Sifabella tidak memiliki keberanian untuk menolak perjodohan ini.
Pasalnya oma Aneu adalah orang pertama yang bisa menghargai bakatnya dalam dunia makeup artis. Karena beliau, nama Sifabella jadi terkenal dan banyak yang menggunakan jasanya. Sifabella khawatir akan melukai perasaan oma Aneu bila menolak dijodohkan dengan cucunya. Padahal Sifabella hanya gadis biasa dari keluarga sederhana yang tingkat perekonomiannya jauh di bawah Maheswara Aarav Marthadijaya. Sifabella tahu siapa kedua orang tua Aarav dan kenal dengan Mommynya Aarav karena beliau selalu hadir membantu di setiap acara oma Aneu. Kalau Sifabella menolak perjodohan ini hanya akan membuat anggapan kalau dia tidak tahu diri. Akhirnya mau tidak mau Sifabella menerima perjodohan tersebut. Sifabella masih ingat bagaimana senyum menyebalkan tersungging di bibir Aarav. Entah apa rencana pria itu dengan pernikahan ini mengingat penuturan oma Aneu kalau sudah dua puluh enam gadis cantik yang ditolak mentah-mentah oleh Aarav. Tapi apapun rencana pria menyebalkan itu, Sifabella harus bisa menghadapinya. Dia akan selalu berhati-hati dan berpikir lebih cerdas dari Aarav yang mungkin akan memanfaatkan pernikahan ini. “Enggak mungkin pria seperti dia mau membangun rumah tangga, dari gayanya aja selengean, pake anting segala terus nyebelin aja lah, pokoknya!” Sifabella misuh-misuh, kesal sendir di lorong apartemen setelah keluar dari lift. Beberapa langkah kemudian dia sampai di depan pintu apartemen, menekan beberapa digit angka lalu membuka benda tersebut. “Oh Astaga!” Sifabella berseru sembari mutar tubuhnya. Matanya ternoda oleh pria bule yang bertelanjang bulat berdiri menghadapnya hanya dalam jarak beberapa meter. “Rossaaaaaaa, laki lo suruh masuk ke kamar buruan!” Sifabella berteriak setengah menjerit. Terdengar suara tawa dan langkah kaki mendekat. “Sorry-Sorry … dia mabok, tenang aja … dia enggak akan inget lo besok pagi,” kata Rosa seraya menarik tangan bule itu ke kamar. “Aaah, kebiasaan bawa-bawa cowok ke apartemen.” Sifabella bersungut-sungut sembari masuk ke dalam kamar. Rosa memang memilih pergaulan bebas sebagai gaya hidupnya, dia juga adalah makeup artis tapi bekerja di stasiun televisi karena katanya pekerjaannya lebih santai dan bisa memiliki link dengan banyak orang terkenal. Dulu juga Sifabella bekerja di sana tapi semenjak menjadi karyawan tetap oma Aneu, dia memilih fokus kerja berssama beliau dan hanya sesekali menerima pekerjaan dari luar seperti makeup Wedding, ulang tahun dan pernah juga seorang istri Jendral Polisi menggunakan jasa Sifabella untuk sebuah acara. Setelah mencuci wajahnya, Sifabella langsung menghempaskan tubuh di atas ranjang. Sifabella bukan orang yang bersedia larut dalam suatu masalah, dia memutuskan untuk tidur karena besok jam tiga pagi sudah harus kembali bekerja. Biarlah urusan perjodohan dengan Aarav dia pikirkan besok lagi. *** Alarm berbunyi nyaring padahal Sifabella baru tidur sekitar dua jam saja, dia bergegas mandi kemudian memeriksa kelengkapan koper berisi alat makeup miliknya. Setelah itu keluar dari dalam kamar menuju pantry untuk mencari air hangat. Suara desah dan jerit penuh kenikmatan dari kamar sebelah sampai menembus indra pendengaran Sifabella. Dia hanya menggelengkan kepala bersama rotasi bola mata setelah menghabiskan satu gelas air hangat dari waterdispenser lalu keluar dari unit apartemen. Apa sih yang dicari Sifabella sampai mati-matian mencari uang seperti ini padahal Rossa saja yang berprofesi sama dengannya bisa menikmati hidup. Sifabella ingin menjadi orang kaya dengan jerih payahnya sendiri untuk membungkam mulut ibu tiri dan dua kakak tiri yang sering merendahkannya. Dia juga ingin merebut perhatian papap Heru yang sudah tidak dia dapatkan semenjak beliau menikahi mama Lisa. Sifabella ingin menunjukkan kalau dia adalah anak yang bisa papap Heru banggakan. Kembali lagi pada Sifabella yang tengah menjemput rezeki, ternyata orang yang menggunakan jasa Sifabella kali ini bersedia memfasilitasi transportasi ke tempat acara jadi dia tinggal duduk di dalam mobil dan menggunakan waktu perjalanan untuk tidur. “Sudah sampai, Bu.” Sang driver paruh baya itu membangunkan Sifabella. Sifabella membuka mata, dia celingukan sembari mengumpulkan kesadarannya dan baru menyadari kalau telah sampai. Seorang petugas hotel membuka pintu mobil, pria itu juga membantu Sifabella membawa koper berisi peralatan dan perlengkapan make up ke kamar si mempelai pengantin. Dengan sangat mengantuk, Sifabella melangkah gontai mengikuti petugas hotel. “Tahan Bel tahan … besok bisa tidur nyenyak sepanjang hari.” Batinnya memberi semangat. Sifabella tidak membawa asisten, dia hanya khusus menangani mempelai pengantin. Si empunya hajat menggunakan jasa MUA lain untuk merias keluarga dan orang tua jadi tugas Sifabella tidak terlalu berat. “Mbak Bella, aku baru bangun.” Si calon mempelai pengantin bernama Naomi itu berujar dengan mata terbuka setengah saat membuka pintu untuk Sifabella. Dia menuntun Sifabella masuk ke dalam kamarnya. “Yang … bangun, Yang … pindah sana ke kamar kamu!” Dengan santai Naomi membangunkan pria yang Sifabella duga adalah calon suaminya. Pria itu turun dari atas ranjang tanpa kaos hanya menggunakan celana pendek saja. Seprei yang berantakan dan aroma sisa-sisa percintaan yang menembus indra penciuman Sifabella membuat benaknya ber-travelling. Pria itu tersenyum penuh arti kepada Sifabella lantas mengedipkan satu matanya. “Palingan cuma enam bulan pernikahan mereka.” Sifabella menerka di dalam hati. “Aku mandi dulu ya, Mbak.” Naomi berujar demikian setelah calon suaminya keluar dari sana. Sifabella membuka koper dan mulai mempersiapkan peralatan makeupnya. Tidak lama Naomi keluar dari dalam kamar mandi menggunakan bathrobe dan langsung duduk di depan meja rias. “Mbak … jangan menor-menor ya, flawless aja … terus alisnya jangan tebel-tebel … lipstiknya juga warna nude aja, mata aku bagus jadi tonjolan di mata … minta tulang pipinya juga ditonjolkan dan wajah aku dibuat tirus.” Sifabella sudah terbiasa dengan permintaan tersebut dan intinya mereka semua menginginkan terlihat lebih cantik dari biasanya. Itu lah gunanya mereka menyewa jasa Sifabella dan dia mahir dalam hal tersebut. Sifabella tidak banyak bicara bila sedang bekerja, dia juga tanpa segan sengaja tidak menjawab pertanyaan ketika harus fokus apalagi bila sedang membuat alis. Ada beberapa klien yang kesal tapi ada juga yang mengerti. Sifabella tidak peduli, dia dibayar untuk melakukan keahliannya membuat cantik wajah seseorang bukan untuk mengobrol. Dan hasil tangan dinginnya selalu memuaskan klien. Naomi sampai terperangah menatap dirinya sendiri di cermin. “Mbak … itu siapa?” Naomi bergumam tidak percaya. Ekspresi juga pertanyaan itu lah yang selalu membuat Sifabella puas dan merasa bangga pada dirinya sendiri. Setelah selesai mendandani calon mempelai pengantin, dia berniat untuk menggunakan waktu akad nikah untuk tidur karena setelah akad nikah, dia harus merapihkan make up Naomi juga membantunya memakai gaun pengantin untuk resepsi. “Mbak Naomi, telepon saya kalau acara akad nikahnya sudah selesai ya.” Sifabella berpesan. “Mbak Bella mau tidur ya?” Naomi menebak. “Iya,” sahut Sifabella sembari tersenyum lebar. “Ya udah, tidur di sini aja … nanti aku telepon kalau butuh sesuatu misalnya bulu mata aku lepas.” Sifabella tertawa. “Enggak akan, Mbak … saya jamin.” Naomi lantas keluar dari kamar dijemput anggota Wedding Organizer sehingga Sifabella bisa mengistirahatkan mata dan tubuhnya yang terasa begitu lelah.Suatu pagi, aroma tumisan bawang putih sempat memenuhi dapur rumah utama keluarga Marthadijaya di kawasan elit kota Sydney.Sifabella sedang memasak melakukan rutinitas paginya setelah mereka liburan.Meski hanya mengenakan kaos putih longgar dan celana linen krem namun ibu satu anak itu tampak cantik dengan rambutnya diikat asal.Aura keibuan nya terpancar saat sibuk di balik meja dapur.Aghastya sudah bangun, dia duduk di kursi tingginya terlihat sibuk bermain mainan dinosaurus sambil sesekali menyuap sereal cokelat dari mangkuk.Aarav juga ada di rumah makan bersama Aghastya tapi di hadapannya laptop terbuka dan secangkir kopi.“Aga, habisin sarapannya, ya, sayang. Nanti kita antar kamu ke sekolah terus Papi kerja,” ujar Sifabella sambil mengaduk sayur.“Iya Miiii.” Aga menjawab malas-malasan.Tiba-tiba—“Ugh!”Sifabella menghentikan gerakannya. Tangannya refleks menutup mulut.Aarav langsung menoleh. “Sayang, kamu kenapa?”Alih-alih menjawab, Sifabella berlari ke kamar
Matahari pagi sudah naik tinggi saat mobil yang dikemudikan Aarav tiba di area Carriageworks Farmers Market, yang terkenal dengan hasil bumi lokal segar, kopi artisan, dan suasana yang hidup setiap Sabtu dan Minggu pagi.Sifabella turun dari mobil, tubuh rampingnya dibalut setelan linen longgar warna sage green dan sandal tali, dengan kacamata hitam besar yang menutupi wajah segar tanpa makeup.Sementara Aarav menurunkan stroller—meski yang naik bukan bayi, melainkan Aghastya yang ngotot ingin naik stoller “seperti bayi bar-barat”.Mereka berjalan beriringan menuju deretan lapak.“Mami, aku mau beli pisang yang bisa jadi senjata!” seru Aga.“Pisang bukan buat dimainin, sayang,” timpal Sifabella sabar.“Tapi bisa jadi pistol bayangan!” balas Aga sambil mengacungkan jari ke udara.Di tengah keramaian, mereka menyusuri lorong-lorong lapak berisi ; buah-buahan lokal seperti persik dan ceri, sayuran organik dengan warna mencolok, roti sourdough yang menggoda, dan aneka bunga segar y
Akhir pekan tiba dengan langit biru bersih tanpa awan. Udara di Rose Bay terasa segar, embusan angin dari lautan membawa aroma asin yang menenangkan. Di rumah mungil mereka yang terletak hanya dua blok dari pantai, suasana pagi lebih lambat dari biasanya.Sifabella berjalan santai ke dapur dengan daster bergambar semangka, rambutnya masih berantakan. Di meja, Aarav tengah menggulung pancake untuk Aghastya, yang sudah duduk manis di kursi tinggi sambil bernyanyi lagu dari kartun favoritnya.“Mami, hari ini kita ke pantai ‘kan? Aga mau cari kerang!” serunya sambil mengangkat dua tangan seperti orang teriak “yeay!”Aarav menoleh, “Kita bukan cuma mau cari kerang. Kita mau piknik! Mami udah siapkan sandwich dan buah-buahan, Papi yang nyetir, Aga yang nyanyi.”“Terus tugas Mami apa?” tanya Sifabella sambil menuang teh ke cangkir.Aarav mendekat, memeluk istrinya dari belakang. “Tugas Mami adalah kelihatan cantik dan bahagia. Bonus kalau nanti malam bisa… skidipapap.”Sifabella menyik
Di pagi yang cerah di The Little Explorers Early Learning Centre, suasana kelas usia tiga tahun sedang sibuk-sibuknya.Meja bulat mungil dipenuhi crayon warna-warni, kertas gambar, dan remah-remah biskuit. Di sudut ruangan, dua anak kecil duduk berdampingan dengan wajah serius—seolah sedang membahas perjanjian internasional yang sangat penting.Mereka adalah Aghastya dan Amira.Aga memakai jumper dinosaurus favoritnya. Amira mengenakan dress bergambar unicorn. Di tangan mereka ada satu kertas gambar besar berisi lukisan aneh: seekor dinosaurus berwarna ungu yang memeluk pelangi dan makan donat.“Itu kamu ya, Aga?” tanya Amira menunjuk dinosaurus ungu.“Iya. Kamu yang pelangi,” jawab Aga mantap.“Kenapa aku pelangi?”“Soalnya kamu cantik, kayak langit kalau abis hujan,” sahut Aga, meniru ucapan papi ke mami malam sebelumnya.Amira terdiam sejenak, lalu tersipu—gaya anak tiga tahun tersipu adalah menunduk sambil menggigit lengan baju sendiri.“Tapi… kamu enggak boleh peluk pela
Pagi itu aroma roti panggang, scrambled egg, dan kopi hitam memenuhi dapur padahal matahari belum sepenuhnya naik di atas Sydney Harbour.Sifabella dengan rambut dikuncir asal dan piyama berbentuk bintang-bintang, tengah menuang susu ke gelas kecil bergambar dinosaurus.Di meja makan, Aarav sudah duduk dengan koran digital di tablet dan secangkir kopi favoritnya, sementara Aghastya duduk di kursi tingginya sambil memukul-mukul sendok ke meja.“Mami, Aga mau dua telur! Tapi yang satu setengah! Yang satu lagi utuh tapi enggak boleh ada kuningnya!” katanya penuh semangat, lalu menepuk-nepuk meja seperti koki sedang demo masak di TV.Sifabella menoleh dengan alis naik satu. “Permisi, kamu pikir ini restoran hotel bintang lima, sayang?”Aghastya mengangkat bahu kecilnya. “Kan Mami chef terbaik se-Sydney,” jawabnya dengan senyum menawan.Aarav tertawa sambil melirik istrinya. “Pinter banget anak ini gombalin maminya.”“Ada turunan dari siapa ya kira-kira?” Sifabella memicing menatap
Langit Sydney cerah dengan semburat merah muda ketika Aarav turun dari mobil hitamnya di depan gedung kaca menjulang di kawasan Barangaroo—pusat distrik finansial baru yang menggantikan dominasi Central Business District tua.Gedung kantor pusat Marthadijaya Group Australia berdiri megah menghadap Darling Harbour. Dindingnya memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan ilusi kolom-kolom cahaya yang bergerak.Seorang security lokal membuka pintu lobby dan menyapa ramah, “Morning, Mr. Marthadijaya.”Aarav membalas dengan anggukan kecil. Meski statusnya CEO, dia menjaga budaya kerja yang egaliter—budaya khas Australia. Tidak banyak formalitas, tapi tetap penuh profesionalisme.Begitu memasuki lift kaca yang bergerak pelan ke lantai 37, ia sempat melihat pantulan dirinya—kemeja putih bersih, coat abu-abu, dan wajah yang terlihat tiga tahun lebih tua sejak sang kakek, Beni Marthadijaya, wafat dan mewariskan perusahaan ini padanya.**Sesampainya di lantai eksekutif, Meira—asisten pr