Djuwira mendesau geram. Mimpi aneh itu datangnya dari setan. Dia yakin itu dan tak seharusnya ditakutkan.
"Sudah berapa kali kakak bilang—kalau mau tidur itu—kau harus cuci kaki dan tangan. Mukamu juga dibasuh," tegasnya sang adik, tidak mau terlalu serius menanggapi mimpi adiknya.Ben melirik sinis pada kakaknya yang mematahkan kesedihan akibat mimpi. "Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Sudah pasti aku lakukan itu," sambarnya menepis sahutan Djuwira.Ben langsung pergi ke kamar mandi setelah mendengar nasihat kakaknya yang dianggap tidak bersahabat. Dia ingin kakaknya ikut bersedih, tapi malah teguran yang didapat."Anak sekarang aneh—dinasehati malah balik marah," tandas Djuwira, lalu kembali masak. Alisnya naik sebelah bersamaan dengan sudut bibir kirinya.Sejujurnya tak hanya Ben, dia juga bermimpi aneh malam ini. Seorang pria misterius kerap kali datang ke dalam mimpinya dan memintanya untuk ikut. Djuwira penasaran dengan muka pria yang tidak pernah bisa diingatnya itu. Hanya suara saja yang terngiang-ngiang dalam ingatan.Djuwira mengulum bibirnya sendiri, lalu mengingat mimpinya sendiri tadi malam. Walau berbeda makna dengan mimpi sang adik, tapi Djuwira juga belum melupakan beberapa bagian dari mimpi buruknya."Ah, sudahlah! Mimpi adalah bunga tidur, Djuwira. Jangan kau masukkan ke hati, Djuwira...," gerutunya sendiri, lalu kembali memasak.Beberapa saat kemudian Djuwira harus pergi kerja. Tugas paginya adalah memastikan ayah serta adik bisa makan seharian dengan menu seadanya tanpa pernah mengeluh.Djuwira harus segera tiba di tempat kerja sebelum pukul 8. Sekarang dia bekerja di sebuah toko roti setelah menganggur selama 4 bulan dari pekerjaan lamanya. Pekerjaan sebagai asisten koki membuat Djuwira bersyukur bisa membiayai kehidupan juga membayar sisa utang ayahnya.Diiringi senyuman manis, Djuwira membuka pintu dapur saat tiba di lokasi, lalu menyapa beberapa rekan kerja. Dia juga menghampiri seseorang yang terlihat serius mengamati oven. Pria bertopi putih menjulang tinggi, ciri khas seorang koki utama."Chef, apa semua bahan sudah pas?” tanya Djuwira padanya hingga membuatnya kaget."Astaga!" jawabnya menoleh dengan denyut jantung berdebar. "Belum! Tolong kau ambilkan kismis di ruang penyimpanan!” lanjutnya bernada perintah keras.Djuwira menuruti perintah pria itu kemudian berlari ke arah ruang penyimpanan. Dia mencari kismis di box hijau, tapi perhatiannya tersita pada sebuah majalah di rak. Djuwira mengambil majalah tersebut, lalu memperhatikan sisi depannya.Foto pria di sampul majalah bisnis membuatnya terhenyak. "Kayak kenal, tapi siapa ya?" tanyanya sendiri masih berusaha menyelami ingatan. Setelah beberapa menit, Djuwira belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu."Djuwira!” jeritan si koki menyadarkannya dari lamunan. "Ya, Chef!" Djuwira segera meninggalkan majalah dan langsung mengambil kismis kemudian kembali ke dapur. "Maaf Chef!” Djuwira menutup pintu dan memberikan kismis tadi pada si koki.Djuwira penasaran dengan majalah di dalam tadi dan bertanya pada si koki. "Kenapa ada majalah di dalam, Chef?”Si koki pun terlihat kaget. "Majalah bersampul merah?” Djuwira mengangguk. "Benar! yang ada foto pria tampannya itu,” jawab Djuwira polos. Pria itu malah tertawa. “Itu pengusaha muda yang kaya raya, namanya Keane Matsumoto dan dia memang tampan, Djuwira. Aku melupakannya di sana. Thank's, ya!" lanjut si koki, berterima kasih karena sudah menemukan miliknya yang hilang selama dua hari."Oh, kukira punya siapa—ternyata punya Chef.” Djuwira tersenyum tipis. Sejujurnya dia penasaran pada sosok yang ada di sampul itu karena merasa pernah bertemu, tapi Djuwira lupa waktu dan tempatnya.Sore menjelang malam, orderan seribu paket roti siap dikemas. Djuwira mendapatkan tugas tambahan untuk mengantarkan semuanya ke hotel Hibiscus. Kebetulan kurir yang biasanya bekerja mengantarkan sedang sakit. Terpaksa Djuwira lembur demi menjaga nama toko roti Diamond.Sesampainya di hotel.Djuwira bergegas menuju aula—tempat acara itu diadakan. Dia harus berulangkali mengangkut roti tersebut sendirian! Di akhir proses pengangkatan, Djuwira terlampau semangat hingga menabrak seseorang yang terlihat sedang sibuk menelepon sambil berjalan di lobby.Ponsel milik pria itu terjatuh dengan sangat keras. Djuwira sampai kaget dan langsung meninggalkan troli barang itu demi mengambil barang berharga milik pria asing tersebut."Ya ampun, untung gak kenapa-kenapa," ucapnya sendiri usai melihat keadaan benda tipis berwarna hitam dari lantai.Djuwira sudah gemetaran mengingat nilai dari ponsel itu tidaklah murah. Dia pun segera pergi menghampiri pria yang menunggunya dengan wajah marah. Kedua tangan lelaki itu berada di pinggang selama Djuwira berjalan."Ma-maaf, Tuan!" katanya dengan terbata-bata, sambil menyerahkan ponsel padanya.Namun, pria itu tidak menjawab permintaan maafnya dengan ucapan, melainkan dengan ekspresi dingin serta menakutkan. Kedua matanya menatap tajam, seperti belati yang ingin menyayat dirinya.Djuwira menyesal karena tidak hati-hati. "T-tuan, saya benar-benar minta maaf!" ucapnya lagi.Pria tetap memandangi Djuwira dari atas sampai bawah dan berujung ke arah bet nama di sisi kiri tubuhnya. Dibacanya satu persatu kata yang tercetak di sana dengan nada pelan yang penuh emosi. Bibirnya pun tak terbuka lebar."Ekapati Djuwira Ningrat," ejanya pelan, merasa terkejut mengetahui nama wanita di depannya sebagus itu.Djuwira langsung menutupi tubuh dengan kedua tangannya yang menyilang. Takut kalau dirinya mendapat perlakuan tak manusiawi. Padahal pria itu hanya membaca namanya saja, tapi Djuwira menyangka kalau dia mengamati tubuhnya. Hingga beberapa saat, arah kedua netranya mengalih ke wajah Djuwira dan berkata, "Kalau ponsel ini rusak, saya akan minta pertanggung jawabanmu," balasnya, lalu pergi begitu saja sambil menatap ponselnya.Djuwira mengulum bibirnya kemudian menggigit sedikit sambil mengeluhkan kecerobohan yang sudah dia lakukan. Dia berharap ponsel itu baik-baik saja agar tidak terjebak dalam biaya perbaikan yang pastinya menelan nominal tinggi untuk ponsel mahal tersebut."Bagaimana caranya dia meminta pertanggungjawabanku? Dia tidak minta nomor atau apapun," tanyanya heran.Meninggalkan kekacauan yang sudah dibuatnya tadi, Djuwira menyelesaikan pekerjaan menata roti-roti tadi di meja. Ia mengeluarkan secarik kertas, lalu melirik ke sekitar, mencari seseorang untuk mendapatkan sisa pembayaran atas pesanan malam ini.Djuwira celinguk kiri dan kanan untuk menanyakan sesuatu hingga menemukan seorang perempuan berambut pendek yang lewat. "Maaf, saya mau tanya—yang punya acara di mana, ya?" tanya Djuwira. "Kamu mau apa?" tanya wanita itu penasaran."Saya mau minta pelunasan pesanan ini," jawab Djuwira."Oh, Kamu temui saja Bu Riena. Dia yang bertanggung jawab untuk semua pesanan. Lantai 6 kamar 699," jelasnya pada Djuwira, lalu memberikan arahan jelas sampai ke lokasi keberadaannya.Berlandaskan ingatan akan nomor kamar 699, Ia bergegas pergi menemui sosok yang diucapkan wanita berseragam merah tadi.Keluar dari lift, Djuwira diserang rasa bingung. Ada dua arah yang membuatnya terpaku sejenak. Ia meraba-raba arah antara ke kiri dan kanan, lalu memutuskan ke kiri saja kemudian melihat nomor pintu pertama yang dia temukan ternyata langsung mengarah ke kamar tersebut.Sebelum jarinya mengetuk pintu, terdengar suara yang sepertinya berasal dari dalam kamar. Djuwira sempat ragu karena takut mengganggu, tapi dia juga harus segera menyelesaikan pekerjaan supaya bisa segera pulang.Tok! Tok!Ketukan dua kali dirasa cukup karena orang di dalam pasti mendengarnya. Djuwira merapikan penampilan juga maskernya sebelum menemui wanita bernama Riena. Tidak butuh waktu lama, kamar pun terbuka. Djuwira menyapa ramah pada sosok yang keluar menemuinya."Selamat malam, Bu!” sapanya lebih dulu, lalu tersenyum.Wanita paruh baya bergaun simpel warna merah marun selutut itu berdiri menatap Djuwira dengan serius. Memandangi Djuwira dari atas ke bawah, hampir sama persis dengan yang dilakukan lelaki di lobby tadi.Djuwira menarik napas kemudian melihat dirinya sendiri hingga ke kaki. "Kenapa dia memperhatikan aku sampai segitunya? Apa ada yang salah?" tanya gadis itu dalam hati karena bingung.Djuwira memberanikan diri bicara lagi setelah menantikan balasan yang tak kunjung datang. "Maaf, Bu! Saya Djuwira dari toko roti Diamond.""Oh, ada apa?" tanya Riena angkuh.Djuwira menunjukkan resi pembayaran di tangannya, lalu menjawab, "Semua pesanan sudah saya antar dan toko ingin pelunasannya diberikan setelah saya selesai mengantarkan pesanan Ibu."Riena mengerutkan bibir dengan tatapan masih melekat pada Djuwira. Seolah-olah memikirkan sesuatu dengan memandanginya dari beberapa sisi tanpa mengambil resi pembayaran dari tangan gadis tersebut."Kenapa ibu melihat saya seperti itu?" tanya Djuwira lagi.Beberapa hari kemudian. Ketika Key selesai menjalani rapat penting dengan klien, tiba-tiba Sayuri muncul tanpa janjian. Sayuri bingung saat melihat sosok perempuan yang harusnya menjadi posisi terbawah di perusahaan calon tunangannya malah sekarang terlihat berduaan dengan Key. "Key!" panggil Sayuri. Pria yang hendak naik ke mobilnya itu pun langsung menahan salah satu kakinya demi melihat orang yang sudah memanggilnya. Djuwira ikut menoleh karena berdiri di dekat Key dengan posisi dekat pintu, baru saja membukakan pintu. Key berdeham karena melihat Sayuri semakin menjadi hantu yang mengikuti ke mana pun. Djuwira mundur selangkah dan menyaksikan Sayuri memeluk kekasihnya. "Sayang!" sapanya ramah, bersikap seolah seperti perempuan bangsawan. Melirik Djuwira sesaat dengan alis mengerut. "Kenapa kau bisa di sini?" tanya Key heran, perlahan melepas pelukan itu. "Ah, tadi aku bertemu teman lama. Kalau tahu kau mau ke sini, pasti kita bisa pergi bareng, Key ...." Sayuri mul
Waktu berlalu. Key berakting baik sebagai calon tunangan Sayuri. Perempuan itu semakin sering ke kantor dan merasa bahwa perusahaan tersebut sudah menjadi miliknya. Dia bahkan tidak segan menegur karyawan yang dirasanya tidak sesuai dan bermalas-malasan.Djuwira juga tersambar dengan sindiran juga makian. Sayuri tidak secantik wajah dan namanya. Djuwira hanya bisa bersabar karena mengingat tujuan Key pada Sayuri."Cleaning service kok suka banget keluar masuk ruangan bos! kau genit ke pemilik perusahaan ini, ya?" tuduhnya.Djuwira terkejut saat mendengar bentakannya. Qesya saja emosi melihat Sayuri marah-marah ketika Key sedang menjalani bisnis di luar kantor. Qesya ingin meremas rambut Sayuri, lalu membenturkannya ke meja. "Maaf, Bu. Saya hanya ingin memastikan kalau ruangan Pak Keane tetap bersih." Djuwira menjaga sikapnya walau darahnya mendidih."Awas kalau sampai Kau berniat macam-macam dengan calon tunangan saya. Saya pastikan Kau akan menyesal.""Baik, Bu."Sayuri pergi dengan
Djuwira melihat kerusuhan itu dan segera menerobos kerumunan. "Halo, maaf! permisi!" Tak hanya Djuwira, anak buah keluarga Matsumoto yang lain ikut menertibkan. Key dan Djuwira bergegas menuju mobil dan Key pun segera naik. Djuwira menyusul dan langsung tancap gas. Embusan napas Key di balik wajah tegangnya bisa dilihat oleh Djuwira dari spion. Dia tidak berani menanyakan apa pun saat kondisi seperti ini. "Terima kasih sudah membantuku," katanya. "Oh, iya, Tuan. Sudah tugasku melakukannya. Apa Tuan terluka?" tanya Djuwira. "Tidak, hanya saja aku tidak suka bau mereka. Bau badan salah satu dari mereka tadi menusuk hidungku," sahutnya. Djuwira menahan tawa karena memang dia juga merasakan tadi. "Mereka bekerja keras demi mendapatkan informasi. Panas-panasan menunggu Tuan." "Hum, jadi kau tahu mereka di sana sejak tadi?" Key menginterogasi. "Tidak, Tuan. Kalau aku tahu, sudah aku tutupin Tuan dari dalam pakai jaket, masker dan topi," jawab Djuwira. Key langsung tersenyu
Keesokan harinya di rumah Key. Djuwira sudah bersiap menjemput bos sekaligus pria kesayangan yang semakin brutal menunjukkan rasa cintanya saat tidak ada yang melihat. Key menyambut kehadiran Djuwira dengan romantis. "Pagi, Sayang!" ucapnya mengejutkan Djuwira dan dihadiahi sebuah kecupan lembut tanpa diminta. Djuwira tersipu malu, memegang pipinya yang masih merasakan hangat sentuhan Key. "Tuan ... kenapa udah main serang aja pagi-pagi begini?" Key menatapnya dengan pipi menanjak akibat senyuman manisnya. Dia mengusap rambut Djuwira dan melihat kondisi wanita kesayangannya. "Apa kau mau lebih dari itu?" "Eh, tidak-tidak ... cukup, Tuan!" Djuwira menggeleng cepat. "Makanya jangan pernah tolak sesuatu yang kuberikan." Key mengeluarkan sesuatu dari kantongnya kemudian meminta Djuwira memejamkan mata. "A-Ada apa, Tuan? kenapa Tuan menyuruhku tutup mata?" tanyanya. Key mengusap muka Djuwira agar menuruti kemauannya kemudian meraih tangan gadis itu dan memasangkan sesuatu d
Key menggigit bibirnya saat mengejar Djuwira yang semakin menjauh. Hatinya berdebar keras, tercampur antara kekhawatiran akan keadaan Djuwira dan kemarahannya terhadap Uwais. Dia tahu bahwa ini bukan hanya tentang Djuwira, tapi juga tentang keputusannya sendiri.Saat akhirnya ia berhasil menyalip Djuwira dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan, Key turun dengan cepat dan berlari menghampiri Djuwira yang berjalan dengan langkah cepat."Djuwira!" panggilnya, napasnya terengah-engah.Djuwira berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. "Tuan, tolong jangan repot-repot. Aku baik-baik saja."Key mendekatinya dengan hati-hati. "Tolong dengarkan aku, Djuwira. Aku tahu ini semua terlalu cepat, tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku mencintaimu, Djuwira. Harusnya aku tidak menyembunyikan masalah hatiku pada semua orang, tapi aku—"Djuwira akhirnya menoleh, matanya penuh keraguan dan ketidakpercayaan. "Tuan, bisakah kita bicara tentang ini nanti? Aku tidak ingin membuat masalah di
Dengan hati yang berat, Key memasuki mobilnya dan memulai perjalanan ke bar yang biasa didatangi oleh Key dan Uwais. Pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan dan kekecewaan atas keputusan Djuwira. Dia merasa seperti segalanya berantakan di sekitarnya, dan dia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Di dalam mobil, Uwais berusaha menciptakan suasana yang lebih ceria. Dia bercerita tentang rencana-rencana mereka untuk malam itu, mencoba mengalihkan perhatian Djuwira dari keheningan yang tegang. Namun, Djuwira hanya menatap keluar jendela dengan ekspresi datar. "Djuwira, ada apa?" tanya Uwais. Ia pun terkejut dan menoleh. "Eh, enggak ada apa-apa, Uwais." "Apa ada masalah?" tanya Uwais lagi masih penasaran. "Gak ada, Kok! aku cuman ngerasa lelah." Uwais menghela napas. "Lelahmu akan hilang nanti saat tiba di sana. Teyamo adalah bar termewah dan juga asyik!" Djuwira tersenyum. "Apa di sana banyak laki-laki kesepian?" Uwais kaget mendengarnya. "Kenapa kau tanya itu?" "Hah