Share

Bab 2. Tabrakan di Hotel

Djuwira mendesau geram. Mimpi aneh itu datangnya dari setan. Dia yakin itu dan tak seharusnya ditakutkan.

"Sudah berapa kali kakak bilang—kalau mau tidur itu—kau harus cuci kaki dan tangan. Mukamu juga dibasuh," tegasnya sang adik, tidak mau terlalu serius menanggapi mimpi adiknya.

Ben melirik sinis pada kakaknya yang mematahkan kesedihan akibat mimpi. "Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Sudah pasti aku lakukan itu," sambarnya menepis sahutan Djuwira.

Ben langsung pergi ke kamar mandi setelah mendengar nasihat kakaknya yang dianggap tidak bersahabat. Dia ingin kakaknya ikut bersedih, tapi malah teguran yang didapat.

"Anak sekarang aneh—dinasehati malah balik marah," tandas Djuwira, lalu kembali masak. Alisnya naik sebelah bersamaan dengan sudut bibir kirinya.

Sejujurnya tak hanya Ben, dia juga bermimpi aneh malam ini. Seorang pria misterius kerap kali datang ke dalam mimpinya dan memintanya untuk ikut. Djuwira penasaran dengan muka pria yang tidak pernah bisa diingatnya itu. Hanya suara saja yang  terngiang-ngiang dalam ingatan.

Djuwira mengulum bibirnya sendiri, lalu mengingat mimpinya sendiri tadi malam. Walau berbeda makna dengan mimpi sang adik, tapi Djuwira juga belum melupakan beberapa bagian dari mimpi buruknya.

"Ah, sudahlah! Mimpi adalah bunga tidur, Djuwira. Jangan kau masukkan ke hati, Djuwira...," gerutunya sendiri, lalu kembali memasak.

Beberapa saat kemudian Djuwira harus pergi kerja. Tugas paginya adalah memastikan ayah serta adik bisa makan seharian dengan menu seadanya tanpa pernah mengeluh.

Djuwira harus segera tiba di tempat kerja sebelum pukul 8. Sekarang dia bekerja di sebuah toko roti setelah menganggur selama 4 bulan dari pekerjaan lamanya. Pekerjaan sebagai asisten koki membuat Djuwira bersyukur bisa membiayai kehidupan juga membayar sisa utang ayahnya.

Diiringi senyuman manis, Djuwira membuka pintu dapur saat tiba di lokasi, lalu menyapa beberapa rekan kerja. Dia juga menghampiri seseorang yang terlihat serius mengamati oven. Pria bertopi putih menjulang tinggi, ciri khas seorang koki utama.

"Chef, apa semua bahan sudah pas?” tanya Djuwira padanya hingga membuatnya kaget.

"Astaga!" jawabnya menoleh dengan denyut jantung berdebar. "Belum! Tolong kau ambilkan kismis di ruang penyimpanan!” lanjutnya bernada perintah keras.

Djuwira menuruti perintah pria itu kemudian berlari ke arah ruang penyimpanan. Dia mencari kismis di box hijau, tapi perhatiannya tersita pada sebuah majalah di rak. Djuwira mengambil majalah tersebut, lalu memperhatikan sisi depannya.

Foto pria di sampul majalah bisnis membuatnya terhenyak. "Kayak kenal, tapi siapa ya?"  tanyanya sendiri masih berusaha menyelami ingatan. Setelah beberapa menit, Djuwira belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu.

"Djuwira!” jeritan si koki menyadarkannya dari lamunan. 

"Ya, Chef!" Djuwira segera meninggalkan majalah dan langsung mengambil kismis kemudian kembali ke dapur. "Maaf Chef!” Djuwira menutup pintu dan memberikan kismis tadi pada si koki.

Djuwira penasaran dengan majalah di dalam tadi dan bertanya pada si koki. "Kenapa ada majalah di dalam, Chef?”

Si koki pun terlihat kaget. "Majalah bersampul merah?” 

Djuwira mengangguk. "Benar! yang ada foto pria tampannya itu,” jawab Djuwira polos. 

Pria itu malah tertawa. “Itu pengusaha muda yang kaya raya, namanya Keane Matsumoto dan dia memang tampan, Djuwira. Aku melupakannya di sana. Thank's, ya!" lanjut si koki, berterima kasih karena sudah menemukan miliknya yang hilang selama dua hari.

"Oh, kukira punya siapa—ternyata punya Chef.” Djuwira tersenyum tipis. Sejujurnya dia penasaran pada sosok yang ada di sampul itu karena merasa pernah bertemu, tapi Djuwira lupa waktu dan tempatnya.

Sore menjelang malam, orderan seribu paket roti siap dikemas. Djuwira mendapatkan tugas tambahan untuk mengantarkan semuanya ke hotel Hibiscus. Kebetulan kurir yang biasanya bekerja mengantarkan sedang sakit. Terpaksa Djuwira lembur demi menjaga nama toko roti Diamond.

Sesampainya di hotel.

Djuwira bergegas menuju aula—tempat acara itu diadakan. Dia harus berulangkali mengangkut roti tersebut sendirian! Di akhir proses pengangkatan, Djuwira terlampau semangat hingga menabrak seseorang yang terlihat sedang sibuk menelepon sambil berjalan di lobby.

Ponsel milik pria itu terjatuh dengan sangat keras. Djuwira sampai kaget dan langsung meninggalkan troli barang itu demi mengambil barang berharga milik pria asing tersebut.

"Ya ampun, untung gak kenapa-kenapa," ucapnya sendiri usai melihat keadaan benda tipis berwarna hitam dari lantai.

Djuwira sudah gemetaran mengingat nilai dari ponsel itu tidaklah murah. Dia pun segera pergi menghampiri pria yang menunggunya dengan wajah marah. Kedua tangan lelaki itu berada di pinggang selama Djuwira berjalan.

"Ma-maaf, Tuan!" katanya dengan terbata-bata, sambil menyerahkan ponsel padanya.

Namun, pria itu tidak menjawab permintaan maafnya dengan ucapan, melainkan dengan ekspresi dingin serta menakutkan. Kedua matanya menatap tajam, seperti belati yang ingin menyayat dirinya.

Djuwira menyesal karena tidak hati-hati. "T-tuan, saya benar-benar minta maaf!" ucapnya lagi.

Pria tetap memandangi Djuwira dari atas sampai bawah dan berujung ke arah bet nama di sisi kiri tubuhnya. Dibacanya satu persatu kata yang tercetak di sana dengan nada pelan yang penuh emosi. Bibirnya pun tak terbuka lebar.

"Ekapati Djuwira Ningrat," ejanya pelan, merasa terkejut mengetahui nama wanita di depannya sebagus itu.

Djuwira langsung menutupi tubuh dengan kedua tangannya yang menyilang. Takut kalau dirinya mendapat perlakuan tak manusiawi. Padahal pria itu hanya membaca namanya saja, tapi Djuwira menyangka kalau dia mengamati tubuhnya. 

Hingga beberapa saat, arah kedua netranya mengalih ke wajah Djuwira dan berkata, "Kalau ponsel ini rusak, saya akan minta pertanggung jawabanmu," balasnya, lalu pergi begitu saja sambil menatap ponselnya.

Djuwira mengulum bibirnya kemudian menggigit sedikit sambil mengeluhkan kecerobohan yang sudah dia lakukan. Dia berharap ponsel itu baik-baik saja agar tidak terjebak dalam biaya perbaikan yang pastinya menelan nominal tinggi untuk ponsel mahal tersebut.

"Bagaimana caranya dia meminta pertanggungjawabanku? Dia tidak minta nomor atau apapun," tanyanya heran.

Meninggalkan kekacauan yang sudah dibuatnya tadi, Djuwira menyelesaikan pekerjaan menata roti-roti tadi di meja. Ia mengeluarkan secarik kertas, lalu melirik ke sekitar, mencari seseorang untuk mendapatkan sisa pembayaran atas pesanan malam ini.

Djuwira celinguk kiri dan kanan untuk menanyakan sesuatu hingga menemukan seorang perempuan berambut pendek yang lewat. "Maaf, saya mau tanya—yang punya acara di mana, ya?" tanya Djuwira. 

"Kamu mau apa?" tanya wanita itu penasaran.

"Saya mau minta pelunasan pesanan ini," jawab Djuwira.

"Oh, Kamu temui saja Bu Riena. Dia yang bertanggung jawab untuk semua pesanan. Lantai 6 kamar 699," jelasnya pada Djuwira, lalu memberikan arahan jelas sampai ke lokasi keberadaannya.

Berlandaskan ingatan akan nomor kamar 699, Ia bergegas pergi menemui sosok yang diucapkan wanita berseragam merah tadi.

Keluar dari lift, Djuwira diserang rasa bingung. Ada dua arah yang membuatnya terpaku sejenak. Ia meraba-raba arah antara ke kiri dan kanan, lalu memutuskan ke kiri saja kemudian melihat nomor pintu pertama yang dia temukan ternyata langsung mengarah ke kamar tersebut.

Sebelum jarinya mengetuk pintu, terdengar suara yang sepertinya berasal dari dalam kamar. Djuwira sempat ragu karena takut mengganggu, tapi dia juga harus segera menyelesaikan pekerjaan supaya bisa segera pulang.

Tok! Tok!

Ketukan dua kali dirasa cukup karena orang di dalam pasti mendengarnya. Djuwira merapikan penampilan juga maskernya sebelum menemui wanita bernama Riena. Tidak butuh waktu lama, kamar pun terbuka. Djuwira menyapa ramah pada sosok yang keluar menemuinya.

"Selamat malam, Bu!” sapanya lebih dulu, lalu tersenyum.

Wanita paruh baya bergaun simpel warna merah marun selutut itu berdiri menatap Djuwira dengan serius. Memandangi Djuwira dari atas ke bawah, hampir sama persis dengan yang dilakukan lelaki di lobby tadi.

Djuwira menarik napas kemudian melihat dirinya sendiri hingga ke kaki. "Kenapa dia memperhatikan aku sampai segitunya? Apa ada yang salah?" tanya gadis itu dalam hati karena bingung.

Djuwira memberanikan diri bicara lagi setelah menantikan balasan yang tak kunjung datang. "Maaf, Bu! Saya Djuwira dari toko roti Diamond."

"Oh, ada apa?" tanya Riena angkuh.

Djuwira menunjukkan resi pembayaran di tangannya, lalu menjawab, "Semua pesanan sudah saya antar dan toko ingin pelunasannya diberikan setelah saya selesai mengantarkan pesanan Ibu."

Riena mengerutkan bibir dengan tatapan masih melekat pada Djuwira. Seolah-olah memikirkan sesuatu dengan memandanginya dari beberapa sisi tanpa mengambil resi pembayaran dari tangan gadis tersebut.

"Kenapa ibu melihat saya seperti itu?" tanya Djuwira lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status