Tasya menjalani kehidupan seperti di neraka, pada Lima tahun awal orang tuanya meninggal. Dia tinggal di rumah sendiri, rumah warisan orang tuanya, tapi Tasya diperlakukan seperti menumpang di rumah sendiri.

Tasya terus mendapatkan perlakuan kejam dari paman, bibi, dan juga sepupunya.

Hanya ada seorang asisten rumah tangga yang menyayangi Tasya seperti anaknya sendiri. Tapi hanya sebentar, karena pamannya memecat asisten rumah tangga itu sebulan setelah kematian orang tua Tasya.

Tasya diusir dari rumahnya sendiri saat ia berumur 17-tahun, harusnya saat itu Tasya menjadi pemilik sah dari perusahaan ayahnya. Tapi pamannya berhasil membuat pengacara kepercayaan ayah Tasya berkhianat.

Surat wasiat orang tuanya tidak sampai ke tangan Tasya. Yang membuat Tasya harus merelakan perusahaan peninggalan orang tuanya dikuasai oleh sang paman. Kini Tasya harus bersusah payah untuk bertahan hidup, sementara keluarga pamannya hidup mewah dari hasil jerih payah orang tua Tasya.

Terusir dari rumah menjadi berkah kecil bagi Tasya, karena dia terbebas dari perlakuan kejam dari keluarga pamannya. Meski kehidupan Tasya saat ini sangat pas-pasan, tapi dia tidak pernah menyerah. Tasya percaya apa yang menjadi miliknya, akan kembali suatu saat nanti.

Untuk itulah Tasya berjuang keras, agar dapat mengeyam peandidikan sampai ke perguruan tinggi.Tasya ingin merebut kembali hak-nya, yang dirampas oleh keluarga pamannya.

Saat tamat sekolah menengah, Tasya langsung bekerja, ia menabung sedikit demi uang hasil kerjanya, untuk biaya kuliah.

Pada saat umurnya dua puluh tahun, Tasya berhenti bekerja. Dengan tabungan yang ada, Tasya memulai kuliahnya sambil mencari pekerjaan part time. Kini Tasya sudah smester akhir, dan sebentar lagi ia akan berjuang untuk merebut hak-nya.

***

Pagi harinya Tasya pergi berziarah ke makam orang tuanya, air matanya mengalir sering do'a yang ia panjatkan untuk kedua orang tuanya.

"Ayah, bunda! Tasya rindu, tapi ayah sama bunda jangan khawatir. Tasya baik-baik saja di sini, sebentar lagi Tasya akan tamat kuliah, Tasya akan bekerja. Ayah sama bunda juga bahagia di sana, kan! Tasya janji akan jaga diri baik-baik, Tasya akan buat bangga ayah dan bunda," isak Tasya di atas pusara ayahnya.

Tasya menyirami makam ayah dan bundanya dengan air mawar, ia menghela napas dalam. "Ayah, bunda. Tasya pamit, Tasya janji akan terus ke sini untuk menjenguk ayah sama bunda," ucapnya lirih.

Tasya berjalan keluar dari area pemakaman. Tiba-tiba 2-orang pria berbadan besar, yang mengenakan pakaian serba hitam datang menghampirinya.

Tasya yang takut langsung memutar langkah untuk menjauhi 2-pria tersebut.

"Tenang, Nona! Kami tidak bermaksud berbuat jahat, asalkan Nona mau bekerja sama," ujar salah seorang pria itu menghalangi jalan Tasya.

"Si-siapa kalian? Mau apa?" tanya Tasya terbata.

"Kami adalah orang suruhan tuan Ferdhi. Silahkan Nona ikut kami!"

"Aku tidak mengenal siapa Tuan Ferdhi, dan aku tidak punya urusan dengan Tuan kalian!" seru Tasya ketakutan.

"Nona terlibat tabrakan kemarin, yang mengakibatkan mobil boss kami rusak, kami datang kemari atas suruhan boss, untuk membawa Nona menghadap." Salah seorang dari pria berbadan tegap itu menjelaskan.

Tasya menghela napas berat, ia tidak punya pilihan. Tasya harus menemui pria angkuh itu, apalagi kartu mahasiswa Tasya, kini berada di tangan pria tersebut.

"Bagaimana, Nona! Bisa Nona ikut kami? Kami tidak akan berbuat keras jika Nona mau bekerja sama," desak teman bodyguard tersebut.

"Baiklah, aku akan ikut," sahut Tasya pelan, karena dia memang tidak punya pilihan.

Anak buah Ferdhi menggiring Tasya menuju mobilnya, lalu segera meluncur meninggalkan lokasi pemakaman tersebut, Tasya duduk di kursi belakang seorang diri, sementara 2-bodyguard itu duduk di kursi depan.

Saat di perjalanan Tasya terus memperhatikan jalan, kemana mobil ini akan membawanya. Tasya mulai menyesali keputusannya, kini Tasya sadar betapa bodoh dirinya, yang percaya begitu saja pada pria asing.

Bagaimana jika ia diculik? Lalu kemudian dijual kepada seorang sugar daddy? Berbagai pikiran buruk kini mulai berkecamuk di dalam kepala Tasya yang kecil itu.

'Ah ... bodohnya dirimu Tasya ...." Dia hanya bisa menyesal, merutuki diri sendiri.

Apalagi sepanjang perjalanan, anak buah Ferdhi tidak mengajaknya bicara. Hal ini membuat Tasya semakin merasa takut.

Tasya sudah tak mampu lagi menahan pertanyaan yang menari-nari di kepalanya. "Sebenarnya aku mau dibawa kemana?"

"Tenang, Nona! Seperti yang kami katakan tadi, kami bukan orang jahat," sahut bodyguard itu datar.

Hanya jawaban yang sama, dan itu membuat Tasya menjadi malas untuk bicara lebih lanjut.

Memang percuma saja, karena bodyguard itu tidak menjawab dengan jelas. Tasya pun kembali bungkam sambil mengalihkan pandangannya keluar.

Sesaat kemudian mobil mereka berhenti di parkiran sebuah cafe.

Tasya dipersilahkan untuk turun. Salah seorang bodyguard berjalan di depan, menuntun Tasya menuju ruang VVIP cafe tersebut.

Tasya mencoba mengatur napasnya yang diliputi rasa cemas, dia memantapkan hatinya untuk bertemu pria sombong yang ia tabrak kemarin.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status