“Oh, jadi kalau kita mau minta sesuatu sama Allah itu harus jelas banget?” Farzana mengulangi kalimat yang diterangkan oleh Boim barusan.
Laki-laki yang sengaja memperlambat langkah demi kenyamanan Farzana itu mengangguk pelan. “Misal kamu mau minta sesuatu … jelasin ke Allah kondisi lengkapnya seperti apa, jam berapa, tanggal, bulan, dan tahun berapa. Itu semua harus kamu sebutin kalau kamu mau do’a kamu gak meleset ke mana-mana.”“Tapi kan, Allah Maha Mengetahui.”“Zana … Allah memang Maha Mengetahui, tapi gak gitu konsepnya.”“Memangnya gimana?” “Coba deh, kamu minta buah Apel sama Umi … orang yang mengandung, melahirkan, dan ngebesarin kamu. Kamu udah mikir, ‘Ah, ini pasti Umi tahu aku mau buah apa, jadi minta buah ajalah, gak usah disebutin apelnya biar gak ribet’, tapi pada kenyataanya gak gitu, kan? Kamu gak tahu kalau Umi punya ribuan buah, dan setelah memperhitungkan baik dan buruknya, Umi ngasih kamu buah Mangga. Kamu jadi gak terima, padahal itu bukan salah Umi kamu.”Farzana tersenyum kecil. Cara Boim memberitahunya pada banyak hal terasa begitu lembut dan mudah untuk dimengerti.“Gimana? Kamu udah paham, Zana?”Gadis berkulit putih itu mengangguk cepat. “Syukron, Boim. Alhamdulillah aku udah paham.”“Jadi, kamu masih gak mau bilang ke saya hal yang ganggu kamu akhir-akhir ini?”Farzana hanya terkekeh. Mana mungkin dia mengatakan kalau dirinya terganggu karena sudah menganggap Boim sebagai laki-laki, bukan sahabat lagi. Ingin ditaruh di mana muka Farzana? Tidak, bahkan gadis ini memang tidak memiliki keberanian sebesar itu. Kemungkinan untuk Boim tolak seluas lautan.Farzana yakin, jikalau jodohnya memanglah Boim, maka Tuhan akan memberikan jalan untuk dirinya melangkah ke jalur itu. Akan tetapi bagaimana kalau Boim bukan jodohnya? Farzana masih belum siap menerima fakta tersebut.“Ya sudah kalau kamu masih ngerasa keberatan.” Boim menyerah, tetapi wajah laki-laki itu tampak sendu.“Boim sebenarnya—”“Assalamu’alaikum, Ustaz Boim!”Suara yang lembut dan mendayu, sosok wanita kurus semampai yang selalu mengenakan cadar. Bahkan Farzana saja bisa takjub dengan penampakan yang tiba-tiba muncul di hadapannya sekarang. Fatimah bagai bidadari dari surga, tetapi Farzana tidak bisa menyukainya.“Wa’alaikumus salam,” sahut Farzana dan Boim secara bersamaan.“Ustaz Boim, habis dari mana? Ngajar anak-anak mengaji, ya?”Jika sudah tahu, kenapa bertanya? Farzana menggerutu di dalam hatinya. Dada gadis itu mulai memanas seperti oven.“Iya. Fatimah sendiri, habis dari mana?”Tampak garis mata dan alis Fatimah menunjukkan bahwa ia sedang tersenyum. “Dari rumah aja, Ustaz.”“Oh ….” Boim mengangguk.Kini, Farzana heran kenapa Fatimah hanya mengucap salam untuk Boim, bertanya hanya pada Boim, dan tidak mengajak Farzana mengobrol sama sekali. Apa Fatimah mengangap dirinya seperti batu pajangan atau hiasan konyol di dinding?“Ustaz mau ke mana sekarang?”“Pulang, habis antar Zana ke rumah dulu.”Sekilas, Fatimah melirik ke arah Farzana, tetapi perempuan itu tetap mengabaikannya. Mereka bertiga jadi berjalan bersama dan sialnya lagi, ada Nadia dan beberapa orang lain yang malah ikut bergabung bersama mereka. Sekarang, Farzana jadi berjalan di barisan paling belakang, seolah dirinya hanyalah serangga kecil yang tidak dianggap dan patut untuk disingkirkan.“Ustaz, tidak mau bertanya saya mau ke mana?”Apa-apaan itu? Ingin rasanya Farzana berteriak sekarang. Akan tetapi, memangnya dia siapa? Istri Boim juga bukan, Farzana hanyalah seonggok teman. Ia tidak memiliki hak untuk merasa cemburu dan melarang Boim berinteraksi dengan wanita lain terkhususnya Fatimah.“Haha.” Boim tertawa kecil. “Memangnya Fatimah mau ke mana?”Fatimah tidak menjawab dan melirik ke arah Nadia, seolah memberikan isyarat. Jadilah Nadia yang malah menjawab pertanyaan Boim tadi.“Kami tadi udah janji mau ngantar Fatimah, dia mau nginap di rumah tetangga dari pamannya, Ustaz. Saya lupa nama mereka, tapi Fatimah datang buat bantu anak kecil di sana ngerawat orang tuanya yang lagi sakit keras. Baik banget kan, Fatimah?” celetuk Nadia begitu lancar.Boim tersenyum lembut dan mengangguk.“Masya Allah, saya merasa takjub mendengarnya. Fatimah wanita yang baik dan juga sholehah. Pasti orang tuanya bangga punya anak seperti Fatimah.”Semua orang di dalam rombongan itu langsung setuju dan mengelu-elukan kemurnian, kebaikan, dan kesholehan dari seorang Fatimah. Tentu saja semua orang kecuali Farzana. Gadis bertubuh mungil di sana merasa ada yang janggal, tetapi hatinya berusaha untuk tidak memikirkan sisi buruk dari orang lain.Satu demi satu dari rombongan itu ternyata tidak mengantar Fatimah seperti apa yang Nadia katakan. Mereka malah bergantian pamit undur diri hingga akhirnya hanya menyisakan tiga orang, yaitu Boim dan Fatimah yang berjalan bersisian di depan, dan Farzana yang bagaikan obat nyamuk tetap berjalan di posisi belakang.“Oh … jadi seperti itu, ya, Fatimah? Saya baru tahu.”“Haha! Iya, Ustaz. Jadi malu karena ngucapinnya sendiri.”“Aduh, tidak apa-apa. Jangan sungkan sama saya. Kamu udah banyak bantu saya juga.”Lihat? Farzana bahkan benar-benar tidak dianggap. Boim sepertinya lupa kalau tugasnya adalah mengantar Farzana pulang ke rumah dengan selamat. Bukan malah menjadikan Farzana obat nyamuk dari kisah romantisnya dengan wanita alim bercadar itu.“Aku udah sampai rumah, Assalamu’alaikum!” teriak Farzana sambil berlari memasuki pekarangan rumahnya dan langsung menutup pintu tanpa menoleh lagi ke belakang.Di dalam hati kecilnya, Farzana berharap kalau Boim menyusul dan meminta maaf karena sudah mengabaikan dirinya hampir separuh jalan. Akan tetapi saat Farzana mengintip dari balik gorden jendela, kenyataan menimpanya dengan sangat pahit.Boim memang sempat terlihat ingin melangkah ke rumahnya, tetapi Fatimah menahan Boim dan entah apa yang mereka bicarakan sehingga pada akhirnya Boim malah memutuskan untuk pergi begitu saja demi menemani Fatimah.“Apa tadi aku lebih baik nyeret Boim masuk aja, ya?” kesal Farzana mulai menyesali sikap kanak-kanak yang ia lakukan tadi.“Zana …,” panggil Umi yang berhasil membuat putrinya tersentak kaget. “Ngapain kamu lari-lari terus kaya orang dikejar setan gitu?” Sebenarnya Umi tahu apa yang terjadi karena memang sengaja memperhatikan dari awal.“Bukan dikejar setan, Umi,” elak Farzana dengan wajah bersungut seperti sendok.“Terus? Apa?”“Tapi aku yang udah jadi setannya.”Umi mau tidak mau langsung tertawa mendengar ocehan putri tercintanya yang satu ini. “Kamu ada-ada aja. Gimana kalau nanti kamu undang Boim buat makan di sini?”“Hah? Buat apa?”“Loh, kok ditanya buat apa? Sebagai tanda terima kasihlah, Ustadz Boim sudah repot-repot jagain kamu.”“Jagain apanya? Zana bukan anak kecil.”Umi terlihat meringis. “Pokoknya ajak aja Ustadz Boim nanti, oke?”“Iya, Umi.”Meski kesal, Farzana jadi sedikit menantikan hari esok. Namun, gadis itu tidak pernah tahu kalau hari yang ia tunggu-tunggu adalah hari di mana hubungannya dan Boim berakhir."Kamu kenapa Fat?" Fatimah langsung mendongakkan kepala saat ada seseorang bertanya kepadanya. "Ustaz Boim," panggil Fatimah seraya bangkit dari duduknya."Kamu habis menangis?" Boim bertanya tentang hal itu karena mata Fatimah terlihat bengkak seperti habis menangis."Eh, enggak. Mata saya tadi kelilipan saja kok ustaz," aku Fatimah bohong sambil menyeka tetesan air mata yang keluar."Jangan bohong. Saya tahu kamu habis menangis. Coba cerita, mungkin dengan kamu cerita kepada saya bisa mengurangi beban kamu," pinta Boim sembari tangannya merogoh saku gamis putihnya hendak mencari sesuatu.Fatimah tak langsung menjawab dan memilih diam dengan kepala tertunduk melihat ke arah lantai yang dihiasi ubin warna-warni. 'Bagaimana mau cerita kalau sumber kesedihan aku adalah kamu,' Fatimah membatin.Menurut gadis itu sungguh lucu ketika Boim meminta dirinya untuk menceritakan masalah yang tengah dihadapinya. Pria itu gak tahu saja, bahwa dirinyalah sumber kesedihan Fatimah. Maka dari
Setelah menyelesaikan sarapan pagi, baik Farzana dan Umi Kalsum hendak berangkat ke Kajian Boim yang ada di Masjid Padang Mahsyar Kota Batu. Namun sebelum itu Farzana harus menunggu sang ibu selesai berdandan. Jadinya sekarang gadis itu tengah terduduk diam sambil menonton televisi. Beberapa kali ia sempat menghela nafas karena kesal sang ibu sedari tadi tak kunjung keluar. Sudah lebih dari 1 jam ia menunggu. Hampir saja kehilangan kesabaran dan hendak menghampiri kamar sang ibu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Senyum merekah pun menghiasi wajah cantik Farzana. Akhirnya, setelah sekian purnama orang yang ditunggu muncul juga. Menurut Farzana sang ibu terlibat begitu cantik mengenakan gamis warna hitam dan kerudung syar'i warna senada. Sungguh tidak seperti wanita paruh baya dan justru tampak awet muda.Ketika sang ibu datang menghampiri, Farzana bersiul riang menggodanya. Wajah cemberut pun langsung tampak di wajah Umi Kalsum. Sambil memasukkan barang bawaannya ke dalam tas
"Fat, acaranya dimulai jam berapa?" tanya Boim yang kini sedang duduk di ruang panitia menunggu gilirannya mengisi ceramah."Masih 2 jam lagi ustaz," jawab Fatimah sambil melihat jam tangan. "Kalau begitu aku tak keluar sebentar ya," karena sesi dirinya masih lama, Boim berniat pergi keluar."Mau ke mana Ustaz?" tanya Fatimah yang tak rela ditinggalkan Boim sendirian."Jalan-jalan aja sebentar," jawab Boim seraya bangkit dari duduknya."Mau saya temani Ustaz?" tanya Fatimah sembari ikut berdiri juga."Tidak perlu. Kamu disini saja. Nanti kalau panitia cari saya gimana. Tenang saja, saya nggak akan lama. Nanti kalau ada apa-apa kamu bisa telepon saya kan?" kata Boim memberi pengertian. Sebenarnya ia sengaja pergi keluar karena ingin menelepon Farzana. Ia ingin memastikan apakah sang pujaan hati sudah berangkat apa belum? Kalau ia menelepon di depan Fatimah pasti suasana berubah canggung. Apalagi Fatimah punya perasaan kepadanya. Ia takut menyakiti hati gadis itu. "Ta-ta-pi,
Gamis warna hijau muda yang dengan kerudung warna senada terlihat begitu cantik dikenakan oleh Farzana. Pancaran sinar bak seorang putri raja memang pantas disandangkan kepada dirinya. Dengan polesan make up tipis saja ia tampak mempesona. Setiap mata yang memandang pasti tak akan mau memalingkan tatapan matanya barang sedetik. Benar apa kata orang, gadis tomboy kalau sudah dandan memang membuat siapapun pangling. Farzana saja hampir tak mengenal bayangan dirinya ketika bercermin di depan kaca riasnya. Ia merasa sosok yang dilihatnya di depan cermin bukanlah dirinya. Ia seperti melihat bayangan orang lain. Ia sungguh tak percaya bahwa itu memang dirinya. Beberapa kali gadis itu mencubit pipinya untuk mengetahui apakah ini mimpi atau tidak. Dan ternyata semua ini nyata. Ia memang tidak sedang bermimpi.Untuk keluar kamar ia sedikit ragu. Takut jikalau sang ibu sampai pingsan ketika melihat penampilannya. Tahu sendiri kan, Umi Kalsum itu mudah kagetan. Kalau sudah terkejut pasti lang
BoimJangan lupa hari ini datang ke kajian ya sayang.Melihat pesan yang dikirimkan Boim lewat aplikasi WhatsApp membuat Farzana senyum-senyum sendiri. Isinya sih biasa saja. Akan tetapi panggilan kata 'sayang' itu serasa mampu memompa jantungnya agar berdetak lebih kencang. Beruntung Boim tidak ada di hadapannya sekarang ini. Kalau iya, bisa dipastikan Farzana malu semalu-malunya. Mau ditaruh dimana muka ini kalau Boim sampai tahu. Ah, tak dapat dibayangkan. Dan Farzana juga tak mau membayangkan hal itu. Sontak gadis itu menepuk-nepuk pipi untuk mengembalikan kewarasan diri sendiri. Tekadnya sudah bulat dan tak boleh dibantah. Ia harus menghilangkan perasaan cintanya. Apapun akan ia lakukan. Salah satunya dengan mengabaikan pesan Boim. Dan sudah diputuskan, ia juga tak akan menghadiri kajian pria itu.Selesai membaca pesan Boim, Farzana langsung menghapusnya. Kemudian ia melempar ponsel miliknya ke sembarang arah di atas tempat tidur. Selanjutnya ia merebahkan diri dengan tidur terl
Dua insan tengah terdiam sambil memakan makanannya masing-masing. Suasana hening menyelimuti ruang makan dan hanya terdengar denting sendok dan garpu saling beradu. Kedua orang itu mengunci rapat mulutnya dan enggan membuka sepatah kata apapun. Sebenarnya sang pria sesekali mencuri-curi pandang kepada sang wanita yang sedang terduduk di depannya. Dan sudah beberapa kali juga ia berdehem cukup keras guna mencairkan suasana yang penuh kecanggungan. Tetapi apa mau dikata, sang wanita bersikap acuh tak acuh dan sengaja menulikan pendengarannya. Ia tahu sang pria ingin mengajaknya berbicara. Sayang, untuk saat ini ia sedang tak ingin meladeni sang pria. Dia hanya ingin menghabiskan sarapannya dan bergegas pergi dari ruang makan.Setelah piring sang wanita bersih dari sisa-sisa makanan, Ia langsung berdiri kemudian melangkah menuju dapur sambil membawa piring di tangannya. Sang pria juga tak mau ketinggalan. Ia melahap habis makanan di piringnya dengan cepat agar bisa menyusul sang wanit