Share

BAB 4 Jurus Sang Ibu Merebut Hati Calon Menantu

“Masya Allah … terima kasih banyak, ya, Ustadz Boim udah nolongin anak Umi,” lirih wanita paruh baya itu sambil melepaskan pelukan eratnya. Ia lalu menggenggam kedua tangan Boim. “Nanti kapan-kapan mampir ke rumah, Umi mau masak buat Ustaz Boim sebagai tanda terima kasih. Kalau gak ada Ustaz Boim, Umi gak tahu lagi siapa yang bisa dipercaya buat jaga Zana.”

“Ahaha … iya Umi, gak usah repot-repot. Ini emang udah jadi tugas saya buat jaga Zana. Malahan saya mau minta maaf sama Umi, soalnya karena saya lalai, Zana jadi terluka kaya gini.”

Mengibas tangan, Umi Kalsum menggeleng pelan. “Ustaz sama Umi tahu sendiri gimana cerobohnya Zana.”

“Umi!” seru Farzana yang sudah tidak tahan melihat ibunya mempermalukan anaknya sendiri, apalagi di hadapan Boim. “Anak Umi itu sebenarnya siapa? Yang sakit juga di sini, bukan Ustaz Boim,” keluh Farzana berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Ya, Umi udah tahu kamu baik-baik aja, makanya Umi mau berterima kasih sama Ustaz Boim lebih dulu.”

Umi mendekati Farzana dan duduk di sebelah putrinya tersebut. Mata yang sudah mulai sedikit berkeriput itu menatap lamat-lamat tiap inci dari tubuh dan wajah Farzana. Melihat tidak ada luka yang begitu berarti, tangan wanita paruh baya itu terulur mengelus pelan kepala putrinya lembut.

“Kamu kenapa bisa jatuh? Pasti melamun lagi, ya? Sebenarnya kamu akhir-akhir ini lagi mikirin apa? Sering … banget Umi liat ngelamun. Gak baik lho, Zana.”

Nasihat Umi pun dimulai dan Farzana hanya memiliki satu jawaban untuk itu. Mata gadis tersebut dengan cepat beralih menatap Boim, dan Farzana memandanginya sambil memicing. Hatinya masih terasa dongkol. Bayangkan saja ada begitu banyak hal yang berubah hanya karena satu laki-laki yang duduk dengan wajah cemas penuh rasa bersalah di depannya ini.

***

Hari Minggu pun tiba, hari di mana acara kajian yang sudah susah payah semua orang persiapkan dimulai. Farzana memerhatikan dengan saksama satu demi satu bagian dari acara berlalu secara lancar. Tugasnya saat hari H memang tidaklah banyak, luka yang Farzana alami juga hanyalah cedera ringan, tetapi Boim bersikukuh agar Farzana tidak melakukan apa pun dan hanya beristirahat saja.

Meski begitu, Farzana memanglah tipikal gadis yang cukup keras kepala. Ia sempat beradu argumen yang cukup panas dengan Boim sampai akhirnya laki-laki itu menyerah dan membiarkan Farzana tetap turun di hari H acara kajian. Dengan syarat bahwa Farzana cukup datang sebagai pengamat saja.

“Masya Allah,” gumam Farzana secara reflek ketika melihat dari kejauhan, sosok Boim yang tampak begitu gagah, menawan, dan juga piawai dalam menangani acara. Farzana jadi bertanya-tanya ke mana dirinya selama ini hingga baru menyadari bahwa sahabatnya itu benar-benar sangat luar biasa.

“Gak heran kalau banyak yang menginginkan Boim,” gumam Farzana bicara pada dirinya sendiri. “Dan gak heran juga kalau Boim akan memilih pasangan yang paling terbaik …,” tutupnya berujar lirih. Mau tidak mau Farzana membandingkan dirinya yang tentu sangat jauh jika ingin menjangkau orang seperti Boim.

Farzana menunduk dan menghela napas panjang. Pikirannya kembali melayang. “Fatimah emang lebih cocok sama dia.”

“Siapa?”

“Astagfirullah!”” pekik Farzana dengan wajah kaget. Ia reflek menoleh ke belakang, ke arah sumber suara dan menemukan Boim sudah duduk di sana entah sejak kapan.

“Kenapa liat saya kaya liat hantu gitu?”

“Ustaz—maksudnya kamu yang kok bisa tiba-tiba di sini? Muncul kaya setan beneran.”

Boim tertawa mendengar gerutuan temannya. Tawa yang berhasil membuat hati Farzana hampir meledak seketika.

“Umi bilang buat lebih merhatiin kamu, soalnya kamu akhir-akhir ini suka ngelamun kata Umi, dan saya lihat itu emang benar. Daripada ngelamun, coba kamu isi sama istighfar aja, gimana?”

Farzana memicing, merasa tidak terima karena pelaku utama yang membuatnya seperti ini adalah Boim sendiri.

“Tenang aja, meski kaya gini-gini, aku masih ingat sama Alllah, kok.”

“Hm? Apanya yang kaya gini-gini?”

“Apa sih? Coba kamu perhatiin acara aja sana. Aku gak papa sendiri!”

“Udah aman. Acaranya lancar berkat kamu.”

“Kamu yang paling banyak kerja.” Farzana mengalihkan pandangan ke samping. Kepalanya merasa pusing karana diserang oleh aroma maskulin Boim. Gadis itu jadi semakin kesal karena sejak menyadari perasaannya ini, semua tentang Boim berubah jadi asing.

“Kaki kamu gimana? Masih sakit? Tangan kamu yang kegores kemarin … udah diobatin, kan? Kepala kamu gimana? Saya lihat sendiri kebenturnya cukup keras, kalau masih pusing tolong jangan diam aja, Zana. Kasih tahu saya.”

Rasanya wajah Farzana sudah berubah menjadi apel matang yang sangat panas. Semua perhatian Boim sejak kapan jadi begitu memabukkan? Farzana tidak bisa mengerti.

“Kenapa malah diem?”

Farzana tersentak. “Gak apa-apa. Aku baik-baik aja.”

“Beneran, kan? Kamu tahu sendiri kalau Umi nitipin kamu sama saya dan saya juga ketua panitia di acara ini. Saya punya tanggung jawab buat mastiin kamu gak kenapa-kenapa lagi.”

Bagai air tenang yang tiba-tiba saja disambar petir, luruh sudah rasa gembira yang baru beberapa detik Farzana rasakan. Kalimat Boim tadi seolah menerangkan kalau semua perhatian yang laki-laki itu berikan kembali lagi, selalu ada dasarnya. Kali ini karena pesan dari Umi dan juga jabatannya selaku ketua. Bukan karena hal lain. Farzana tidak tahu harus sedih atau kecewa. Perasaannya bercampur aduk.

Kemudian acara berlanjut hingga berakhir cukup baik tanpa adanya kendala. Farzana pulang diantar oleh Boim. Malam itu gadis tersebut tetap berusaha sekuat mungkin mengendalikan hati dan perasaannya yang terus bergejolak ria.

Hari pun berganti, pagi itu Farzana habiskan dengan kegiatan rutin yaitu mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, tidak lupa juga ada Boim di sana. Hal ini memang sudah jadi rutinitas mereka sebanyak dua kali dalam satu minggu.

“Anak-anak, langsung pulang ke rumah dulu, ya! Baru habis itu boleh main keluar!” peringat Farzana pada gerombolan bocah yang berebutan keluar dari masjid sambil bercanda gurau.

“Baik, Bu!” teriak mereka serentak.

“Pasti mereka mau nyuri buah punya Pak Dadang lagi,” tebak Farzana yang memang tepat sasaran.

“Yakin mau pulang jalan kaki?” Boim menyamakan langkahnya dengan Farzana. Beralasan titipan Umi, mengantar dan menjemput Farzana merupakan kewajiban bagi Boim.

“Iya gak papa. Kita jalan aja. Gak jauh juga, kok.”

Farzana memilih jalan kaki karena berpikir itu dapat menambah waktu dia agar bisa bersama dengan Boim sedikit lebih lama jika dibandingkan dengan naik motor. Akan tetapi, ternyata keputusan Farzana itu lagi-lagi salah. Semuanya memang tampak baik-baik saja di awal. Boim dan dirinya seperti biasa mengobrol bersama. Hingga semua itu runtuh ketika Farzana sudah sampai di depan rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status