Share

Bab 6 Pencarian Sang Sahabat

Langit cerah menyinari setiap insan yang tengah terlelap dalam dunia mimpi. Secercah cahaya sang mentari menembus ke setiap celah sudut-sudut ruangan di rumah minimalis berlantai dua. Tepat di sebuah kamar bernuansa abu-abu terlihat seorang pangeran tidur telungkup tertutup selimut tebal. Kepalanya miring ke kanan sementara tangan kiri menjuntai ke bawah dan tangan kanan terlentang di atas tempat tidur. Menurut orang malas itu posisi tidur paling enak.

Sayang, tidur nyenyak sang pangeran tak bertahan lama. Dibalik pintu bercat putih terdengar suara teriakan seorang perempuan diiringi gedoran pintu sangat keras. Sudah 3 kali suara itu berteriak meminta dibukakan pintu. Namun sang pangeran tak menghiraukannya sama sekali. Dia masih tetap nyaman dalam posisi tidur. Entah telinganya tersumbat apa? Seolah suara keras itu tak terdengar olehnya.

Akan tetapi saat suara ponsel berdering, sang pangeran langsung terbangun dari tidurnya. Matanya yang tertutup mendadak terbuka lebar dan secepat kilat tangan kiri meraih ponsel tersebut di atas nakas samping tempat tidur. Ia pun mengubah posisinya menjadi duduk sembari tangan kanan mengotak-atik layar ponsel. Begitu tahu siapa yang menelepon, senyum cerah menghiasi wajah tampannya. Tanpa berlama-lama ia menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan.

“Assalamualaikum Zana!” salam Boim kepada Farzana.

“Kenapa kamu semalam meneleponku?” kemarin malam Boim berkali-kali menelepon Farzana untuk memastikan apakah gadis itu masih marah kepadanya atau tidak. Mengingat kemarin sewaktu pulang dari Masjid Al-Ghifari ia sibuk berbincang dengan Fatimah sehingga Farzana pun terabaikan. Boim merasa bersalah dan ingin meminta maaf. Itulah alasan mengapa kemarin pria itu terus menelepon Farzana. Kurang lebih ada 10 panggilan yang pria itu lakukan. Dikarenakan mata sudah lelah melihat layar ponsel, akhirnya Boim terbawa dalam dunia mimpi dan membiarkan ponselnya tergeletak di atas nakas.

“Aku mau minta maaf soal kemarin. Maaf kalau aku sudah mengabaikanmu. Kamu mau kan memaafkan aku Zana?” Boim berharap Farzana mau memaafkannya.

Hening beberapa saat. Farzana terdiam di seberang telepon sana. Ia tidak tahu apakah harus memberi maaf atau tidak. Kedekatan Boim dan Fatimah entah mengapa membuat hatinya sakit. Padahal antara dia dan Boim hanya sebatas sahabat. Apakah rasa itu mulai tumbuh? Entahlah, Farzana tidak terlalu mengerti tentang perasaannya sekarang. Namun yang jelas kecemburuan telah menggerogoti hatinya.

“Zana, kamu mau kan memaafkan aku?” tanya Boim meminta kejelasan.

“E e e e, a-a-a ku,-?” Farzana ragu untuk mengutarakan jawabannya. Belum sempat melanjutkan kalimatnya terdengar Umi Kalsum memanggil nama si gadis dari seberang telepon sana. Hal itu pun juga di dengar oleh Boim.

“Maaf, kita bicara lain kali saja ya. Umi sudah memanggilku. Assalamualaikum!” Farzana akhirnya menutup teleponnya.

Setelah telepon itu ditutup Boim menghela nafas. ‘Benar-benar susah mendapatkan maaf darimu!’ Boim membatin. Pria itu menaruh kembali ponselnya di atas nakas. Kemudian mengambil handuk dari dalam lemari selanjutnya berlalu pergi ke kamar mandi. Tak perlu waktu lama, dalam waktu 7 menit saja pria itu sudah keluar dengan kondisi yang jauh lebih segar. Handuk yang tadi ia bawa menutup rapat bagian auratnya dari pinggang sampai lutut kaki. Sejenak melakukan peregangan untuk melemaskan otot-otot yang kaku. Lalu ia berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaiannya.

Ketika hendak membuka lemari, bayangan Boim terpantul jelas di depan cermin yang terpasang tepat di lemarinya sebelah kanan. Ia tersenyum melihat tubuh atelis dengan perut kotak-kotak miliknya bak seorang binaragawan.

“Tampan sekali diriku. Zana kalau melihat ini pasti terpesona padaku,” monolog Boim.

“Tunggu saja, suatu saat nanti kamu akan melihat tubuh seksi ini,” puji Boim kepada dirinya sendiri.

Farzana tidak tahu kalau Boim juga punya perasaan khusus kepadanya. Hanya saja Boim masih belum berani untuk mengatakan hal itu. Ia menunggu waktu dan momen yang tepat. Tidak mau buru-buru dan ingin mempersiapkan segala sesuatunya sesempurna mungkin. Apalagi Boim juga belum tahu apakah Farzana mencintainya atau tidak? Untuk sekarang ia hanya bisa membayangkan kebersamaan itu dalam pikirannya. Eh, tapi tunggu dulu, memikirkan yang bukan mahram bukankah itu berdosa? Astagfirullah, apa yang sudah dilakukan Boim. Pria itu pun buru-buru menghapus bayangan Farzana dari dalam pikirannya.

“Maafkan hambamu ini ya Allah. Hamba khilaf!” kata Boim sambil tangan kirinya memukul-mukul dahi.

Tak memedulikan sisa-sisa bayangan yang masih tersisa, Boim beralih menatap tumpukan baju yang terlipat rapi di dalam lemari. Ia bingung harus memakai baju apa. Dikarenakan hari ini hari Minggu ia tidak ada jadwal mengajar atau mengisi kajian. Pria itu pun memilih mengambil kaos putih dan celana training berwarna hitam. Tidak lupa jaket hoodie putih kesayangannya sebagai outfit luar. Boim tipe orang yang suka memakai hoodie. Menurut dia jauh lebih praktis ketimbang jaket yang ada resletingnya. Hal ini bukan tanpa sebab, biasanya baru seminggu dipakai resleting jaket miliknya sudah rusak. Makanya daripada ribet benerin resleting ia lebih suka hoodie yang tinggal slup masuk ke badan. Sama seperti ketika memakai kaos.

“Tampan sekali diriku ini!” Boim senang bukan main melihat penampilannya di depan cermin.

Selesai berdandan Boim langsung menuju meja makan untuk sarapan. Ketika menuruni anak tangga terakhir ia bisa melihat Umi Salma yang tidak lain adalah ibunya sedang menata makanan di meja makan. Ada juga Abi Thalib, ayah Boim dan adiknya bernama Salman sudah duduk manis di kursi masing-masing.

“Assalamualaikum, pagi semuanya!” sapa Boim kepada Abi, Umi, dan adiknya.

Mendengar sapaan Boim ketiga orang itu langsung menoleh ke sumber suara. Abi Thalib dan Salman tersenyum lebar melihat kedatangan Boim. Namun tidak dengan Umi Salma. Wajah sang bidadari kesayangan Boim itu tampak kesal.

“Waalaikumsalam, yuk sayang kita sarapan!” ajak sang Abi.

“Wah makanannya enak-enak nih. Umi, umi kenapa wajahnya kayak kesal gitu?” menyadari ekspresi Umi Salma yang tidak bersahabat membuat Boim bertanya-tanya.

Umi Salma tidak menjawab pertanyaan Boim dan sibuk mengambilkan nasi buat Abi Thalib dan Salman.

“Umi lagi kesal sama Abang!” sahut Salman sambil mengunyah ayam goreng. Adik Boim ini sangat suka ayam goreng. Sama seperti tokoh kartun favoritnya si Ipin. Oh ya, umur Salman masih 7 tahun dan sekarang baru kelas 1 SD.

Dahi Boim langsung berkerut mendengar pernyataan Salman. Pasalnya ia tidak merasa berbuat kesalahan kepada Umi. Lalu bagaimana umi bisa marah kepadanya.

“Abang salah apa, Mi?” tanya Boim meminta penjelasan Umi sambil menyodorkan piring meminta diambilkan nasi.

Sungguh miris nasib Boim. Umi Salma benar-benar tidak menghiraukan anak sulungnya itu. Piring yang sedari tadi berada di tangannya tak kunjung diambil.

“Mi, abang kok nggak diambilkan nasi?” tanya Boim sembari menampilkan wajah sedihnya.

“Kamu kan sudah besar, ambil sendiri!” balas Umi Salma ketus.

Boim yang diabaikan oleh Umi Salma membuat Abi Thalib dan Salman tertawa cekikikan. Bukannya kasihan, mereka malah menikmati tontonan gratis itu. Kapan lagi bisa melihat adegan Umi merajuk kepada Boim. Seperti diketahui bersama, selama ini Boim adalah anak kesayangan yang selalu dimanja dan diperhatikan.

“Nasib, nasib. Farzana ngambek, sekarang ditambah umi. Oh ya Allah ada apa dengan kedua bidadariku?” gerutu Boim sambil mengisi nasi ke dalam piringnya.

Umi Salma yang tadi sibuk menyantap makanan mendadak terhenti saat Boim menyebut nama Farzana. Umi Salma tahu bahwa anak kesayangannya itu menyukai Farzana sedari kecil. Setahunya hubungan Boim dan Farzana baik-baik saja.

“Kenapa Zana bisa ngmabek sama kamu?” tanya Umi Salma.

“Umi ya. Kalau nama Farzana aku sebut langsung deh hilang ngambeknya. Biasa mi, masalah anak muda!” jawab Boim menyeringai lebar.

“Awas ya kalau kamu sampai buat kesal calon menantu Umi. Kamu nggak akan jadi anak kesayangan umi lagi!” ancam Umi Salma sambil tangan kanannya menyodorkan garpu ke arah Boim.

“Ampun, ampun, umiku tersayang. Hamba janji akan meminta maaf kepada Farzana!” Boim pura-pura ketakutan dengan posisi kepala menunduk dan kedua tangan saling bertaut diletakkan di atas kepala seperti orang sedang memohon.

Abi Thalib geleng-geleng kepala melihat tingkah anak sulungnya. Sementara Salman sibuk menertawakan sang kakak.

“Habis ini kamu harus ke rumahnya Farzana. Minta maaf langsung sama dia!” perintah Umi Salma.

“Injih, kanjeng ratu!” jawab Boim patuh.

***

Pukul 09.00 WIB Boim sudah sampai di rumah Farzana. Untung gerbang rumahnya tidak ditutup, jadi Boim bisa langsung masuk. Jarak rumah Boim dan Farzana tidak terlalu jauh. Hanya dipisahkan oleh 10 rumah saja. Rumah Boim dan Farzana berada pada satu komplek dan gang yang sama. Sebagai seorang tamu yang baik terlebih dahulu Boim mengucapkan salam lalu memencet bel.

“Assalamualaikum!” salam Boim sambil jari telunjuk kanannya menekan tombol Bel sebanyak 3 kali.

Tak perlu menunggu terlalu lama, pintu rumah sudah terbuka. Namun yang muncul bukan sang sahabat, melainkan Umi Kalsum.

“Waalaikumsalam, eh ada nak Boim. Cari Farzana ya?”

“Iya mi. Farzana ada di rumah?”

“Yah, Zana baru aja keluar. Kamu terlambat nak Boim.”

“Zana pergi ke mana mi?”

“Waduh, Umi kurang tahu nak. Tadi sih dia pamitnya mau joging pagi.”

“Oh ya udah mi. Kalau begitu Boim pulang dulu.”

“Enggak mau nunggu Zana, nih?”

“Enggak Mi, soalnya Boim masih ada urusan. Ya sudah Boim pamit ya. Assalamualaikum Umi!”

“Waalaikumsalam!”

Sebenarnya Boim tidak benar-benar ingin pulang. Urusan yang dimaksud oleh Boim adalah mencari keberadaan Farzana. Baru keluar gerbang, Boim berpikir sejenak. ‘Kira-kira dia sekarang ada di mana ya?’ dalam hatinya Boim bertanya-tanya dimanakah gerangan Farzana sekarang ini. Pikiran Boim terasa buntu, tidak ada bayangan tempat manapun.

“Ah, aku keliling sekitar kompleks aja. Nanti juga ketemu!” putusnya.

Dari jam 9 pagi sampai jam 11 Boim tiada henti mencari Farzana. Hampir seluruh bagian komplek perumahan sudah ia telusuri. Hasilnya tetap nihil, sang sahabat tidak ada di manapun. Entah itu di taman, toko buku, atau Masjid Al-Ghifari. Ia mulai kelelahan dan memutuskan istirahat di pos satpam kompleks.

“Aduh kakiku. Kamu sebenarnya dimana sih, Zan?” Boim duduk di bangku kayu panjang depan pos satpam sembari mengacak-acak rambut karena frustrasi tak kunjung menemukan Farzana.

“Eh, ada nak Boim. Kok kelihatan lesu?” tiba-tiba Pak Mukhlis selaku satpam kompleks datang menghampiri Boim lalu pria itu ikut duduk.

“Iya nih Pak Mukhlis. Bapak tahu nggak Zana ada dimana? Dari tadi aku muter-muter nggak nemu juga!” curhat Boim kepada Pak Mukhlis.

“Oh mbak Farzana, tadi saya lihat dia keluar kompleks,” jawab Pak Mukhlis.

“Yang benar, ke mana dia, Pak?” Pak Mukhlis sedikit terkejut melihat Boim yang tiba-tiba bersemangat.

“Bapak kurang tahu. Soalnya mbak Farzana nggak kasih tahu,” pupus sudah harapan Boim. Kini pria itu kembali menampakkan wajah lesunya.

Di tengah obrolan Pak Mukhlis dan Boim, tiba-tiba ada seorang gadis menyapa Boim. Suara itu seperti Boim kenal.

“Assalamualaikum, Ustaz Boim!” panggil gadis itu.

“Waalaikumsalam, kamu..?” senyum semringah menghiasi bibir Boim kala melihat gadis yang berdiri di depannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status