Share

Bab 8 Kesenangan Farzana

Baru pulang dari tempat bekerja Farzana langsung merebahkan diri ke tempat tidur. Hari ini sungguh melelahkan, banyak sekali pekerjaan yang harus ia lakukan. Selain ikut mengajar anak-anak mengaji di Masjid Al-Ghifari, gadis itu juga sibuk mengurus minimarket milik teman kuliahnya dulu. Ya hitung-hitung buat penghasilan tambahan. Badannya sangat letih karena seharian berdiri di meja kasir. Cukup banyak pembeli yang harus ia layani. Bukannya mengeluh, justru Farzana bersyukur karena Allah masih memberikan rezeki halal kepadanya.

Sewaktu mata ingin terlelap, tiba-tiba terdengar dering telepon. Tangan kanan Farzana meraba-raba tempat tidur mencari ponsel yang tadi ia lemparkan asal. Begitu dapat ia langsung membuka kunci layar dengan sekali usap. Tak disangka, ada sekitar 10 panggilan telepon masuk. Semua panggilan itu berasal dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan Boim. Farzana sangat malas untuk mengangkat telepon itu. Gadis itu memang sengaja ingin menghindar dari Boim. Alasannya? Ia sendiri tidak tahu. Apakah karena marah atau cemburu? Entahlah, Farzana tidak terlalu mengerti dengan perasaannya saat ini.

Namun saat pulang dari Masjid Al-Ghifari kemarin ia benar-benar dibuat kesal oleh Boim. Sepanjang perjalanan pulang pria itu lebih banyak mengobrol dengan Fatimah. Sementara dirinya tidak dianggap sama sekali. Hanya menjadi obat nyamuk diantara dua orang yang sedang bercengkerama ria. Apakah ini bisa diartikan sebagai perasaan cemburu? Sungguh gadis itu tidak tahu. Akan tetapi tatapan mesra Boim dan tutur kata lemah lembutnya kepada Fatimah waktu itu membuat Farzana iri. Pasalnya, selama menjadi sahabat Boim ia tak pernah sekalipun mendapatkan perlakuan manis semacam itu. Antara dia dan Boim lebih sering bertengkar dan adu mulut. Apalagi pria itu juga suka sekali menjahili dirinya. Melihat perlakuan Boim selama ini tidak mungkin jika pria itu juga memiliki perasaan yang sama kepadanya.

Farzana takut kecewa. Ia tak mau kehilangan sahabatnya itu. Ia pun memilih melupakan perasaan itu dan menganggapnya tidak pernah ada. Dan salah satu cara untuk menghilangkannya adalah dengan menghindari Boim sementara waktu. Ia pun hanya menatap layar handphone sambil rebahan tanpa ada niat untuk menjawab. Setelah panggilan itu berhenti, langsung saja ia matikan handphone lalu menaruhnya di atas nakas. Farzana sedang tak ingin memikirkan apapun. Ia hanya ingin istirahat untuk menenangkan pikiran dan juga hatinya.

***

Keesokan paginya Farzana sudah rapi dengan setelan celana training dan kaos hitam berlengan panjang. Untuk hijabnya ia mengenakan model ciput ninja. Jadi bagian dadanya tidak tertutup. Dikarenakan hari ini Minggu, Farzana hendak menghabiskan waktunya dengan joging bersama teman-temannya. Saat sibuk merapikan hijab di depan cermin rias, gadis itu tiba-tiba terkejut karena melihat sang ibu tengah duduk bersandar di atas tempat tidurnya.

"Astagfirullah Umi. Ngagetin Zana aja!" Farzana membalikkan badan lalu berjalan menghampiri sang ibu.

"Ini telepon nak Boim kenapa enggak kamu jawab?" tanya Umi Kalsum sambil tangan kanannya menyodorkan handphone milik Farzana.

"Lagi males aja!" Farzana mengambil ponsel dan menatapnya sekilas.

"Kalau ada masalah diselesaikan. Jangan dihindari Zana," nasihat Umi Kalsum.

"Iya Umi," balas Farzana.

"Ya udah Umi tinggal dulu ya ke dapur. Jangan lupa telepon balik tuh nak Boim!" sambil berjalan ke arah pintu keluar Umi Kalsum mengingatkan Farzana.

"Iya umiku sayang!" jawab Farzana mencoba meyakinkan.

Tekadnya untuk menghindari Boim pupus sudah. Tidak mungkin Farzana berani membantah perintah sang ibu. Jika tidak dilaksanakan ia takut dicap sebagai anak durhaka. Baiklah, mau tak mau ia akan menelepon Boim. Menghela nafas sejenak untuk menormalkan detak jantungnya yang entah mengapa tiba-tiba menggila.

Gugup, Farzana sangat gugup. Padahal hanya menelepon Boim. Dulu sih dia biasa saja. Tetapi semenjak perasaan cinta mulai bersemi di hatinya ia jadi merasa sedikit canggung. "Bismilah!" ucapnya menyemangati diri sendiri.

Gadis itu pun memberanikan diri membuka aplikasi buku kontak. Jari telunjuknya menggulung layar ke atas mencari nomor kontak Boim. Tak perlu waktu lama gadis itu berhasil menemukannya. Langsung saja ia tekan tombol panggil. Farzana cukup lama menunggu panggilan itu tersambung. Ia mulai merasa kesal karena Boim tak kunjung menjawab.

"Sudahlah, lebih baik aku tutup saja!"gerutu Farzana.

Saat jari telunjuknya hendak menekan tombol merah, tiba-tiba terdengar suara serak seseorang dari seberang telepon sana.

"Assalamualaikum Zana!” salam Boim kepada Farzana.

“Kenapa kamu semalam meneleponku?” Farzana bertanya tentang alasan Boim meneleponnya beberapa kali.

“Aku mau minta maaf soal kemarin. Maaf kalau aku sudah mengabaikanmu. Kamu mau kan memaafkan aku Zana?” jadi Boim menelepon itu karena ingin minta maaf. Farzana jadi terenyuh dibuatnya. Wajah gadis itu langsung dipenuhi semburat merah di kedua pipinya. Jantungnya juga ikut berdetak sangat cepat. Bolehkah ia merasa senang? Lamunan yang sesaat itu tiba-tiba harus buyar karena suara Boim.

“Zana, kamu mau kan memaafkan aku?” tanya Boim meminta kejelasan.

“E e e e, a-a-a ku,-?” Farzana ragu untuk mengutarakan jawabannya. Belum sempat melanjutkan kalimatnya terdengar Umi Kalsum memanggil namanya dari arah dapur.

"Zanaaaa!!!!" panggil Umi Kalsum.

“Maaf, kita bicara lain kali saja ya. Umi sudah memanggilku. Assalamualaikum!” Farzana akhirnya menutup teleponnya.

Farzana melempar asal ponselnya di atas tempat tidur dan bergegas keluar kamar untuk menghampiri Umi Kalsum di dapur

"Ada apa Umi memanggilku?"

"Kamu hari ini mau keluar ya?"

"Iya Umi!"

"Ka

“Ke mana?"

"Joging sama temen-temen."

"Pulangnya jangan lupa mampir ke rumah Pak Slamet ya. Tadi dia tawari Umi buah jambu dan katanya pohonnya sedang berbuah lebat.

"Oke umi!"

Dahi Umi Kalsum berkerut heran kenapa putrinya masih berdiri di sampingnya dengan tangan kanan menengadah.

"Kenapa belum pergi, mau minta uang saku?"

"Ihhh enggak, aku mau salim umiku, Sayang!"

"Oh, ngomong dong. Kirain kamu mau minta uang jajan."

Umi Kalsum langsung menyodorkan tangan kanannya ke arah Farzana. Gadis itu pun menggenggam tangan sang ibu lalu menciumnya penuh kasih sayang.

"Emang kalau aku minta boleh, Mi?"

"Enggak sih."

"Ihhh, umi pelit. Udah ah aku pamit. Assalamualaikum!"

“Waalaikumsalam!”

Umi Kalsum senyum-senyum sendiri melihat kepergian putrinya yang kesal karena kejahilannya.

Ketika Farzana sudah keluar rumah, dari kejauhan ia terkejut melihat keberadaan Boim. Dengan langkah sedikit berlari gadis sudah pergi meninggalkan rumahnya. Jangan sampai ia bertemu Boim. Tidak, Farzana belum siap harus berhadapan dengan pria itu. Terlebih tidak baik untuk kesehatan jantungnya saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status