Share

Bab 7 Perjumpaan dengan Fatimah

Gadis itu keluar rumah seorang diri tanpa menghiraukan ajakan temannya. Ia terus melangkah menuju sebuah tempat yang dihuni oleh sang pujaan hati. Hatinya terasa berbunga-bunga karena tak sabar ingin memberikan hasil kreasi masakan spesialnya. Senyum bahagia tak pernah lepas dari wajah cantiknya. Meski tertutup oleh selembar kain, tetapi mata yang bersinar cerah dapat menunjukkan bahwa si gadis itu tengah berbahagia.

Sahabatnya yang berjalan mengekor di belakang sampai geleng-geleng kepala karena heran. ‘Cuma nganter makanan saja kamu udah sesenang ini, apalagi kalau udah lihat wajahnya!’ batin sang sahabat. Dikarenakan keasyikan melamun, sahabat gadis itu tanpa sengaja menubruk dahi sang gadis yang tiba-tiba saja membalikkan badan.

“Aduhhhh!” pekik kedua orang itu.

“Fatimah, sakit tahu!” gerutu sang sahabat karena merasa kesakitan di bagian dahinya.

“Maaf, maaf, maaf. Kamu enggak apa-apa kan, Nad?” tanya Fatimah sambil ikut mengelus dahi Nadia.

“Nggak apa-apa kok. Tapi ya gitu sedikit sakit. Oh ya, ini kita mau ke rumah Ustaz Boim tapi kamu belum kabari dia. Terus kalau dia nggak ada di rumah gimana?” rencananya hari ini Fatimah dan Nadia hendak mengirim makanan ke rumah Boim.

“Pasti ada. Ustaz Boim kalau hari Minggu selalu ada di rumah,” jawab Fatimah.

“Tahu dari mana kamu?” Nadia bertanya-tanya apakah benar yang dibilang oleh Fatimah.

“Tentu saja, aku kan calon istrinya. Apapun tentang calon suamiku aku pasti tahu!” jawab Fatimah dengan penuh rasa percaya diri. Padahal ia belum tahu kalau Boim menyukai Farzana, bukan dirinya.

Fatimah dan Nadia pun melanjutkan langkahnya menuju rumah Boim. Begitu sampai kedua gadis itu langsung masuk ke teras rumah lalu menekan bel sebanyak tiga kali. Tak selang beberapa lama ada seorang anak kecil yang membukakan pintu.

“Kakak kakak ini cari siapa?” tanya si anak kecil.

Fatimah duduk berjongkok mencoba menyejajarkan tingginya dengan tinggi anak kecil itu.

“Eh Salman, Abang kamu ada di rumah?” tanya Fatimah dengan suara lemah lembut.

“Kakak keluar tadi. Sampai sekarang belum pulang,” jawab Salman.

“Kalau kakak boleh tahu, ke mana Abang kamu?” tanya Fatimah lagi.

“Ke rumah Kak Farzana,” pudar sudah semua yang direncanakan Fatimah. Dalam sekejap senyum kebahagiaan hilang dari wajah Fatimah kala mendengar Boim pergi menemui Farzana.

Akhirnya, Fatimah memberikan makanan itu kepada Salman, adik Boim. Kemudian gadis itu beranjak pergi meninggalkan rumah itu diikuti Nadia. Sepanjang jalan Fatimah tertunduk lesu. Semangat yang tadi menggebu-gebu hilang seketika saat tak bisa bertemu sang pujaan hati. Ia bahkan menghela nafas beberapa kali sangking kecewanya.

Sebagai sahabat, tak lupa Nadia menguatkan Fatimah agar tidak bersedih.

“Nggak usah sedih. Kan kamu bisa bertemu Ustaz Boim besok di Masjid Al-Ghifari.”

“Kenapa ya Ustad Boim seperti selalu memperhatikan Farzana?”

“Aku sendiri juga bingung. Kok mau ustaz itu deket sama tuh orang. Padahal ya, ustaz Boim lebih cocok sama kamu.”

“Udah ah, nggak usah gibah tuh anak. Nanti pahala aku berkurang lagi.”

Setiap kali Boim menaruh perhatian lebih kepada Farzana pasti Fatimah cemburu. Sampai-sampai gadis itu membenci Farzana setengah mati. Mungkin di luar ia akan terlihat biasa saja. Namun dalam lubuk hati yang paling dalam ia sungguh tidak menyukai Farzana. Bisa dibilang dia adalah rivalnya dalam memperebutkan hati Boim. Ia tak pernah menganggap Farzana sebagai teman, melainkan musuh yang harus diwaspadai. Katakanlah ia keterlaluan, tapi demi cinta Fatimah akan melakukan apa saja.

Saat Fatimah dan Nadia lagi asyik mengobrol di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba terdengar bunyi ponsel berdering. Dahi Fatimah berkerut, pasalnya ia tidak membawa ponsel sama sekali. ‘Lalu itu bunyi ponsel siapa?’ pikirnya. Dan ternyata bunyi itu berasal dari saku gamis sang sahabat. Nadia yang sedari tadi diam memandangi Fatimah tak menyadari akan hal itu.

“Nad, itu ponsel kamu yang bunyi!” jari telunjuk tangan kanan Fatimah menunjuk saku gamis Nadia.

Nadia menyeringai lebar menyadari kebodohannya yang tidak tahu bahwa ponselnya berdering. Tangan kanannya lalu mengambil ponsel tersebut dari dalam saku lalu secepat kilat langsung menekan tombol panggil.

“Assalamualaikum!” salam Nadia.

“Waalaikumsalam, Nadia cepat pulang ya umi butuh bantuan kamu,” jawab orang itu yang tidak lain dan bukan adalah uminya Nadia.

“Baik Umi. Ini Nadia dalam perjalanan pulang. Ya udah Nadia tutup ya teleponnya. Assalamualaikum!” Nadi menutup panggilan telepon dari uminya.

“Waalaikumsalam!” balas sang umi.

Dikarenakan sang umi menyuruhnya segera pulang, Nadia pun memilih berpisah di pertigaan. Ia akan mengambil jalan tikus supaya lebih cepat sampai di rumah. Dengan demikian Fatimah pulang ke rumahnya seorang diri. Sebenarnya ia tak mau Nadia pulang, ingin sekali ia menghabiskan waktu lebih lama dengan sahabatnya itu. Tetapi ya sudahlah, kalau Uminya Nadia sudah menyuruh sang anak pulang Fatimah tak bisa berbuat apa-apa. Nadia ini termasuk anak yang penurut dan selalu patuh terhadap perintah kedua orang tuanya. Lain hal dengan dirinya. Meski warga sekitar mengenalnya sebagai perempuan Sholehah, tapi tidak ada yang tahu bahwa Fatimah suka sekali membantah kedua orang tuanya.

“Yah, pulang sendiri deh!” gerutu Fatimah kesal sambil kakinya menendang-nendang kerikil di jalanan.

Kini gadis itu berjalan seorang diri menyusuri jalanan kompleks yang sepi. Ketika hendak belok ke kanan, langkahnya terhenti karena mendengar suara yang sangat familiar. Gadis itu pun tak jadi berbelok dan memilih jalan lurus menuju sumber suara. Tidak, gadis itu tidak berjalan. Tetapi berlari secepat mungkin hingga tak memedulikan kakinya tersandung beberapa kali karena menginjak rok gamis panjangnya. Senyum kebahagiaan kembali terpancar di bibir ranumnya. Dengan nafas terengah-engah akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Bagaikan mendapatkan durian runtuh, Allah benar-benar mengabulkan keinginannya. ‘Terima kasih ya Allah. Akhirnya aku bisa bertemu dengan dia,’ Fatimah membatin.

Sebelum menemui orang itu, sejenak Fatimah berhenti untuk mengatur nafasnya terlebih dahulu. Lalu membasuh keringat yang bercucuran di pelipisnya. Dirasa sudah cukup tenang, ia pun memberanikan diri mendekati orang itu. Dengan mata yang sedikit menyipit Fatimah mengucapkan, “Assalamualaikum Ustaz Boim!”

“Waalaikumsalam, kamu...?” Boim membalas salam Fatimah dengan menampilkan senyum terbaiknya.

“Tadi saya ke rumah ustaz mengantar makanan. Kata Salman ustaz keluar, jadi makanannya saya titipkan ke adik ustaz,” kata Fatimah sambil menundukkan pandangan.

“Oh, terima kasih ya kamu udah repot-repot mengirimi saya makan...?” mendadak kalimat Boim harus terhenti karena suara batuk Pak Mukhlis.

“Guk guk guk. Eh, nak Boim saya tinggal ya. Saya tidak mau jadi obat nyamuk diantara sepasang anak muda,” ujar Pak Mukhlis sedikit menggoda Boim

Sontak kalimat yang diutarakan Pak Mukhlis tadi membuat pipi Fatimah bersemu merah. Untung wajahnya tertutup cadar, jadi tidak akan ada yang menyadari hal itu.

Setelah Pak Mukhlis meninggalkan pos satpam, tinggallah Boim dan Fatimah hanya berdua saja. Suasana mendadak berubah canggung. Boim sampai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal karena tak tahu lagi harus berbicara apa. Fatimah pun juga sama. Gadis itu hanya berdiri bak patung dengan kepala tertunduk. Tetapi itu tak bertahan lama saat Boim kembali tersadar dengan tujuannya yang keluar rumah tadi.

“Maaf, aku duluan ya!” ujar Boim yang langsung bangkit dari duduknya.

“Tunggu ustaz, Ustaz mau ke mana?” sebenarnya Fatimah sudah tahu bahwa Boim pergi mau mencari Farzana. Pertanyaan tadi hanya sekedar basa-basi saja.

“Aku mau mencari Farzana. Ya sudah sampai jumpa. Assalamualaikum!” Baru kaki kanan terangkat suara Fatimah menghentikan langkah Boim.

“Boleh saya ikut ustaz?” Fatimah meminta izin Boim.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status