Share

Rosa tidak mau pulang

"Aargghh, lepaskan!" Rosa  berontak saat pengawalnya memegang lengannya, ia diseret keluar dari dalam lift dan membawanya pergi menuju mobil. Semua orang yang melihat kejadian itu, merasa heran dan juga takut. Apalagi para pengawal keluarga Adhitama begitu menakutkan.

"Apa-apan ini? Lepaskan saya! Kalian jangan macam-macam ya!" Rosa terus saja memberontak, sayangnya kekuatannya kalah jauh dari para pengawalnya. Sekuat apa pun Rosa melawan, ia tidak akan sanggup  menandingi kekuatan para pengawalnya. Rosa dipaksa masuk ke dalam mobil.

"Awas ya kalian semua! Tunggu pembalasanku!" ancam Rosa dari dalam mobil. Tangannya terus menunjuk-nunjuk ke arah pengawalnya.

“Halo adikku tersayang,” sapa Brian dengan senyuman lebarnya menampakkan barisan gigi putih dan rapih.

"Arrghh!" Rosa berteriak kencang, ia kaget ada Brian di dalam mobil. Saking emosinya ia tidak sadar di depannya sudah ada kakak sulungnya. Jantung Rosa hampir mau keluar dari tubuhnya, ia mengusap dadanya agar rasa kagetnya hilang.

"Astaga! Kak Brian? Kenapa Kakak bisa di sini? Jangan bilang kalau Kakak ngelakuin ini semua atas perintah Ayah! Kalian ini benar-benar keterlaluan! Aku sudah pergi sejauh mungkin dari rumah, tapi kenapa Kakak bisa ada di sini?” Rosa marah dengan kedatangan kakak sulungnya. Tanpa menjawab pertanyaan dari adiknya, ia langsung memeluk adiknya dengan erat. Brian sangat merindukan adik ini.

“Kak, apaan sih! Jangan main peluk kaya gini dong! Lepas!” Rosa terus bergerak agar kakaknya melepaskan pelukannya, ia merasa risih jika dipeluk seperti ini. Walau pun Brian terlihat cuek dengan adiknya. Tetapi di lubuk hatinya yang paling dalam ia yang paling menyayangi adiknya dari siapa pun.

"Dih, apa-apaan sih. Lepas enggak! Jangan sampai aku pukul ya," ancam Rosa berusaha melepaskan pelukan dari sang kakak. Brian seakan tuli dengan ucapan adiknya ini, ia tidak peduli jika sewaktu-waktu adiknya memukul dirinya.  Ia benar-banar sangat merindukan adiknya. Rumah terasa sangat hampa tanpa kehadiran adik perempuannya. Karena kakaknya tidak mau melepaskan pelukannya. Rosa terpaksa mencubit pinggang kakaknya.

“Makan nih cubitan maut!” Dengan kuatnya, ia mencubit pinggang kakaknya dengan 2 jari.

"Aaawwwhh!" pekik Brian menahan sakit di area pinggangnya. Saking sakitnya Brian terpaksa melepaskan pelukannya, ia mengusap pinggangnya yang tadi dicubit. Rasa sakit yang ia terima sungguh luar biasa perihnya.

"Astaga, cubitan kamu sakit banget sih? Cuma dipeluk doang aja segala pakai cubit! Aaww!” Ia masih meringis kesakitan.

"Itu baru cubitan ya, kalau Kakak ngelakuin hal kaya gini lagi. Burung berharga Kakak bakal aku injak!" Kaki Rosa  menghentakkan  kaki ke bawah mobil membuat mobil bergoyang.

"Ros, jangan dong. Kalau burung Kakak kamu injek, masa depan Kakak gimana?" Brian merapatkan kakinya, takut dengan ancaman adiknya walau hanya gertakkan. Tapi itu membuat Brian merasa ngilu bukan main.

"Ya makanya jangan macam-macam kalau enggak mau diinjek burungnya."

"Yailah, gitu aja kamu ngambek! Enggak baik loh marah-marah terus, nanti cepat tua loh kaya oma kita.” Rosa melongos dengan tatapan malas.

"Lawakan Kakak enggak lucu!" Rosa mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil, ia malas menatap wajah kakaknya lama-lama di dalam mobi ini.

“Ros, Kakak kangen banget sama kamu.” Rosa menoleh, menatap kakaknya dengan tatapan heran, apa ia tidak salah dengar dengan ucapan Brian?  Padahal saat Rosa masih berada di rumah, Brian jarang sekali berbicara padanya.

"Hah! Kupingku enggak salah dengar nih? Sejak kapan kak Brian jadi kangen sama aku? Dih, aku jadi curiga. Pasti ada udang di balik batu nih.”

“Kakak kangen banget loh sama kamu, Kakak enggak bohong kok.” Brian mengangkat 2 jarinya. Menandakan dia berkata jujur dari lubuk hatinya.

“Masa!” Rosa seakan ragu dengan ungkapan kakak sulungnya.

“Terserah sih kalau enggak percaya, itu kan hak kamu. Hoh, iya kamu tahu enggak?”

"Enggak tahu!"

"Yee, belum juga ngomong udah dijawab aja."

“Kan  memang benar aku enggak tahu, aku kan bukan tuhan yang tahu akan segalanya.”

"Semenjak kamu enggak ada di rumah. Ayah lebih banyak diam loh dibandingkan seperti biasanya," jelas Brian menceritakan keadaan Ayahnya pada Rosa. Memang benar semenjak Rosa pergi dari rumah, suasana rumah menjadi sangat sepi. Entah kenapa seperti ada yang hilang di rumah Aska. Padahal ia pergi dari rumah belum ada seminggu, tapi ayahnya sudah merasakan kehilangan.

"Masa sih? Kok aku kaya kurang percaya ya sama omongan Kak  Brian"

"Terserah sih kalau enggak percaya, tapi memang itu  kenyataannya. Kalau bisa sih kamu pulang ya ke rumah," pinta Brian. Dengan cepat adiknya menggelengkan kepalanya, Rosa menolak secara tegas untuk tidak kembali ke rumah.

"Rosa enggak mau Kak, aku lebih nyaman tinggal di Kota ini sama temanku. Aku juga sudah membuat perjanjian dengan Ayah, aku harus mengumpulkan uang 50 Milyar dalam jangka waktu 5 tahun."

"Kalau gitu Kakak bantu kamu ya, supaya cepat mendapatkan uang sebanyak 50 Milyar, asalkan kamu mau pulang ke rumah. Gimana?"

"Enggak Kak, aku bisa sendiri kok. Uang 50 M bagi aku kecil kok."

"Sombong amat! Mentang-mentang bisa cari duit sendiri, terus main saham. Kalau bukan karena Kakak yang mengajari dari dulu, pasti kamu enggak akan ngerti cara main saham kan?” Rosa hanya mengangkat kedua bahunya, padahal Brian ingin membantu sang adik agar mendapatkan uang 50 Milyar. Brian tahu Rosa mampu mengumpulkan uang 50 M dalam waktu 5 tahun, jangankan 50 M. Lebih dari itu Rosa pun bisa, apalagi kemampuannya dalam menjalankan bisnis.  Sungguh di luar dugaan karena memiliki otak bisnis.

Jika Rosa kembali pulang ke rumahnya, hidupnya akan terasa hampa karena di sisinya sudah tidak ada ibu yang menemani dirinya. Apa lagi ibu tirinya yang sengaja mencari gara-gara terhadap Rosa. Agar Mila bisa menyingkirkan Rosa dari rumah Ayahnya. Bila perlu  Mila akan melakukan pembunuhan berencana agar Rosa bisa lenyap dari muka bumi ini.

"Maaf ya Kak, aku enggak mau pulang ke rumah. Aku enggak akan kembali ke rumah itu lagi. Aku akan tetap tinggal di sini. Aku sudah tidak mau lagi tinggal di rumah itu." Rosa tertunduk, hatinya benar-benar sudah hancur. Brian menghala napasnya ia menundukkan wajahnya ke arah bawah, ia paham betul dengan sifat adiknya yang keras kepala seperti ayahnya. Walau adiknya keras kepala ia tetap menyayangi adiknya.

"Kakak paham kalau kamu enggak mau pulang, tapi kalau kamu butuh bantuan Kakak. Kamu bisa hubungi Kakak kapan pun itu." Brian meraih kedua tangan Rosa, mengelusnya dengan lembut, lalu mencium kedua tangan Rosa hingga lama. Cukup berat bagi Brian jauh dari adiknya, sampai-sampai air matanya jatuh mengenai punggung tangan adiknya.

"Terima kasih Kak." Sekali lagi Brian memeluk sang adik, kali ini Rosa membiarkan kakaknya memeluk sepuasnya sebelum ia kembali pulang ke rumah.

 Brian pun kembali pulang ke rumah, di dalam mobil ia sempat meneteskan air matanya. Rasanya berat sekali jauh dari adiknya, sayangnya ia tidak bisa memaksa adiknya untuk pulang ke rumah.

Setelah sampai di kamar hotel, Rosa langsung memberitahukan pada Dinda. Bahwa dirinya sudah mendapatkan sebuah lowongan kerja di sebuah cafe yang bernama Cafe Birdella. jaraknya lumayan jauh dari hotel ini.

"Hoh, pantas aja kamu lama banget balik ke sininya. Tahunya jaraknya jauh juga ya."

"Iya, makannya aku baru pulang. Habis ini kita makan siang yuk, aku udah lapar banget."

"yuk, aku juga belum makan siang. Sengaja tunggu kamu pulang, biar kita makan siang bareng." Hari sudah semakin siang, sudah waktunya Rosa, dan Dinda untuk makan. Pihak hotel juga sudah menyiapkan makan siangnya untuk pemilik hotel ini. Dengan menyajikan berbagai macam menu makanan mewah di hadapannya. Dinda merasa bersyukur bisa merasakan kehidupan seperti ini.

Melihat temanya bahagia, membuat hati Rosa merasa senang. Ia suka sekali membuat Dinda bahagia. Karena berkat dirinya Rosa tidak merasa kesepian lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status