Share

BAB 3 Kecelakaan Pembawa Berkah

“Serta … semoga Engkau memberikan hamba petunjuk dan tolong kuatkan hamba ya Allah, aamiin,” tutup Farzana dalam salat subuhnya dengan sangat khusyuk. Raut wajah Farzana tampak cukup buruk.

Bagaimana tidak? Malam ini Farzana bermimpi hal yang menurutnya sangat mengerikan. Itu adalah mimpi buruk yang lebih menakutkan daripada mimpi dikejar oleh setan. Tema mimpi Farzana biasanya adalah keluarga bahagia dengan Boim, tetapi khusus malam tadi ia melihat Boim duduk bersanding bersama wanita lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fatimah di atas pelaminan.

Berusaha menepis segala pikiran kalutnya, Farzana langsung bersiap di kala pagi buta. Ia mandi, sarapan, dan membersihkan rumah lalu segera mengganti pakaian dengan celana dan tunik. Hal ini Farzana putuskan karena tadi malam ia mendapat pesan dari divisi humas, kalau mereka kekurangan orang dalam mengantar proposal dan jadilah Farzana yang turun tangan setelah meminta izin dari Boim. Sebenarnya Farzana sedikit tidak menyangka pesannya akan dibalas cepat jika mengingat Boim malam itu harusnya sibuk menyambut tamu bersama Fatimah.

Lalu, siapa sangka bahwa penampilan Farzana yang dianggapnya biasa saja malah menjadi mala petaka?

Keesokan paginya Farzana harus bertemu dengan perwakilan dari divisi humas untuk mengambil proposal kegiatan mereka. Janji temu tepat di depan Majid Al-Ghifari. Begitu Farzana sampai, di sana sudah ada Nadia selaku koordinator divisi humas, Boim selaku ketua panitia, dan anehnya juga ada Fatimah.

“Assalamu’alaikum,” sapa Farzana sambil berusaha tersenyum meski sedikit canggung.

Apalagi ketika mata Boim tampak memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Farzana jadi sangat tidak nyaman.

“Wa’alaikumus salam,” jawab ketiganya hampir bersamaan.

Nadia melangkah maju, menyerahkan lima proposal kepada Farzana sambil tersenyum. “Makasih udah mau bantu kami, ya! Divisi humas benar-benar kekurangan orang!”

Mengambil proposal tersebut, mata Farzana melirik ke arah Fatimah. Padahal wanita itu bisa ikut campur dalam kegiatan sakral seperti menyambut tamu, tetapi kenapa Nadia malah meminta tolong bantuannya daripada Fatimah? Ingin sekali rasanya Farzana melontarkan pertanyaan, tapi ia tahu kalau hal seperti itu hanya akan menimbulkan masalah saja. Jadi, mungkin diam adalah jalan terbaik untuk saat ini.

“Ustaz Boim, gimana malam tadi sama Fatimah?” celetuk Nadia sambil melirik ke arah Farzana. Seolah meminta gadis itu untuk mendengarkan hal yang tidak ingin Farzana ketahui.

Lagi pula didengar dari pertanyaannya saja, Farzana sudah tidak suka. Hal itu seperti merujuk ke arah lain dari pada kegiatan menyambut tamu.

“Alhamdulillah, berjalan dengan baik dan lancar. Saya sekali lagi menyampaikan rasa terima kasih yang sangat besar untuk Fatimah, dan juga Nadia yang sudah memberikan usulan,” ujar Boim ramah.

“Saya benar, kan!” Nadia bertepuk tangan sebanyak satu kali. “Lebih baik membawa Fatimah daripada Farzana. Saya gak bisa bayangin kalau dia yang ikut tadi malam bukannya Fatimah. Kamu juga ngerasa gitu kan, Farzana?”

“Eh?” Mendengar kalimat menusuk yang tidak terduga itu menyerangnya dengan telak, gadis berparas manis tersebut membatu di tempat. Bibir Farzana seolah dijahit karena saking syoknya jadi dia tidak sanggup untuk mengatakan satu kata pun.

Sedangkan Nadia di sebelah sana malah cekikikan tertawa penuh rasa bangga, seakan-akan dirinya baru saja memenangkan Piala Oscar. “Maksud saya ustaz, coba lihat gaya berpakaian Farzana sekarang. Untung tamu tadi udah pergi dan acara kita itu mulainya di malam hari.”

Farzana merasa semua pasang mata langsung tertuju ke arah dirinya dengan tatapan yang menusuk tajam dan sangat dalam. Orang-orang di sekitar mereka pada kenyataannya juga ikut memerhatikan pembicaraan

“Saya gak bisa bayangin deh, apa pendapat para tamu kalau melihat Farzana yang sekarang. Apa mereka gak menilai buruk? Coba lihat Fatimah, pakaiannya sangat syar’i dan gak lepas dari cadar.”

Kalimat Nadia bagai peluru yang berhasil menghancurkan mental Farzana sampai tidak bersisa. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung pergi dengan motornya.

Bagaimana bisa Nadia yang Farzana anggap sebagai teman itu mempermalukan dirinya di hadapan banyak orang? Terutama di depan Boim.

Farzana tidak peduli lagi meski ia mendengar suara Boim memanggil namanya berkali-kali, gadis itu terus memacu gas motor agar segera menjauh dari tempat tersebut secepat yang ia bisa.

“Sekarang jelas udah. Nadia benci sama aku. Dia gak suka sama aku. Akan tetapi kenapa? Salahku apa sama dia?” Farzana mulai menggerutu sepanjang jalan. “Jangan-jangan gosip yang aku denger dari orang-orang itu juga bener? Kalau Nadia juga yang mulai ngejodoh-jodohin Boim sama Fatimah.” Farzana menarik napas. “Kenapa pikiranku ke orang itu lagi?” beonya kesal dengan diri sendiri.

Ada dua hal yang sudah jelas dan tidak bisa Farzana elak sekarang. Pertama, fakta bahwa Nadia bukanlah teman sebaik yang ada di dalam pikirannya selama ini. Lalu yang kedua adalah fakta bahwa perasaannya terhadap Boim bukan lagi sebagai seorang sahabat, tetapi perasaan itu sudah berubah menjadi benih-benih cinta.

Ketika Farzana baru saja menyadari kedua hal tersebut, gadis itu segera dilanda musibah mana kala motor yang ia kendarai disenggol oleh pengendara motor lain dari arah yang berlawanan pula.

“Allahu Akbar!”

Teriakan Farzana bersamaan dengan suara dentuman dari dua benda keras yang saling bertabrakan. Keributan itu berhasil menarik perhatian warga sekitar. Farzana sendiri sudah terkulai lemas di tengah jalan.

“Astagfirullah!”

“Ada tabrakan!”

“FARZANA!”

Seluruh tubuh Farzana terasa sakit, kepala gadis itu berdengung nyaring, pandangannya lambat laun jadi kabur dan ia mulai merasa matanya perlahan semakin mengantuk dan akhirnya yang tersisa hanyalah kegelapan semata. Pada detik yang keberikutnya, Farzana tidak tahu lagi apa yang terjadi, karena ia sudah tidak sadarkan diri.

***

Entah berapa lama waktu yang sudah berlalu bagi Farzana, karena yang jelas saat ia membuka mata, seluruh nyeri langsung menyerang tiap sendi sampai dengan tulang-tulang di seluruh anggota badan.

Gadis bertubuh mungil ini juga langsung disambut dengan tatapan penuh akan kecemasan dari orang yang tidak asing lagi. Tentu saja sosok pertama yang menjadi penolong Farzana tidak lain dan tidak bukan adalah Boim seorang. Ternyata, sahabatnya ini terus mengejar dirinya sejak Nadia melontarkan kalimat tidak enak di depan Masjid Al-Ghifari silam.

“Di mana yang sakit? Kaki? Tangan? Kepala? Di mana? Kasih tahu aja.” Boim menyerang Farzana dengan banyak pertanyaan karena gadis manis itu hanya diam saja menatapnya linglung.

Mata Farzana mengerjap beberapa kali. Ia memegangi kepala, melihat tangan, dan menyentuh kakinya. “Oh, gak patah,” celetuknya yang langsung mendapat jentikan jari di kening oleh Boim.

“Malah bercanda kaya gitu? Gak lucu. Demi Allah, Zana. Kamu bikin saya hampir kena serangan jantung.”

Bukannya merasa bersalah, Farzana malah salah fokus dengan wajah basah Boim. Keringat yang menetes dari kening mengalir ke leher laki-laki itu membuat Farzana hampir tidak bisa mengedikan mata. Hingga lamunan itu berhasil pecah karena ibunya yang baru saja datang.

“Ya Allah, Zana!” tangis sang ibu pecah, dia langsung berlari dengan tangan terbuka.

Namun, Farzana ternyata sudah salah sangka. Gadis itu kira ibunya akan memeluk dirinya sambil menangis tersedu-sedu dan Farzana telah siap untuk mengatai ibunya sudah berlebihan karena ia hanya diserempet saja. Namun, ternyata Umi Kalsum datang untuk memeluk Boim. Pemandangan yang membuat mulut Farzana terbuka lebar.

Bagaimana bisa ibunya mencuri kesempatan di saat seperti ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status