Keesokan paginya Dinda, dan Rosa tengah bersiap-siap untuk melamar pekerjaan di sebuah cafe yang jaraknya lumayan jauh dari hotelnya. Untuk melamar pekerjaan mereka berdua harus mempunyai penampilan sebagus mungkin.
"Kita sarapannya di sana saja ya? Takut telat nanti."
"Iya, lagiian aku belum lapar kok."
“Oke, kita berangkat sekarang yuk, takut macet di jalan. Soalnya sekarang waktunya orang berangkat kerja,” ucap Rosa, ia tidak ingin terjebak macet, ia sengaja berangkat lebih awal dengan sepeda motornya yang telah ia sewa seharian penuh, agar tidak telat. Ia lebih baik menunggu dari pada harus telat untuk datang ke cafe. Kesempatan seperti ini tidak boleh ia lewatkan sedetik pun.
Satu jam kemudian Rosa telah sampai di tempat tujuan, ia melihat cafenya masih tutup. Tapi sudah banyak orang yang melamar di cafe ini. sebelum jam menujukan pukul 8 ia dan Dinda memutuskan untuk menunggu
“Terima kasih Pak atas pengertiannya, jika ada waktu. Saya akan mengurus semuaya." 25 menit sudah ia menjalani proses interview. Dalam hati ia senang, untuk masalah identitas masih bisa dilewati.“Kalau gitu untuk interview sudah selesai ya, untuk hasilnya nanti saya umumkan lewat email yang sudah kamu kasih ke saya.”“Sekali lagi terima kasih Pak, kalau begitu saya pamit undur diri.” Rosa bangkit dari tempat duduknya, setelahnya ia keluar menuju pintu keluar. Selesai dari sini ia berniat ingin mampir di sebuah tempat makan yang tidak jauh dari cafe untuk makan siang."Ros, gimana interview tadi? Aku sampai gugup loh pas ditanya-tanya sama Pak Abian," ucap Dinda ia baru pertama kali melamar pekerjaan di sebuah cafe."Hmm, baik kok. Mudah-mudahan kita berdua bisa diterima ya kerja di cafe sana. Apalagi pelanggan di cafe tadi cukup ramai pengunjung."&
“Enggak apa-apa, Pak. Saya cuma lagi senang aja lihat Pak Abian bisa tersenyum lagi. Sudah bertahun-tahun saya bekerja dengan anda, semenjak meninggalnya Almarhum Istri anda. Tiba-tiba senyum anda hilang begitu saja bagai ditelan bumi, tapi hari ini. Saya bisa lihat senyum anda kembali." Mendengar tutur kata Elang, membuat wajah Abian merona merah. Ia jadi malu sendiri hanya karena senyumnya. Tapi, yang dikatakan Elang memang benar. Semenjak istrinya meninggal, ia tidak pernah memperlihatkan senyumnya kepada siapa pun. Bahkan keluarganya sekali pun.Beberapa hari kemudian Dinda, dan Rosa mendapatkan panggilan dari tempat ia melamar pekerjaan di sebuah Cafe Birdella. Melalui sebuah email.“Ros, aku dapat pesan email dari Pak Abian. Katanya aku diterima kerja di cafenya,” ucap Dinda kegirangan, begitu juga dengan Rosa yang mendapatkan email, bahwa dia diterima kerja sebagai karyawan cafe Birdella.&
“Maaf, saya tidak punya IG, karena saya tidak terlalu suka bermain di media sosial.” Terlihat wajah wanita itu sedikit kecewa, tapi mereka tidak patah semangat.“Kalau nomor ponsel, pasti punya dong,” pintanya dengan gaya centilnya.“Saya punya.” Rosa pun mengeluarkan satu ponselnya dan memberikan nomor itu kepada pelanggannya, "ini nomor ponsel saya, jika Kakak ingin memesan makanan bisa hubungi saya.” Pelanggan wanita itu beserta teman-temannya langsung menyimpan nomor Rosa di ponselnya masing-masing, mereka semua belum sadar jika Rosa itu seorang perempuan sama seperti mereka.“Kalau butuh sesuatu lagi, kalian bisa panggil saya atau teman saya yang lainnya. Kalau begitu saya permisi ya.”“Iya, Kak.” Rosa segera pergi dari pelanggan wanita itu, bagi Rosa, hal seperti ini sudah biasa. Banyak sekali yang meminta nama Ignya atau nomor p
“Biar pun hanya iseng, tetap tidak boleh. Enggak baik buat kesehatan.” Abian terus saja memberi nasehat kepada Rosa, sebenarnya ia sedikit jengah mendengar nasehat bosnya ini. Malas mendengar nasehat bosnya, ia pun mematikan rokoknya. Sayangnya abu dari rokok itu bertaburan ke mana-mana, alhasil mata Rosa terkena percikan abu rokok panas."Aarghh! Mataku," teriak Rosa menahan sakit karena matanya terkena percikan bara api rokok.“Tuh, 'kan! Apa saya bilang. Rokok itu bahaya!” Karena panik melihat Rosa terkena percikan bara rokok, seketika Abian mengambil air minumnya yang ada di dalam tas lalu menyiramkan air ke arah mata Rosa agar tidak merasa panas."Aduh, panas!" Ia terus saja mengucak matanya."Kamu enggak apa-apa?" Dengan cepat ia mengambil tisu di dalam tasnya dan membantu Rosa untuk membersihkan wajahnya. Yang terkena siraman air.Tangan
"Oke, aku mau bantu Ayah.” Akhirnya ia tidak bisa menolak permintaan dari Ayahnya. Walaupun Rosa sudah menolaknya, ayahnya akan terus memaksa hingga Rosa mau menolongnya. “Kamu serius mau bantu Ayah kali ini? Terima kasih Nak, memang tidak salah Ayah minta bantuan kamu. 2 minggu lagi kamu ke sini ya, di Hotel Aston.” “Iya, nanti aku akan datang.” Ia pun menutup panggilan ponselnya, ia akan meminta izin pada bosnya. Untuk memberikan cuti padanya. Ia langsung berjalan menuju ruang kerja Abian. Kebetulan bosnya ada di dalam. Sebelum masuk ke dalam, ia terlebih dahulu mengetuk pintu, setelah mendapatkan izin dari bosnya, barulah ia masuk ke dalam. "Ada perlu apa kamu ke sini?” tanya Abian. “Saya mau minta izin, saya mau ambil cuti untuk 2 minggu ke depan. Kira-kira untuk tanggal 12-13” “Memangnya kamu ada urusan apa? Berapa lama kamu ambil cuti?”
“Aduh,” eluh Mila tertabrak oleh sang suami.“Maaf, sayang. Aku enggak lihat ada kamu di sini.”“Makannya kalau jalan itu hati-hati, kamu mau ke mana sih? Kok buru-buru banget? Baru juga pulang kerja, bukannya langsung mandi, malah lari-lari.” Mila terus saja berbicara tanpa henti, membuat ia menggarukan kepalanya.“Iya, sayang. Maafin aku ya. Aku mau ke kamar Rosa dulu, kata Brian dia sudah sampai rumah.” Dalam sekejap mata Mila terbelalak, dalam hatinya ia merasa kesal karena suaminya terlalu berlebihan terhadap anaknya.“Sudah ya, aku mau ke kamar Rosa dulu.” Aska bergegas ke kamar anaknya, membuat Mila semakin benci dengan anak tirinya ini. Bagi dia Rosa sangat berbahaya, dan dia bisa menggagalkan rencananya.Saat Aska sudah sampai di kamar anaknya, ia membuka pintu secara perlahan, ia mengintip dari bali
“Abian?” ucap Brian menatap ke arah Abian.“Maaf, anda siapa ya?”“Lo, Aditya Abian, 'kan? Anak sekolah SMA Mutiara Baru, ‘kan?”“Kok bisa tahu nama saya, dan juga tempat saya sekolah dulu. Tolong jawab pertanyaan saya, dari tadi saya nanya enggak dijawab.”“Masa lo lupa sih sama gue?” jari Brian menunjuk ke arah dirinya, “ini gue Brian. Teman SMA lo dulu!” Abian terdiam, ia sedang mengingat-ingat teman sekolahnya dulu. Sekian detik kemudian ia ingat kalau Brian adalah teman satu sekolahnya.“Hah! Gue ingat, elo Brian Adhitama yang suka BAB di celana kan?”“Sialan lo, gue enggak BAB di celana ya. Sembarangan lo kalau ngomong,” kesal Brian, baru juga bertemu teman lama. Sudah dibuat kesal.“Haha! Sory, Bro. Gue juga bercanda, s
Acara besar telah usai, sudah waktunya ia kembali ke rumah. Ia sudah lelah dengan semua tugasnya di sini, rasanya badan ia sedikit remuk. Apalagi sebelum acara dimulai, ia sudah kurang tidur membuat Rosa pusing. Di saat Rosa ingin masuk ke dalam mobil, dari arah jauh Abian memanggil Rosa.“Ros, bisa ikut saya sebentar? Ada yang mau saya bicarakan sama kamu.”“Maaf, saya sudah mau pulang Pak. Saya sudah lelah.”“Tapi ini penting!” Abian terus saja memaksa, bahkan tak segan ia menarik tangan Rosa. Melihat majikannya diperlakukan kasar oleh Abian, sopir dan para pengawalnya langsung menarik tubuh Abian.“Perbuatan anda barusan dapat membahayakan bos kami, lebih baik anda pergi!” usir salah satu pengawal, sayangnya Abian tidak peduli akan hal itu. Ia terus memaksa agar bisa bicara dengan Rosa.“Saya mau bicara! Jangan halangi saya