Share

Gadis Tompel Kesayangan Tuan Muda
Gadis Tompel Kesayangan Tuan Muda
Author: Diyahlubis

Bab 1. Tekad Merubah Diri

Di depan cermin berukuran raksasa, duduk seorang gadis yang terpaku menatap perubahan besar dalam dirinya. Dia tidak pernah mengira akan secantik itu hanya dengan mengubah warna rambut hitam alaminya menjadi toffee.

"Ah, kau cantik banget, Djuwira!” puji penata rambut yang ditemuinya hari ini.

"Ibu bisa aja!” Djuwira pun tersipu malu. Dengan perasaan berdebar-debar, gadis itu menundukkan kepala.

"Serius! Kau itu cantik banget, Djuwira. Cuman suka minder, kadang ibu itu bingung melihatmu suka pakai masker,” sahut si ibu.

"Hehe," sahut Djuwira malu.

"Harusnya kau itu menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri," lanjutnya lagi.

Djuwira tersenyum lebar. "Iya, Bu. Terima kasih atas pujiannya. Walau sejujurnya yang lebih cantik itu ibu," balasnya memuji balik si penata rambut.

"Haha, kau bisa aja!" Si ibu malah malu dibuatnya.

Djuwira lantas membuka tas jinjing di pangkuannya untuk mengambil sejumlah uang demi membayar jasanya hari ini, lalu memasang masker wajah berwarna putih sebelum pergi.

"Lah ... Lah ... udah cantik—kenapa malah di tutup lagi mukanya, Dju?” tanya ibu tersebut terlihat kecewa.

Djuwira nyengir malu di balik maskernya. "Enggak apa-apa, Bu. Tompel saya mengganggu mata orang,” tandas gadis itu dengan nada rendah.

Si ibu menggeleng kepalanya saat mendengar ucapannya. "Tompelmu itu gak salah, Djuwira," ujarnya membenarkan.

"Itu menurut ibu, tapi orang-orang bersikap sebaliknya." Djuwira nyaman dengan masker yang sudah dia gunakan bertahun-tahun agar mengurangi beban pikiran atas cibiran manusia yang tidak mampu menerima kekurangan orang lain.

Gadis berusia 20 tahunan itu sebenarnya cantik. Mengalir aura Belanda di darahnya meski rambut hitam alami mencerminkan percampuran etnis antara keduanya. Memiliki tubuh yang terawat tak membuat Djuwira berani angkat wajah dan bersikap biasa.

Kulit putih merahnya mulus dan lembab, rambut panjang bergelombang memberikan kesan seksi saat tergerai sampai ke pinggang. Tubuh tinggi semampai dengan bentuk wajah oval serta hidung yang mancung—harusnya cukup menjadikan Djuwira sempurna.

Namun, hanya karena masalah tanda lahir di pipi sebesar biji Ketapang itu langsung membuat Djuwira apes. Semua kesempurnaan di tubuhnya lenyap tak bersisa. Dia sering kali dihardik karena memiliki tompel di mukanya.

Dalam perjalanan pulang, rasa bahagia Djuwira luntur akibat bertemu preman sekitar yang sering mangkal di ujung jalan. Dia menerima sapaan tidak mengenakkan.

"Eh, si tompel ngecat rambut. Haha! Gak usah sok cantik, deh! Dari pada nge-warnain rambut—lebih bagus warnai tuh tompelmu biar sama dengan warna kulit!" hina pria berbaju putih lusuh itu, mengajak teman-temannya merundung Djuwira.

Dia hanya bisa bersabar dalam hati setelah mendengar cacian yang tak seharusnya dia dengar hari ini. Djuwira pun geram dan merasa bosan untuk terus diam. Ia memberanikan diri membalas ucapan tersebut untuk pertama kali dalam hidupnya.

"Duh, Kak! Kenapa sih, heboh banget ngurusin hidup orang lain? Gak ada kerjaan, ya?”

"Eh, sorry ye! Kita duduk-duduk di sini itu juga namanya kerjaan,” sambar pria itu pula dengan muka menjengkelkan.

Djuwira tersenyum miring di balik maskernya, endusan kesal terhembus di balik maskernya. "Pengangguran dibilang banyak kerjaan. Aneh! kerjanya ngurusin hidup orang, ya?” tukasnya membalas ocehan pria yang jelas-jelas lebih tua darinya, tapi tidak punya sopan santun.

Pria itu langsung beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri Djuwira sampai mundur selangkah karena wajahnya terlalu condong ke depan.

"Kalau ngomong hati-hati Lu!” pekiknya menunjuk-nunjuk wajah Djuwira menggunakan jari telunjuk yang kuku-kukunya menghitam.

"Kenapa marah? Kakak bisa bilangin aku punya tompel lah, gak laku lah. Giliran aku bilangin kakak pengangguran—kenapa kakak marah?” tantang Djuwira balik karena merasa benar. Baru ini dia senekat itu demi membela diri.

Pria hampir saja mengayunkan telapak tangan kanannya ke pipi wanita yang sudah punya keberanian melawannya itu. Dia ingin sekali menampar wajah Djuwira, tapi harus ditahan.

"Ah!” jeritnya, lalu menurunkan tangan yang hampir menampar muka perempuan di depannya. "Gara-gara CCTV sialan ini, kalau enggak—udah abis Lu!" lanjutnya sambil melirik ke atas. Ada sebuah kamera pengawas milik salah satu toko yang menahan niatnya.

Djuwira menatap preman itu dengan sinis. Tidak bergeming dan takut sama sekali. Andai dia laki-laki sudah pasti berani menantang makhluk meresahkan di wilayah sini.

"Gua tandain Lu, ye! Lain kali, pasti bakal gua kasih pelajaran!" ancamnya pada Djuwira, lalu pergi mengajak teman-temannya.

Djuwira lega, meski dia masih menginginkan momen interaksi yang jauh lebih lama dari sekarang. Ingin menendang preman tersebut dengan kata-kata yang sudah lama terpendam.

"Cih, gitu aja kalah! Gak seru. Beraninya sama perempuan," bisiknya geram setelah pria itu pergi.

Entah mendapatkan keberanian dari mana dia hari ini. Djuwira seolah memantapkan hati untuk mengubah hidup yang awalnya mudah ditindas dan culun menjadi lebih berani juga kekinian.

Muak adalah kata yang tepat saat menerima cercaan mereka. Hanya karena sebuah tanda lahir di pipi kirinya, Djuwira sering kali diperlakukan tidak adil. Tak hanya di sekitar rumah, ditempat kerja lamanya juga mendapatkan perlakuan buruk. Beruntung sekarang dia menemukan pekerjaan yang lebih menerima kinerja diri ketimbang kesempurnaan fisik semata.

"Lihat aja nanti, kalau aku punya uang banyak—pasti akan aku hilangkan tompel ini!" janjinya dalam hati saat langkah kakinya telah sampai di rumah, lalu membuka pintu.

"Assalamualaikum!" ucapnya dengan nada kesal.

"Wa'alaikumsalam," jawab sang ayah yang berada dekat dengan jendela. Pria yang duduk di kursi roda itu berbalik arah setelah mendengar suara putrinya.

Djuwira berjalan mendekatinya dengan ekspresi manyun. Menggerakkan hati Rinaldi untuk bertanya, "Ada apa, Nak?”

Ketegangan muka Djuwira berubah perlahan saat mendengar pertanyaan darinya. Dia sontak tersenyum pada ayahnya, lalu menggeleng lambat.

"Enggak apa-apa, Ayah,” sahut putrinya.

Rinaldi tak percaya begitu saja dan kembali menginterogasi. "Kau kenapa, Djuwira?”

Akhirnya Djuwira membuka diri. Sebenarnya dia ingin memendamnya saja, tapi kemarahan itu tak juga mampu dia simpan. "Aku kesal dengan preman simpang gang kita,” jawab Djuwira, sambil mengembuskan napas kuat dari hidung.

"Kau diejek mereka lagi?” duga Rinaldi setelah melihat ekspresi putrinya.

"Iya, Ayah. Pengen rasanya aku cekik dia!” Djuwira meremas tangannya sendiri seperti sedang menghancurkan batang tenggorokan preman itu.

Rinaldi tertawa mendengarnya. "Harusnya kau bersyukur. Mereka mengejek itu karena mereka punya kekurangan sementara kau diberi kelebihan,” ujar sang ayah.

"Huh?” Djuwira tidak paham.

"Pahala mereka yang berkurang. Sementara pahalamu bertambah.” Rinaldi menjelaskan pertanyaan di balik tanggapan singkat putrinya.

Djuwira langsung tersenyum. "Oh, Alhamdulillah kalau begitu, Yah. Berarti sekarang aku lagi panen pahala. Haha!"

Rinaldi mengangguk benar. Dia mengelus punggung Djuwira dan menyuruhnya makan. "Abaikan aja mereka. Oya, ayah dapat sop dari tetangga sebelah, makan lah dulu," kata Rinaldi mengalihkan perhatian.

Djuwira senyum pada ayahnya dengan senyuman serta tatapan aneh. "Bu Sumi ngasih makanan lagi ke Ayah? jangan-jangan dia suka sama Ayah,” ledeknya.

"Haha ... Ada-ada aja. Mana mungkin itu terjadi. Ayah ini lumpuh. Mana ada yang suka sama ayah. Paling dia ngasih makanan karena ingin berbagi,” Rinaldi cekikikan.

"Hem, Ayah merendah. Sebenarnya kalau dia menerima apa adanya, ya gak masalah.” Djuwira membalas ucapan Rinaldi sambil berjalan menuju meja makan.

Rinaldi menghela napas. "Ayah dan adikmu ini aja udah jadi beban untukmu. Apalagi kalau Ayah nikah lagi—udah pasti bakalan buat kau menderita, Djuwira. Mau ayah kasih nafkah pakai apa dia, Nak?”

Djuwira tersenyum. "Rezeki gak ada yang tahu, Ayah! Bu Sumi itu 'kan orang kaya. Kali aja dia nanti yang biayain hidup kita,” jawabnya.

Rinaldi geleng kepala. "Pantang menyusahkan orang, Nak! Ingat itu!” tegurnya bernada marah.

"Iya, Ayah. Maafkan aku ya karena udah bicara sembarangan.” Djuwira mengangguk setuju pada nasihat sang ayah yang meminta dia untuk tidak membuat orang susah hanya karena menanggung nasib mereka.

Biarlah semua masalah rumah ditanggung oleh Djuwira seorang diri semenjak ayahnya lumpuh. Djuwira yang dulunya manja dan selalu diberi apapun, sekarang harus bekerja banting tulang demi mendapatkan biaya hidup.

Keesokan harinya.

Seorang anak berusia sepuluh tahun menghampiri Djuwira yang sedang asyik memasak sarapan. Anak itu adalah adiknya, Ben. Sambil mengucek mata, Ben bicara pada kakaknya.

"Kak ... Aku haus," katanya.

Djuwira memberikannya segelas air hangat. "Tumben kau cepat bangun, Ben," sindirnya pada sang adik, lalu memberikan segelas air putih.

"Tadi aku mimpi buruk, Kak," ujarnya lagi.

"Mimpi apa sih, Ben? Matamu sampai bengkak begitu. Kau nangis, Ben?" Djuwira memperhatikan raut wajah adiknya.

Ben mengangguk lambat. "Aku mimpi ayah meninggal, Kak," jawabnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status